بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ

 
#MuslimahSholihah
ROMANSA NABAWIYYAH: MEMETIK PELAJARAN BERHARGA DARI ROMANTISME NABI MUHAMMAD DALAM BERUMAH TANGGA
Sesungguhnya siapa pun yang memerhatikan serta merenungi kisah perjalanan hidup sang manusia terbaik, Nabi kita Muhammad ﷺ, akan mendapati kemuliaan akhlak, tabiat, budi pekerti serta jiwa yang luhur. Maha Benar Allah azza wa jalla yang telah berfirman:

﴿ وإنك لعلى خلق عظيم ﴾ [القلم: ٤]

“Dan sesungguhnya engkau /(Muhammad) benar-benar di atas budi pekerti yang agung.”
Allah ﷻ juga berfirman menghasung hamba-hamba-Nya untuk menjadikan Nabi Muhammad ﷺ sebagai suri teladan bagi mereka dalam seluruh aspek kehidupan:

﴿ لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله و اليوم الآخر و ذكر الله كثيرا ﴾ [ الأحزاب: ٢١ ]

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (Yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah.”
Tatkala Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘‘anha ditanya tentang akhlak beliau ﷺ, maka Aisyah menjawab:

《 خُلُقه القرآن 》

“Akhlak beliau ﷺ adalah Alquran.”
Pada kesempatan ini kita akan membahas sisi kehidupan beliau ﷺ sebagai sosok lelaki gagah, penuh kasih, lembut, serta romantis.
Tak perlu kita mengagumi romantisme dari kisah cinta kufur Romeo dan Juliet. Tidak perlu pula untuk memelajarinya dari kisah cinta fasik antara Rangga dan Cinta. Jauh sebelum kisah-kisah roman picisan tersebut dimunculkan, romantisme Nabawiyyah telah lebih dulu ada.
Islam dengan kesempurnaan ajarannya telah mengajarkan kepada umatnya melalui manusia terbaik sang pembawa risalah, Nabi kita Muhammad ﷺ berupa romantisme beretika, yang terbangun dalam sebuah ikatan suci pernikahan. Bukan di atas perzinahan pacaran.
Sangat disayangkan, ketika hati seorang Muslim justru terdecak kagum menyaksikan budaya romantisme Barat, di mana seorang lelaki menyemprotkan pengharum nafas ke dalam mulutnya, tepat sebelum dia berkunjung menemui kekasih pujaan hatinya.
Sementara dia tidak mengetahui, bahwa romantisme Nabawiyyah telah mengajarkan kepada para suami, jauh sebelum peradaban Barat muncul, bahwa bersiwak / membersihkan gigi dan mulut, setiap kali hendak memasuki pintu rumah, kembali pulang ke dalam dekapan istri tercinta, adalah perkara yang disunnahkan untuk dilakukan.
Aisyah radiallahu ‘anha ditanya tentang adat kebiasaan Rasulullah ﷺ tiap kali beliau ﷺ pulang sebelum memasuki pintu rumah:

《 بأي شيء كان يبدأ النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل بيته ؟ قالت: بالسواك 》

”Dengan apakah dahulu Nabi ﷺ mengawali apabila beliau ﷺ hendak memasuki rumah? Maka Aisyah menjawab: Dengan siwak“ (HR. Muslim)
Yang demikian itu menunjukkan kepada kita, betapa agungnya romantisme beliau ﷺ yang senantiasa berusaha tampil sebersih dan sewangi mungkin di hadapan sang istri, sehingga cinta kasih, hasrat dan keintiman di antara suami dan istri akan senantiasa terjaga.
Maka sudah sepatutnya bagi para suami untuk berusaha merealisasikan penerapan Rasulullah ﷺ dengan menjaga kebersihan, kerapian, serta penampilan di hadapan sang istri, terlebih lagi di waktu-waktu yang intim.
Sangat disayangkan ketika hati seorang Muslim justru terdecak kagum, menyaksikan budaya romantisme Barat, di mana seorang lelaki menyuapkan sesuap makanan ke mulut istrinya.
Dan dia tidak mengetahui romantisme Nabawiyyah yang telah mengajarkan kepada para suami, jauh sebelum peradaban Barat muncul, bahwa sedekah terbaik adalah sesuap makanan yang dia suapkan ke mulut istrinya. Rasulullah ﷺ bersabda:

《 إنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت عليها، حتى ما تجعل في في امرأتك 》

“Sesungguhnya tidaklah engkau memberi sebuah nafkah yang engkau mengharapkan wajah Allah dengan itu, kecuali engkau diberi pahala atas itu. Bahkan apa yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu.” (HR. Muttafaqun alaih)
Puncak romantisme Nabawiyyah beliau ﷺ tunjukkan dalam suatu kesempatan, dengan meminum dari gelas pada bekas mulut sang istri tercinta. Aisyah radhiallahu ‘anha berkisah:

《 كنت أشرب وأنا حائض ثم أناوله النبي صلى الله عليه وسلم فيضع فاه على موضع في فيشرب وأتعرق العرق وأنا حائض ثم أناوله النبي صلى الله عليه وسلم فيضع فاه على موضع في 》

“Suatu waktu aku sedang minum, sementara kala itu aku sedang mengalami haid, dan dalam keadaan berkeringat. Aku pun kemudian memberikan minuman tersebut kepada Nabi ﷺ. Maka beliau ﷺ pun meletakkan mulutnya di tempat bekas mulutku, kemudian beliau ﷺ meminumnya.” (HR. Muslim)
Duhai, betapa manis dan indahnya romantisme Nabawiyyah yang beliau ﷺ ajarkan. Walaupun sang istri berada dalam keadaan haid dan berkeringat, belum sempat mandi dan berdandan, namun itu semua tak menghalangi beliau ﷺ  sedikit pun untuk mengekspresikan wujud asmara cinta kasih beliau ﷺ kepada sang istri di setiap waktu.
Hal tersebut menunjukkan kepada kita, akan pentingnya bagi suami untuk mengekspresikan rasa cinta kepada sang istri, dengan tindakan-tindakan romantis yang dapat menggetarkan perasaan hati sang istri. Di mana yang demikian itu merupakan salah satu dari sekian kunci utama untuk menjaga kelanggengan jalinan asmara antara suami dan istri.
Sangat disayangkan ketika seorang Muslim terdecak kagum menyaksikan romantisme Barat, di mana adat mereka adalah saling menghadiahkan sekuntum bunga kepada seseorang yang dikasihinya. Sementara romantisme Nabawiyyah justru telah lama menghasung atas yang demikian itu, sebagaimana dalam hadis Abu Hurairah:

《 من عرض عليه ريحان فلا يرده فانه خفيف المحمل طيب الريح 》

“Barang siapa yang diberi sekuntum bunga, maka janganlah dia menolaknya. Karena sesungguhnya itu adalah sesuatu yang ringan dibawa, lagi memiliki bau yang harum.” (HR. Muslim)
Beliau ﷺ juga berkata:

《 تهادوا تحابوا 》

“Saling memberi hadiahlah kalian, sehingga kalian akan saling mencintai.” (HR. Al-Bukhori dalam Adabul Mufrod)
Maka dari itu, tidak ada salahnya bagi seorang suami untuk sesering mungkin menghadiahkan bunga-bunga segar nan harum kepada istri tercinta, sang pendamping hidup dalam suka dan duka, agar ikatan pernikahan dan hasrat percintaan antar suami istri kembali merah merekah.
Romantisme Nabawiyyah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa mengisi lembaran kehidupan berumah tangga dengan penuh kasih sayang, cinta dan gairah dalam berbagai keadaan. Bahkan tatkala sedang dalam keadaan menjalankan ibadah puasa, sama saja, baik itu puasa wajib ataupun Sunnah, dibolehkan bagi seseorang yang memiliki kemampuan dalam mengendalikan hawa nafsunya untuk berhenti dalam batasan-batasan, yang mana melampauinya dapat menyebabkan terbatalkannya puasa seseorang. Dibolehkan bagi seseorang yang mampu memenuhi syarat tersebut, untuk menciumi dan mencumbu istrinya dengan tanpa melakukan jima’ / intercourse atau mengalami klimaks. Diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu ‘anha:

《 أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقبلني وهو صائم 》

“Dahulu Rasulullah ﷺ menciumiku dalam keadaan beliau ﷺ sedang berpuasa.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain:

《 أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يباشر وهو صائم 》

“Dahulu Rasulullah ﷺ mencumbuku dalam keadaan beliau ﷺ sedang berpuasa.” (HR. Muslim)
Kemudian Aisyah berkata, menjelaskan:

《 وكان أملككم لإربه 》

“Dan beliau ﷺ adalah orang yang paling dapat menguasai / mengendalikan anggota tubuhnya (tidak melampaui batasan yang dapat membatalkan puasa).”
Begitu pula tatkala sang istri sedang berhalangan karena sebab datangnya tamu bulanan, keromantisan serta gairah kehidupan berumah tangga tetaplah harus terjaga. Lihatlah bagaimana Islam begitu memuliakan kedudukan seorang wanita. Sangat berbeda dengan kaum Yahudi yang menganggap, bahwa seorang wanita yang mengalami haid adalah wanita yang menjijikkan lagi kotor, sehingga harus dijauhi dan diasingkan di luar rumah, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Anas bin Malik:

أن اليهود كانوا إذا حاضت المرأة لم يؤاكلوها فقال النبي صلى الله عليه وسلم: 《 اصنعوا كل شيء إلا نكاح 》

“Bahwasanya kaum Yahudi dahulu, apabila wanita mereka mengalami haid, maka mereka tidak makan bersama para wanita mereka. Maka Nabi ﷺ pun bersabda:《 Lakukanlah (bersama para istri kalian yang sedang mengalami haid) apapun itu, kecuali nikah (intercourse / penetrasi)》(HR. Muslim)
Tatkala ucapan Rasulullah ﷺ di atas sampai kepada kaum Yahudi Madinah, maka mereka pun marah seraya berkata:

ما يريد هذا الرجل أن يدع من أمرنا شيئا إلا خالفنا فيه

“Lelaki tersebut (Rasulullah) tidaklah ingin untuk membiarkan urusan kita sedikit pun, kecuali dia selalu menyelisihi kita.”
Berbeda pula dengan kaum Nasrani (Kristen dan Katolik) yang tidak memiliki batasan sama sekali dalam amalan-amalan mereka. Dalam ajaran mereka tidak ada batasan tertentu mengenai adab berhubungan dengan seorang istri yang sedang mengalami haid. Oleh sebab itulah mereka kerap menggauli istri-istri mereka pada kemaluan, walaupun dalam keadaan haid. Naudzubillah min dzalik.
Maka datanglah cahaya Islam yang sempurna ini, mengajarkan tentang segala aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh manusia, mulai dari tata cara bersuci, tata cara mandi, tata cara membersihkan mulut, tata cara berpakaian, tata cara bercebok dan yang selain daripada itu. Tidak terluputkan juga perkara yang begitu asasi dalam kehidupan manusiawi sehari-hari, yaitu hubungan suami istri. Islam dengan syariatnya yang adil dan pertengahan telah menjelaskan adab tentang perkara tersebut melalui penerapan Rasulullah ﷺ dalam mencontohkan adab berhubungan dengan istri, ketika sang istri sedang mengalami haid, sebagaimana yang dikisahkan oleh Aisyah radhyallahu ‘anha:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرني فأتزر فيباشرني و أنا حائض

“Dahulu Rasulullah ﷺ memerintahku (mengajak berhubungan badan dalam keadaan aku sedang mengalami haid). Maka aku pun mengenakan sarung. Maka kemudian beliau ﷺ pun menggauliku dalam keadaan aku sedang mengalami haid.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Sangat disayangkan ketika seorang Muslim terdecak kagum menyaksikan romantisme Barat, tatkala seorang lelaki membukakan pintu mobil atau pintu rumah untuk seorang yang dikasihinya. Sementara romantisme Nabawiyyah justru telah lama mengajarkan ketinggian cita rasa serta jiwa kesatria seorang lelaki. Lihatlah apa yang telah dilakukan oleh sang manusia terbaik Nabi kita Muhammad ﷺ selepas Perang Khoibar, tatkala beliau ﷺ dan bala tentaranya hendak kembali pulang menuju Madinah.
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يحوي لها وراءه بعباءة، ثم يجلس عند بعيره، فيضع ركبته، وتضع صفية رجلها على ركبته حتى تركب.

“Aku menyaksikan Nabi ﷺ sedang memersiapkan kain sebagai alas pelana di belakang (pelana) beliau ﷺ, kemudian beliau ﷺ pun duduk di sisi unta tunggangan beliau ﷺ dan membentangkan lututnya. Kemudian Sofiyyah (istri beliau ﷺ) pun meletakkan kakinya di atas lutut beliau ﷺ, agar dapat menaiki unta tunggangan tersebut (dibonceng oleh beliau ﷺ).” (HR. Al-Bukhari)
Tergambarkankah di benak kita akan “Mauqif” / momen kejadian tersebut ?! Subhanalloh, betapa mulianya jiwa seorang Rasulullah ﷺ, seorang panglima perang yang gagah perkasa, jantan lagi kesatria.
Jika seperti itu sikap romantis, kelembutan, dan kasih sayang kepada sang kekasih hati beliau ﷺ terapkan di medan perang di hadapan para sahabat, maka bagaimanakah penerapan beliau ﷺ di dalam rumah?!

وصلى الله وسلم على محمد و على آله وصحبه أجمعين

 
[Masih Bersambung Lagi]
 

Penulis: Abu Usamah Adam bin Sholih bin Ubaid Al-Bajani
Darul Hadits Al-Fiyusy, Lahj / Yaman
Sumber: Thullabul Ilmi Yaman

 
#romantismeBarat #salingkasihhadiah #romantismeNabawiyah #romantismeNabawiyyah #romantiscaraNabi