بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#SayNoToBid’ah
NIATKU BAIK DAN TUJUANKU BAIK SAJA TIDAKLAH CUKUP
Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak bisa menggapainya. Kebaikan tidak akan terwujud dengan semata-mata bermodalkan niat yang baik, dan mengabaikan kebenaran.
Sudah terang, laksana matahari di siang bolong, bahwa seluruh amalan tidak akan diterima di sisi Allah, kecuali dengan dua syarat, yakni:

  1. Ikhlas yakni seseorang beramal mencari keridaan Allah Azza wa Jalla dan
  2. Selaras dengan syariat Allah sesuai dengan Alquran dan As Sunnah.

Apabila hilang salah satu dari dua syarat di atas, tidaklah diterima amalan tersebut di sisi Allah. Kita memang menginginkan kebaikan, namun itu tidaklah cukup. Amalan saleh harus sesuai dengan syariat dalam bilangan, tata cara, sifat dan bentuk, mula dan akhir, dalam pokok dan cabang hukum, serta dalam tempat dan waktu.
Dalil-dalil tentang hal itu adalah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang mengada-adakan amalan baru dalam urusan kami ini (agama Islam), maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘alaihi dari Aisyah radliyallahu ‘anha)
Dan dalam Shahih Muslim:
“Barang siapa yang beramal dengan amalan yang bukan dari agama kami, maka itu tertolak.”
Lafal man termasuk lafal-lafal yang umum. Perbuatan apapun yang mengada- ngada ini seluruhnya tertolak. Maka otomatis IBADAHNYA AHLI BID’AH TERTOLAK.
Rasulullah ﷺ telah bersabda:
“Sesungguhnya Allah menghalangi taubat pelaku bid’ah, hingga dia meninggalkan bid’ahnya.” (Riwayat Thabrani, Baihaqi, dan Adh Dhiya dari Anas radliyallahu ‘anhu)
Ahli ibadah ini memacu jiwanya dan bersemangat dalam beribadah kepada Rabb- nya. Namun Allah tidak menerima sedikit pun amalan yang ia lakukan, kendati dia sangat mengharapkan pahala dari sisi Allah. Keikhlasannya dalam beramal TIDAK dibarengi dengan mengaji sumber syariat amalan tersebut.
Tiap kali dia sungguh-sungguh bertaubat, taubatnya senantiasa tertolak, meski niatnya baik dan tujuannya agung. Hal ini tidak menyelamatkan pelakunya dari kesalahan-kesalahan sama sekali.
Diriwayatkan dalam Shahihain dari hadis Usamah bin Zaid, beliau mengatakan:
[Saya pernah mengejar seorang musyrikin bersama seorang Anshar. Ketika kami hampir membunuhnya, dia mengatakan Laa Ilaha Illallah. Temanku mengurungkan niatnya, dan saya memenggalnya hingga tewas. Lantas saya bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal itu. Beliau ﷺ menjawab:
“Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan Laa Ilaha Illallah?” Saya berkata: “Wahai Rasulullah, dia mengucapkan demikian hanya untuk berlindung diri.” Rasulullah ﷺ balik bertanya: “Apakah kamu telah membelah hatinya? Lantas apa yang akan kamu lakukan dengan kalimat Laa Ilaha Illallah, apabila telah datang Hari Kiamat?”
Usamah mengatakan, beliau ﷺ terus mengulang-ngulangnya, sampai saya berandai- andai, bahwa saya belum masuk Islam, kecuali pada hari ini].
Lihatlah Usamah dan maksudnya yang baik untuk menolong Islam. Apakah dia bermaksud jahat? Tidak! Meski demikian, Rasulullah ﷺ mencela perbuatannya, dan tidak memaafkan dengan sebab tujuannya yang baik.
Demikian pentingnya masalah ini, hingga para ulama pun telah mengarang banyak kitab yang memeringatkan umat dari BAHAYA BID’AH.
Adapun bid’ah adalah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Lihatlah kitab Al I’tisham karya Asy Syatibi. Dengan sangat baiknya beliau berbicara tentang bahaya bid’ah, jenis-jenis dan cabangnya.
Seandainya orang-orang yang mengatakan: “Niatku baik dan tujuanku baik” dapat dibenarkan, tentu hal ini akan menyebabkan banyak orang melakukan pembunuhan, lantas berlindung di balik alasan “Niatku baik”.
Orang yang mengonsumsi minuman keras akan berkata “Niatku baik”. Yang seperti ini banyak dan kerap terjadi, karena menyangkut aktivitas hati. Kita tidak mampu untuk menetapkannya, dan kita tidak bisa mengambil faidah, kecuali dengan dalil yang menyertainya dari luar (hati).
Allah telah membimbing kita untuk mengambil lahiriah berbagai perkara dan Allah-lah yang menguasai urusan yang tersembunyi. Oleh karena inilah Umar berkata, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan lainnya:
“Sesungguhnya wahyu telah terhenti, dan sesungguhnya kami menghukumi kalian dengan hal-hal yang tampak bagi kami dari perbuatan kalian. Barang siapa yang nampak bagi kami kebaikannya, maka kami berikan keamanan, dan rahasianya bukanlah urusan kami sedikit pun. Allah yang akan menghisab rahasia-rahasia mereka. Barang siapa yang nampak bagi kami kejahatannya, kami tidak akan memberikan jaminan keamanan, dan tidak akan memercayainya meski dia mengatakan:
‘Sesungguhnya hatiku berniat baik.’
Sesungguhnya kami tidak bersedia untuk menerima orang yang mengaku hatinya baik. Kami memiliki dalil-dalil yang menunjukkan, bahwa zahir yang baik adalah bukti atas batin yang baik, dan rusaknya zahir merupakan bukti atas rusaknya batin.
Rasulullah ﷺ bersabda:
‘Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging. Bila ia baik, maka baiklah seluruh jasad. Bila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad.’” (Muttafaq ‘alaihi dari Nu’man bin Basyir)
 
Dinukil dari tulisan berjudul: “Menggugat Demokrasi – Kami Berniat Baik?” oleh Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam dan diterjemahkan oleh al-ustadz Wira Mandiri Bachrun
 
Sumber: https://ulamasunnah.wordpress.com/2008/06/03/menggugat-demokrasi-kami-berniat-baik/