بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
SESAJEN ITU SYIRIK
Tradisi atau ritual penyembelihan binatang adalah ibadah sehingga harus dilaksanakan sesuai dengan aturan Allah ﷻ, baik dalam hal tujuan, waktu, tempat, maupun niatnya. Adalah sebuah dosa besar, bahkan dosa terbesar, saat seorang hamba menyembelih hewan untuk selain Allah ﷻ. Entah untuk memohon bantuan makhluk gaib, harmonisasi manusia dengan alam, meredakan amarah makhluk halus, atau sebab-sebab kesyirikan lainnya.
Menyembelih hewan dalam rangka ritual adalah perbuatan yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah ﷻ. Barang siapa melakukannya, Allah ﷻ akan melaknatnya. Pelakunya telah melakukan kemusyrikan. Apabila ia mati dalam keadaan tidak bertobat, ia akan dihukum kekal di dalam Neraka. Surga haram baginya. Seluruh amalnya akan musnah, bagaikan debu yang beterbangan. Penyesalan dan kesedihan, itulah kesudahan yang akan dia rasakan pada hari kemudian.
Dari sini kita bisa mengetahui, bahwa tradisi atau ritual semacam ini adalah tindakan yang sangat membahayakan. Perbuatan yang mereka lakukan bukan menolak bala, tetapi justru mengundang murka Allah ﷻ.
Di antara contohnya adalah ritual penyembelihan korban terkait dengan bencana meletusnya gunung Merapi. Paguyuban Kebatinan Tri Tunggal (PKTT) Yogyakarta menggelar ritual tolak bala pada Senin (8/11/2010) malam. Ritual yang bernama asli Kuat Maheso Luwung Saji Rojosunya tersebut dimaksudkan agar warga Yogyakarta dan sekitarnya terhindar dari marabahaya akibat letusan Merapi. Ritual yang dipusatkan di sekitar kawasan Tugu ini diawali dengan mengarak kerbau bule. Puncak acara diisi dengan pemotongan seekor kerbau bule dan sembilan ayam jago jurik kuning sebagai sesaji untuk makhluk-makhluk halus. Kepala kerbau dan sembilan jago jurik kuning itu rencananya akan dibawa ke lereng Merapi untuk ditanam di sana.
Apakah Alasan Mereka?
Sebagian pelaku kesyirikan dalam bentuk menyembelih untuk selain Allah ﷻ terkadang mengemukakan beberapa alasan untuk membenarkan perbuatan mereka. Di antaranya adalah pernyataan: “Bagaimana mungkin perbuatan ini dikatakan syirik? Padahal ketika menyembelih saya mengucapkan ‘Bismillah’”
Yang pasti, orang semacam ini tidak mengerti hakikat syirik, sebagaimana halnya ia tidak mengerti tentang tauhid. Dalam hal ini, hukum tidak hanya ditetapkan berdasarkan mengucapkan Basmalah atau tidak. Namun niat dan tujuan pun mengambil peran besar. Apalah arti kalimat Basmalah yang diucapkan, apabila di dalam hati seseorang yang menyembelih, berniat dan bertujuan untuk mendekatkan diri, mengagungkan, menghormati, dan memohon pertolongan kepada makhluk. Ia berharap keinginannya terkabul, dan takut jika hal yang diinginkan tidak terwujud. Hatinya berpaling kepada selain Allah ﷻ.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata:
“Telah diketahui, bahwa sesuatu (hewan yang disembelih) yang diperuntukkan bagi selain Allah ﷻ yang disebutkan secara jelas, adalah diharamkan. Demikian pula jika hanya diniatkan karena hal ini sama dengan niat-niat lain dalam ibadah. Meskipun dengan melafalkan lebih kuat, namun yang menjadi hukum asal adalah tujuan.” [al-Iqtidha, hlm. 286]
Syaikhul Islam rahimahullah berkata:
”Dengan demikian, jika dia menyembelih hewan untuk selain Allah ﷻ dalam rangka mendekatkan diri, hal tersebut diharamkan, meskipun dia mengucapkan ‘Bismillah,” sebagaimana yang dilakukan oleh sekelompok kaum munafik umat ini. Mereka adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada para wali dan bintang-bintang, dengan cara menyembelih serta membakar dupa, atau yang semisalnya.” [al-Iqtidha hlm. 291]
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata:
”Apabila orang tersebut beralasan, bahwa ia menyembelih dan menyebut nama Allah atasnya, jawablah: ‘Jika memang sembelihan tersebut untuk Allah ﷻ, apa alasannya engkau mendekatkan hewan sembelihanmu di pintu kubur orang yang engkau pilih dan engkau yakini? Apakah engkau ingin mengagungkannya?’
Jika ia menjawab, ‘Ya,’ sampaikanlah kepadanya: ‘Penyembelihan ini untuk selain Allah ﷻ.
Bahkan engkau telah memersekutukan Allah ﷻ bersama yang lain. Jika engkau tidak ingin mengagungkannya, apakah engkau ingin mengotori pintu kubur dan menyebabkan najisnya orang-orang yang masuk ke dalamnya?! Engkau sebenarnya mengetahui secara yakin, bahwa pada dasarnya engkau tidak menginginkan hal tersebut. Engkau tidak berniat selain niat yang pertama. Tidak pula engkau keluar meninggalkan rumahmu selain untuk tujuan tersebut, dan untuk berdoa kepada mereka.’ Hal yang mereka lakukan ini adalah kesyirikan, tanpa diragukan sedikit pun.” [Tathhirul I’tiqad hlm. 72—73]
Asy-Syaikh ar-Rajihi menambahkan dalam catatan kaki, “Karena sebagian kaum musyrikin terkadang mengucapkan ‘Bismillah.’ Apabila dia mengucapkan ‘Bismillah’—namun dengan hewan sembelihan tersebut dia bermaksud taqarrub (mendekatkan diri) kepada penghuni kubur, jin, malaikat, atau yang lain—dia adalah pelaku kesyirikan. Meskipun dia mengucapkan ‘Bismillah’ seribu kali, tidak ada gunanya karena yang menjadi ukuran adalah keyakinan dan tujuan, bukan sekadar pengucapan.”
Benarkah sebagai Bentuk Syukur?
Sebagai contoh kasus adalah pawai budaya dan Larung Sesaji berisi kepala kambing yang mewarnai tradisi Kupatan dan Sedekah Laut di Perairan Rembang, Jawa Tengah.
Usai pawai budaya, sesaji yang berisi antara lain kepala kambing, tumpeng, kembang tiga rupa, dan rantang makanan, dilarung ke laut. Kepala kambing yang dilarung harus dari kambing jantan. Dipilihnya kambing untuk Larung Sesaji, karena hewan tersebut menurut anggapan mereka, adalah simbol cita-cita nelayan setempat untuk mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Masyarakat setempat meyakini, bahwa usai Larung Sesaji, hasil tangkapan ikan akan melimpah. Sebagian lainnya mengatakan, bahwa prosesi Larung Sesaji di Perairan Rembang itu adalah bentuk syukur nelayan, karena mendapatkan hasil tangkapan ikan yang cukup menggembirakan selama setahun terakhir.
Melihat alasan sebagian mereka, bahwa larung tersebut adalah bentuk syukur, ada beberapa hal yang janggal dan aneh yang patut dipertanyakan:
1. Benarkah pawai budaya dan Larung Sesaji sebagai tanda syukur?
2. Seperti itukah Islam mengajarkan untuk bersyukur?
3. Syukur adalah ibadah. Adakah tuntunan dari Rasulullah ﷺ untuk bersyukur dalam bentuk Larung Sesaji?
Islam menentukan bentuk-bentuk syukur dengan sempurna dan lengkap. Syukur diwujudkan dengan hati, lisan, dan perbuatan anggota badan. Semuanya harus dilakukan dengan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah ﷻ, dan dibimbingkan oleh Rasulullah ﷺ. Tidak ada satu pun ayat dan hadis yang menjelaskan bentuk syukur dalam bentuk pawai budaya dan Larung Sesaji. Di masa hidup Nabi Muhammad ﷺ, sering dan terlalu banyak kenikmatan yang diberikan oleh Allah ﷻ, padahal wilayah Islam luas membentang, menyeberang lautan, menguasai sungai dan daratan. Namun beliau ﷺ tidak pernah mencontohkan perbuatan Larung Sesaji! Ini jika Islam dijadikan tolok ukur berpikir.
Alasan lain, Sumber Pendapatan Daerah
Alasan lain untuk tetap mengadakan tradisi ritual dalam bentuk sesaji, menyembelih hewan tertentu, adalah sebagai objek wisata dan sumber pendapatan daerah. Contohnya adalah acara Pati Ka Ata Mata, Ritual di Puncak Kelimutu, Kawasan Taman Nasional Kelimutu, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Bentuknya adalah upacara adat memberi makan bagi arwah leluhur, atau orang yang sudah meninggal.
Prosesi ritual diawali oleh sembilan Mosalaki yang mewakili sembilan suku dengan pakaian tradisional membawa sesaji ke Dakutatae, sebuah batu alam sebagai tugu tempat sesaji. Sesaji yang dipersembahkan adalah nasi, daging hewan kurban (babi), moke (semacam tuak lokal), rokok, sirih pinang, dan kapur.
Setelah pemberian makan leluhur yang dilakukan oleh para Mosalaki, para pengunjung kemudian ditawari oleh Mosalaki untuk turut menikmati sesaji, sebagai tanda bersukaria bersama para leluhur. Tahapan ritual itu lalu dilanjutkan dengan Gawi, menari bersama para Mosalaki tersebut mengelilingi tugu batu.
Sejumlah pelaksana ritual mengatakan, Pati Ka Ata Mata yang digelar dimaksudkan untuk menaikkan doa kepada arwah leluhur, selain untuk menolak bala. Juga agar wilayah Ende dijauhkan dari bencana, serta disuburkan alamnya, sehingga dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Dari mitos yang diyakini turun-temurun oleh masyarakat Ende Lio, kawasan puncak Danau Kelimutu adalah tempat tinggal atau berkumpulnya para arwah orang yang sudah meninggal. Pintu gerbang (Pere Konde) Danau Kelimutu dijaga oleh Konde Ratu, sang penguasa.
Kegiatan ini digelar sebagai bentuk pelestarian budaya daerah. Dari upacara adat yang telah berlangsung turun-temurun, pemberian makan kepada leluhur yang tadinya hanya dilakukan di tiap rumah warga, kampung, atau suku, kini menjelma menjadi upacara adat di puncak Kelimutu, yang melibatkan suku-suku Lio. Selanjutnya, ritual ini akan digelar rutin setiap tahun. Tradisi ini juga menjadi agenda pariwisata Ende.
Maha Suci Allah dari apa yang mereka perbuat! Apakah lubang dan lorong sempit kesyirikan dijadikan sebagai sumber pendapatan? Perilaku durhaka dan sikap menantang Zat Pencipta dipilih sebagai jalan untuk meraih kemakmuran dunia? Tidak! Tidak akan mungkin! Justru bencana dan malapetaka yang akan dituai. Kesempitan hidup dan kebinasaan yang akan menjemput.
Seandainya penduduk sebuah negeri beriman dan bertakwa, niscaya berkah dari langit dan bumi akan dibuka seluas-luasnya. Allah ﷻ berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَاتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَالْأَرْضِ وَلٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ ﴿الأعراف:٩٦﴾
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” [QS. al-A’raf: 96]
Sungguh menyedihkan. Ya Allah, kami berlepas diri dari apa yang mereka lakukan.
Mengharap Berkah dari Jalan yang Halal
Mencari sumber penghasilan dan pendapatan adalah sesuatu yang lumrah. Bahkan syariat Islam memerintahkannya, dengan cara-cara yang baik dan halal. Menciptakan lapangan kerja dan mengembangkan potensi ekonomi daerah adalah perbuatan terpuji. Namun yang harus diperhatikan bentuk-bentuknya haruslah sesuai dengan ketentuan Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ.
Allah ﷻ berfirman:
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ
لِلَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada Allah kamu menyembah.” [QS. al-Baqarah: 172]
Allah ﷻ juga berfirman:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya, dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” [QS. al-A’raf: 32]
Kedua ayat di atas adalah dasar berpikir, bahwa penghasilan, ekonomi, dan pendapatan untuk daerah haruslah berasal dari sumber-sumber yang baik. Lalu kebaikan apa yang hendak dicari untuk pendapatan daerah, dengan cara mengembangkan dan melestarikan situs-situs sejarah yang dikeramatkan? Apakah demi pendapatan daerah, akidah kaum Muslimin harus terjual murah, dengan memberikan kesempatan dan peluang bagi mereka untuk berharap dan meminta kepada selain Allah ﷻ?
Lihat dan perhatikanlah! Berapa jumlah dana yang dikucurkan? Betapa besar biaya yang dikeluarkan. Untuk apa wahai saudaraku? Hanya untuk mendirikan dan memerindah situs-situs kuburan yang dikeramatkan. Hanya demi merenovasi dan memerhias lokasi-lokasi pemujaan dan pengagungan makhluk. Untuk peribadatan kepada selain Allah ﷻ. Sungguh menyedihkan sekali.
Tidak mungkin berkah dan rahmat menyelimuti negeri ini, jika ekonomi dan pendapatan daerahnya diambil dari jalan-jalan kemusyrikan. Karena berkah dan rahmat hanyalah diturunkan oleh Allah ﷻ untuk hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, menauhidkan Allah ﷻ, tidak memersekutukan-¬Nya dengan sesuatu pun.
Contoh Tradisi Menyembelih di Luar Syariat Islam
Sebagai contoh adalah acara Simah Laut yang diadakan di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Upacara adat para nelayan ini digelar setiap tahun, saat memasuki musim angin Barat. Upacara ini menurut mereka adalah bentuk permohonan keselamatan bagi para nelayan, selain sebagai pengharapan agar hasil tangkapan ikan lebih banyak. Selama tiga hari setelah acara Simah Laut dilangsungkan, para nelayan pantang melaut. Baru pada hari keempat para nelayan itu boleh kembali melaut mencari ikan.
Prosesnya dimulai dengan menyiapkan sebuah perahu. Di dalam perahu tersebut diletakkan aneka Wadai (sebutan masyarakat setempat untuk kue tradisional seperti cucur, apem), wajik, bubur merah, bubur putih, dan juga telur. Kepala kerbau juga menjadi salah satu kelengkapan sesajian yang akan dihanyutkan ke laut menggunakan perahu kecil.
Setelah itu salah satu pemuka masyarakat membacakan doa. Selepas didoakan, beberapa nelayan mengangkat perahu yang berisi sesaji mendekati pantai. Dari arah laut, perahu-perahu nelayan merapat menjemput sesajian tersebut.
Dikawal perahu-perahu nelayan, perahu berisi sesajian itu diangkat ke salah satu kapal kayu, dan dibawa berlayar menjauhi pantai. Kapal sesajian itu kemudian dilayarkan ke tengah laut pada jarak sekitar satu kilometer dari bibir pantai.
Kaum perempuan bergotong royong memasak aneka penganan untuk sesaji dan daging dari hewan kurban. Pemilihan hewan kurban disesuaikan dengan kemampuan warga, bisa kambing atau sapi. Bagian kepala hewan kurban ini kemudian dihanyutkan ke tengah laut, sementara daging dimasak untuk kemudian disantap bersama oleh penduduk dan pengunjung yang hadir.
Contoh selanjutnya adalah Macceratasi, sebuah upacara adat masyarakat nelayan tradisional di Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan. Upacara ini sudah berlangsung sejak lama, dan terus dilakukan secara turun-temurun setahun sekali. Beberapa waktu lalu, upacara ini kembali digelar di Pantai Gedambaan atau disebut juga Pantai Sarang Tiung.
Prosesi utama Macceratasi adalah penyembelihan kerbau, kambing, dan ayam di pantai, kemudian darahnya dialirkan ke laut dengan maksud memberikan darah bagi kehidupan laut. Dengan pelaksanaan upacara adat ini, masyarakat yang tinggal sekitar pantai dan sekitarnya berharap mendapatkan rezeki yang melimpah dari kehidupan laut. Kerbau, kambing, dan ayam dipotong. Darahnya dilarungkan ke laut. Itulah bagian utama dari prosesi Macceratasi.
Contoh berikutnya adalah tradisi adat masyarakat Karempuang, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Di sana ayam adalah sajian utama, termasuk dalam hal hewan sesajian. Masyarakat Karempuang memang memiliki tradisi memotong ayam secara massal pada acara selamatan tahunan. Selamatan ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur atas hasil panen yang melimpah, dan pertanda musim awal cocok tanam.
Dalam ritual ini, masyarakat adat berpuasa selama tujuh hari, tidak memakan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Ayam yang akan dijadikan sesaji dalam ritual ini adalah sepasang ayam jantan dan betina pilihan, berbulu merah, putih, hitam, dan kuning. Sebelum ayam dipotong, pemangku adat wanita, Sanro, terlebih dahulu melakukan ritual yang juga dihadiri pemangku adat tertinggi, Pengelak. Berbagai bahan untuk keperluan ritual disiapkan, di antaranya minyak kemiri dan beras.
Dupa dan kemenyan pun dibakar. Pemangku adat lalu membacakan mantra dan doa-doa meminta berkah dan keselamatan. Ritual ini berlangsung selama hampir dua jam.
Ritual pun selesai dilakukan. Kaum laki-laki membawa ayam ini menuju bukit batu yang letaknya tidak jauh dari rumah adat. Di atas bukit inilah ayam dipotong, dan isi perutnya dibersihkan. Darah yang menetes dari leher ayam ditampung dengan daun dan mangkok. Darah ayam adalah persembahan untuk roh leluhur penjaga hutan, dengan harapan hutan tetap memberi kesuburan.
Bahan untuk Diskusi Ringan
Di sekitar kita sebenarnya masih banyak tradisi dan ritual dalam bentuk menyembelih binatang. Apa pun alasannya, selama kegiatan tersebut tidak ditopang dan dilandasi oleh ayat Alquran dan hadis Nabi Muhammad ﷺ, kegiatan tersebut BUKAN bagian dari ajaran Islam. Islam memerintahkan untuk memerangi, serta berupaya untuk memberantas tradisi dan ritual semacam itu.
Sebagai penutup, saya akan menghadirkan beberapa pertanyaan sebagai bahan diskusi. Pertanyaan ini sangat membantu pembuktian, bahwa tradisi dan ritual menyembelih binatang semacam itu mengandung unsur-unsur kesyirikan.
1. Benarkah di dalam tradisi dan ritual tersebut binatang disembelih karena dan untuk Allah ﷻ?
2. Apakah benar tidak ada keyakinan adanya kekuatan lain yang mendatangkan manfaat maupun mudarat selain Allah ﷻ? Jika benar, bagaimana jika acara tersebut tidak dilakukan? Bukankah di dalam hati akan timbul kekhawatiran dan kecemasan, bahwa hasil panen atau melaut akan berkurang, selalu jauh dari keselamatan, bala dan musibah datang silih berganti?
3. Apakah yang terjadi jika binatang yang disembelih tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan? Atau, jika acara tersebut dilaksanakan bukan pada waktunya?
Pastinya bagi para pelaku dan pengikut tradisi dan ritual tersebut, rasa berharap dan takutnya telah mendua. Meski ia mengaku melakukannya untuk dan karena Allah ﷻ, namun harapan, sikap pengagungan, dan sikap takutnya, ia berikan pula kepada selain Allah ﷻ.
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari noda-noda kesyirikan.
Ya Allah, curahkanlah rahmat dan taufik-Mu, agar kami dan saudara-saudara kami tetap berada di atas jalan-Mu yang lurus.
Oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar hafizhahullah
Sumber:
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
SESAJEN ITU SYIRIK
SESAJEN ITU SYIRIK
SESAJEN ITU SYIRIK
SESAJEN ITU SYIRIK
SESAJEN ITU SYIRIK
SESAJEN ITU SYIRIK
SESAJEN ITU SYIRIK
Leave A Comment