بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#ManhajAkidah
SEBUAH MASUKAN UNTUK AL-USTADZ AL-FADHIL ADI HIDAYAT MA HAFIDZOHULLAH
Penulis: Abul-Jauzaa’
Belakangan ini kita dihebohkan oleh kabar beredarnya rekaman suara Ustadz Abdullah Taslim yang berkomentar terhadap Ustadz Adi Hidayat, hafidhahumallah. Sebuah rekaman yang asalnya dari grup WA atas sebuah pertanyaan yang diajukan kepada beliau (Ustadz Abdullah Taslim), dari anggota grup tentang Ustadz Adi. Isinya adalah nasihat kepada anggota grup dan tahdzir kepada Ustadz Adi Hidayat terkait dengan manhaj beliau.
Sebenarnya, apapun kontennya tidak patut dipermasalahkan [1]. Tahdzir yang beliau katakan adalah wujud pertanggungjawaban atas pengetahuan yang dimiliki, sebagai pembina grup. Tahdzir bukan barang yang asing [2] Meski substansinya sah-sah saja, jika ada yang tidak sepakat. Yang menjadikan ramai, selain oknum yang menyebarkan keluar grup, adalah gorengan dan tambahan kata-kata oleh oknum tak bertanggung jawab yang bernada provokatif. Misalnya: Kembalilah kepada para asatidz yang jelas manhajnya, yaitu para asatidz Rodja yang pasti benar dan di atas manhaj yang benar. Ada juga framing berita dengan judul: Takut Ditinggal Jamaah! Ustadz Rodja’ Ini Larang Jamaahnya Dengarkan Ceramah Ustadz Adi Hidayat!
Benar-benar dagelan…. Saya yakin, ini bukan berasal dari Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah, dan memang bukan tipikal beliau. Entah siapa….
Maybe ‘they’ realize, making a lie is the only way to win the war (?)
Kembali,… kemarin saya menyimak respon positif Ustadz Adi Hidayat terkait perkataan Ustadz ‘Abdullah Taslim hafidhahumallah (yang saat ini sedang menjalankan ibadah umrah). Intinya, beliau terbuka menerima kritikan dari siapa pun dan bersedia rujuk apabila kritikan tersebut memang benar, serta ajakan bersinergi dalam kebaikan (https://goo.gl/XiepHX dan https://goo.gl/MK16ga).
Tentu ini sangat baik, karena sikap beliau tersebut didasari oleh pemahaman yang sangat baik atas sabda Nabi ﷺ:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Semua anak Adam banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat kesalahan adalah orang-orang yang banyak bertaubat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2499, Ahmad 3/198, Ibnu Abi Syaibah 13/187, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/604].
Oleh karena itu, izinkan di sini saya memberikan sedikit catatan atau kritikan terkait dengan beberapa isi ceramah Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah yang rekamannya banyak bertebaran di Youtube.

  1. Takdir

Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah dalam satu rekaman video yang berjudul “MEMAHAMI TAKDIR ALLAH DENGAN BENAR” (https://youtu.be/joqsMvsheXE), membacakan sebuah pertanyaan:
“Apakah semua orang telah ditetapkan takdirnya oleh Allah subhaanahu wa ta’ala? Dan apakah orang kafir itu sudah takdir Allah?”
Kemudian direspon:
“Pertama begini, antum pahami dulu apa itu takdir. Takdir itu pilihan hidup. Yang pilihan kita itu KEMUDIAN DITETAPKAN oleh Allah subhaanahu wa ta’ala. Jadi Anda bisa terbuka, ingin mengambil atau tidak. Itu pilihan Anda. Karena itu manusia diberikan kemampuan untuk memilih……dst. (kemudian dilanjutkan dengan penjelasan yang menguatkan itu, yang intinya manusia diberikan pilihan antara yang positif dan negatif)……”
Dalam rekaman video yang berjudul “PERBEDAAN TAKDIR DAN QODARULLAH” (https://youtu.be/6DsR0RQDdfY), awal ceramah (menit 00:24) beliau mengatakan:
“Yang seperti ini, seperti aliran Qadariyyah [3]. Semua terserah Allah. Semua terserah Allah. Bahkan tidak mungkin saya bersin, kecuali kecuali Allah berkehendak. Tidak mungkin saya minum, kecuali saya berkehendak. Tapi kesimpulannya salah. Anda harus bedakan antara Qadar dan Takdir. Kehendak Allah yang tidak ada intervensi kita di dalamnya, itu disebut Qadar”
Kemudian beliau hafidhahullah mencontohkan qadar adalah ajal dan rezeki. Selanjutnya beliau berkata (di menit 01:23):
“Tapi, ada sesuatu yang disebut dengan takdir. Takdir itu adalah ketetapan Allah yang dikukuhkan/ditetapkan berdasarkan ikhtiar makhluk. Kita ikhtiar dulu, BARU ALLAH MENETAPKAN. Jadi bukan seketika Allah tetapkan. Contoh, perbuatan itu takdir. Amal baik atau buruk, amal saleh atau salah, maka itu adalah takdir, bukan qadar……dst.”.
Abu-Jauzaa’ berkata:
Ini adalah pemahaman KELIRU dalam masalah keimanan terhadap takdir. Secara istilah, makna Al-Qadar adalah:

تقدير الله للكائنات حسبما سبق به علمُه، واقتضته حكمته

“Ketetapan (taqdiir) Allah bagi semua makhluk, sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu, dan yang dikehendaki oleh hikmah-Nya” [Rasaail fil-‘Aqiidah oleh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin, hal. 37].
Pembedaan dua hal tersebut (qadar dan takdir) tidaklah benar. Tidak mungkin ketetapan Allah datang menyusul setelah adanya ketetapan dari makhluk dalam ikhtiarnya. Bahkan Allah ta’ala telah menuliskan segala sesuatu di sisi-Nya, di Lauh Mahfuudh, 50.000 tahun sebelum Allah ta’ala menciptakan langit dan bumi.
Maka, tidak ada sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi, luput dari Lauh Mahfuudh. Allah ta’ala berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi, dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuudh) sebelum Kami menciptakannya” [QS. Al-Hadiid: 22].
Rasulullah ﷺ bersabda:

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah telah menulis seluruh takdir makhluk-makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2653].
Bahagia dan celaka, Neraka dan Surga seseorang, maka semua itu telah ditetapkan oleh Allah ta’ala. Sama seperti ajal dan rezeki. Bukankah dalam hadis ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu secara marfuu’ dari Nabi ﷺ telah disebutkan:

إِنَّ  أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ، أَوْ سَعِيدٌ، فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا

“Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi ‘Alaqah (segumpal darah) seperti itu pula (40 hari). Kemudian menjadi Mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula (40 hari). Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan REZEKINYA, AJALNYA, AMALANYA, dan CELAKA atau BAHAGIANYA. Maka demi Allah yang tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi melainkan-Nya, sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli Surga, sehingga jarak antara dirinya dengan Surga hanya tinggal sehasta, tetapi CATATAN (TAKDIR) MENDAHULUINYA, lalu ia beramal dengan amalan ahli Neraka. Maka dengan itu ia memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli Neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan Neraka hanya tinggal sehasta, tetapi CATATAN (TAKDIR) MENDAHULUINYA, lalu ia beramal dengan amalan ahli Surga, maka dengan itu ia memasukinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3207 dan Muslim no. 2643].
Juga tentang kisah perdebatan antara Adam dan Musa ‘alaihimas-salaam:

احْتَجَّ آدَمُ، وَمُوسَى، فَقَالَ لَهُ مُوسَى: يَا آدَمُ، أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا وَأَخْرَجْتَنَا مِنَ الْجَنَّةِ، قَالَ لَهُ آدَمُ: يَا مُوسَى، اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِكَلَامِهِ وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ، أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَة، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى ثَلَاثًا

“Adam dan Musa saling berhujjah (berdebat). Musa berkata kepadanya (Adam): “Wahai Adam, engkau adalah ayah kami. Engkau telah mengecewakan kami, dan mengeluarkan kami dari Surga”. Adam berkata kepadanya: “Wahai Musa, Allah telah memilihmu dengan firman-Nya dan telah menuliskan (Taurat) dengan tangan-Nya untukmu. Apakah engkau mencelaku atas perkara yang Allah telah menakdirkannya untukku 40 tahun sebelum Allah menciptakanku?” Maka Adam mengalahkan Musa, Adam mengalahkan Musa” – sebanyak tiga kali [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6614 dan Muslim no. 2652].
Yaitu, ketetapan Allah ta’ala telah mendahului perbuatan Adam, yang menyebabkannya keluar dari Surga.
Ahlus-Sunnah berpendapat, bahwa keimanan terhadap takdir tidak akan sempurna, kecuali dengan mengimani empat tingkatan takdir, atau disebut juga Rukun Takdir. Mulai Al-‘Ilmu[4], Al-Kitaabah[5], Al-Iraadah Wal-Masyii’ah[6], Dan Al-Khalq[7] yang uraiannya dapat dibaca dalam banyak referensi.
Pernyataan ketetapan Allah baru datang menyusul setelah adanya ihtiar makhluk, mengonsekuensikan penafikan terhadap banyak nash.
Jika yang dinafikkan dalam fase ihtiar adalah tingkatan Ilmu dan Kitaabah, maka ini tergolongan pemahaman Qadariyyah purba yang muncul di jaman sahabat radliyallaahu ‘anhum. Para sahabat radliyallaahu ‘anhum mengafirkan mereka, karena mereka menisbatkan kepada Allah ta’ala sifat bodoh (al-jahl). Allah (dianggap) tidak tahu, kecuali setelah terjadinya sesuatu (yaitu perbuatan hamba). Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa pernah berkata tentang mereka:

فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ، مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ، حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ

“Apabila engkau berjumpa dengan mereka, beritahukanlah kepada mereka, bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka pun berlepas diri dariku. Demi Dzat yang ‘Abdullah bin ‘Umar bersumpah dengannya, seandainya salah seorang di antara mereka memiliki emas sebesar Uhud, lalu ia menginfakkannya, Allah tidak akan menerimanya, hingga ia beriman kepada takdir” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 8].

أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ عَنِ الْقَدَرِيِّ، فَلَمْ يُكَفِّرْهُ إِذَا أَقَرَّ بِالْعِلْمِ

Telah mengabarkan kepada kami Abu Bakr, ia berkata: Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang Qadariy (penganut Qadariyyah), maka ia tidak mengafirkannya apabila menetapkan ilmu (Allah) [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 868].

وَأَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، يَقُولُ: إِذَا جَحَدَ الْعِلْمَ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لا يَعْلَمُ الشَّيْءَ حَتَّى يَكُونَ، اسْتُتِيبَ، فَإِنْ تَابَ وَإِلا قُتِلَ

Dan telah mengabarkan kepada kami Abu Bakr, ia berkata: Aku mendengar Abu ‘Abdillah berkata: “Apabila ada seseorang yang mengingkari ilmu (Allah) dengan mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak mengetahui sesuatu hingga terjadi’; maka ia diminta untuk bertaubat. Jika ia bertaubat, maka diterima, dan jika enggan maka dibunuh[8]” [idem no. 869].
Jika yang dinafikkan dalam fase ihtiar itu adalah tingkatan Al-Iraadah Wal-Masyii’ah dan Al-Khalq (dengan tetap mengimani tingkatan al-‘Ilmu dan Al-Kitaabah), maka inilah keumuman paham Qadariyyah yang masih eksis hingga saat ini. Kehendak dan perbuatan hamba adalah murni dari hamba itu sendiri; bukan terjadi karena kehendak dan penciptaan Allah ta’ala.
Dua jenis Qadariyyah di atas adalah sama-sama SESAT, yang tidak ada jalan lain bagi pelakunya kecuali harus rujuk darinya.

  1. Semua Muslim adalah Salafiy (https://youtu.be/6vzOKxwvQqY)

Dalam Perbedaan Muhammadiyah, NU dan Salafi, ketika menjawab apa perbedaan Muhammadiyyah dan Salafi, maka Ustadz Adi Hidayat menjawab (setelah menjelaskan tentang Muhammadiyyah dan NU – mulai menit 05:23):
“Kalau Salafi, itu bukan Ormas, bukan madzhab. Tapi dari kata salaf. Salaf itu manhaj. Salaf itu artinya sesuatu yang lampau, yang lalu. Kenapa disebut dengan salaf, karena saat kita berusaha untuk beribadah menunaikan pendekatan ibadah kita kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, maka cara ibadah kita mesti seperti siapa?. Rasululah ﷺ. Rasulullah itu hidup di jaman kita atau di jaman dulu? Jaman dulu. Dulu itu bahasa Arabnya salaf. Jadi, mengikuti yang dulu, dulu bahasa Arabnya salaf. Kalau disebutkan mengikuti, ditambah dengan i ujungnya dalam bahasa Arab dengan ya’ nisbah. Ya’ nisbah itu gampangnya ditambah i saja di ujungnya. Misal, salaf , dulu, ikut yang dulu disebut dengan Salafi. Ni asalnya Salafi itu bukan madzhab, bukan kelompok, bukan ormas, tapi manhaj. Satu cara, satu arah, supaya kita beribadah mengikuti tuntunan yang dulu Rasulullah ﷺ sampaikan kepada para sahabat, yang disampaikan kepada para tabi’in. Itu masa lalu dulu. Kita ikuti jalannya. Nah, maka cara kita mengikuti jalan itu, cara kita disebut Salafi. Sebetulnya semua orang Islam itu gak ada yang gak Salafi. Semua Salafi. Semua Salafi. Tidak mungkin. Misalnya ada orang yang mengaku:  ‘Saya bukan Salafi’, maka berarti shalatnya beda itu. Pasti Salafi. Nggak mungkin. Pasti Salafi, karena Salafi itu artinya ikut yang dulu. Ikut Nabi ﷺ. Manhajnya. Salafi itu bukan golongan tertentu, bukan kelompok tertentu, bukan eksklusif ini Salafi yang lain bukan, maka tidak. Salafi itu manhaj. Nanti satu saat akan saya tunjukkan. Ibu kalau mau akan saya berikan slidenya…..”.
Kemudian beliau mencontohkan praktik ibadah shalat dengan variasi dalil yang ada. Dalam kesempatan lain (video berjudul Semua Muslim Adalah Salafi) dikatakan hal yang senada (menit: 00:28):
Maka di sini ada istilah Manhaj Salaf. Orang-orang yang mengikuti manhaj ini, sejalur dengan ini sampai ke ujungnya, kemudian bermuara ke Rasulullah ﷺ. Maka orangnya disebut dengan Salafi. Jadi Salafi itu bukan istilah khusus, atau nama khusus, untuk golongan tertentu, aliran tertentu, kelompok tertentu. Semua orang Islam pasti Salafi. Bapak Salafi ya?…Bukan pak, saya Doni…. Iya, nama bapak Doni, cuma bapak pasti melewati jalur ini… pasti ini…. Jadi teman-teman sekalian, tidak ada yang tidak Salafi. Pasti Salafi. Dan jangan juga mengatakan kepada orang: ‘O ini manhajnya bukan salaf ini’. Lalu apa (kalau bukan Salafi)?”
[selesai kutipan sampai menit 01:12].
Abu-Jauzaa’ berkata:
Jika Salafiy adalah orang-orang yang mengikuti cara beragama As-Salafush-Shaalih, maka mereka itu (As-Salafush-Shaalih) utamanya adalah tiga generasi pertama: Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, taabi’iin, dan atbaa’ut-taabi’iin. Mereka adalah generasi yang diridlai Allah ta’ala sebagaimana firman-Nya:

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah: 100].
Generasi terbaik, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ

“Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada jamanku (generasiku), kemudian orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian orang-orang yang datang setelah mereka. Kemudian akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3651, Muslim no. 2533, At-Tirmidziy no. 3859, Ibnu Maajah no. 2363, dan yang lainnya].
Setelah itu, Nabi ﷺ bersabda tentang keadaan umat sepeninggal beliau ﷺ:

وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

“Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk Neraka kecuali satu (yang masuk Surga)”. Mereka (para sahabat) bertanya: “Siapakah ia wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Apa-apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2641, Al-Haakim 1/218-219, Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ hal. 85, Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/127-128 no. 23-24, dan yang lainnya].
Dalam riwayat lain:

مَنْ كَانَ عَلَى مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي

“Siapa saja yang berada di atas jalan yang aku dan para sahabatku berada di atasnya pada hari ini” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shaghiir 2/29-30 no. 724 dan Al-Ausath 5/137 no. 4886].
Dalam riwayat lain:

وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

“Ia adalah Al-Jamaa’ah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4597].
Hadis di atas selaras dengan hadis ‘Irbaadl bin Saariyyah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ…..

“Karena siapa saja di antara kalian yang hidup setelahku akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Wajib atas kalian berpegang teguh terhadap sunnahku dan sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Peganglah erat dan gigitlah ia dengan gigi geraham….” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, Ahmad 4/126-127, dan yang lainnya; shahih].
Hadis-hadis ini menginformasikan, bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu kelompok saja yang selamat, yaitu orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya dengan sebenar-benarnya. Merekalah Salafi (sesuai dengan pengertian sebelumnya). Merekalah Ahlus-Sunnah, sebagaimana dikatakan As-Sam’aaniy rahimahullah mengenai ciri pokok mereka:

شعار أهل السنَّة اتباعهم السلف الصالح، وتركهم كل ما هو مبتدع محدث

“Syiar Ahlis-Sunnah adalah sikap ittiba’ mereka kepada As-Salafush-Shaalih, dan meninggalkan segala sesuatu yang diada-adakan (dalam agama)” [Al-Intishaar li-Ashhaabil-Hadiits hal. 31].
Selain mereka (Salafi/Ahlus-Sunnah), maka masuk dalam 72 golongan sisanya yang terdiri dari kelompok-kelompok menyimpang dalam Islam yang tidak mengikuti jalan As-Salafush-Shaalih.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahumallah berkata:

شعار أهل البدع: هو ترك انتحال اتباع السلف

“Syiar Ahli Bid’ah adalah meninggalkan penerimaan dalam ittiba’ terhadap salaf” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 4/155].
Kelompok menyimpang/Ahli Bid’ah yang masuk ke kelompok sempalan yang 72 buah itu di antaranya apa yang dikatakan oleh Yuusuf bin Asbath rahimahullah:

أُصُولُ الْبِدَعِ أَرْبَعٌ: الرَّوَافِضُ، وَالْخَوَارِجُ، وَالْقَدَرِيَّةُ، وَالْمُرْجِئَةُ، ثُمَّ تَتَشَعَّبُ كُلُّ فِرْقَةٍ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ طَائِفَةً، فَتِلْكَ اثْنَتَانِ وَسَبْعُونَ فِرْقَةً، وَالثَّالِثَةُ وَالسَّبْعُونَ الْجَمَاعَةُ الَّتِي قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: إِنَّهَا النَّاجِيَةُ “

“Pokok-pokok kebid’ahan ada 4 (empat), yaitu Raafidlah, Khawaarij, Qadariyyah, dan Murji’ah. Kemudian masing-masing firqah tersebut bercabang-cabang lagi menjadi 18 golongan, sehingga totalnya menjadi 72 firqah. Dan yang ke-73 adalah Al-Jamaa’ah yang disabdakan Nabi ﷺ: ‘Inilah firqah/kelompok yang selamat” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah no. 17].
Ada perkataan ulama lain yang merinci untuk 72 kelompok sempalan ini selain dari penjelasan Yuusuf bin Asbath rahimahullah di atas. Ke-72 kelompok tersebut masih memiliki pokok Islam, namun menyimpang dari jalan As-Salafush-Shaalih.
Jika demikian, apakah dapat dibenarkan untuk dikatakan semua Muslim adalah Salafiy? Termasuk di dalamnya kelompok-kelompok sempalan/Ahli Bid’ah yang menggembosi Islam dari dalam? Tentu saja tidak.
Adz-Dzahabiy rahimahullah ketika menyebutkan biografi para ulama Ahlus-Sunnah yang kuat ittiba’-nya kepada As-Salafush-Shaalih, menyifatinya dengan Salafiy. Di antaranya, ketika menyifati Ad-Daaraquthniy rahimahullah:

لم يدخل الرجل أبدا في علم الكلام ولا الجدال، ولا خاض في ذلك، بل كان سلفيا

“Ia (Ad-Daaraquthniy) tidak masuk sama sekali dalam ilmu kalam dan jidal (perdebatan), serta tidak pula mendalaminya. Bahkan ia seorang salafy” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 16/457].
Juga Abul-‘Abbas Ahmad bin Al-Muhaddits Al-Faqiih Majduddiin ‘Isaa bin Al-Imaam Al-‘Allamah Muwaffaquddiin ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah:

وكان ثقة ثبتا، ذكيا، سلفيا، تقيا، ذا ورع وتقوى

“Ia seorang yang tsiqah (terpercaya), tsabt, pandai, Salafiy, hati-hati, punya sifat wara’ dan taqwa…” [Idem, 23/118].
Sebaliknya, ketika menyebut orang-orang yang manhaj atau ‘akidahnyanya ‘bermasalah’, Adz-Dzahabiy rahimahullah menyifati mereka dengan kebid’ahannya. Misalnya, Ibraahiim bin Abi Yahyaa Al-Aslamiy Al-Madaniy:

قدري، معتزلي، يروى أحاديث ليس لها أصل. وقال البخاري: تركه ابن المبارك والناس. وقال البخاري أيضا: كان يرى القدر، وكان جهميا.

“Qadariy, mu’taziliy. Ia meriwayatkan hadis-hadis yang tidak ada asalnya. Al-Bukhaariy berkata: ‘Ibnul-Mubaarak dan orang-orang meninggalkannya’. Al-Bukhaariy juga berkata: ‘Ia memiliki pandangan Qadariyyah, seorang jahmiy” [Miizaanul-I’tidaal, 1/57-58 no. 189].
Ibraahiim bin Thahmaan:

ثقة متقن من رجال الصحيحين، وكان مرجئاً

“Tsiqah, mutqin, termasuk perawi kitab Ash-Shahiihain, namun ia seorang Murji’ (memiliki pemikiran Murji’ah)” [Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat Al-Mutakallamu fiihim, hal. 35 no. 1].
Al-Hasan bin Shaalih bin Hay:

مع جلالة الحسن وامامته كان فيه خارجية.

“Bersamaan dengan keagungan dan keimaman Al-Hasan, namun padanya ada pemikiran Khawaarij (Khaarijiyyah)” [Tadzkiratul-Huffadh, 1/217].
Jadi, apakah kita pikir paham Raafidlah, Khawaarij, Qadariyyah, Murji’ah, dan yang lainnya itu telah punah di dunia saat ini? Jawabannya: Tidak. Malah mereka telah bermutasi dengan berbagai nama, sehingga hakikatnya menjadi samar dari kejauhan.
Di antaranya Khawaarij pada hari ini berada di bawah bendera ISIS, yang menghalalkan darah kaum Muslimin di berbagai penjuru negeri, dari Timur sampai Barat. Mereka Muslim,…. tapi apakah mereka Salafi?. Kalau Anda mengatakan Salafi; mohon maaf, saya jelas tidak sependapat.
Apabila slogan semua Muslim adalah Salafi dimaksudkan sebagai ajakan liberalisasi Salafi/ahlus-sunnah dengan menyatukan semua kelompok Islam, tak peduli benar atau salahnya ‘akidah dan manhaj mereka dalam baju Salafiy; tentu ini menyalahi kaidah. Tidak mungkin dua hal yang berlawanan untuk disatukan: Sunnah dengan Bid’ah, Salafi/Ahlus-Sunnah dengan Ahli Bid’ah.
Di sini poin pentingnya.
Tafsir Alquran ala Ustadz Adi Hidayat hafizohullah (Bagian Kedua)
​Menafsirkan Alquran tentu harus berhati-hati, berusaha merujuk kepada tafsiran para Salaf. Apalagi kalau mengaku bermanhaj Salaf. Terlebih lagi kalau menimbulkan penafsiran model baru dengan model Tafsir Majaz (Kiasan) dan meninggalkan dzohir (tekstual) ayat, lalu menyalahkan tafsir yang sudah dikenal oleh Salaf dan kaum Muslimin.
Saya rasa hampir seluruh kaum Muslimin di dunia ini, termasuk juga di Indonesia, menafsirkan atau menerjemahkan firman Allah “Ihdinash-Shiraathal-Mustaqiim” dengan “Tunjukanlah kami kepada jalan yang lurus”.
Namun ternyata terjemah/tafsir yang selama ini diyakini oleh kaum Muslimin dinilai salah oleh al-Ustadz Adi Hidayat!!?
Ustadz Adi Hidayat dalam video yang berjudul CARA AMPUH BERDOA KETIKA SHALAT AGAR CEPAT DIKABULKAN (link: https://youtu.be/oaizDNHxRf4 ), saat menjelaskan tempat dikabulkannya doa saat berdiri shalat, dengan membawakan hadis Abu Hurairah, berkata (mulai menit 06:17):
“Perhatikan, karena itulah saat berdiri diberikan oleh Allah satu tawaran, kalau dibacakan diberikan apa yang dibutuhkan. Mau nggak? Itulah Ihdinash-shiraathal-mustaqiim. Tunjukkan kami ya Allah, solusi terbaik dari masalah yang kami miliki. Maaf, Ihdinash-shiraathal-mustaqiim itu arti yang tepat bukan ‘Tunjukkan kami pada jalan yang lurus’. Itu bahasa kiasan. Ga pakai oo.. bu. Itu bahasa kiasan. Ihdinaa dari kata hudan, hidayah, itu solusi dari persoalan yang dihadapi. Jadi punya masalah apapun ya Allah, solusinya tolong berikan. Ash-shiraathal-mustaqiim itu kata kiasan. Majaz dalam bahasa Arab. Yang mudah tidak sulit prosesnya. Jadi berikan solusinya, tapi mudah. Jadi ketika kita minta dalam shalat, itu minta ya Allah, saya punya masalah, tolong berikan. Diberikan oleh Allah satu bacaan. Dibaca. Jadi yang punya masalah di rumah tangga, diberikan solusinya. Yang punya masalah di pekerjaan, diberikan solusinya. Dan itu bukan biasa………”
Kesimpulan tafsir ustadz Adi Hidayat:

  • – Arti “Ihdinas shirothol mustaqim” dengan “Tunjukanlah kami jalan yang lurus” ternyata salah.
  • – Arti tersebut salah, karena diterjemahkan secara tekstual. Padahal menurut ustadz Adi Hidayat susunan “Ihdinas shirothol mustaqim” adalah susunan majaz/kiasan (tidak sesuai dzohir tekstualnya)
  • – Yang benar “Tunjukanlah kami solusi terbaik dari masalah yang kami hadapi.

Adapun tafsir “Ihdinas shirothol mustaqim” menurut ahli tafsir adalah: “Tunjukanlah/anugerahkanlah/ilhamkanlah/bimbinglah/berilah kepada kami jalan yang lurus”.
Dan As-shirot al-mustaqim menurut tafsir para ahli tafsir ada beberapa tafirasan yaitu:

  • Kitabullah,
  • Tali Allah yang sangat kuat,
  • Islam,
  • Agama Allah,
  • Kebenaran, serta
  • Nabi ﷺ dan kedua sahabatnya: Abu Bakr dan ‘Umar

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata (tentang tafsir “Ihdina”):

والهداية هاهنا: الإرشاد والتوفيق، وقد تعدى الهداية بنفسها كما هنا (1) { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ } فتضمن معنى ألهمنا، أو وفقنا، أو ارزقنا، أو اعطنا

“Dan Al-Hidayah di sini maksudnya adalah bimbingan dan taufik. Kadang kata Al-Hidayah dimuta’addikan dengan dirinya sebagaimana ayat ini ‘Ihdinash-shiraathal-mustaqiim’; sehingga mengandung pengertian “ilhamkanlah kepada kami”, “Bimbinglah kami”, “Anugerahkanlah kami”, dan “Berikanlah kepada kami”
Beliau juga berkata (tentang tafsir As-shirot al-mustaqim):

وأما الصراط المستقيم، فقال الإمام أبو جعفر بن جرير: أجمعت الأمة من أهل التأويل جميعًا على أن “الصراط المستقيم” هو الطريق الواضح الذي لا اعوجاج فيه.

Adapun ‘Ash-shiraathul-mustaqiim’, Al-Imaam Abu Ja’far bin Jariir berkata: Umat Islam dari kalangan pakar ta’wiil (mufassiriin) telah SEPAKAT, bahwa ‘Ash-shiraathul-mustaqiim’ maknanya adalah jalan yang jelas, yang tidak ada kebengkokan padanya” [Tafsiir Ibni Katsiir 1/137].
Setelah menurunkan ragam pendapat mufassirin tentang makna Ash-shiraath al-mustaqiim (Kitabullah, tali Allah yang sangat kuat, Islam, agama Allah, kebenaran, serta Nabi ﷺ dan kedua sahabatnya: Abu Bakr dan ‘Umar), Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:

وكل هذه الأقوال صحيحة، وهي متلازمة، فإن من اتبع النبي صلى الله عليه وسلم، واقتدى باللذين من بعده أبي بكر وعمر، فقد اتبع الحق، ومن اتبع الحق فقد اتبع الإسلام، ومن اتبع الإسلام فقد اتبع القرآن، وهو كتاب الله وحبله المتين، وصراطه المستقيم، فكلها صحيحة يصدق بعضها بعضا، ولله الحمد.

“Semua perkataan/penafsiran ini adalah benar, yaitu saling menguatkan. Karena, barang siapa yang mengikuti (ittiba’) Nabi ﷺ, meneladani orang-orang sepeninggal beliau, yaitu Abu Bakr dan ‘Umar, sungguh ia telah mengikuti kebenaran. Barang siapa yang mengikuti kebenaran, sungguh ia telah mengikuti Islam. Barang siapa yang mengikuti Islam, sungguh ia telah mengikuti Alquran, yaitu Kitabullah, tali-Nya yang sangat kuat, dan jalan-Nya yang lurus. Semuanya penafsiran itu benar dan membenarkan yang lain. Walillaahil-hamd”
Terdapat hadis marfuu’ dari Nabi ﷺ yang menjelaskan makna Ash-shiraathul-mustaqiim:

عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ الْكِلَابِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: ” إِنَّ اللَّهَ ضَرَبَ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا عَلَى كَنَفَيِ الصِّرَاطِ دَارَانِ لَهُمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ، عَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ، وَدَاعٍ يَدْعُو عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ، وَدَاعٍ يَدْعُو فَوْقَهُ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ، وَالْأَبْوَابُ الَّتِي عَلَى كَنَفَيِ الصِّرَاطِ حُدُودُ اللَّهِ، فَلَا يَقَعُ أَحَدٌ فِي حُدُودِ اللَّهِ حَتَّى يُكْشَفَ السِّتْرُ، وَالَّذِي يَدْعُو مِنْ فَوْقِهِ وَاعِظُ رَبِّهِ “

Dari An-Nawwaas bin Sam’aan Al-Kilaabiy, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah ﷺ:
“Sesungguhnya Allah ta’ala telah membuat perumpamaan Ash-shiraathul-mustaqiim dengan Shirath yang di sampingnya ada dua tembok yang memunyai pintu terbuka. Di setiap pintu terdapat tirai, penyeru yang menyeru di tengah Shiraath, dan penyeru yang menyeru di atasnya (penyeru pertama). ‘Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (Surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)’ (QS. Yuunus: 25). Pintu-pintu yang berada di samping Shiraath adalah batasan-batasan (larangan-larangan) Allah. Tidak ada seorang pun yang jatuh kepada larangan Allah, hingga ia menyingkap tirainya. Penyeru yang berada di atasnya adalah penasihat (ilham) dari Rabbnya”
Dalam riwayat lain dirinci:

وَالصِّرَاطُ الْإِسْلَامُ، وَالسُّورَانِ حُدُودُ اللَّهِ، وَالْأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ مَحَارِمُ اللَّهِ، وَذَلِكَ الدَّاعِي عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالدَّاعِي من فَوْقَ الصِّرَاطِ وَاعِظُ اللَّهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ

“Dan Shiraath tersebut adalah Islam, kedua tembok/dinding adalah batasan-batasan (larangan-larangan) Allah, pintu-pintu yang terbuka adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Penyeru yang berada di tengah Shiraath adalah Kitabullah ‘azza wa jalla, sedangkan penyeru yang berada di atas Shiraath adalah penasihat Allah (ilham), yang berada di hati setiap Muslim” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2859, Ahmad 4/182 & 183, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 18-19, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/141].

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: ” خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: ” هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ “، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: ” هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ: مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ “، ثُمَّ قَرَأَ: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata: “Rasulullah ﷺ pernah menggambar untuk kami sebuah garis (di tanah), lalu bersabda: “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggambar banyak garis di kanan dan kiri garis tersebut, kemudian bersabda: “Ini adalah jalan-jalan yang lain, di mana setiap jalan tersebut ada setan yang menyeru pada jalan tersebut”. Kemudian beliau membaca ayat: ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya’ (QS. Al-An’aam: 153)” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/435; sanadnya Hasan].
‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu sendiri menafsirkan Ash-shiraathul-mustaqiim dengan perkataannya:

الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ، قَالَ: هُوَ كِتَابُ اللَّهِ

“Makna ‘Ash-shiraathul-mustaqiim’ adalah Kitabullah” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 2/258, dan ia menshahihkannya].
‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, salah seorang pakar tafsir di kalangan sahabat, menjelaskan:

هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَصَاحِبَاهُ “، قَالَ: فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلْحَسَنِ، فَقَالَ: ” صَدَقَ وَاللَّهِ وَنَصَحَ وَاللَّهِ هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا “

“Ash-shiraathul-mustaqiim adalah Rasulullah ﷺ dan dua orang sahabatnya”. Perawi berkata: Maka kami menyebutkan hal itu kepada Al-Hasan, lalu ia berkata: “Ia benar. Demi Allah, ia telah memberikan nasihat, demi Allah. (Ash-shiraathul-mustaqiim) adalah Rasulullah ﷺ, Abu Bakr, dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak, 2/259; dan ia menshahihkannya].
Rasulullah ﷺ merupakan Ash-Shiraathul-Mustaqiim (Jalan yang lurus), karena Allah ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzaab: 21].
Begitu juga dengan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, karena Nabi ﷺ sendiri yang memerintahkan para sahabat, (dan kita pada umumnya), untuk meneladani Abu Bakr dan ‘Umar sepeninggal beliau ﷺ:

اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ

“Mencontohlah kepada dua orang setelahku: Abu Bakr dan ‘Umar” [lihat: Silsilah Ash-Shahiihah no. 1233].
Jadi, jika penafsiran-penafsiran yang didasarkan oleh riwayat/atsar dan perkataan as-Salafush-shaalih di atas dikatakan tidak tepat karena hanya kiasan saja, apakah kita harus membenarkan penafsiran Ustadz Adi Hidayat di atas? Yaitu: berikanlah kami ya Allah solusi yang mudah atas persoalan kami? Apakah kita mesti meninggalkan hadis, atsar sahabat dan ijmaa’ mufassiriin (sebagaimana ditegaskan Ibnu Katsiir) untuk mengikuti tafsir majaz/kiasan ala Ustadz Adi Hidayat?
Metode penafsiran tanpa membawakan penjelasan ulama tentu sangat disayangkan, bagi sekelas Ustadz Adi Hidayat – yang saya yakin sangat mampu untuk membawakannya (berikut judul, juz, halaman, dan letak baris kalimatnya) – karena rawan kesalahan.
Ingat pesan Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah:

إيَّاكَ أنْ تتكلمَ في مسألةٍ ليسَ لكَ فيها إمامٌ

“Berhati-hatilah berkata dalam satu permasalahan yang engkau tidak memiliki pendahulunya” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 11/296].
 
 
Catatan Kaki
 
[1]  Pertama, karena itu merupakan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Sama seperti ketika Anda ditanya: ‘Apa pandangan Anda tentang Ayam Bakar Wong Solo?’ Tentu Anda bebas menjawab sesuai pandangan Anda. Enak, tidak enak, tidak tahu, atau bahkan tidak menjawab sama sekali.
Kedua, jawaban tersebut sifatnya tertutup untuk anggota grup, khususnya yang bertanya. Hanya saja, karena kurangnya sifat amanah sebagian anggota grup, rekaman jawaban itu pun menyebar keluar (padahal sudah dipesan untuk tidak disebarkan). Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Alloh dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” [QS. Al-Anfaal: 27].
Inilah adab yang banyak dilupakan oleh banyak anggota grup media sosial yang sifatnya tertutup (WA, path, dll.). Nabi ﷺ bersabda:

أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

“Tunaikanlah amanah pada orang yang memberikan amanah kepadamu, dan jangan khianati orang yang telah mengkhianatimu” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1264, Abu Daawud no. 3535, Ad-Daarimiy no. 2600, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 1831-1832, dan yang lainnya; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 423].

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: Jika berbicara berdusta, jika berjanji tidak menepati, dan jika dipercaya dia berkhianat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 33 & 2682 & 2749 & 6095, Muslim no. 59, At-Tirmidziy no. 2631, dan yang lainnya].
[2] Itulah yang dilakukan para ulama zaman ke zaman. Bukan hanya dilakukan oleh ‘duaat Rodja’ saja (sebenarnya saya tidak nyaman menggunakan frasa ini). Bahkan (sebaliknya), yang mentahdzir ‘duaat Rodja’, ‘pendengar Rodja’, Salafi, Wahabi, dan yang semisalnya; banyak, dan lebih banyak. Termasuk di antaranya yang menggoreng masalah ini…. Gak percaya?
Tentang tahdzir,….. dulu, ‘Aliy bin Abi Khaalid pernah menceritakan kepada Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah tentang seorang syaikh yang duduk bermajelis dengan Al-Haarits Al-Muhaasibiy (Mubtadi’). Syaikh tersebut telah dinasihati agar tidak bermajelis dengannya, namun tetap saja ia bermajelis dengannya. ‘Aliy bin Abi Khaalid berkata:

فرأيت أَحْمَد قد أحمر لونه، وانتفخت أوداجه وعيناه، وما رأيته هكذا قط، ثم جعل ينفض، ويقول: ذاك؟ فعل اللَّه به وفعل، ليس يعرف ذاك إلا من خبره وعرفه، أويه، أويه، أويه، ذاك لا يعرفه إلا من خبره، وعرفه، ذاك جالسه المغازلي، ويعقوب، وفلان، فأخرجهم إلى رأي جهم، هلكوا بسببه،

فقال الشيخ: يا أبا عَبْد اللَّه، يروي الحديث، ساكن خاشع، من قصته، ومن قصته؟ فغضب أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، وجعل يقول: لا يغرك خشوعه ولينه، ويقول لا يغتر بتنكيس رأسه، فإنه رجل سوء، ذاك لا يعرفه، إلا من قد خبره، لا تكلمه، ولا كرامة له، كل من حدث بأحاديث رَسُول اللَّهِ ﷺ وكان مبتدعا، تجلس إليه؟ لا، ولا كرامة، ولا نعمى عين

Maka aku melihat wajah Ahmad memerah, serta urat leher dan kedua matanya menjadi membesar (karena menahan amarah). Aku belum pernah melihatnya seperti ini sebelumnya sama sekali. Setelah mereda, beliau rahimahullah berkata: “Orang itu (Al-Haarits)? Semoga Allah menimpakan sesuatu kepadanya. Tidak ada orang yang mengenalnya kecuali orang yang tahu dan kenal dengannya. Ah…ah…ah… Orang itu, …. tidak ada yang mengenalnya kecuali orang yang tahu dan kenal dengannya. Al-Maghaazaliy, Ya’quub, dan Fulaan telah bermajelis dengannya, lalu ia (Al-Haarits) menjerumuskan mereka kepada pemikiran Jahm (bin Shafwaan), hingga mereka binasa dengan sebab dirinya”.
Maka syaikh itu berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah, ia (Al-Haarits) meriwayatkan hadis, tenang, lagi khusyu’. Dan ceritanya begini dan begitu”. Abu ‘Abdillah marah dan berkata: “Jangan engkau tertipu dengan kekhusyukan dan kelembutannya. Jangan engkau tertipu dengan kepalanya yang tertunduk, karena ia adalah orang yang jelek. Tidak ada orang yang mengenalnya, kecuali orang yang tahu tentangnya. Jangan engkau berbicara dengannya. Tidak ada kemuliaan padanya. Apakah semua orang yang berbicara tentang hadis-hadis Rasulullah ﷺ, sementara ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah), boleh untuk bermajelis dengannya? Tidak, tidak ada kemuliaan padanya. Kita tidak boleh membutakan mata kita (terhadap hal itu)” [Thabaaqatul-Hanaabilah, 2/149-150].
Beberapa pelajaran dari kisah di atas:

  1. Hakikat kesalahan/kesesatan seseorang seringkali hanya diketahui oleh orang-orang tertentu yang telah mengenalinya.
  2. Tahdzir dilakukan para ulama terhadap Ahli Bid’ah dan/atau pelaku penyimpangan dalam rangka menjaga agama dan kaum Muslimin.
  3. Nasihat untuk tidak bermajelis dengan Ahli Bid’ah dan/atau pelaku penyimpangan, karena dapat menjerumuskan dalam kesesatan/penyimpangannya tanpa disadari.
  4. Sebagian manusia terkelabuhi oleh ilmu yang disampaikan Ahli Bid’ah dan/atau pelaku penyimpangan dan akhlak yang nampak darinya, sehingga kesesatan/penyimpangannya menjadi samar.
  5. Anjuran untuk bertanya kepada ahli ilmu terkait permasalahan agama yang ia hadapi.

Wallaahu a’lam.
[3]  Mungkin ini keseleo lidah (slip of tongue), karena yang dikatakan tersebut adalah aliran Jabriyah sebagai lawan dari Qadariyyah. Mereka (Jabriyyah) berkata: Sesungguhnya para hamba dipaksa dalam perbuatan-perbuatan mereka, dan mereka tidak memunyai pilihan. Apabila suatu perbuatan disandarkan kepada makhluk, maka itu hanyalah Majaziy saja, karena yang berbuat secara hakiki adalah Allah. Hamba tidak ubahnya seperti kayu yang hanyut di air, atau daun yang tertiup angin.
Adapun Qadariyyah, maka mereka menafikan takdir dengan berbagai tingkatannya.

قِيلَ لابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: إِنَّ قَوْمًا يَقُولُونَ: لا قَدَرَ، قَالَ: فَقَالَ: أُولَئِكَ الْقَدَرِيُّونَ أُولَئِكَ مَجُوسُ هَذِهِ الأُمَّةِ

Dikatakan kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu: “Sesungguhnya ada satu kaum yang mengatakan: ‘Tidak ada qadar”. Maka ia (Ibnu ‘Umar) berkata: “Mereka adalah Qadariyyah. Mereka adalah Majusinya umat ini” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 958 dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 1517].
[4] Yaitu, beriman bahwa Allah ta’ala mengetahui segala sesuatu yang ada maupun yang tidak ada; yang mungkin maupun yang tidak mungkin (mustahil); yang telah terjadi, sedang terjadi, dan yang belum terjadi; serta mengetahui bagaimana terjadinya. Dalilnya diantaranya adalah firman Allah ta’ala:

لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

“Agar kamu mengetahui, bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu” [QS. Ath-Thalaq: 12].
[5] Yaitu beriman, bahwa Allah ta’ala telah menuliskan segala sesuatu di sisi-Nya, di Lauh Mahfuudh, 50.000 tahun sebelum Allah ta’ala menciptakan langit dan bumi. Maka tidak ada sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi luput dari Lauh Mahfuudh.
Allah ta’ala berfirman:

وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ * وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُسْتَطَرٌ

“Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis” [QS. Al-Qamar: 52-53].
[6] Yaitu beriman bahwa segala sesuatu yang ada hanya terjadi dengan keinginan dan kehendak Allah ta’ala. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan apa yang telah dikehendaki Allah. Apa yang dikehendaki Allah ta’ala pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki Allah ta’ala tidak akan terjadi.
[7] Yaitu, beriman bahwa Allah ta’ala adalah Pencipta segala sesuatu, baik dzat maupun perbuatannya; semua yang bergerak dan gerakannya; serta yang ada, yang pernah ada, maupun yang belum ada. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi, kecuali Allah ta’ala adalah Penciptanya.
[8] Juga diriwayatkan dari ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz radliyallaahu ‘anhu.

عَنْ مَالِك، عَنْ عَمِّهِ أَبِي سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ أَسِيرُ مَعَ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، فَقَالَ: ” مَا رَأْيُكَ فِي هَؤُلَاءِ الْقَدَرِيَّةِ ؟ فَقُلْتُ: رَأْيِي أَنْ تَسْتَتِيبَهُمْ فَإِنْ تَابُوا وَإِلَّا عَرَضْتَهُمْ عَلَى السَّيْفِ، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: ” وَذَلِكَ رَأْيِي “. قَالَ مَالِك: وَذَلِكَ رَأْيِي

Dari Maalik, dari pamannya yaitu Abu Suhail bin Maalik, ia berkata: Aku pernah berjalan bersama ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, lalu ia bertanya: “Apa pendapatmu tentang orang-orang Qadariyah?” Aku menjawab: “Menurutku, engkau mesti meminta mereka untuk bertaubat. Jika mereka bertaubat, maka diterima. Namun jika tidak mau bertaubat, maka engkau bunuh mereka dengan pedang”. ‘Umar bin ‘Abdil-‘Azii berkata: “Itu juga pendapatku”. Maka Maalik (bin Anas – perawi riwayat ini) berkata: “Dan itu juga pendapatku” [Al-Muwaththa’].
 
Sumber:
http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2017/03/sebuah-masukan-1.html?m=1
http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2017/04/masukan-untuk-ah-hafizohullah.html