Ngalap Berkah Dari Sisa Makan & Minum Pak Kyai

Bolehkah ngalap berkah dari bekas makan dan minum seorang kyai, ulama, ustadz atau orang shalih? Atau mungkin ngalap berkah dengan mengusap-ngusap tubuhnya saat ia masih hidup?

Ada kebiasaan sebagian masyarakat yang pasti sebagian kita pernah melihatnya. Sengaja makanan atau minuman Pak Kyai dibuat berlebih, bahkan sangat-sangat lebih dari kebutuhannya saat ingin menjamunya, sampai-sampai ada kyai yang diberikan satu nampan besar oleh jamaahnya. Itu pun hanya dimakan sesuap dan sisanya jadi arakan dan rebutan untuk tujuan ngalap berkah.

Ngalap berkah atau dalam kaca mata syariat disebut dengan Tabarruk, berarti mencari berkah atau kebaikan. Berkah atau barokah sendiri berarti tetapnya atau bertambahnya kebaikan. Jadi tujuan sebagian orang ngalap berkah dengan sisa makan, minum, air liur, keringan atau badan seorang tokoh spiritual adalah supaya memperoleh kebaikan.

Bagaimana Islam Memandang Hal Ini?

Ngalap Berkah Lewat Dzat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Ngalap berkah yang satu ini masih dibolehkan dengan catatan selama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam MASIH HIDUP. Salah satu buktinya adalah Aisyah radiyallahu ‘anha:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا اشْتَكَى يَقْرَأُ عَلَى نَفْسِهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ وَيَنْفُثُ ، فَلَمَّا اشْتَدَّ وَجَعُهُ كُنْتُ أَقْرَأُ عَلَيْهِ وَأَمْسَحُ بِيَدِهِ رَجَاءَ بَرَكَتِهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sakit, beliau membaca Al Qur’an untuk dirinya sendiri dengan Mu’awwidzaat (Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas) lalu beliau meniup. Ketika sakit beliau semakin parah, akulah yang membacakan surat tadi. Lantas aku mengusap tangan beliau untuk mendapatkan berkahnya.” (HR. Bukhari no. 5016 dan Muslim no. 2192).

Begitu juga dapat disimpulkan dari hadis Abu Juhaifah, bahwasanya para sahabat Nabi pernah ngalap berkah dari badan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Juhaifah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar dalam keadaan cuaca yang begitu panas hingga sampai ke daerah Bathaa’. Kemudian beliau berwudhu, lalu melaksanakan sholat Dzuhur dan Ashar masing-masing dua rakaat.” Dalam hadis tersebut disebutkan:

وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ ، فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ ، قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ ، فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِى ، فَإِذَا هِىَ أَبْرَدُ مِنَ الثَّلْجِ ، وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنَ الْمِسْكِ

“Orang-orang ketika itu berdiri, lalu mereka menarik tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka lantas mengusap wajah mereka. Aku (Abu Juhaifah) pun pernah memegang tangan beliau, lalu aku letakkan tangan beliau di wajahku. Yang kurasakan tangan beliau lebih dingin dari salju dan lebih wangi dari wanginya minyak misik.” (HR. Bukhari no. 3553)

Juga ada sahabat yang ngalap berkah dengan bekas minum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idiy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أُتِىَ بِشَرَابٍ ، وَعَنْ يَمِينِهِ غُلاَمٌ وَعَنْ يَسَارِهِ أَشْيَاخٌ ، فَقَالَ لِلْغُلاَمِ « أَتَأْذَنُ لِى أَنْ أُعْطِىَ هَؤُلاَءِ » . فَقَالَ الْغُلاَمُ لاَ ، وَاللَّهِ لاَ أُوثِرُ بِنَصِيبِى مِنْكَ أَحَدًا . فَتَلَّهُ فِى يَدِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah disodorkan suatu minuman. Di sebelah kanan beliau ada seorang anak muda dan sebelah kiri beliau terdapat para sepuh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada anak muda tersebut, “Apakah engkau mengizinkanku memberikan minuman ini terlebih dahulu pada mereka yang lebih sepuh? Pemuda itu menjawab, “Tidak. Demi Allah aku tidak mau bekas dari minummu yang sebenarnya sebagai jatah untukku lebih dahulu diserahkan pada selainku.” Lantas minuman tersebut (bekas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) diserahkan ke tangan pemuda tersebut.” (HR. Bukhari no. 2605 dan Muslim no. 2030).

Dalam shahihain disebutkan bagaimanakah para sahabat ngalap berkah dengan bekas wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِالْهَاجِرَةِ ، فَأُتِىَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ ، فَصَلَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ ، وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami dalam keadaan cuaca yang begitu panas. Beliau didatangkan air untuk berwudhu, lantas beliau berwudhu dengannya. Ketika itu orang-orang mengambil bekas wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mereka mengusap-ngusapnya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sholat Dzuhur dan ‘Ashar masing-masing dua rakaat. Saat itu di tangan beliau ada tongkat.” (HR. Bukhari no. 187 dan Muslim no. 503).

Ngalap Berkah Lewat Orang Shalih

Kalau contoh yang disebutkan di atas adalah bentuk ngalap berkah dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah hal itu bisa diqiyaskan (dianalogikan) bolehnya ngalap berkah dengan orang shalih? Seperti misalnya yang kita kaji saat ini dengan bekas makan atau minum orang shalih.

Jawabannya, TIDAK BISA DIANALOGIKAN dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam Asy Syatibi rahimahullah yang wafat tahun 790 H berkata, “Para sahabat radhiyallahu ‘anhum sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak didapati ngalap berkah tersebut ada pada mereka dilakukan oleh orang-orang setelahnya. Padahal ada Abu Bakr Ash Shiddiq adalah khalifah sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula Umar, Utsman dan Ali, kemudian ada lagi sahabat lainnya yang memiliki keutamaan, ternyata tidak didapatkan satu riwayat pun dari mereka dengan jalan yang shahih dan ma’ruf, yang menunjukkan bahwa mereka mengambil berkah dari lainnya sebagaimana ngalap berkah pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat hanyalah cukup mencontoh perbuatan, perkataan dan jalan hidup beliau sepeninggalnya. Jadi ini sama saja dikatakan sebagai ijma’ (kesepakatan para sahabat), bahwa ngalap berkah terhadap dzat sebagaimana para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan pada nabinya TIDAK DIBOLEHKAN LAGI SETELAH ITU.” (Al I’tisham, 2: 8-9).

Intinya, kalau para sahabat radhiyallahu ‘anhum sampai meninggalkan Tabarruk (ngalap berkah) pada sesama mereka seperti itu berarti mereka punya keyakinan bahwa hal itu HANYA KHUSUS pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, TIDAK PADA SELAINNYA, dikecualikan para nabi lainnya. Intinya, para nabi telah diberi anugerah oleh Allah dengan kekhususan yang istimewa yang tidak didapati pada selainnya, yaitu pada dzat dan bekas mereka ada keberkahan. Namun dzat setiap individu, para nabi dan lainnya berbeda.

اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan” (QS. Al An’am: 124)

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ

“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.” (QS. Al Qashshash: 68). Lihat At Tabarruk, hal. 263.

Syaikh Shalih Alu Syaikh menyatakan, “Sesungguhnya jasad para nabi itu terdapat berkah pada dzatnya dan itu bisa berpindah bekasnya pada yang lainnya. Namun ini khusus bagi para nabi dan rasul. Adapun orang-orang shalih selain mereka TIDAKLAH terdapat dalil yang menunjukkan bahwa sahabat-sahabat para nabi terdapat kebaikan dari sisi dzatnya. Bahkan tidak kita temukan pada sahabat terbaik seperti Abu Bakr dan Umar di mana sahabat lainnya dan para tabi’in, ngalap berkah melalui mereka. Tidak ditemukan hal ini dilakukan pada Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali sebagaimana yang dilakukan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ngalap berkah melalui bekas wudhu, air liur, keringat atau dengan pakaian beliau. Ini bisa diketahui dengan pasti bahwa berkah yang ada pada Abu Bakr dan Umar hanyalah berkah amali, bukan berkah dari sisi dzat mereka. Artinya, keberkahan pada selain para nabi tidaklah bisa berpindah secara dzat.” (At Tamhid, hal. 152).

Adapun masalah ngalap berkah pada orang shalih ada beberap sisi KEKELIRUAN jika itu dianggap sama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Sulaiman At Tamimi berikut:

1- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang shalih lainnya TIDAKLAH SAMA dalam hal keutamaan, sehingga tidak bisa disamakan apa yang pada beliau dengan lainnya.

2- Keshalihan seseorang tidak bisa dipastikan karena kita tidak tahu akan keshalihan hati. Yang kita harap hanyalah semoga ia tetap termasuk orang-orang yang shalih. Namun tetap tidak bisa dipastikan dengan pasti karena kita pun tidak tahu akan keadaan akhirnya.

3- Begitu pula ngalap berkah dengan orang shalih semacam itu TIDAK dilakukan oleh sahabat junior pada sahabat-sahabat senior ketika mereka hidup.

4- Orang yang diambil berkah tidak aman dari sifat ujub, sombong dan riya’. Ngalap berkah seperti seperti memuji di hadapan muka seseorang, bahkan sebenarnya yang dilakukan lebihlah dahsyat. (Taisir Al ‘Azizil Hamid, 1: 413)

 

Jadi AMBILLAH SURI TAULADAN dan ILMU yang baik dari orang shalih, BUKAN dengan ngalap berkah lewat bekas makan, minum dan mengusap tubuhnya. Ngalap berkah pada mereka bisa jadi SYIRIK AKBAR jika meyakini keberkahan adalah orang shalih yang beri dan bukan Allah. Bisa jadi amalan tersebut mengada-ada karena tidak ditetapkan keberkahan mereka berpindah secara ddzat.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Referensi:

Al Mukhtashor fil ‘Aqidah, Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali Al Musyaiqih, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, tahun 1433 H.

At Tabarruk Anwa’uhu wa Ahkamuhu, Dr. Nashir bin ‘Abdurrahman bin Muhammad Al Judai’, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan ketujuh, tahun 1432 H.

At Tamhid li Syarh Kitabut Tauhid, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, terbitan Darul Imam Bukhari, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Syarh Kitab Tauhid, Syaikh Hamd bin ‘Abdullah Al Hamd, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, tahun 1431 H.

Taisir Al ‘Azizil Hamid fii Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, terbitan Darul Shomi’iy, cetakan kedua, tahun 1429 H.

Penulis: Ustadz M. Abduh Tuasikal