بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
PRAKTIK IBNU TAIMIYYAH DALAM MERAHMATI PELAKU BIDAH
Rasulullah ﷺ bersabada:
إِنَّمَا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ
“Sesungguhnya Allah hanya menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang.” [HR At-Thobrooni dalam al-Mu’jam al-Kabiir, dan dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Sahih Al-Jaami’ no 2377]
Rasulullah ﷺ juga bersabda
الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَانُ، اِرْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Para pengasih dan penyayang dikasihi dan disayang oleh Ar-Rahmaan (Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang-pen). Rahmatilah yang ada di bumi, niscaya kalian akan dirahmati oleh Zat yang ada di langit.” [HR Abu Dawud no 4941 dan At-Thirmidzi no 1924 dan disahihkan oleh Syaikh Albani dalam as-Sahihah no 925]
Kata dalam مَنْ sabda Nabi ﷺ adalah isim maushuul, yang dalam kadiah ilmu ushuul fiqh memberikan faidah keumuman. Oleh karenanya, Nabi ﷺ tidak hanya memerintahkan kita untuk merahmati orang yang saleh saja, bahkan Nabi ﷺ memerintahkan kita untuk merahmati seluruh manusia. Dan bukan hanya manusia, bahkan hewan-hewan pun termasuk di dalamnya.
Termasuk pelaku kemaksiatan adalah pelaku bidah. Ketahuilah, kebanyakan para pelaku bidah di zaman kita, terutama di tanah air kita, adalah orang-orang yang bodoh dan tidak paham dengan Sunnah dan al-haq. Bahkan banyak di antara mereka yang sama sekali tidak mengenal dakwah Sunnah. Mereka mewarisi bidah yang mereka lakukan secara turun temurun.
Kita tidak berbicara tentang gembong-gembong bidah yang mengikuti hawa nafsu mereka, sehingga nekad menolak atau memlintir dalil-dalil, demi melarisakan bidah mereka. Akan tetapi kita berbicara tentang mayoritas saudara-saudara kita yang terjerumus ke dalam bidah karena kejahilan dan ketidaktahuan mereka. Bukankah banyak di antara kita, bahkan sebagian besar kita, tidak mengenal Sunnah sejak kecil? Akan tetapi mayoritas kita dahulu tenggelam di atas bidah, sebagaimana kebanyakan masyarakat yang terjerumus dalam praktik-praktik bidah. Bukankah kita mendapatkan hidayah dengan adanya seseorang Salafy, yang kemudian mendekat kepada kita, sehingga kemudian menjelaskan Sunnah kepada kita? Oleh karenanya, marilah kita merahmati para pelaku bidah dengan menyebarkan dakwah Sunnah kepada mereka.
Syaikh Utsaimin berkata tentang para pelaku bidah:
وَهؤلاء الْمُخَرِّفُوْنَ مَسَاكِيْنُ، إِنْ نَظَرْنَا إِلَيْهِمْ بِعَيْنِ الْقَدْرِ؛ فَنَرَقَّ لَهُمْ، وَنَسْأَلُ اللهَ لَهُمُ السَّلاَمَةَ، وَإِنْ نَظَرْنَا إِلَيْهِمْ بِعَيْنِ الشَّرْعِ؛ فَإِنَّنَا يَجِبُ أَنْ نُنَابِذَهُمْ بِالْحُجَّةِ حَتىَّ يَعُوْدُوا إِلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ
“Para pelaku khurofat tersebut kasihan mereka. Jika kita memandang mereka dengan pandangan takdir (bahwasanya semua terjadi dengan takdir Allah-pen), maka kita kasihan kepada mereka. Dan kita memohon kepada Allah keselamatan bagi mereka. Jika kita memandang mereka dengan pandangan syariat, maka wajib bagi kita melawan mereka dengan hujjah, agara mereka kembali kepada jalan yang lurus.” [Al-Qoul Al-Mufiid 1/65]
Bukankah Nabi ﷺ telah bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian, hingga ia menyukai bagi saudaranya apa yang dia sukai untuk dirinya.”
Bukankah kita senang jika kita berada di atas ketaatan kepada Allah? Maka hendaknya kita juga senang, jika saudara kita juga demikian, dan meninggalkan kemaksiatan yang dilakukannya. Bukankah seorang Muslim yang terjerumus dalam kemaksiatan atau bidah juga masih merupakan saudara kita sesama Muslim?
Praktik Ibnu Taimiyyah dalam Merahmati Pelaku Bidah
Seseorang yang ikhlas adalah seseorang yang bersikap sesuai dengan kehendak Allah, bukan bergerak dengan kehendak hawa nafsunya. Inilah orang yang berjiwa besar. Tidak sebagaimana praktik sebagian orang yang berjiwa kecil, sehingga mudah marah karena mengikuti hawa nafsunya. Bahkan terkadang menghembuskan kemarahannya tersebut di balik topeng membela agama. Wallahul musta’aan.
Lihatlah bagaimana praktik Ibnu Taimiyyah terhadap musuh-musuhnya para pelaku bidah. Sungguh pelajaran yang sangat luar biasa.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah berjihad dan membantah berbagai macam model bidah. Oleh karenanya, kita dapati mayoritas kitab-kitab beliau adalah bantahan terhadap bidah-bidah, terutama bidah-bidah yang berkaitan dengan akidah. Sehingga banyak Ahlul Bidah yang memusuhi beliau. Bahkan mereka berfatwa akan kafirnya Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah. Bahkan mereka berfatwa kepada Raja untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi, apakah Ibnu Taimiyyah pernah berfikir untuk membalas dendam jika ia mendapatkan kesempatan? Perhatikanlah tiga kisah berikut ini:
Kisah Pertama: Tentang Ibnu Taimiyyah dan Sultan Ibn Qolawuun
Ibnu Katsiir rahimahullah dalam kitabnya Al-Bidaayah wa An-Nihaayah bercerita tentang kisah Ibnu Taimiyyah.
Sultan An-Nashir Ibn Qolawuun memiliki para petinggi dari kalangan para ulama bidah yang memusuhi Ibnu Taimiyyah. Dan mereka berfatwa kepada sang Sultan agar membunuh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi sang Sultan hanya memenjarakan Ibnu Taimiyyah, dan tidak membunuhnya. Maka pada suatu saat datanglah Al-Jaasyinkir, yang kemudian menggulingkan dan merebut kekuasaan sang Sultan. Akhirnya para petinggi tersebut berkhianat dan membelot, meninggalkan sang Sultan, dan membaiat Al-Jaasyinkiir.
Tentu hal ini membuat murka sang Sultan. Maka sang Sultan akhirnya berusaha merebut kembali kekuasaannya, dan akhirnya ia berhasil. Ternyata para petinggi tersebut kembali kepada sang Sultan, yang hal ini membuat sang Sultan marah, dan mengetahui bahwasanya mereka adalah para penjilat. Akhirnya sang Sultan pun mengeluarkan Ibnu Taimiyyah dari penjara, dan menyambut Ibnu Taimiyyah dengan pernuh penghormatan di hadapan para petinggi tersebut yang pernah berfatwa untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Lantas sang Sultan mengeluarkan secarik kertas dari kantongnya, yang ternyata isi kertas tersebut adalah fatwa para petinggi tersebut untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Tentunya sang Sultan sudah menyimpan dendam yang sangat besar, dan berharap agar Ibnu Taimiyyah berfatwa sebaliknya untuk membunuh para petinggi tersebut.
Ibnu Taimiyyah berkata:
“Aku pun faham maksud sang Sultan, dan aku tahu bahwasanya ia menyimpan dendam dan kemarahan yang sangat dalam terhadap para petinggi tersebut, karena mereka telah membelot darinya dan membaian Al-Jasyinkir. Maka aku pun mulai memuji para ulama, yaitu para petinggi tersebut, dan menyebutkan jasa mereka, dan seandainya mereka pergi, maka sang Sultan tidak akan mendapatkan petinggi-petinggi yang seperti mereka.”
Sang Sultan berkata:
“Mereka (para ulama dan petinggi) tersebut telah menyakitimu dan berulang-ulang ingin agar engkau dibunuh.”
Ibnu Taimiyyah berkata:
“Barang siapa yang menyakitiku, maka aku telah memafkannya. Dan barang siapa yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan membalasnya. Aku tidak akan membela diriku sendiri.”
Akhirnya hilanglah kemarahan sang Sultan. [Lihat kisah ini Al-Bidaayha wa An-Nihaayah 18/93-95 (tahqiq At-Turki) dan juga Al-‘Uquud Ad-Durriyyah hal 221]
Kisah Kedua: Tatkala Musuh Beliau Meninggal Dunia
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:
“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih mengumpulkan sifat-sifat tersebut, daripada Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah (yaitu memafkan dan berbuat ihsan kepada orang lain). Sebagian sahabat senior Ibnu Taimiyyah berkata:
وَدِدْتُ أَنِّي لأَصْحَابِي مِثْلُهُ لأَعْدِائِهِ وَخُصُوْمِهِ
“Aku sangat berharap sikapku kepada sahabat-sahabatku, sebagaimana sikap Ibnu Taimiyyah kepada musuh-musuh beliau.”
Aku tidak pernah melihatnya mendoakan kejelekan kepada seorang pun dari musuh-musuhnya. Bahkan beliau mendoakan mereka. Suatu hari aku mendatangi beliau, memberi kabar gembira tentang meninggalnya musuh besarnya, dan yang paling keras menentang dan menyakiti Ibnu Taimiyyah. Maka beliau pun membentak aku dan mengingkari sikapku, dan mengucapkan inaa lillahi wa inaa ilaihi rooji’uun. Lalu belia pun segera pergi menuju rumah keluarga musuhnya yang meninggal tersebut, menyatakan turut berduka cita, dan menghibur mereka dan berkata: “Sesungguhnya aku menggantikan posisinya bagi kalian. Karenanya jika kalian membutuhkan sesuatu dan bantuan, maka aku akan membantu kalian.” Atau semisal perkataan ini. Maka merek apun gembira dan mendoakan Ibnu Taimiyyah, dan mereka menganggap ini perkara yang besar dari Ibnu Taimiyyah.” [Lihat perkataan Ibnul Qoyyim ini di kitab beliau Madaarij As-Saalikiin 3/139-140]
Lihatlah bagaimana lapangnya hati Ibnu Taimiyyah. Musuh besarnya yang sangat menentang dan paling menyakiti beliau tatkala meninggal, maka Ibnu Taimiyyah segera menghibur keluarganya yang ditinggalkan. Bahkan Ibnu Taimiyyah membentak Ibnul Qoyyim yang bergembira dengan kematian musuhnya tersebut.
Kisah Ketiga: Ibnu Taimiyyah dan Al-Bakri
Abul Hasan Nuurudiin Al-Bakri adalah salah seorang tokoh Sufi yang membolehkan beristighotsah kepada Nabi ﷺ setelah wafatnya beliau ﷺ. Pemikirannya telah dibantah oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya “Al-Istighootsah fi Ar-Rod ‘alaa Al-Bakriy.”
Al-Bakri telah menyatakan, bahwa Ibnu Taimiyyah adalah seorang zindiiq. Terkadang ia mengafirkan Ibnu Taimiyyah. Bahkan ia bersama pengikutnya telah mengeroyok untuk memukul Ibnu Taimiyyah. Tatkala orang-orang semakin banyak berkumpul melihat pengeroyokan tersebut, maka Al-Bakry pun kabur karena ketakutan. Akhirnya datanglah banyak orang, dan tentara kepada Ibnu Taimiyyah meminta izin kepada beliau untuk menghukumi Al-Bakri akibat perbuatannya.
Akan tetapi Ibnu Taimiyyah berkata:“Aku tidak mau membela diriku.” Akan tetapi mereka tetap ngotot agar menghukumi perbuatan Al-Bakri. Akhirnya Ibnu Taimiyyah berkata: “Kalau bukan hak menghukuminya merupakan hak saya, atau merupakan hak kalian, atau merupakan hak Allah. Jika hak tersebut adalah hak saya, maka Al-Bakriy telah saya maafkan. Dan jika hak menghukum adalah hak kalian, maka jika kalian tidak mendengar nasihatku, jangan meminta fatwa kepadaku, dan silakan kalian melakukan apa yang kalian kehendaki. Dan jika hak menghukum adalah milik Allah, maka Allah akan mengambil hak-Nya sesuai kehendak-Nya, dan kapan saja Ia kehendaki.”
Maka tatkala kerajaan mencari-cari Al-Bakry untuk dihukum, maka Al-Bakriy pun lari dan bersembunyi di rumah Ibnu Taimiyyah, tatkala beliau bermukim di Mesir, hingga akhirnya Ibnu Taimiyyah memberi syafaat agar Raja mengampuni Al-Bakriy. Dan akhirnya ia pun dimaafkan.” [Silakan lihat kisah ini di Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 14/76 (tahqiq Ahmad Fatiih, cet pertama, daarul hadiits Al-Qoohiroh) dan Adz-Dzail ‘alaa Tobaqoot Al-Hanaabilah 2/400]
Sungguh akhlak yang sangat mulia dari Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah. Tatkala tiba kesempatan baginya untuk membalas dendam, justru ia malah memaafkan musuh-musuhnya dari kalangan Ahlul Bidah. Hal ini bahkan telah dipersaksikan dan diakui oleh musuh-musuhnya. Di antaranya ada yang berkata:
مَا رَأَيْنَا مِثْلَ ابْنِ تَيْمِيَّةَ، حرَّضنَا عَلَيْهِ فَلَمْ نَقْدِرْ عَلَيْهِ، وقَدِرَ عَلَينَا فَصَفَحَ عَنَّا، وَحَاجَجَ عَنَّا
“Kami tidak pernah melihat seorang pun seperti Ibnu Taimiyyah. Kami berusaha untuk mengganggunya, namun kami tidak mampu untuk menjatuhkannya. Dan tatkala ia mampu untuk menjatuhkan kami, maka ia pun memaafkan kami, bahkan membela kami.” [Ini merupakan perkataan Ibnu Makhluuf, silakan lihat Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 18/95 tahqiq At-Turki]
Itulah Ibnu Taimiyyah yang berjiwa besar. Mengambil tindakan bukan dengan hawa nafsunya, akan tetapi dengan dalil Alquran dan As-Sunnah. Hal ini tidak mungkin bisa dilakukan, kecuali oleh seseorang yang telah mengumpulkan keyakinan yang tinggi akan janji Allah dan kesabaran. Karena dengan dua sikap inilah (yakin dan sabar), maka seseorang akan meraih kepemimpinan dalam agama, sebagaimana yang telah diraih oleh Ibnu Taimiyyah. Beliu berkata dalam kalimat emasnya:
بِالصَّبْرِ وَالْيَقِيْنِ تُنَالُ الإِمَامَةُ فِي الدِّيْنِ
“Dengan kesabaran dan keyakinan, maka akan diraih kepimimpinan dalam agama.” [Al-Mustadrok ‘alaa Majmuu’ Al-Fataawaa 1/145]
Allah ﷻ telah berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka sabar, dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” [As-Sajdah ayat 24]
Sungguh merupakan perkara yang sangat menyedihkan, tatkala kita melihat diri kita atau sebagian kita yang sangat jauh dari akhlak orang yang kita kagumi ini, yaitu Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah, yang seluruh hidupnya ia korbankan demi menegakkan akidah dan Manhaj Salaf. Sungguh hati ini merasa sedih dan tersayat tatkala melihat sebagian kita mencela dan menghabisi sebagian yang lain di antara Ahlus Sunnah. Lihatlah sikap Ibnu Taimiyyah terhadap Ahlul Bidah yang memusuhi beliau, bahkan mengafirkan beliau, bahkan mengroyok beliau. Ini sikap beliau terhadap Ahlul Bidah. Bagaimana lagi sikap terhadap sesama Ahlus Sunnah? Ya Allah, Engkau Maha Tahu, bahwasanya kami para dai jauh dari sikap dan akhlak tersebut. Maka ampunilah kami Yaa Gofuur Yaa Rohiim.
Apa yang saya tuliskan ini bukan berarti saya mengingkari praktik hajr terhadap pelaku maksiat ataupun kepada Ahlul Bidah. Semuanya tetap berlaku dengan menimbang antara maslahat dan mudhorot, sebagaimana telah saya jelaskan dalam tulisan-tulisan saya yang lalu. Allahul Musta’aan. (Silakan lihat kembali http://www.firanda.com/index.php/artikel/manhaj/97-salah-kaprah-tentang-hajr-boikot-terhadap-ahlul-bidah-seri-2-hajr-bukan-merupakan-ghoyah-tujuan-akan-tetapi-merupakan-wasilah)
Penulis: Ustadz Firanda Andirja, MA
Sumber: https://Muslim.or.id/5757-menebar-kasih-sayang.html
══════
Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
PRAKTIK IBNU TAIMIYYAH DALAM MERAHMATI PELAKU BIDAH
Leave A Comment