بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 
PERAYAAN NATAL DAN AKIDAH AL-WALA WAL AL-BARA YANG DIANGGAP USANG
 
Akidah al-wala dan al-bara merupakan salah satu konsekuensi dari tauhid. Seseorang yang menauhidkan Allah ﷻ dan taat kepada Rasulullah ﷺ, maka tidak boleh baginya mencintai dan loyal kepada orang-orang yang memusuhi Allah ﷻ dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah saudaranya yang paling dekat.
 
Pengertian dan Kedudukan Akidah Al-Wala dan Al-Bara dalam Islam
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, bahwa pada asalnya kata al-wala berarti cinta dan dekat, sedangkan kata al-bara berarti benci dan jauh. [Lihat Al-Furqon baina Auliya-irrahman wa Auliya-isy Syaithan, hal. 27, cetakan Maktabah Al-Furqon, tahqiq: Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali] Sehingga yang dimaksud dengan al-wala adalah menolong, mencintai, memuliakan, dan menghormati, serta selalu merasa bersama dengan orang yang dicintainya, baik secara lahir maupun batin. Adapun yang dimaksud dengan al-bara adalah menjauh, berlepas diri, membenci, dan memberikan permusuhan.
 
Di antara pokok akidah Islam adalah wajib bagi setiap Muslim untuk memerhatikan al-wala dan al-bara ini, sehingga dia mencintai sesama Muslim lainnya, dan membenci musuh-musuhnya. Dia mencintai orang-orang yang bertauhid dan loyal kepada mereka, serta membenci dan memusuhi pelaku syirik. Allah ﷻ telah mengharamkan orang-orang beriman untuk mencintai dan loyal kepada orang-orang kafir, meskipun mereka adalah kerabat dan saudaranya sendiri. Allah ﷻ berfirman:
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آَبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
 
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali (kekasih), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” [QS. At-Taubah 9 : 23]
 
Al-wala dan al-bara merupakan konsekuensi dari rasa cinta kita kepada Allah ﷻ. Orang yang mencintai Allah, maka dia dituntut untuk membuktikan cintanya kepada Allah, yaitu dengan mencintai yang Allah cintai, dan membenci apa yang Allah benci. Di antara yang dicintai Allah ﷻ adalah ketaatan dan orang-orang yang bertakwa, sedangkan di antara yang Allah ﷻ benci adalah kemaksiatan, kekafiran, kemusyrikan, serta syiar-syiarnya. Allah ﷻ berfirman:
 
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
 
”Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan Hari Akhirat saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka.” [QS. Al-Mujadilah 58 : 22]
 
Allah ﷻ berfirman:
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.“ [QS. Al-Mumtahanah 60 : 1]
 
Dalam ayat di atas Allah ﷻ melarang untuk memberikan loyalitas kepada orang kafir secara umum. Kemudian Allah tegaskan lagi di ayat yang lain adanya larangan untuk memberikan loyalitas kepada Yahudi dan Nasrani secara khusus. Allah ﷻ berfirman:
 
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصارى أَوْلِياءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِياءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [QS. Al-Maidah 5 : 51]
 
Dalam ayat di atas Allah ﷻ menjelaskan, bahwa tidak akan pernah terjadi adanya orang-orang Mukmin yang mencintai dan memberikan loyalitas kepada orang kafir, baik orang kafir secara umum, ataupun orang Yahudi dan Nasrani secara khusus. [Lihat penjelasan Syaikh DR. Shalih Al-Fauzan dalam Al-Irsyad ila Sahihil I’tiqod, hal. 248, cetakan pertama, tahun 2006, Maktabah Salsabila]
 
Jika ada orang Mukmin yang mencintai orang kafir, maka ketahuilah, bahwa dia bukan orang Mukmin, meskipun dia mengklaim dirinya sebagai seorang Mukmin. Ayat di atas juga menunjukkan, bahwa kecintaan kepada orang kafir meniadakan iman kepada Allah dan Hari Akhir, baik menghilangkan iman secara total, atau hanya sebagian saja. Jika kecintaan kepada orang kafir itu menyebabkan seseorang mendukung dan membela kekafiran mereka, maka perbuatan ini mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Namun jika hanya semata-mata rasa cinta yang tidak sampai membela dan mendukung kekafiran mereka, maka hal ini dapat mengurangi dan melemahkan iman. [Diringkas dari penjelasan Syaikh DR. Shalih Al-Fauzan dalam Syarh Tsalatsatul Ushuul, hal. 48-49, cetakan pertama, tahun 1427, Daar Al-Imam Ahmad]
 
Kepada Siapakah Kita Bersikap Wala atau Bara?
 
Dilihat dari sisi waladan bara, terdapat tiga jenis golongan manusia:
 
Pertama: Orang-orang yang wajib kita cintai secara mutlak, tidak boleh kita benci sama sekali. Mereka adalah orang-orang beriman dari kalangan para nabi, para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin, para ulama, dan orang-orang saleh secara umum. Yang paling utama di antara mereka adalah Rasulullah ﷺ. Kecintaan kita kepada beliau ﷺ haruslah lebih besar daripada kecintaan kita kepada anak, atau orang tua kita, bahkan diri kita sendiri.
 
Kedua: Orang-orang yang harus kita benci secara mutlak, tidak boleh kita cintai sama sekali. Mereka adalah orang-orang kafir, orang-orang musyrik, dan orang-orang munafik. Allah ﷻ berfirman:
 
تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ
 
”Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sungguh amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka sendiri, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka, dan mereka akan kekal dalam siksaan.” [QS. Al-Maidah 5 : 80]
 
Ketiga: Orang-orang yang kita cintai dari satu sisi, namun juga kita benci dari sisi yang lain. Mereka adalah orang Muslim yang terjerumus dalam kemaksiatan, sehingga terkumpul dalam diri kita rasa cinta sekaligus rasa benci kepada mereka. Kita tidak boleh membenci mereka saja dan tidak mencintainya sama sekali, bahkan berlepas diri dari mereka. Namun kita mencintai mereka karena keimanan mereka, dan kita juga membenci mereka karena maksiat yang mereka kerjakan. Hal ini dengan catatan, bahwa maksiat yang mereka lakukan adalah maksiat yang tingkatannya di bawah kesyirikan dan kekafiran. Kecintaan kepada mereka menuntut kita untuk menasihati dan tidak tinggal diam atas maksiat yang mereka kerjakan. Bahkan kita wajib mengingkarinya, memerintahkan mereka untuk berbuat yang makruf, dan mencegah mereka dari perbuatan munkar. Apabila memiliki kewenangan, kita juga dapat menghukum mereka, sehingga mereka berhenti melakukan maksiat tersebut, dan bertobat dari kesalahannya. [Lihat Al-Wala wal Bara fil Islaam karya Syaikh DR. Shalih Al-Fauzan, hal. 92-96]
 
Ketidaktahuan Kebanyakan Umat Islam terhadap Akidah Al-Wala wal Bara yang Agung Ini
 
Seiring dengan ketidakpedulian umat Islam pada zaman ini terhadap ajaran agamanya, maka kita jumpai banyak di antara kaum Muslimin yang meremehkan akidah yang agung ini. Orang yang seharusnya dibenci dan dimusuhi justru dicintai dan diagung-agungkan. Sedangkan yang seharusnya dicintai justru dibenci dan dimusuhi. Kita jumpai saudara-saudara kita yang menyebut orang-orang Nasrani sebagai “saudara-saudara kita,” atau ungkapan berbahaya semacam itu. [Lihat perkataan Syaikh DR. Shalih Al-Fauzan dalam Al-Irsyad ila Sahihil I’tiqod, hal. 248, cetakan pertama, tahun 2006, Maktabah Salsabila]
 
Kita jumpai pula saudara-saudara kita yang lebih menghormati, mencintai, dan menjadikan orang-orang kafir sebagai idola dalam hidupnya. Berapa banyak penggila bola yang sampai hafal para pemain bola dari luar negeri yang mayoritas orang-orang kafir? Mereka mengidolakannya, “ngefans” berat kepada mereka, sampai-sampai memajang foto-foto mereka di kamar tidurnya. Mereka pun sampai rela bangun tengah malam untuk menonton aksi sang idola tercinta, dan meninggalkan salat malam yang lebih utama. Lalu berapa banyak pula saudara-saudara kita yang tergila-gila dengan artis Barat? Mereka rajin untuk mengikuti berita atau gosip terbaru tentang kehidupan mereka, mencontoh gaya hidup mereka, dan rela antri mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit untuk menonton setiap aksi mereka ketika film terbaru mereka keluar di pasaran. [Silakan disimak tulisan yang sangat bermanfaat oleh sahabat sekaligus guru kami, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc]
 
Akan tetapi sebaliknya, marilah kita melihat betapa banyak saudara kita yang memandang sinis ketika melihat saudaranya melaksanakan ajaran agamanya dengan (misalnya) memanjangkan jenggotnya dan tidak memotongnya, serta memakai celana sampai di atas mata kakinya. Berapa banyak yang memandang mereka sebagai orang-orang kampungan, orang-orang kolot, dan julukan-julukan yang lebih ngeri dari itu semua seperti “manusia sok suci”, “kambing”, “orang kebanjiran”, atau “teroris”? Bahkan kita jumpai kebencian dan sikap antipati yang sangat ketika melihat seorang Muslim dengan penampilan seperti itu. Padahal mereka itulah saudaranya yang sebenarnya, bukan orang-orang kafir itu. Allah ﷻ berfirman:
 
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
 
”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” [QS. Al-Hujurat 49 : 10]
 
Bahkan semua orang beriman adalah saudara-saudara kita dalam akidah, meskipun jauh kekerabatannya, jauh tempat tinggalnya, atau jauh masa hidupnya dengan kita. Allah ﷻ berfirman:
 
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
 
”Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (kaum Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: ’Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman terlebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan adanya kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” [QS. Al-Hasyr 59: 10]
 
Sehingga merupakan kewajiban sebagai seorang Muslim untuk membenci orang-orang musyrik, baik mereka adalah orang dekat atupun jauh hubungan kekerabatannya dengan kita. Karena kedekatan yang sebenarnya adalah kedekatan agama, bukan dekatnya garis keturunan. Oleh karena itu seorang Muslim, meskipun berjauhan negeri tempat tinggalnya, maka mereka adalah saudara-saudara kita dalam agama. Sebaliknya, orang-orang kafir, meskipun mereka adalah saudara kandung kita, mereka adalah musuh kita dalam agama. Allah ﷻ telah meniadakan keimanan dalam hati orang-orang yang loyal dan mencintai orang kafir, sebagaimana dalam Surat Al-Mujaadilah ayat ke-22 yang telah dikutip di atas. Sehingga tidaklah mungkin berkumpul dalam diri seseorang, antara keimanan kepada Allah ﷻ dengan mencintai musuh-musuh Allah ﷻ. [Lihat At-Tanbihaat Al-Mukhtasharah, hal. 31]
 
Bentuk-Bentuk Loyalitas Kepada Orang Kafir yang Diharamkan, Namun Tidak Sampai Membatalkan Iman
 
Terdapat beberapa bentuk dan contoh wala (loyalitas) kepada orang kafir yang diharamkan, namun tidak sampai derajat pembatal iman. Berikut ini beberapa contoh di antaranya:
 
Pertama: Menjadikan orang kafir sebagai sahabat atau teman dekat, sebagai tempat berkeluh kesah dan sebagai tempat berbagi rasa (tempat curhat).
 
Allah ﷻ berfirman:
 
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
”Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan Hari Akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga meraka.” [QS. Al-Mujadilah 58 : 22]
 
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
 
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri darimu dan dari semua yang kamu sembah selain Allah. Kami ingkari (kekafiran)mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kamu beriman kepada Allah saja.” Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu, dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal, dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” [QS. Al-Mumtahanah 60 : 4]
 
Rasulullah ﷺ bersabda:
 
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
 
“Seseorang itu sesuai dengan agama sahabatnya. Oleh karena itu, perhatikanlah siapa yang menjadi sahabat kalian.” [HR. Abu Dawud no. 4833 dan Tirmidzi no. 2378. Dinilai Hasan oleh Syaikh Al-Albani]
 
Menjadi kewajiban atas setiap Muslim untuk membenci orang-orang kafir dan musyrik, menjauhkan diri dari mereka. Dan ini termasuk di antara perkara yang disepakati oleh kaum Muslimin. Adapun mencintai orang kafir, maka dalam hal ini terdapat rincian yang akan disebutkan nanti.
 
Kedua: Bertempat tinggal menetap di negeri kafir
 
Jika negeri asal seseorang adalah negeri Muslim, maka tidak boleh (haram) baginya berpindah ke negeri kafir dan menetap (berdomisili) di negeri kafir, tersebut serta mengubah kewarganegaraannya, meskipun di negeri kafir tersebut dia masih mampu menampakkan keislamannya.
 
Dikecualikan dalam masalah ini adalah jika dalam kondisi darurat. Misalnya terdapat konflik (perang) di negeri asalnya, dan hanya negeri kafir tersebut yang mudah menerima kedatangan pengungsi dan memberikan suaka. Selain dalam kondisi darurat tersebut, maka hukumnya tetap haram.
 
Hal ini berdasarkan perkataan sahabat Jarir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
 
بَايَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى النُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ، وعلى مفارقة المشرك
 
“Aku berbaiat kepada Nabi ﷺ untuk memberikan nasihat kepada setiap Muslim, dan memisahkan diri dari orang-orang musyrik.” [HR. An-Nasa’i 7: 148 dan Ahmad 4: 365, Sahih]
 
Kondisinya berbeda jika negeri asal orang tersebut adalah negeri kafir. Misalnya orang tuanya kafir dan sejak kecil tinggal di negeri kafir, kemudian dia masuk Islam. Dalam kondisi ini, dirinci menjadi dua keadaan:
 
Keadaan Pertama: Dia tidak bisa menampakkan keislamannya (misalnya tidak boleh salat, tidak boleh memakai jilbab), dan bisa untuk hijrah ke negeri Muslim. Maka wajib bagi dia untuk hijrah ke negeri Muslim berdasarkan Ijmak para ulama. Dia tidak boleh menetap di negeri kafir tersebut, kecuali dalam kondisi darurat. Jika tidak mampu hijrah, tidak mengapa tetap berdomisili di negeri tersebut, misalnya orang-orang tua yang secara fisik tidak memungkinkan untuk hijrah.
 
Allah ﷻ berfirman:
 
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا؛ إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا
 
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”
Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).”
Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”
Orang-orang itu tempatnya di Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya, dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” [QS. An-Nisa’ 4 : 97-98]
 
Keadaan Kedua: Jka orang tersebut masih mampu menampakkan syiar-syiar Islam, masih boleh salat, masih boleh belajar ilmu agama, boleh memakai jilbab, dan yang lainnya, maka hijrah ke negeri Muslim hukumnya sunnah, boleh baginya untuk tidak hijrah.
 
Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, ada seorang Arab Badui bertanya kepada Nabi ﷺ tentang hijrah. Nabi ﷺ berkata:
 
وَيْحَكَ، إِنَّ شَأْنَ الْهِجْرَةِ لَشَدِيدٌ، فَهَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ؟
 
“Janganlah begitu, sesungguhnya hijrah itu berat. Apakah engkau memiliki unta?”
Orang tersebut menjawab: “Iya.”
Rasulullah ﷺ bertanya: “Apakah engkau membayarkan zakatnya?”
Orang tersebut menjawab: “Iya.”
Rasulullah ﷺ pun bersabda:
 
فَاعْمَلْ مِنْ وَرَاءِ الْبِحَارِ، فَإِنَّ اللهَ لَنْ يَتِرَكَ مِنْ عَمَلِكَ شَيْئًا
 
“Silakan tetap beramal saleh di negeri asalmu di seberang lautan itu, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal salehmu sedikit pun.” [HR. Bukhari no. 1452 dan Muslim no. 1865]
 
Bahkan terkadang dianjurkan bagi seseorang untuk tidak hijrah ketika terdapat maslahat di negeri asalnya tersebut. Misalnya dia bisa berdakwah atau mengajarkan Islam di negeri asalnya tersebut.
 
Ketiga: Safar (bepergian) ke negeri kafir tanpa ada kebutuhan
 
Diharamkan atas setiap Muslim untuk safar ke negeri kafir kecuali jika ada hajat (kebutuhan). Jika terdapat kebutuhan atau keperluan untuk safar ke negeri tersebut, baik kebutuhan pribadi atau kebutuhan yang menyangkut urusan kaum Muslimin secara umum, maka safar tersebut dibolehkan jika memenuhi tiga syarat:
 
Syarat Pertama: Orang yang safar ke negeri tersebut memiliki ilmu terhadap agamanya, dan juga ilmu terhadap hal-hal yang bermanfaat dan membahayakan dirinya.
 
Syarat Kedua: Orang tersebut tinggal di tempat yang aman dan jauh dari fitnah (kerusakan) terhadap agama dan akhlaknya.
 
Syarat Ketiga: Orang tersebut mampu menampakkan syiar-syiar Islam di negeri tersebut.
 
Termasuk di antara kebutuhan yang membolehkan safar ke negeri kafir adalah safar dalam rangka dakwah, keperluan perdagangan (bisnis), berobat, atau bertugas sebagai utusan resmi negara (duta besar), atau safar dalam rangka memelajari suatu ilmu yang tidak diperoleh di negeri Muslim.
 
Adapun safar ke negeri kafir karena wisata, jalan-jalan, atau berlibur, maka hal ini termasuk safar yang haram, karena tercakup dalam keumuman hadis yang diriwayatkan oleh Jarir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu di atas. Dan juga karena hal ini bisa membahayakan agama dan akhlaknya.
 
Keempat: Ikut berperan serta dalam merayakan hari besar agama mereka dan memberikan ucapan selamat atas hari raya keagamaan mereka.
 
Tidaklah diperbolehkan atas setiap Muslim untuk ikut bercampur baur dan berperan serta dalam merayakan hari besar keagamaan orang kafir (misalnya menjadi panitia), karena dalam perbuatan tersebut berarti tanda menyetujui dan rida terhadap perayaan tersebut, serta saling menolong di dalamnya. Allah ﷻ berfirman:
 
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
 
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS. Al-Maidah 5 : 2]
 
Juga diharamkan untuk memberikan ucapan selamat atas hari raya keagamaan mereka. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
 
“Adapun mengucapkan selamat atas syiar-syiar kekafiran yang menjadi ciri khas mereka, maka perbuatan ini haram berdasarkan Ijmak ulama. Misalnya mengucapkan selamat dengan hari raya keagamaan dan hari puasa mereka, dengan mengatakan: “Selamat hari raya.” Atau ikut merasa gembira (dengan hari raya tersebut) dan semacamnya. Perbuatan semacam ini, jika pelakunya bisa selamat dari kekafiran, maka (minimal) hukumnya haram, dan sejenis dengan perbuatan mengucapkan selamat atas perbuatan mereka dalam bersujud kepada berhala.” [Ahkaam Ahlu Dzimmah, 1: 162]
 
Syaikh Muhammad bin Sa’id Al-Qahthani berkata dalam kitab beliau yang sangat bermanfaat, Al-Wala wal Bara fil Islam:
 
“Adapun memberikan ucapan selamat atas syiar-syiar kekafiran yang menjadi ciri khas mereka, maka ini hukumnya haram dengan kesepakatan (ulama). Yang demikian itu misalnya memberikan ucapan selamat atas hari besar keagamaan mereka dengan mengatakan: “Iid mubarok.” (Selamat hari raya Natal, atau yang lainnya, pen.). Atau ikut bergembira dengan adanya hari raya mereka. Jika yang mengatakan (ucapan selamat tersebut) terbebas dari kekafiran, maka hal ini termasuk perkara yang diharamkan. Ini sama saja dengan ikut memberikan selamat atas sujud (peribadatan) mereka kepada salib. Bahkan ini termasuk dosa yang paling besar di sisi Allah. Dan lebih besar perkaranya dibandingkan ikut mendukung mereka minum khamr, membunuh jiwa, atau terjerumus ke dalam zina yang haram, atau semacamnya.
 
Kebanyakan orang yang tidak paham agama terjerumus dalam hal ini. Mereka tidak tahu betapa kejinya perbuatan yang mereka lakukan. Maka barang siapa yang memberikan ucapan selamat atas maksiat yang dilakukan oleh seorang hamba, atau bidah dan kekafiran yang mereka lakukan, maka dia telah mendatangkan kebencian dan kemurkaan Allah ﷻ.” [Al-Wala wal Bara fil Islam, hal. 359]
 
Adapun jika ucapan selamat tersebut disertai rida terhadap agama kekafiran mereka, maka ini termasuk wala yang membatalkan iman.
 
Kelima: Tasyabbuh (menyerupai) orang kafir dalam perkara-perkara yang menjadi ciri khas mereka
 
Kaum Muslimin dilarang untuk menyerupai orang kafir dalam perkara-perkara yang menjadi ciri khas orang kafir. Yang dimaksud dengan “ciri khas” adalah semua sifat atau perbuatan yang bisa menjadi pembeda antara orang kafir dan kaum Muslimin, baik dalam hal ibadah, adat kebiasaan, akhlak atau tingkah laku, dan baik hukum asalnya mubah atau haram dalam agama Islam.
 
Beberapa perbuatan yang termasuk tasyabbuh dengan orang kafir:
 
Contoh Pertama: Ikut-ikutan memangkas rambut dengan model rambut pesebak bola luar negeri tertentu yang orang kafir. Sehingga semua orang yang melihatnya mengetahui, bahwa dia ikut-ikutan dengan model rambut pesebak bola tersebut.
 
Contoh Kedua: Memakai mode pakaian yang sama persis dipopulerkan oleh artis yang kafir, dan sudah menjadi simbol si artis kafir tersebut.
 
Contoh Ketiga: Memakai penutup kepala yang menjadi ciri khas dan simbol orang Hindu atau orang Yahudi.
 
Jika suatu perbuatan itu bukan ciri khas orang kafir, maka bukan termasuk tasyabbuh. Misalnya, memakai jas dan dasi.
 
Perbuatan yang dilarang karena tasyabbuh tersebut bisa jadi hukum asalnya memang haram. Misalnya tidak memakai jilbab bagi wanita hukum asalnya adalah haram dan dosa besar. Perbuatan ini juga diharamkan dari sisi lainnya, yaitu karena tasyabbuh dengan wanita non-Muslim. Karena wanita yang tidak memakai jilbab akan sulit dibedakan dengan wanita non-Muslim, jika semata-mata dilihat dari penampilannya.
 
Allah ﷻ melarang tasyabbuh dengan orang kafir dalam firman-Nya:
 
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ
 
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)? Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya.” [QS. Al-Hadid 57 : 16]
 
Tasyabbuh ini diharamkan karena menunjukkan sikap inferior (rendah diri) kaum Muslimin, sehingga akhirnya mengagung-agungkan orang kafir. Padahal orang kafir adalah sejelek-jelek makhluk di muka bumi. Inilah cara pandang yang benar bagi kaum Muslimin dalam melihat dan memandang orang kafir, sehebat apa pun mereka dalam urusan duniawi. Allah ﷻ berfirman:
 
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
 
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke Neraka Jahannam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.“ [QS. Al-Bayyinah 98 : 6]
 
Tasyabbuh dengan orang-orang kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khas mereka adalah tanda adanya cinta dan loyalitas dalam hati kaum Muslimin kepada mereka. Sehingga siapa saja yang tasyabbuh dengan orang kafir, maka Rasulullah ﷺ samakan dengan orang kafir tersebut. Rasulullah ﷺ bersabda:
 
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
 
”Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [HR. Abu Dawud no. 4031, hadis ini Sahih]
 
Selain itu, kaidah penting berkaitan dengan tasyabbuh adalah, bahwa tasyabbuh itu hukumnya tidak diperbolehkan, tanpa melihat niat pelakunya. Misalnya seorang memakai pakaian pendeta dalam rangka pawai atau festival. Maka tetap haram, meskipun niatnya hanya untuk pawai dan tidak ada niat untuk tasyabbuh.
 
Keenam: Menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau orang kepercayaan
 
Tidak boleh atas setiap Muslim untuk menjadikan orang kafir sebagai orang kepercayaan (bithonah), dalam bentuk:
• Menyampaikan kepadanya rahasia-rahasia pribadi kita,
• Meminta saran dan nasihat kepadanya dalam urusan pribadi kita,
• Meminta saran dan nasihat terkait dengan urusan kaum Muslimin, atau
• Menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau pemegang urusan-urusan kaum Muslimin. Misalnya mengangkat mereka sebagai juru tulis negara (sekretaris) atau sebagai pemimpin atas kaum Muslimin di suatu wilayah (misalnya, presiden, gubernur, atau bupati).
 
Allah ﷻ berfirman:
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ ؛ هَا أَنْتُمْ أُولَاءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلَا يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الْأَنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ ؛ إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka. Dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
 
Beginilah kalian. Kalian menyukai mereka (orang kafir), padahal mereka tidak menyukai kalian. Dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: “Kami beriman.” Dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari karena marah bercampur benci terhadap kalian. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu.” Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati.
 
Jika kamu memeroleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati. Tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” [QS. Ali ‘Imran 3 : 118-120]
 
Diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau disarankan untuk mengangkat seorang juru tulis handal, namun beragama Nasrani. Maka beliau radhiyallahu ‘anhu menolaknya dengan mengatakan:
 
قَدِ اتَّخَذْتُ إِذًا بِطَانَةً مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
 
“Kalau begitu aku akan menjadikan dia sebagai orang kepercayaan, dengan meninggalkan orang-orang beriman.” [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf, 8: 470 dan Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya, 2: 550; dengan sanad yang Sahih]
 
Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah berkata ketika menjelaskan tafsir ayat di atas dan setelah menyebutkan riwayat Umar tersebut:
 
فَفِي هَذَا الأثر مع هذه الآية دليل عَلَى أَنَّ أَهْلَ الذِّمَّةِ لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُمْ فِي الْكِتَابَةِ الَّتِي فِيهَا اسْتِطَالَةٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وإطلاع على دواخل أمورهم لَّتِي يُخْشَى أَنْ يُفْشُوهَا إِلَى الْأَعْدَاءِ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ
 
“Dalam riwayat ini terdapat dalil, bahwa orang Kafir Dzimmi tidak boleh diangkat sebagai juru tulis (sekretaris) karena akan menyebabkan mereka sombong di hadapan kaum Muslimin. Dan mereka akan mengetahui rahasia-rahasia urusan kaum Muslimin, yang dikhawatirkan akan mereka bocorkan kepada musuh-musuh kaum Muslimin, yaitu orang Kafir Harbi (orang kafir yang memerangi kaum Muslimin).” [Tafsir Ibnu Katsir, 2: 92-93]
 
Sahabat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga mengingkari tindakan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu yang telah mengangkat seorang Nasrani sebagai sekretarisnya, ketika Abu Musa menjabat sebagai gubernur di Syam. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu marah dan memerintahkan Abu Musa Al-Asy’ari untuk memecatnya, dan mengangkat sekretaris baru dari kalangan kaum Muslimin. Kemudian Umar membacakan ayat:
 
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصارى أَوْلِياءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِياءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [QS. Al-Maidah 5 : 51]
 
Kisah di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim ketika menjelaskan tafsir ayat di atas dan juga Al-Baihaqi (9: 204) dengan sanad yang Hasan dari sahabat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Juga dikutip oleh Ibnu Katsir ketika menjelaskan suart Al-Maidah ayat 51 [Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3: 120]
 
Ketujuh: Tinggal serumah bersama orang kafir
 
Tidak boleh bagi seorang Muslim untuk tinggal satu rumah bersama orang kafir, meskipun mereka adalah kerabat atau teman. Juga tidak boleh tinggal bersama mereka, meskipun ada tujuan-tujuan duniawi tertentu, misalnya memelajari bahasa mereka (misalnya bahasa Inggris) atau urusan bisnis (misalnya karena orang tersebut adalah rekan bisnisnya).
 
Juga tidak diperbolehkan sengaja mengunjungi rumah orang kafir karena:
• Ingin menyenangkan atau menghibur dirinya,
• Merasa senang dan nyaman kalau dekat-dekat bersama mereka, atau
• Sekadar main-main mencari hiburan tanpa alasan. Sebaliknya, juga tidak diperbolehkan untuk meminta mereka mengunjungi rumah kita dengan latar belakang tersebut. Karena hal ini termasuk dalam keumuman larangan menjadikan orang kafir sebagai sahabat dekat kita.
 
Adapun jika saling mengunjungi karena alasan-alasan yang bisa dibenarkan, misalnya masih ada hubungan kerabat, hubungan tetangga, hal ini tidak mengapa. Demikian pula jika mengunjungi karena ada maksud-maksud tertentu, misalnya dalam rangka dakwah dan melembutkan hati orang kafir tersebut dengan menampakkan akhlak Islam yang luhur (misalnya, mengunjungi orang kafir yang sakit). Selama hal itu aman dari fitnah terhadap agama dan fisik kita, maka diperbolehkan sekadar dengan kebutuhan-kebutuhan atau maksud-maksud tersebut, dan tidak berlebih-lebihan.
 
Referensi:
Disarikan dari kitab Tahdziib Tashiil Al-‘Akidah Al-Islamiyyah, karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin hafizhahullahu Taala, cetakan Maktabah Makkah tahun 1425 H.
Penulis: M. Saifudin Hakim
Sumber:
https://Muslimah.or.id/6845-perayaan-Natal-dan-akidah-al-wala-wal-al-bara-yang-dianggap-usang-1.html
 
 
 
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook:
https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
PERAYAAN NATAL DAN AKIDAH AL-WALA WAL AL-BARA YANG DIANGGAP USANG
PERAYAAN NATAL DAN AKIDAH AL-WALA WAL AL-BARA YANG DIANGGAP USANG
PERAYAAN NATAL DAN AKIDAH AL-WALA WAL AL-BARA YANG DIANGGAP USANG
PERAYAAN NATAL DAN AKIDAH AL-WALA WAL AL-BARA YANG DIANGGAP USANG