بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
PENYIMPANGAN-PENYIMPANGAN AKIDAH ASY’ARIYAH
Setelah kita menelusuri sosok Imam Abul Hasan al-Asy’ari, ternyata beliau adalah salah seorang ulama Ahlus Sunnah. Bahkan dengan tegas beliau menyatakan berakidah seperti akidah al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Sekarang masih ada satu pertanyaan yang perlu kita jawab, yaitu Benarkah Asy’ariyah termasuk golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah?
Untuk menjawab masalah ini kita harus mengetahui hakikat kelompok ini dan pemikiran-pemikirannya.
Siapakah Asy’ariyah?
Kelompok Asy’ariyah adalah kelompok yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah dan menganut paham al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah. Benarkah pengakuan mereka? Karena banyak yang mengaku dirinya sebagai Ahlus Sunnah, padahal akidahnya jauh dari akidah Ahlus Sunnah.
Allah ﷻ berfirman:
“Datangkanlah bukti kalian, jika kalian orang-orang yang benar.” [QS. al-Baqarah: 111].
Kata pepatah Arab: Semua orang mengaku sebagai kekasih Laila, padahal Laila tidak mengakui mereka sebagai kekasihnya.
Sejarah Munculnya Paham Asy’ariyah
Telah kita ketahui, bahwa bibit pemikiran Asy’ariyah muncul ketika Abul Hasan al-Asy’ari mengkritisi pemikiran Muktazilah ayah tirinya yakni Abu Ali al-Jubba’i. Padahal itu terjadi jauh setelah masa generasi utama berakhir. Bahkan setelah zaman Imam Ahlus Sunnah al-Imam Syafi’i rahimahullah. Berarti, di zaman sahabat, tabiin, tabiut tabiin, bahkan di zaman al-Imam Malik, Abu Hanifah, dan al-Imam Syafi’i, BELUM ada yang namanya paham Asy’ariyah.
Telah kita ketahui pula, bahwa Abul Hasan al-Asy’ari sendiri telah rujuk dari pendapatnya, menegaskan bahwa beliau di atas akidah al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Jadi siapakah panutan Asy’ariyah, jika imam yang empat saja tidak mengenal paham mereka?!
Sumber Ilmu Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah satu kelompok Ahlul Kalam, yakni mereka yang berbicara tentang Allah ﷻ dan agama-Nya tidak berlandaskan Alquran dan as-Sunnah. Mereka mengutamakan rakyu (akal) mereka dalam membahas perkara agama. Oleh karena itu kita akan mendapatkan penyimpangan mereka dalam ber-istidlal (pengambilan dalil). Di antara prinsip mereka yang menyimpang dalam berdalil:
1. Dalil-dalil sam’i adalah dalil-dalil dari Alquran dan as-Sunnah Mutawatir, bukan hadis-Hadis Ahad, karena Hadis Ahad bukanlah hujah dalam masalah akidah.
Ar-Razi berkata dalam Asasut Tadqis: “Adapun berpegang dengan Hadis Ahad dalam mengenal Allah ﷻ tidaklah diperbolehkan.”
2. Mendahulukan akal daripada dalil. Hal ini telah disebutkan oleh al-Juwaini, ar-Razi, al-Ghazali, dan lainnya. Sebagai contoh: Ar-Razi menjelaskan dalam Asasut Taqdis: “Jika nash bertentangan dengan akal, maka harus mendahulukan akal.”
3. Nash-nash Alquran dan as-Sunnah dhaniyatud dalalah (kandungannya hanya bersifat kira-kira), tidak menetapkan keyakinan dan kepastian.
4. Menakwil nash-nash Alquran dan as-Sunnah tentang nama-nama dan sifat Allah ﷻ.
5. Sering menukil ucapan falasifah (orang-orang filsafat). Ini kental sekali dalam kitab-kitab mereka sepeti Ihya Ulumudin. [Lihat Ta’kid Musallamat Salafiyah, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyairah)
Penyimpangan-Penyimpangan Asy’ariyah
Allah ﷻ menjelaskan bahwa jalan kebenaran hanya satu. Allah ﷻ berfirman:
“Dan inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah dia.” [QS. al-Anam: 153]
Rasulullah ﷺ menjelaskan, bahwa jalan tersebut adalah jalannya dan jalan yang telah ditempuh para sahabatnya. Beliau ﷺ bersabda:
“Umatku terpecah menjadi 73 golongan: 72 di Neraka dan satu yang selamat. Mereka adalah al-jama’ah.”
Atau dalam riwayat lain:
”(mereka adalah yang berjalan) di atas jalanku dan jalan sahabatku.” Merekalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Ahlul Hadis.
Ketika Asy’ariyah menyelisihi jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, maka mereka pun terjatuh dalam penyimpangan-penyimpangan dalam prinsip agama. Di antara penyimpangan mereka:
1. Dalam Masalah Tauhid
Asy’ariyah menyatakan tauhid adalah (sekadar) menafikan berbilangnya pencipta. Sehingga umumnya mereka menafsirkan kalimat tauhid hanya sebatas Tauhid Rububiyah, yaitu tidak ada pencipta atau tidak ada yang bisa mencipta selain Allah ﷻ. Mayoritas mereka tidak mengenal Tauhid Uluhiyah. Adapun Ahlus Sunnah meyakini bahwa tauhid ada tiga: Tauhid Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma Wa Sifat. Ahlus Sunnah meyakini bahwa tauhid adalah kewajiban pertama atas seorang hamba, terkhusus tauhid Uluhiyah, karena untuk itulah manusia diciptakan. Allah ﷻ berfirman:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” [QS. adz-Dzariat: 56]
2. Dalam Masalah Iman
Asy’ariyah dalam masalah iman di atas Mazhab Murji’ah Jahmiyah. Mereka menyatakan iman hanyalah tasdiq bilqalbi (pembenaran dengan hati). Mereka menyatakan bahwa iman hanyalah membenarkan. Mereka tidak menyatakan amal termasuk dari iman, dan tidak memvonis seseorang telah terjatuh dalam kekafiran dengan semata kesalahan amalan anggota badan. Mereka pun akhirnya terjatuh dalam menakwilkan ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Rasulullah ﷺ. Adapun Ahlus Sunnah menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dengan hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan, bisa bertambah dan berkurang. Iman bertambah dengan melaksanakan ketaatan, dan berkurang dengan sebab perbuatan maksiat.
3. Dalam Masalah Asma Wa Sifat
Asy’ariyah memiliki kebidahan dengan menetapkan sifat ma’ani tujuh sifat saja. Dasar mereka dalam menetapkannya adalah akal. Tujuh sifat yang mereka tetapkan pun tidak bermakna seperti makna yang ditetapkan Ahlus Sunnah. Kemudian ditambah oleh seorang tokoh mereka yakni as-Sanusi menjadi dua puluh. Mereka mengingkari sifat-sifat lainnya yang terdapat dalam Alquran dan as-Sunnah. Mereka tidak menetapkan satu pun sifat fi’liyah bagi Allah ﷻ (seperti istiwa, nuzul, cinta, rida, marah, dan lainnya). Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah menetapkan semua nama Allah ﷻ dan sifat-sifat-Nya yang telah disebutkan dalam Alquran dan as-Sunnah tanpa tahrif, takwil (penyelewengan), dan tamtsil (penyerupaan dengan makhluk).
4. Dalam Masalah Alquran
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Alquran adalah Kalamullah, BUKAN makhluk. Dalil-dalil tentang masalah ini sangatlah banyak. Allah ﷻ berfirman:
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah (yakni Alquran).” [QS. at-Taubah: 6]
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Adakah kaum yang mau membawa dan melindungiku, karena sesungguhnya Quraisy telah mencegahku untuk menyampaikan kalam Rabbku (Alquran).”
Dalam masalah inilah para ulama Ahlus Sunnah dizalimi. Al-Imam Ahmad dan para ulama Ahlus Sunnah lainnya mendapatkan cobaan yang dahsyat. Orang-orang Muktazilah berhasil menghasut penguasa ketika itu sehingga menjadikan paham Muktazilah sebagai akidah resmi, dan memaksa semua orang untuk mempunyai keyakinan ini.
Berapa banyak para ulama Ahlus Sunnah meninggal dalam memertahankan akidah Ahlus Sunnah dan sebagian lainnya terzalimi (di antaranya dengan dipenjara). Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa semua yang tertulis dalam Mushaf, dihafal di dada adalah Alquran. Ahlus Sunnah meyakini bahwa Kalamullah adalah dengan huruf dan suara, dapat didengar dan dapat dimengerti.
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata:
“Alquran adalah Kalamullah, bukan makhluk. Jangan engkau lemah untuk mengatakan: ‘Bukan makhluk.’ Sesungguhnya Kalamullah itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari Zat Allah ﷻ. Dan sesuatu yang berasal dari Zatnya itu bukanlah makhluk. Jauhilah berdebat dengan orang yang hina dalam masalah ini dan golongan lafzhiyah (Ahlul Bidah yang mengatakan, ‘Lafalku ketika membaca Alquran adalah makhluk’) dan lainnya. Atau dengan orang yang tawaquf (abstain) dalam masalah ini yang berkata: ‘Aku tidak tahu Alquran itu makhluk atau bukan makhluk. Tetapi yang jelas Alquran itu adalah Kalamullah’. Orang ini (yang tawaquf) adalah Ahlul Bidah, sebagaimana halnya orang yang mengatakan bahwa Alquran adalah makhluk. Ketahuilah, (keyakinan Ahlus Sunnah adalah) Alquran adalah Kalamullah, bukan makhluk.” [Lihat Ushulus Sunnah]
Muktazilah telah sesat dalam masalah ini dan lainnya. Kesesatan Muktazilah karena mereka menyatakan Alquran adalah makhluk, bukan Kalamullah. Adapun penyimpangan Asy’ariyah karena mereka mencocoki Ahlus Sunnah dari satu sisi, dan menyepakati Muktazilah dari sisi lainnya. Kaum Asy’ariyah berkata: “Alquran maknanya adalah Kalamullah, adapun lafalnya adalah hikayat (ungkapan) dari Kalamullah. Artinya lafal Alquran menurut mereka adalah makhluk.” Hal ini karena dalam pandangan Muktazilah, Allah ﷻ tidak berbicara, dan dalam pandangan Asy’ariyah Allah ﷻ berbicara, tapi hanya dalam jiwanya, tidak terdengar.
5. Dalam Masalah Takdir
Mereka Jabriyah dalam masalah takdir. Hanya menetapkan iradah (kehendak) kauniyah, dan tidak menetapkan iradah syar’iyah. Menurut mereka, seorang hamba tidak memiliki qudrah (kuasa). Mereka hanya menetapkan kemampuan dan qudrah seorang hamba ketika berbuat saja. Mereka menafikan adanya qudrah hamba sebelum berbuat. Adapun Ahlus Sunnah menetapkan adanya iradah kauniyah dan syar’iyah, menetapkan masyiah dan qudrah bagi hamba.
6. Penyimpangan Asy’ariyah dalam Masalah Takwil/Penyelewengan
Sebagai contoh, ar-Razi dan al-Amidy menakwilkan makna istiwa menjadi: menguasai, mengalahkan, serta pasti terjadinya takdir dan hukum ilahiyah. [Asasut Taqdis dan Ghayatul Maram].
Contoh lain, menakwilkan sifat wajah. Al-Baghdadi berkata: “Yang sahih menurut kami yang dimaksud wajah adalah Zat.” (Ushuluddin)
Disebutkan oleh Ibnu Taimiyah bahwa takwil yang ada di tengah-tengah manusia seperti takwil yang disebutkan oleh Ibnu Faurak dalam kitab Takwil, Muhammad bin Umar ar-Razi dalam kitabnya Ta’sisut Taqdis, juga ada pada Abul Wafa Ibnu Aqil dan Abu Hamid al-Ghazali, takwil-takwil tersebut adalah takwil yang bersumber dari Bisyr al-Marisi, seorang tokoh Muktazilah. [Lihat Majmu Fatawa: 5/23]
7. Penyimpangan Asy’ariyah dalam Masalah Illat (Sebab/Hikmah) dalam perbuatan Allah ﷻ. Mereka tidak menetapkan ‘ilat (sebab) dan hikmah bagi perbuatan Allah ﷻ. Adapun Ahlus Sunnah menyatakan semua yang Allah ﷻ lakukan mengandung hikmah yang sangat tinggi.
8. Orang-orang Asy’ariyah setelah masa Abul Ma’ali al-Juwaini mengingkari bahwa Allah ﷻ di atas makhluk-Nya.
9. Mereka memerluas permasalahan karamah hingga menyatakan, bahwa mukjizat para nabi mungkin saja terjadi atas para wali.
10. Menetapkan Allah ﷻ dilihat tanpa dari arah. Hingga akhir ucapan mereka mengingkari rukyah (bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah ﷻ di Akhirat)
11. Menyatakan akal tidak bisa menetapkan baik buruknya sesuatu.
12. Menyatakan tidak sah keislaman seseorang setelah mukallaf, sampai ragu terlebih dahulu.
[Lihat Takidat Musallamat Salafiyah hlm. 35—36, dan Mauqif Ibnu Taimiyah minal Asya’irah]
Penulis: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak
Sumber: Majalah asy Syariah edisi 74
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
Leave A Comment