بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

SELEKTIF DALAM MENUNTUT ILMU

Kriteria Memilih Guru

Bagaimana kriteria orang yang bisa kita ambil ilmunya? Ibrahim An Nakha’i rahimahullah mengatakan:

كَانُوا إِذَا أَتَوْا الرَّجُلَ لِيَأْخُذُوا عَنْهُ، نَظَرُوا إِلَى هديه، وَإِلَى سَمْتِهِ، وَ صلاته, ثم أخذوا عنه

“Para salaf dahulu jika mendatangi seseorang untuk diambil ilmunya, mereka memerhatikan dulu bagaimana akidahnya, bagaimana akhlaknya, bagaimana salatnya. Baru setelah itu mereka mengambil ilmu darinya.” [Diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan-nya, no.434]

Dari penjelasan beliau di atas, secara garis besar ada tiga kriteria yang perlu diperhatikan dalam memilih guru atau mengambil ilmu dari seseorang:
• Akidahnya benar, sesuai dengan akidah Nabi ﷺ dan para sahabatnya,
• Ilmunya mapan, bukan orang jahil atau Ruwaibidhah. Di antara cerminannya adalah cara salatnya benar, sesuai Sunnah Rasulullah ﷺ.
• Akhlaknya baik.

Oleh karena itu Imam Malik rahimahullah berkata:

لاَ يُؤْخَذُ الْعِِلْمُ عَنْ أَرْبَعَةٍ: سَفِيْهٍ مُعلِنِ السَّفَهِ , وَ صَاحِبِ هَوَى يَدْعُو إِلَيْهِ , وَ رَجُلٍ مَعْرُوْفٍ بِالْكَذِبِ فِيْ أَحاَدِيْثِ النَّاسِ وَإِنْ كَانَ لاَ يَكْذِبُ عَلَى الرَّسُوْل صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَ رَجُلٍ لَهُ فَضْلٌ وَ صَلاَحٌ لاَ يَعْرِفُ مَا يُحَدِّثُ بِهِ

“Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang:
(a) Orang bodoh yang nyata kebodohannya,
(b) Shahibu hawa’ (Ahlul Bidah) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya,
(c) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah ﷺ,
(d) Seorang yang mulia dan saleh yang tidak mengetahui hadis yang dia sampaikan.” [At Tamhid, karya Ibnu Abdil Barr, 1/66, dinukil dari Min Washayal Ulama, 19]

Maka hendaknya kita perhatikan ketiga kriteria di atas, dan mewaspadai empat jenis orang yang disebutkan Imam Malik ini.

Dan hendaknya tidak tertipu oleh kepiawaian seseorang dalam berbicara, padahal kosong dari tiga kriteria di atas. Orang yang piawai bicara, bahasanya fasih dan menyihir, kata-katanya indah, belum tentu orang yang layak diambil ilmunya. Bahkan Nabi ﷺ bersabda:

إن أخوف ما أخاف على أمتي كل منافق عليم اللسان

“Yang paling aku takutkan terhadap umatku adalah setiap orang munafik yang pintar berbicara.” [HR. Ahmad 1/22, disahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1013]

Maka kepandaian berbicara bukanlah ukuran. Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan:

“Wajib bagi Anda wahai kaum Muslimin dan para penuntut ilmu agama, untuk bersungguh-sungguh dalam tatsabbut (cek dan ricek), dan jangan tergesa-gesa dalam menanggapi setiap perkataan yang Anda dengar (dalam masalah agama). Dan hendaknya mencari tahu:

• Siapa yang mengatakannya?
• Dari mana datangnya pemikiran tersebut?
• Apa landasannya?
• Adakah dalilnya dari Alquran dan As Sunnah?
• Orang yang mengatakannya belajar di mana?
• Dari siapa dia mengambil ilmu (siapa gurunya)?

Inilah perkara-perkara yang perlu dicek dan ricek, terutama di zaman sekarang ini.

Maka tidak semua orang yang berkata-kata dalam masalah agama itu langsung diterima, walaupun bahasanya fasih, sangat bagus ungkapannya, dan sangat menggugah.

Jangan tertipu dengannya, hingga Anda mengetahui kadar keilmuan dan fikihnya.” [Ithaful Qari bit Ta’liq ‘ala Syarhis Sunnah, 85]

Pada Akhirnya, Kita Sendiri Yang Akan Memertanggungjawabkan Amalan Kita

Siapa pun guru kita, kepada siapa pun kita mengambil ilmu, yang akan memertanggungjawabkan amalan-amalan kita adalah diri kita sendiri, bukan guru kita. Allah ﷻ berfirman:

{مَّنِ اهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ ۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا} [الإسراء: 15]

“Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat, maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain. Dan Kami tidak akan mengazab, sebelum Kami mengutus seorang rasul.” [QS. Al Isra: 15]

Maka tugas para guru agama, sekadar menyampaikan dan mengarahkan orang kepada kebenaran. Dan tugas kita sebagai pembelajar adalah mengikuti kebenaran yang disampaikan, bukan mengikuti orangnya. Tidak boleh taqlid buta kepada para ulama dan para ustadz. Imam Malik rahimahullah berkata:

إنما أنا بشر أخطئ وأصيب، فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة؛ فخذوه، وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة؛ فاتركوه

“Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku. Tiap yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Alquran dan Sunnah, tinggalkanlah.” [Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Jami 2/32, Ibnu Hazm dalam Ushul Al Ahkam 6/149. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 27]

Imam Abu Hanifah berkata:

لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا؛ ما لم يعلم من أين أخذناه

“Tidak halal bagi siapa pun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami mengambilnya (dalilnya).” [Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Intiqa 145, Hasyiah Ibnu ‘Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 24]

Maka penting sekali untuk menyeleksi guru yang mengajarkan ilmu kepada kita, agar kita bisa beramal sesuai dengan kebenaran, sesuai dengan apa yang Allah tunjukkan dalam Alquran, dan yang Nabi ﷺ tuntunkan dalam Sunnahnya.

Penulis: Yulian Purnama
Sumber: https://muslim.or.id/47202-selektif-dalam-menuntut-ilmu-agama.html

══════

Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat