بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
#Mutiara_Sunnah
SETIAP ANAK LAHIR DI ATAS FITRAH
Pertanyaan:
Saya ingin memeroleh perincian dan keterangan, serta apa perbedaan kedua hadis berikut ini:
Hadis yang mulia menyatakan:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah. Maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”
Hadis lain berbunyi:
يُكْتَبُ رِزْقُهُ وَ عَمَلُهُ وَ شَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“(Untuk janin yang ditiupkan ruhnya padanya, Allah ta’ala perintahkan kepada malaikat penjaga janin agar) janin tersebut dicatat rezekinya, amalnya, dan apakah ia orang yang sengsara ataukah orang yang berbahagia.”
Jawaban:
Pertama, hadis:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، حَتَّى يُعْرِبَ عَنْهُ لِسَانُهُ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, hingga ia fasih (berbicara). Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir.
Al-Imam Muslim rahimahulllah meriwayatkan dengan lafaz:
كُلُّ إِنْسَانٍ تَلِدُهُ أُمُّهُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap manusia dilahirkan ibunya di atas fitrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Adapun al-Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dengan lafaz:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ تَنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya? (Anaknya lahir dalam keadaan telinganya tidak cacat, namun pemiliknyalah yang kemudian memotong telinganya, -pen.).”
Makna hadis di atas adalah manusia difitrahkan (memiliki sifat pembawaan sejak lahir) dengan kuat di atas Islam. Akan tetapi, tentu harus ada pembelajaran Islam dengan perbuatan/tindakan. Siapa yang Allah ta’ala takdirkan termasuk golongan orang-orang yang berbahagia, niscaya Allah ta’ala akan menyiapkan untuknya orang yang akan mengajarinya jalan petunjuk, sehingga jadilah dia dipersiapkan untuk berbuat (kebaikan).
Sebaliknya, siapa yang Allah ta’ala ingin menghinakannya dan mencelakakannya, Allah ta’ala menjadikan sebab yang akan mengubahnya dari fitrahnya, dan membengkokkan kelurusannya. Hal ini sebagaimana keterangan yang ada dalam hadis tentang pengaruh yang dilakukan kedua orang tua terhadap anaknya, yang menjadikan si anak beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Kedua,dalam Shahihain dari Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ n وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ قَالَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فيِ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَمْ سَعِيْدٌ، فَوَاللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ، حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْنَارِ، حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلهَا
Rasulullah ﷺ telah menceritakan kepada kami, dan beliau adalah orang yang benar lagi dibenarkan. Beliau ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari sebagai setetes mani/nuthfah. Kemudian nuthfah tadi menjadi segumpal darah selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging selama 40 hari. Lalu diutuslah malaikat kepada janin tersebut, dan diitiupkanlah ruh kepadanya. Malaikat lalu diperintah untuk menulis empat perkara: Ditulis rezeki si janin, ajalnya, amalnya, dan apakah ia orang yang sengsara ataukah orang yang berbahagia. Maka demi Allah yang tidak ada Sesembahan yang patut disembah selain-Nya, sungguh salah seorang dari kalian melakukan amalan Ahlul Jannah hingga tidaklah antara dia dan Surga melainkan tinggal sehasta, namun catatannya telah mendahuluinya (bahwa Neraka, dia bukanlah Ahlul Jannah). Lalu ia berbuat dengan perbuatan Ahlul Nar/Neraka, maka ia pun masuk. Ada pula salah seorang dari kalian melakukan perbuatan Ahlul Nar hingga tidaklah jarak dia dengan Neraka kecuali tinggal sehasta, namun catatannya telah mendahuluinya (bahwa dia bukanlah Ahlul Nar, tapi Ahlul Jannah), maka pada akhirnya ia beramal dengan amalannya Ahlul Jannah, lalu ia pun masuk Jannah.”
Kesengsaraan dan kebahagiaan yang telah dicatat tersebut adalah penulisan azali (sejak dahulu, sebelum makhluk diciptakan) dengan tinjauan ilmu Allah ta’ala, yang azali (yakni Allah ta’ala sudah mengetahui dan menetapkan, bahwa si hamba termasuk orang yang bahagia dengan beroleh Surga, atau termasuk orang yang celaka dengan masuk Neraka, jauh sebelum si hamba diciptakan, bahkan sebelum semua makhluk diciptakan, -pen.) dan akhir amalan seorang hamba sesuai dengan ilmu Allah ta’ala yang azali (sengsarakah dia ataukah bahagia?)
Ketiga, melihat pertanyaan yang ada (seolah-olah menganggap kedua hadis di atas bertentangan), dengan merenungkan makna hadis yang pertama dan kedua, akan jelas keduanya TIDAK bertentangan.
Hal ini karena manusia terfitrah dengan kuat di atas kebaikan. Jika dalam ilmu Allah ta’ala, ia termasuk golongan orang-orang yang berbahagia dan kebahagiaan inilah yang ditetapkan pada akhir hidupnya. Allah ta’ala akan menyiapkan orang yang akan menunjukinya kepada jalan kebaikan. Namun, jika dalam ilmu Allah ta’ala ia termasuk golongan orang-orang yang celaka, Allah ta’ala akan menggiring untuknya, orang yang akan memalingkannya dari jalan kebaikan, dan menyertainya pada jalan kejelekan, mendorongnya di atas kejelekan, dan terus-menerus mendampinginya hingga ditutup umurnya dengan penutup yang jelek.
Sungguh, banyak nash menyebutkan adanya penulisan takdir yang telah terdahulu, yang berisi ketentuan golongan yang berbahagia dan yang sengsara.
Di dalam ash-Shahihain dari Ali radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
“Tidak ada satu jiwa pun melainkan Allah ta’ala telah menetapkan tempatnya di Surga atau di Neraka, dan telah dicatat baginya kesengsaraan atau kebahagiaannya. Seseorang berkata: “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya kita pasrah saja dengan apa yang telah ditulis untuk kita dan tidak perlu beramal?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Beramallah kalian, karena setiap orang akan dimudahkan kepada apa yang dia diciptakan untuknya. Golongan yang berbahagia akan dimudahkan untuk beramal dengan amalan orang-orang yang berbahagia. Adapun golongan yang celaka akan dimudahkan untuk beramal dengan amalan orang-orang yang celaka.” Kemudian Rasulullah ﷺ membaca ayat:
Adapun orang-orang yang suka memberi lagi bertakwa, dia juga membenarkan Surga/pahala yang baik…. (al-Lail: 5—6).”
Hadis ini menunjukkan, bahwa kebahagiaan dan kecelakaan telah tercatat dalam kitab/catatan takdir. Diperolehnya kebahagiaan dan kesengsaraan itu sesuai dengan amalan. Masing-masing orang akan dimudahkan melakukan amalan yang telah ditentukan/diciptakan untuknya, yang hal itu merupakan sebab kebahagiaan dan kesengsaraannya. Wabillahi at-taufiq. (Fatwa no. 6334, 3/525—527)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Leave A Comment