بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 
PESTA DUKA DI HARI ASYURA
 
Oleh: Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra
 
Para pembaca, kali ini kami mengajak untuk menyimpak berbagai keyakinan sesat Syiah tentang pesta duka di bumi Karbala, yang mereka peringati setiap tanggal sepuluh Muharam (Hari Asyura). Mereka melakukan berbagai bentuk penyiksaan diri dengan benda-benda tajam, seperti rantai besi, pedang, cambuk, dan benda tajam lainnya. Hal itu mereka yakini sebagai bukti cinta (palsu) mereka kepada Ahlul Bait (Keluarga Rasulullah ﷺ), yang diwujudkan dalam bentuk kesedihan dan kedukaan atas terbunuhnya cucu Nabi ﷺ Husain radhiyallahu anhuma di tempat tersebut. Silakan menyimak dan semoga bermanfaat.
 
Pesta Duka Di Hari Asyura
 
Hari Asyura, orang-orang Syiah meyakininya sebagai hari sial yang membawa celaka. Sejak awal bulan Muharam (bahkan selama sebulan penuh), mereka tidak melakukan hal-hal penting di rumah, seperti tidak bepergian, tidak melakukan pernikahan, tidak berhias, tidak memakai pakaian yang bagus, tidak memakan makanan yang enak, dan lain-lain. Anak yang lahir di bulan Muharam mereka yakini bernasib sial.
 
Secara khusus, pada Hari Asyura mereka melakukan ritual yang amat mengerikan, dengan menyiksa diri dengan benda-benda keras dan tajam. Semangat untuk menyakiti dan melukai tubuh sendiri akan kian terlucut dengan rangsangan syair-syair kisah terbunuhnya Husain bin Ali radhiyallahu anhu di Padang Karbala yang diperdengarkan, karya tokoh-tokoh Syiah. Kisah tersebut dibumbui dengan berbagai kebohongan serta cacian terhadap para sahabat radhiyallahu anhum.
 
Jika para pembaca kurang yakin, silakan saksikan apa yang sedang berlangsung di Padang Karbala pada Hari Asyura. Mereka berdatangan dari berbagai negara, dengan berpakaian serba putih. Sambil bergoyang pelan, mereka melantunkan kata ‘haidar’, ‘haidar’. Selanjutnya, sebilah pedang mereka ayun-ayunkan ke salah satu bagian tubuh secara perlahan, sehingga tubuh mereka bersimbah darah. Perayaan duka di Karbala ini lebih dikenal di kalangan Syiah dengan sebutan ritual al-Husainiyyah. [1]
 
Penyiksaan diri pada Hari Asyura tersebut tidak hanya dilakukan di bumi Karbala saja, tetapi juga dilakukan oleh kelompok Syiah di berbagai tempat lain. Menurut mereka, kegiatan penyiksaan diri pada sepuluh Muharam itu memiliki nilai ibadah yang tinggi, sebagaimana diungkapkan oleh imam-imam mereka.
 
Ungkapan Para Tokoh Syiah Tentang Hukum dan Keutamaan Pesta Duka Di Hari Asyura
 
Salah seorang dari tokoh Syiah telah menulis buku khusus tentang ritual pada Hari Asyura di Karbala dengan judul al-Majalis al-Fakhirah Fi Ma’atimil ‘Ithrahi ath-Thahirah [2] atau menurut penulis, kitab tersebut berjudul Manasik al-Husainiyyah.
 
Salah seorang tokoh mereka menyebutkan, bahwa ritual penyiksaan diri pada Hari Asyura di Karbala dimulai pada abad IV Hijriah pada masa Dinasti al-Buwaihi. Kemudian berlanjut pada masa Dinasti al-Fathimiyah. Acara tersebut sekarang ini diselenggarakan di negara-negara berpenduduk mayoritas orang-orang Syiah, seperti Irak, Iran, India, Siria, dll. [3]
 
Ad-Dimastani, ulama Syiah yang lain menegaskan:
“Meratapi kematian Husain dengan berteriak-teriak hukumnya wajib ‘aini (wajib atas setiap pribadi).” [4]
 
Ayatullah al-‘Uzhma syaikh Muhammad Husain an-Nati berkata:
“Tidak ada masalah tentang hukum bolehnya memukul pipi dan dada dengan tangan sampai merah dan menghitam. Dan lebih ditekankan lagi, memukul pundak dan punggung dengan rantai, sampai kulit kemerahan dan gosong. Bahkan lebih ditekankan lagi, jika hal itu menyebabkan keluarnya darah. Begitu pula mengeluarkan darah dari kening dan puncak kepala dengan pedang.” [5]
 
Setelah kita menyimak berbagai ungkapan tokoh-tokoh Syiah Rafidhah di atas, dapat kita ketahui, bahwa apa yang dinisbahkan kepada mereka itu benar. Dan bukanlah sebuah isu yang dibuat-buat.
 
Bila ungkapan-ungkapan tersebut kita sorot dengan cahaya Alquran dan petunjuk Sunnah, serta keyakinan para ulama Salaf, niscaya akan dijumpai jurang pemisah yang sangat dalam antara keyakinan orang-orang Syiah dengan keyakinan kaum Muslimin.
 
Sesatnya Pesta Duka Di Hari Asyura
 
Kekeliruan dan kesesatan acara pesta duka tidak sulit untuk dilacak, sebab terdapat banyak pelanggaran terhadap ajaran Islam. Berikut ini keterangannya:
 
1. Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Setiap Muslim akan merasa sedih atas terbunuhnya Husain radhiyallahu anhuma. Sesungguhnya dia adalah salah seorang dari generasi terkemuka kaum Muslimin, juga salah seorang ulama di kalangan para sahabat, dan anak dari putri kesayangan Rasulullah ﷺ. Ia adalah seorang ahli ibadah, seorang pemberani, dan pemurah. Tentang apa yang dilakukan Syiah (di Hari Asyura) seperti bersedih-sedih dan berkeluh-kesah merupakan tindakan tidak pantas. Boleh jadi itu mereka lakukan adalah karena pura-pura dan riya. Sesungguhnya ayah Husain (Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhuma) jauh lebih afdhal (utama) darinya. Beliau juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Akan tetapi mereka tidak menjadikan hari kematiannya sebagai hari berkabung layaknya hari kematian Husain radhiyallahu anhuma (yang diperingati). Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu terbunuh pada hari Jumat, saat keluar rumah mau melaksanakan Salat Subuh, pada tujuh belas Ramadan tahun 40 H.
 
Demikian juga Utsman radhiyallahu anhu, beliau lebih mulia dari Ali radhiyallahu anhu dalam pandangan Ahlussunnah wal Jamaah. Beliau dibunuh saat terjadi pengepungan terhadap rumahnya, pada Hari Tasyrik di bulan Zulhijah tahun 36 H. Beliau disembelih dari urat nadi ke urat nadi. Tidak pernah ada orang berduka di hari kematiannya.
 
Demikian pula halnya Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu. Beliau lebih afdhal dari Utsman dan Ali radhiyallahu anhuma. Terbunuh di mihrab saat Salat Subuh, saat sedang membaca Alquran. Namun tidak ada orang yang menjadikan hari kematiannya sebagai hari berduka.
 
Dan demikian juga Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu anhu. Beliau lebih afdhal dari Umar radhiyallahu anhu. Akan tetapi tidak pernah hari kematiannya dijadikan sebagai hari berkabung.
 
(Terakhir), Allah ﷻ telah memanggil Rasulullah ﷺ, penghulu anak Adam di dunia dan Akhirat, sama seperti para nabi sebelumnya. Namun tidak ada seorang pun menjadikan hari wafat beliau sebagai hari bela sungkawa, atau melakukan perbuatan orang-orang dari sekte Syiah pada hari kematian Husain. Tidak seorang pun menyebutkan, bahwa terjadi sesuatu sebelum atau sesudah hari kematian mereka, seperti apa yang disebutkan Syiah pada hari kematian Husain. Seperti terjadinya gerhana matahari, adanya cahaya merah di langit, dan lain-lain.” [6]
 
2. Syaikh Fadhil ar-Rumi rahimahullah, seorang ulama Dinasti Utsmaniyah mendudukkan kesalahan Syiah dalam masalah ini:
“Adapun menjadikan tanggal sepuluh Muharam sebagai hari berduka karena terbunuhnya Husain bin Ali radhiyallahu anhuma yang dilakukan kaum Syiah, hal itu adalah perbuatan orang-orang sesat sewaktu di dunia. Tetapi mereka mengira telah melakukan sesuatu yang amat baik. Padahal Allah ﷻ dan Rasul ﷺ saja tidak pernah memerintahkan untuk menjadikan hari musibah para nabi, atau hari kematian mereka sebagai hari berduka. Apalagi terhadap hari kematian orang-orang yang kedudukannya di bawah mereka.” [7]
 
Pada kesempatan lain beliau menyatakan:
“Di antara bentuk bidah yang dilakukan sebagian manusia pada Hari Asyura adalah menjadikan hari tersebut sebagai hari berduka. Mereka meratap dan bersedih serta menyiksa diri pada hari tersebut. Di samping itu mereka mencaci para sahabat Rasululullah ﷺ yang telah meninggal, berdusta atas nama keluarga Nabi ﷺ, dan melakukan berbagai kemungkaran lainnya yang dilarang dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah ﷺ, serta kesepakatan kaum Muslimin.
 
Sesungguhnya Husain radhiyallahu anhuma telah dimuliakan Allah ﷻ dengan menjadikannya sebagai orang yang mati syahid pada hari tersebut. Dia dan saudaranya Hasan adalah dua pemuda penghuni Jannah. Sekalipun terbunuhnya dua orang bersaudara tersebut merupakan musibah besar, akan tetapi Allah ﷻ mensyariatkan bagi kaum Muslimin ketika mengalami musibah untuk mengucapkan Kalimat Istirja (Inna lillah wa inna ilaihi raji’un). [8].
 
Kalimat Istirja merupakah salah satu anugerah yang hanya diberikan kepada umat Islam. Sa’id bin Jubair radhiyallahu anhu berkata:
 
لَمْ يُعطَ الْاسْتِرْجَاعُ لِأُمَّةٍ مِنَ الْأُمَمِ إِلاَّ هَذِهِ الْأُمَّةِ، وَلَوْ أعْطِيَ لِأَحَدٍ لَأُعْطِيَ يَعْقُوْبُ النبيّ أَلاَ تَرَى أَنَّهُ قَالَ فِيْ مَقَامِ الْاستِرْجَاعِ: يَا أَسَفَى عَلَى يُوْسُفَ
 
“Kalimat Istirja tidak diberikan bagi umat-umat lain kecuali untuk umat ini (umat Nabi Muhammad ﷺ). Jika seseorang diberi (sebelumnya, red), tentu akan diberikan kepada Nabi Yaqub Alaihissalam. Tidakkah Anda perhatikan beliau mengucapkan sebagai ganti Kalimat Istirja aduhai, betapa sedihnya kehilangan Yusuf.’” [9].
 
Dalam hadis, Rasulullah ﷺ telah menyampaikan Kalimat Istirja. Beliau ﷺ bersabda:
 
مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
 
“Tidaklah seorang Muslim ditimpa musibah, maka ia ucapkan ‘Inna lillah wa inna ilaihi raji’un’, (dan berdoa): ‘Ya Allah beri aku pahala atas musibah yang menimpaku. Gantilah untukku dengan sesuatu yang lebih baik darinya, melainkan Allah akan memberinya pahala untuknya atas musibah itu, dan mengganti dengan sesuatu yang lebih baik dari yang ia alami.” [HR. Muslim 2/632 no (918]
 
3. Adapun melakukan sesuatu yang dilarang Nabi ﷺ pada hari peringatan musibah setelah berlalu dalam masa yang cukup lama, perbuatan ini dosanya akan lebih besar lagi. Apalagi jika disertai dengan memukul-mukul muka, merobek-robek baju, berteriak-teriak, yang merupakan kebiasaan bangsa Jahiliyyah, melaknat dan mencaci orang-orang Mukmin (para sahabat Nabi radhiyallahu anhum), serta membantu orang-orang zindiq untuk merusak Islam. [10]
 
Rasulullah ﷺ telah menerangkan hukum menyiksa diri atas peristiwa musibah yang menimpa seseorang dalam hadis berikut ini:
 
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
 
“Tidak termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek baju, dan berteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
 
Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda:
 
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ بِالْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالِاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ. وَقَالَ: النَّائِحَةُ إذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطْرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
 
“Ada empat perkara yang termasuk perkara Jahiliyah terdapat di tengah umatku:
• Berbangga dengan kesukuan,
• Mencela keturunan (orang lain),
• Meminta hujan dengan bintang-bintang, dan
• Meratapi mayat.”
 
Kemudian beliau ﷺ menambahkan:
“Wanita yang meratapi mayat, apabila tidak bertobat sebelum meninggal, ia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat dengan memakai mantel dari tembaga panas, dan jaket dari penyakit kusta.” [HR. Muslim]
 
Abu Musa al-Asy ‘ari radhiyallahu anhu berkata:
 
أَنَا بَرِيءٌ مِمَّا بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِيءٌ مِنْ الْحَالِقَةِ , وَالصَّالِقَةِ , وَالشَّاقَّةِ
 
“Aku berlepas diri dari orang-orang yang Rasulullah ﷺ berlepas diri dari mereka. Sesungguhnya Rasulullah ﷺ berlepas diri dari wanita yang mencukur rambutnya, wanita yang berteriak-teriak, dan wanita yang merobek-robek baju (saat ditimpa musibah).” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
 
4. Pelanggaran lain dalam bentuk mencela para sahabat Rasulullah ﷺ.
 
Banyak sekali ayat maupun hadis yang menerangkan keutaman sahabat. Dan sebaliknya juga terdapat nash-nash yang mengharamkan melaknat dan mencaci para sahabat. Secara khusus, Rasulullah ﷺ telah melarang dengan tegas umatnya mencela para sahabat radhiyallahu anhum:
 
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
 
“Jangan kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang kalian menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud, niscaya tidak akan sampai (nilainya) segegam (pahalanya) salah seorang mereka, dan tidak pula separonya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
 
Maka berdasarkan hadis ini, seorang Mukmin wajib memuliakan mereka, dan menyebut mereka dengan kebaikan, serta menahan lisan dari mencela mereka.
Peristiwa terbunuhnya Utsman dan Husain radhiyallahu anhuma menyebabkan terjadinya fitnah yang besar, dan tersebarnya kedustaan yang banyak. Akibatnya muncul berbagai bentuk kesesatan dan bidah-bidah, menjerumuskan sebagian generasi umat ini sejak dulu sampai sekarang. Beragam kedustaan dan kesesatan serta bidah-bidah semakin hari semakin bertambah dan berkembang. Dan telah menimbulkan berbagai akibat yang tidak mungkin kita urai dalam bahasan singkat ini. [11]
 
Imam al-Ghazali rahimahullah dan ulama lainnya berkata:
“Diharamkan para penceramah untuk meriwayatkan kisah terbunuhnya Husain radhiyallahu anhuma, juga tentang hal-hal yang terjadi antara sesama para sahabat dalam perselisihan dan pertikaian mereka. Karena hal itu dapat memotivasi orang untuk membenci para sahabat radhiyallahu anhum, dan mencela mereka. Mereka adalah teladan umat, di mana para ulama mendapatkan ilmu melalui mereka. Kemudian ilmu tersebut sampai kepada kita melalui para ulama yang mengambil ilmu dari mereka. Maka orang yang mencela mereka adalah orang yang mencela diri dan agamanya.”
 
Ibnu Shalah rahimahullah dan Imam Nawawi rahimahullah berkata:
“Para sahabat seluruhnya adalah adil (terpercaya). Saat wafatnya Rasulullah ﷺ, jumlah sahabat mencapai seratus empat belas ribu (114.000) orang. Alquran dan Hadis telah menyatakan akan keadilan (ketakwaan) dan kemuliaan mereka. Dan segala sesuatu yang terjadi di antara mereka, terdapat pertimbangan-pertimbangan (yang membuat mereka tidak dihukumi telah berbuat kesalahan murni, red) yang tidak mungkin kita sebutkan satu-persatu dalam tulisan singkat ini.” [12]
 
Imam asy-Syafi’i rahimahullah:
“Itu adalah peristiwa pertumpahan darah, yang Allah menghindarkan tangan-tangan kita darinya. Maka hendaklah kita menyucikan lidah kita dari membicarakannya.”
 
Semoga Allah ﷻ melindungi kita dari berbagai bentuk kesesatan dan kebatilan, baik yang nyata maupun yang tersembunyi.
 
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
___
 
Catatan Kaki:
 
[1]. Penisbatan kepada nama Husain radhiyallahu anhuma
[2]. Lihat Man Qatalal Husain, hal: 60
[3]. Lihat Man Qatalal Husain, hal: 56
[4]. Lihat Man Qatalal Husain, hal: 65
[5]. Lihat Man Qatalal Husain, hal: 66
[6]. al-Bidayah wan Nihayah (8/208)
[7]. Majalisul Abrar majlis no 37.
[8]. Ibid.
[9]. Diriwayatkan Imam ath-Thabari rahimahullah dalam Tafsirnya (13/39)
[10]. Lihat Majalisul Abrar majlis no 37.
[11]. Lihat Majalisul Abrar majlis no 37.
[12]. Lihat “Ash shawa’iq Al Muhriqoh” karangan Al Haitamy: 2/640
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
PESTA DUKA DI HARI ASYURA
PESTA DUKA DI HARI ASYURA
PESTA DUKA DI HARI ASYURA