بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#FikihHajiUmrah

RINGKASAN CARA MUDAH MEMAHAMI FIKIH UMRAH

Keutamaan Umrah dan Haji

Rasulullah ﷺ bersabda:

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

“Antara umrah sampai umrah berikutnya adalah penghapus dosa yang dilakukan antara keduanya. Dan haji yang mabrur tidaklah ada balasannya, kecuali Surga.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Keutamaan Umrah Pada Waktu Ramadan

Rasulullah ﷺ bersabda:

فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ تَقْضِى حَجَّةً مَعِى

“Sesungguhnya umrah pada waktu Ramadan seperti berhaji bersamaku.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma]

Cara Mudah Memahami Fikih Umrah

Memahami Fikih Umrah dalam waktu kurang dari 1/2 menit dalam empat poin berikut:

  1. Ihram dari Miqat (Ihram termasuk rukun, melakukannya dari Miqat termasuk kewajiban).
  2. Thawaf sebanyak tujuh putaran mengelilingi Kakbah (termasuk rukun).
  3. Sa ’yu sebanyak tujuh putaran antara Shafa dan Marwa (termasuk rukun).
  4. Memendekkan atau mencukur rambut (termasuk kewajiban).

Dengan melakukan empat poin ini saja umrah sudah sah, meskipun tanpa ditambahi dengan amalan-amalan lainnya. Akan tetapi untuk kesempurnaannya, insya Allah akan kami jelaskan dalam rincian berikut.

Waktu Melakukan Umrah

Waktu melakukan umrah adalah seluruh waktu dalam setahun.

Tempat Memulai Haji dan Umrah

Tempat memulai Haji dan Umrah yang biasa disebut Miqat (Makani) adalah tempat-tempat yang diwajibkan untuk memulai melakukan ihram di situ. Jika seorang yang berniat umrah atau haji melewati tempat tersebut tanpa melakukan ihram (yaitu berniat mulai melakukan amalan-amalan umrah atau haji), dan tanpa melaksanakan kewajiban-kewajibannya, maka wajib atasnya hadyu, berupa menyembelih seekor kambing, dan membaginya kepada fakir miskin Mekkah, tanpa mengambil bagian darinya sedikit pun.

Adapun Miqat-Miqat itu ada lima:

  1. Dzul Hulaifah (sekarang dinamakan Bi’r ‘Ali), Miqat penduduk kota Madinah dan yang melalui rute mereka).
  2. Al-Juhfah, Miqat penduduk Saudi Arabia bagian utara dan negara-negara Afrika Utara dan Barat, negeri Syam (Lebanon, Yordania, Syiria, Palestina) dan yang melewati rute mereka.
  3. Qarnul Manazil (sekarang dinamakan As-Sail) dan Wadi Muhrim (bagian atas Qarnul Manazil), Miqat penduduk Najed, Selatan Saudi di seputar pegunungan Sarat, negara-negara Teluk, Irak, Iran dan yang melewati rute mereka.
  4. Yalamlam (sekarang dinamakan As-Sa’diyyah), Miqat penduduk negara Yaman, Indonesia, Malaysia, negara-negara sekitarnya dan yang melewati rute mereka.
  5. Dzatu ‘Irqin (sekarang dinamakan Adh-Dharibah), Miqat penduduk negeri Irak (Kufah dan Bashrah) dan yang melewati rute mereka.

Dan bagi orang-orang yang tinggal di Mekkah atau yang tinggal di tempat-tempat yang terletak setelah Miqat-Miqat di atas, boleh bagi mereka berihram untuk haji (baik Tamattu’, Qiron maupun Ifrod) dari rumah masing-masing, tanpa harus pergi ke Miqat lagi. Adapun bagi penduduk Mekkah yang ingin melakukan umrah, mereka harus keluar ke daerah halal terdekat, seperti Tan’im dan yang lainnya, lalu berihram dari sana.

Urutan Amalan-Amalan Umrah

Pertama: Ihram dari Miqat

Ihram adalah berniat memulai pelaksanaan ibadah umrah atau haji. Tata caranya sebagai berikut:

▪ Mendatangi Miqat.

▪ Memotong kuku, memendekkan kumis, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan. Hal ini bukan termasuk amalan ihram. Hanya saja apabila seseorang mau melakukannya ketika ihram, maka dilarang. Oleh karena itu, hendaklah ia melakukannya sebelum ihram, kecuali jika ia berniat menyembelih kurban, maka tidak boleh melakukannya, jika telah masuk tanggal 1 Dzulhijjah, sampai ia menyembelih.

▪ Tidak dibenarkan mencukur atau memotong jenggot.

▪ Mandi seperti mandi janabat.

▪ Mandi ini juga berlaku bagi wanita haid dan nifas, karena Nabi ﷺ memerintahkan Asma’ binti Umais radhiyallahu’anha untuk mandi ketika ia melahirkan di Dzul Hulaifah, sebagaimana dalam hadis Jabir yang masyhur (Hadis tersebut sekaligus sebagai dalil sahnya ihram wanita haid dan nifas, serta boleh melakukan semua amalan haji dan umrah kecuali Thawaf, harus menunggu suci terlebih dahulu kemudian Thawaf).

▪ Menggunakan wewangian pada tubuh (pada bagian tubuh yang tidak terkena pakaian ihram) bila memungkinkan.

▪ Pakaian ihram tidak boleh dikenakan wewangian.

▪ Bagi yang Miqatnya dilewati dengan kendaraan yang tidak mungkin berhenti seperti pesawat, maka mandinya bisa dilakukan sejak dari rumah, atau sebelum naik pesawat, maupun setelah berada di pesawat.

▪ Mengenakan pakaian ihram yang terdiri dari dua helai (yang afdhal berwana putih). Yaitu sehelai disarungkan pada tubuh bagian bawah, dan sehelai lagi diselempangkan pada tubuh bagian atas, dengan menutup seluruh tubuh bagian atas termasuk kedua bahu.

▪ Di antara hikmah mengenakan pakaian ihram tanpa dibedakan antara si kaya dan si miskin, atasan dan bawahan, pemerintah dan rakyatnya adalah untuk mengingatkan kepada kain kafan, bahwa setiap manusia hanya akan membawa kain kafannya sampai ke kuburan.

▪ Bagi yang Miqatnya dilewati dengan kendaraan yang tidak mungkin berhenti seperti pesawat, maka pakaian ihramnya bisa dikenakan menjelang naik pesawat terbang, atau setelah berada di atas pesawat terbang, meskipun jeda waktu yang agak lama dengan Miqatnya, agar ketika melewati Miqat dalam kondisi telah mengenakan pakaian ihram.

▪ Adapun pakaian ihram wanita adalah pakaian yang menutup seluruh auratnya yang sesuai dengan batasan-batasan syari.

▪ Wanita yang ihram TIDAK BOLEH menggunakan cadar dan kaos tangan, dan jika ada laki-laki asing, hendaklah ia menutup auratnya tersebut dengan kerudungnya.

▪ Setelah mengenakan pakaian ihram, lakukan shalat dua rakaat dengan niat shalat sunnah wudhu’ atau shalat wajib, jika bertepatan dengannya. Dan yang shahih, tidak ada shalat khusus untuk ihram.

▪ Ketika masih berada di Miqat, naik ke kendaraan, lalu mulai berniat ihram untuk melakukan umrah dengan mengucapkan:

لَبَّيْكَ عُمْرَةً

“Labbaika ‘umrotan”

Artinya: “Kusambut panggilan-Mu untuk melakukan umrah.” [HR. Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu]

Lalu membaca Talbiyah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

“Labbaika Allaahumma labbaik, labbaika laa syariika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk, laa syariika laka”

Artinya: “Kusambut panggilan-Mu Ya Allah, kusambut panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kerajaan hanyalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu]

▪ Jika khawatir tidak bisa menyempurnakan seluruh rangkaian ibadah haji atau umrah, hendaklah membaca ucapan pensyaratan niat:

اللَّهُمَّ مَحِلِّي حَيْثُ حَبَسْتَنِي

“Allaahumma mahilliy haitsu habastaniy”

Artinya: “Ya Allah tempat berakhir amalanku, di mana Engkau menahanku.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]

▪ Faidah ucapan pensyaratan niat, adalah jika seseorang terhalangi dari menyempurnakan haji atau umrahnya, maka tidak ada fidyah dan qadha’ atasnya. Ini bermanfaat terutama bagi wanita haid yang melakukan umrah, dan khawatir ditinggal rombongannya jika harus menunggu sampai suci.

▪ Boleh bagi wanita untuk minum obat penunda haid, selama tidak membahayakannya.

▪ Berangkat ke Mekkah.

▪ Memerbanyak ucapan Talbiyah ini dengan mengeraskan suara sepanjang perjalanan ke Mekkah.

▪ Berhenti mengucapkan Talbiyah ketika menjelang Thawaf (adapun ketika haji, membaca Talbiyah sampai sebelum melempar Jamrah ‘Aqobah pada 10 Dzulhijjah).

▪ Mengucapkan Talbiyah secara berjamaah dengan membentuk sebuah koor, termasuk perbuatan bid’ah.

▪ Boleh memakai sandal, sepatu yang tidak menutupi mata kaki, cincin, kacamata, walkman, jam tangan, sabuk, dan tas yang digunakan untuk menyimpan uang dan barang-barang berharga lainnya.

▪ Boleh mencuci pakaian ihram atau mengganti dengan pakaian ihram yang lain.

▪ Sebelum masuk Mekkah, jika memungkinkan untuk mandi kembali.

▪ Hendaklah senantiasa menjalankan printah Allah ta’ala dan menjauhi larangan-Nya, seperti perbuatan syirik, kefasikan, kata-kata keji dan kotor, berdebat untuk membela kebatilan, dan lain-lain.

Larangan-Larangan Ihram

Larangan-larangan ihram ada sembilan, yaitu:

  1. Memotong rambut (seluruh badan).
  2. Memotong kuku.
  3. Menggunakan wewangian (adapun menggunakan wewangian dilakukan sebelum ihram).
  4. Mengenakan penutup kepala yang menempel (yang tidak menempel seperti payung atau berteduh di bawah atap tidak mengapa).
  5. Mengenakan pakaian yang membentuk tubuh (yang diistilahkan oleh sebagian fuqaha dengan pakaian berjahit).
  6. Membunuh hewan Tanah Haram. Bahkan diharamkan sekedar menakutinya atau membuatnya lari. Termasuk dalam hal ini mencabut atau merusak tumbuhan yang ditumbuhkan Allah ta’ala (bukan yang ditanam manusia) di Tanah Haram.
  7. Akad nikah dan melamar atau menikahkan dan melamar untuk orang lain.
  8. Berhubungan suami istri.
  9. Bercumbu antara suami istri, baik dengan perkataan maupun perbuatan.

Hukuman-Hukuman Bagi Yang Melanggar Larangan Ihram

Hukuman bagi yang melanggar sembilan larangan di atas terbagi lima bentuk:

  1. Melakukan pelanggaran nomor 1-5 maka hukumannya adalah membayar fidyah berupa menyembelih seekor kambing, atau memberi makan enam orang miskin (setiap orang dapat 1/2 sho’), atau berpuasa tiga hari. Boleh memilih.
  2. Melakukan pelanggaran nomor 6, maka hukumannya hendaklah menyembelih yang semisalnya dari hewan yang biasa digunakan untuk zakat, lalu bersedekah dengannya, dan tidak boleh makan darinya sedikit pun. Atau menakarnya dengan makanan dan membaginya kepada fakir miskin, setiap orang mendapat 1/2 sho’. Atau berpuasa selama sejumlah orang-orang miskin tersebut. Jika yang melanggar tidak menemukan hewan yang semisalnya, barulah ia diberi pilihan apakah memberi makan ataukah puasa.
  3. Melakukan pelanggaran nomor 7 tidak ada fidyah, namun berdosa jika dilakukan bukan karena lupa, atau tidak tahu, dan nikahnya dihukumi sebagai nikah syubhat, harus diulang setelah ihram. Dan hendaklah bertaubat kepada Allah ta’ala.
  4. Melakukan pelanggaran nomor 8 (berhubungan suami istri), apabila sebelum Tahallul Awal (pada haji), maka hajinya tidak sah, dan wajib membayar fidyah dengan menyembelih seekor unta, dan dibagikan bagi fakir miskin di Haram dan wajib mengqadha’ haji tersebut di tahun depan. Apabila dilakukan setelah Tahallul Awal, maka hajinya sah, berdasarkan Ijma’, dan baginya fidyah berupa menyembelih seekor kambing.

Adapun dalam umrah, jika pelanggarannya dilakukan sebelum Thawaf atau Sa’yu, maka batal umrahnya. Hendaklah melakukan umrah lagi sebagai ganti, yaitu keluar lagi ke Miqat, dan wajib baginya fidyah menyembelih seekor kambing. Jika dilakukan pada umrah setelah Thawaf dan Sa’yu (yakni sebelum memendekkan atau mencukur rambut) maka umrahnya sah dan wajib baginya fidyah.

  1. Melakukan pelanggaran nomor 9, jika seorang bercumbu dengan istrinya di selain kemaluannya, walaupun sampai mengeluarkan mani, maka hajinya tidak batal. Hendaklah dia menyembelih unta, jika hal itu dilakukan sebelum Tahallul Awal. Jika dilakukan setelahnya, hendaklah menyembelih kambing. Bagi wanita sama hukumanya dengan laki-laki, kecuali jika ia dipaksa untuk melakukannya.

Hukuman-hukuman di atas berlaku bagi orang yang sengaja melakukannya, baik karena butuh atau tidak. Adapun yang tidak tahu hukumnya, atau karena lupa, maka tidak ada hukuman baginya, dan hajinya tetap sah.

Kedua: Thawaf Sebanyak Tujuh Putaran Mengelilingi Kakbah

▪ Thawaf adalah rukun umrah yang kedua.

▪ Thawaf adalah ibadah khusus mengitari Kakbah sebanyak tujuh kali. Adapun Thawaf dengan mengitari selain Kakbah adalah mengada-ada dalam agama.

▪ Disunnahkan masuk Makkah di waktu siang setelah mandi, karena Nabi ﷺ melakukannya. Beliau ﷺ menginap di Dzi Tuwa, shalat Subuh dan mandi padanya, sebagaimana dalam hadis Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma dalam Ash-Shahihain.

▪ Tiba di Masjidil Haram Makkah, pastikan telah bersuci dari najis dan hadats.

▪ Disunnahkan untuk beristirahat sejenak sebelum memulai Thawaf.

▪ Masuk dengan kaki kanan dan membaca doa masuk masjid:

أَعُوذُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيم

“A’udzu billaahil ‘azhimi wa biwajhihil kariimi wa sulthoonihil qodiimi minasy syaithoonir rojiimi”

Artinya: “Aku berlindung kepada Allah yang Maha Agung, dengan wajah-Nya yang Maha Mulia dan kekuaasaan-Nya yang Maha Terdahulu, dari setan yang terkutuk.” [HR. Abu Daud dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu’anhuma, Shahih Sunan Abi Daud: 485]

Kemudian membaca:

اللَّهُمَّ افْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

“Allaahummaftah liy abwaaba rohmatik”

Artinya: “Ya Allah bukakanlah pintu-pintu rahmat-Mu.” [HR. Muslim dari Abu Usaid radhiyallahu’anhu]

▪ Keluar masjid membaca:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِك

“Allaahumma inniy as-aluka min fadhlik”

Artinya: “Ya Allah aku memohon kepada-Mu anugerah dari-Mu.” [HR. Muslim dari Abu Usaid radhiyallahu’anhu]

Dan bershalawat kepada Nabi ﷺ, lalu membaca:

اللَّهُمَّ اعْصِمْنِي مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Allaahuma’shimniy minasy syaithoonir rohim”

Artinya: “Ya Allah aku memohon perlindungan kepada-Mu dari setan yang terkutuk.” [HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Shahih Ibnu Majah: 627]

▪ Lafal-lafal doa di atas berlaku umum di seluruh masjid. Tidak ada doa khusus untuk Masjidil Haram, baik ketika haji dan umrah, maupun tidak.

▪ Melakukan Idhthiba’. Caranya, selempangkan pakaian atas ke bawah ketiak kanan, dan membiarkan pundak kanan terbuka, dan pundak kiri tetap tertutup.

▪ Idhtiba’ ini khusus bagi laki-laki dan khusus pada Thawaf Qudum dan Thawaf Umrah. Adapun bagi wanita dan selain pada Thawaf Qudum dan Thawaf Umrah, tidak disyariatkan.

▪ Segera menuju Hajar Aswad, menghadapnya, menyentuhnya dengan tangan kanan dan menciumnya tanpa ada suara ciuman.

▪ Jika tidak memungkinkan, hendaklah menyentuhnya dengan tangan kanan dan mencium tangan yang menyentuhnya.

▪ Jika tidak memungkinkan, maka dengan tongkat dan sejenisnya, lalu mencium tongkat tersebut.

▪ Jika tidak memungkinkan, maka cukup berisyarat kepadanya.

▪ Jika seseorang bisa menciumnya, maka hendaklah dia membaca: “Bismillahi Allahu Akbar” (Berdasarkan hadis Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma dalam Sunan Al-Baihaqi).

▪ Jika berisyarat kepadanya hanya membaca, “Allahu Akbar” (Berdasarkan hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma dalam Shahih Al-Bukhari) [Lihat At-Talkhis Al-Habir, 2/47]

▪ Lakukan Thawaf sebanyak tujuh putaran mengelilingi Kakbah. Mulai dari Hajar Aswad dengan memosisikan Kakbah di sebelah kiri, sambil mengucapkan bacaan di atas ketika memulai Thawaf.

▪ Dari Hajar Aswad sampai ke Hajar Aswad lagi terhitung satu putaran.

▪ Disunnahkan berlari-lari kecil dengan mendekatkan langkah-langkah (raml) pada tiga putaran pertama (hal ini disunnahkan pada Thawaf Umrah dan Thawaf Qudum pada haji), dan berjalan pada putaran keempat sampai ketujuh.

▪ Raml dan Idhthiba’ tidak disyariatkan untuk wanita berdasarkan Ijma’.

▪ Disyariatkan sepanjang Thawaf untuk memerbanyak zikir dan doa, namun tidak ada zikir dan doa khusus yang disunnahkan, selain bacaan-bacaan yang telah kami sebutkan di atas.

▪ Tidak boleh mengeraskan suara ketika Thawaf, termasuk ketika berzikir dan berdoa saat Thawaf, agar tidak mengganggu kaum Muslimin.

▪ Tidak ada doa khusus ketika Thawaf, kecuali ketika berada di antara dua rukun, yaitu Rukun Yamani dan Hajar Aswad, disunnahkan membaca:

ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار

Artinya: “Ya Allah, limpahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan juga kebaikan di Akhirat, serta jagalah kami dari azab api Neraka.” [HR. Ahmad dan Abu Daud]

▪ Disunnahkan setiap kali sejajar dengan Rukun Yamani untuk menyentuhnya tanpa dicium, sambil mengucapkan, “Bismillahi Allahu Akbar”. Jika tidak memungkinkan untuk menyentuhnya, maka tidak disyariatkan untuk berisyarat kepadanya, dan tidak pula mencucapkan Tasmiyyah dan Takbir.

▪ Tidak menyentuh Kakbah atau apapun selain hajar Aswad dan Rukun Yamani, karena tidak ada dalilnya.

▪ Disunnahkan setiap kali sejajar dengan Hajar Aswad, untuk melakukan sebagaimana ketika mulai pertama kali, sampai pun pada putaran terakhir.

▪ Tidak disyariatkan untuk mengusapkan tangan ke badan setelah mengusap Hajar Aswad maupun Rukun Yamani.

▪ Bahkan tidak disyariatkan untuk mengusap dan mencium selain Hajarul Aswad, dan mengusap selain Rukun Yamani, dan tidak pula ada bacaan tertentu ketika melewatinya.

▪ Menyentuh dan mencium Hajar Aswad dan menyentuh Rukun Yamani hanya dilakukan ketika Thawaf saja. Kecuali menyentuh Hajar Aswad juga disyariatkan setelah selesai shalat dua rakaat Thawaf di belakang Maqom Ibrahim ‘alaihissalam. Selain itu tidak disyariatkan.

▪ Janganlah berdesak-desakan untuk mencapai Hajar Aswad atau Rukun Yamani, agar tidak menyakiti kaum Muslimin. Karena mencium Hajar Aswad dan menyentuh Rukun Yamani hukumnya sunnah, sedangkan memuluskan dan tidak menyakiti kaum Muslimin adalah wajib.

▪ Juga tidak boleh bagi wanita berdesak-desakan dengan laki-laki, melainkan mereka berjalan di belakang kaum laki-laki.

▪ Tidak boleh bagi wanita membuka wajahnya jika terdapat laki-laki asing. Hendaklah dia menutupi wajahnya dengan kerudungnya (bukan dengan niqob atau kain yang menempel di wajahnya).

▪ Tidak mengapa melakukan Thawaf di belakang Zam-zam dan di seluruh masjid (termasuk di lantai atas dan atap), terutama ketika sangat ramai, namun lebih dekat ke Kakbah yang lebih afdhal. Dan ulama sepakat tidak boleh Thawaf di luar masjid.

▪ Tidak sah Thawaf di dalam Kakbah atau dalam Al-Hijr, karena Al-Hijr termasuk Kakbah.

▪ Dan penamaan Al-Hijr tersebut dengan Hijr Ismail ‘alaihissalam tidak benar, karena ia dibangun setelah meninggalnya beliau, oleh orang-orang Qurays ketika mereka kekurangan harta untuk membangun Kakbah. Demikian pula sangkaan, bahwa Nabi Ismail ‘alaihissalam dikuburkan di Al-Hijr adalah tidak benar.

▪ Jika tidak mampu Thawaf sambil berjalan, tidak mengapa mengendarai kendaraan atau digendong.

▪ Tidak disyariatkan menyentuh Maqom Ibrahim, dinding Kakbah dan kiswahnya.

▪ Berdoa kepada Kakbah adalah syirik besar.

▪ Tidak ada lafal niat Thawaf.

▪ Jika terjadi keraguan pada jumlah putaran Thawaf, hendaklah diambil persangkaan yang paling kuat. Jika tidak memiliki persangkaan kuat, maka ambil hitungan yang paling sedikit, lalu menambah putaran yang masih kurang.

▪ Jika telah dikumandangkan iqomah shalat, hendaklah memutuskan Thawaf dan melakukan shalat. Setelah shalat dilanjutkan kembali, tanpa harus memulai dari awal kembali. Kecuali jika terpaut waktu yang panjang, maka hendaklah dimulai dari awal, sebab Muwaalah (dilakukan secara bersambung) adalah syarat Thawaf.

▪ Jika batal wudhu’, maka boleh terus melanjutkan Thawaf, karena tidak ada dalil shahih dan tegas yang mengharuskan berwudhu’.

▪ Namun lebih afdhal berwudhu’ kembali dan terus melanjutkan Thawaf, tanpa harus memulai dari awal. Kecuali jika terpaut waktu yang lama, maka hendaklah mulai dari awal.

▪ Menyentuh wanita dengan sengaja maupun tanpa sengaja tidak membatalkan wudhu’. Namun haram hukumnya menyentuh dengan sengaja, dan perbuatan haram lebih diharamkan lagi di negeri yang suci, atau di waktu-waktu yang mulia, seperti bulan-bulan haji, terutama, 10 hari pertama Dzulhijjah dan Ramadan.

▪ Setelah Thawaf, tutup kembali pundak kanan dengan pakaian ihram bagian atas seperti sebelum Thawaf.

▪ Pergi ke Maqom Ibrahim (tempat berdirinya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika membangun Kakbah) lalu membaca:

وَاتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى

“Wattakhidzuu mim-maqoomi Ibraahiima mushollaa”

“Dan jadikanlah bagian dari Maqom Ibrahim itu sebagai tempat shalat.” [HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma]

▪ Lalu shalat dua rakaat di belakang Maqom Ibrahim walaupun tidak tepat di belakangnya.

▪ Jika tidak memungkinkan, maka lakukan shalat di mana saja di Masjidil Haram. Lakukan shalat ini, walaupun bertepatan dengan waktu-waktu yang dilarang untuk shalat. Jika lupa mengerjakannya, maka tidak ada kewajiban fidyah.

▪ Disunnahkan pada rakaat pertama membaca surat Al-Fatihah dan Al-Kafirun. Rakaat kedua membaca surat Al-Fatihah dan Al-Ikhlash. Dan tidak ada doa khusus sebelum dan selesai shalat.

▪ Menghalangi orang yang lewat di depan kita ketika sedang shalat hendaklah dilakukan, dan tidak ada dalil yang mengecualikan Masjidil Haram.

▪ Disunnahkan shalat yang ringan, tidak memerpanjang bacaan, agar tidak menyulitkan orang lain.

▪ Tidak disunnahkan menyentuh atau mencium Maqom Ibrahim ‘alaihissalam.

▪ Berdoa kepada Maqom Ibrahim atau mengharapkan berkah darinya termasuk syirik besar.

▪ Lalu minum Zam-zam dan siramkan sebagiannya ke kepala.

▪ Air Zam-zam memiliki banyak keistimewaan, dan disunnahkan bagi jamaah haji dan umrah untuk mengambilnya sebagai bekal dan hadiah.

▪ Disunnahkan berdoa di Multazam, yaitu tempat yang berada di antara Hajarul Aswad dan pintu Kakbah. Dan waktu berdoa di Multazam boleh kapan saja, karena tidak ada dalil yang membatasi waktunya. Dan diriwayatkan sebagian sahabat menyandarkan dadanya, wajahnya, dan dua lengannya ke Multazam.

▪ Jika memungkinkan, untuk kembali menyentuh atau mencium Hajar Aswad setelah shalat dan minum Zam-zam. Jika tidak, maka tidak perlu berisyarat kepadanya.

▪ Lalu pergi ke bukit Shafa untuk melakukan Sa’yu.

▪ Hendaklah bersegera melakukan Sa’yu setelah Thawaf, walaupun bersegera bukan syarat. Sehingga boleh, misalkan seseorang Thawaf di pagi hari, lalu Sa’yu di sore hari.

Ketiga: Sa’yu Sebanyak Tujuh Putaran antara Shafa dan Marwah

▪ Sa’yu adalah rukun pada haji dan umrah, dan tidak ada dalil melakukan Sa’yu selain pada haji dan umrah. Berbeda dengan Thawaf, boleh melakukannya kapan saja.

▪ Jika telah mendekati Shafa hendaklah membaca:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللهِ

“Innas shofaa wal marwata min sya’airillaah”

Artinya: “Sesungguhnya Shafa dan Marwah itu termasuk syiar-syiar Allah.” (Al-Baqarah: 158)

Lalu membaca:

أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ

“Abdau bimaa badaallaahu bihi”

Artinya: “Aku memulai (Sa’yu), dengan apa yang dimulai oleh Allah, (yakni disebutkan dulu Shafa lalu Marwah).” [HR. Muslim dari Jabir radhiyallahu’anhu]

▪ Masih di Shafa, jika memungkinkan untuk menaikinya, lalu menghadap Kakbah dan mengucapkan:

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ أَنْجَزَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ

Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, tiada sekutu bagi-Nya, hanya milik-Nya segala kerajaan dan pujian, Dzat yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan serta Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, yang telah menepati janji-Nya, memenangkan hamba-Nya dan menghancurkan bala tentara kafir, tanpa bantuan siapa pun.”

Dibaca tiga kali, setiap kali selesai salah satunya, disunnahkan untuk berdoa kepada Allah ta’ala sesuai keinginan kita, sambil mengangkat tangan, berdasarkan hadis Jabir radhiyallahu’anhu dalam riwayat Muslim.

▪ Setelah itu berjalan ke Marwah. Ketika lewat di antara dua tanda hijau, langkah dipercepat. Setelah melewati tanda tersebut, hendaklah kembali berjalan seperti biasa.

▪ Bagi wanita tetap berjalan seperti biasa, meskipun pada dua tanda hijau, berdasarkan Ijma’ ulama, sebagaimana yang dinukil Ibnul Mundzir rahimahullah. Adapun berlarinya Hajar Ummu Ismail ‘alaihimassalam ketika dalam keadaan beliau seorang diri, sehingga aman dari fitnah.

▪ Boleh naik kendaraan dalam melakukan Sa’yu jika terdapat Masyaqqoh (beban yang berat).

▪ Tiba di Marwah telah dianggap melakukan satu putaran (kembalinya ke Shafa juga terhitung satu putaran).

▪ Berdiri di Marwah dan lakukan seperti yang dilakukan di Shafa.

▪ Setelah itu kembali lagi ke Shafa, dan seterusnya, sampai tujuh putaran yang berakhir di Marwah.

▪ Boleh melakukan Sa’yu di lantai atas.

▪ Disyariatkan untuk memerbanyak zikir dan doa ketika melakukan Sa’yu, di antaranya doa yang dibaca oleh sebagian Salaf seperti Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhum:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ الأَعَزُّ الأَكْرَم

“Allaahummaghfir liy wa Antal A’azzul Akrom”

Artinya: “Ya Allah ampunilah aku, dan Engkau yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia.” [HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahumullah dalam Mansak beliau, hal. 28]

▪ Menghindari perkataan dosa dan perkataan sia-sia.

▪ Disunnahkan melakukan Sa’yu dalam keadaan suci. Jika dilakukan dalam keadaan berhadats, maka tidak mengapa. Sehingga jika seorang wanita haid setelah Thawaf, boleh baginya melakukan Sa’yu.

▪ Tidak mengapa jika seseorang melakukan Sa’yu sebelum Thawaf, karena tidak tahu atau lupa.

▪ Jika lupa jumlah putaran, hendaklah mengambil persangkaan jumlah yang paling kuat. Jika tidak memiliki persangkaan kuat, maka hendaklah mengambil jumlah yang paling kecil.

▪ Jika Sa’yu terputus karena shalat atau karena suatu hajat, boleh melanjutkan kembali, tanpa harus mengulang dari awal, sebab Al-Muwaalah tidak dipersyaratkan menurut pendapat yang paling kuat. Akan tetapi jika seseorang memulainya dari awal lagi, itu lebih baik, agar lebih hati-hati. Terlebih jika terpaut waktu yang lama, hendaklah dimulai dari awal lagi.

Keempat: Mencukur Atau Memendekkan Rambut

▪ Mencukur atau memendekkan rambut termasuk kewajiban haji dan umrah.

▪ Setelah melakukan Sa’yu, segera mencukur atau memendekkan rambut secara merata.

▪ Tidak cukup mencukur atau memendekkan sebagian rambut, namun harus seluruh rambut secara merata.

▪ Mencukur lebih afdhal dibanding memendekkan (karena Nabi ﷺ mendoakan tiga kali untuk yang mencukur dan satu kali untuk yang memendekkan saja, sebagaimana dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).

▪ Kecuali yang melakukan umrah untuk haji Tamattu’, lebih afdhal baginya memendekkan, untuk kemudian mencukur pada 10 Dzulhijjah, jika waktu umrahnya sudah mendekati 10 Dzulhijjah.

▪ Bagi wanita hanya memotong pada ujung-ujung rambutnya sepanjang ujung jari.

▪ Hendaklah tetap mencukur atau memendekkan rambut, meskipun telah niat berkurban, dan telah masuk 1 Dzulhijjah.

▪ Dengan ini, telah masuk pada Tahallul, yakni telah halal semua yang tadinya diharamkan ketika ihram. Selesailah rangkaian ibadah umrah.

Walhamdulillahi Rabbil’alamiin.

Rujukan

  1. Catatan pribadi dari pelajaran fikih pada kitab Ad-Durorul Bahiyyah karya Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah di Al-Madrasah As-Salafiyyah Depok yang disampaikan Al-Ustadz Abdul Barr hafizhahullah, 1430 H.
  2. Al-Ikhtiyaraat Al-Fikihiyyah fi Masaailil ‘Ibaadat wal Mu’aamalaat min Fatawa Samaahatil ‘Allaamah Al-Imam ‘Abdil ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz –rahimahullah-, ikhtaaroha Khalid bin Su’ud Al-‘Ajmi hafizhahullah, Bab Shifatul Hajj, hal. 322-352. Cetakan ke-6, 1431 H.
  3. Bayaanu maa yaf’aluhul Haaj wal Mu’tamir, karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, terbitan Kantor Pusat Haiah Al-Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar, 1430 H.
  4. Tabshirun Naasik bi Ahkaamil Manasik ‘ala Dhauil Kitab was Sunnah wal Ma’tsur ‘anis Shahaabah, karya Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr hafizhahullah, cetakan ke-3, 1430 H.
  5. Jami’ul Manasik, karya Asy-Syaikh Sulthan bin AbdurRahman Al-‘Ied hafizhahullah, cetakan ke-3, 1427 H.

 

Penulis: Al-Ustadz Sofyan Chalid Ruray hafizhahullah

Sumber: https://www.facebook.com/sofyanruray.info/posts/805660969583387:0