Dari hasil pengajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat.

Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah menauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allah-lah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Meyakini Rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta. Misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah. Allah-lah yang memberikan rezeki. Allah yang mendatangkan badai dan hujan. Allah menggerakan bintang-bintang, dll. Di antara dalilnya adalah firman Allah ta’ala:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ

“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang” (QS. Al An’am: 1)

 

Tauhid Uluhiyyah adalah menauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan, baik yang dzahir maupun batin (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Di antara dalilnya:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)

 

Sedangkan Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah menauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadis Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid Asma wa Sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diri-Nya dan menafikkan nama dan sifat yang Allah nafikkan dari diri-Nya, dengan tanpa Tahrif, tanpa Ta’thil dan tanpa Takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

“Hanya milik Allah nama-nama yang Husna. Maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)

 

Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadis tentang nama atau sifat Allah dari makna dzahirnya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘Istiwa’ yang artinya ‘Bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘Menguasai’.

Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.

Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujud-Nya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.

 

Adapun penyimpangan lain dalam tauhid Asma wa Sifat Allah adalah Tasybih dan Tafwidh.

Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah berfirman yang artinya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)

 

Kemudian Tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan menetapkan maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala memang ber-istiwa di atas ‘Arsy namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa kita serahkan kepada Allah’. Pemahaman ini tidak benar, karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifat-Nya dalam Qur’an dan Sunnah agar hamba-hamba-Nya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita berpemahaman tafwidh, maka sama dengan menganggap perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifat-Nya dalam Al Qur’an adalah sia-sia, karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya.

 

https://muslim.or.id/6615-makna-tauhid.html