بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

MENYIKAPI ORANG YANG SUKA GHIBAH
 
Pertanyaan:
Setiap orang pada dasarnya memiliki aib, tak terkecuali seorang ‘Ustadz’ sekalipun. Suatu hari saya mendengar aib-aib Ustadz Fulan, bahwa Ustadz tersebut ‘suka bermain perempuan.’ Dan memang diketahui, bahwa beliau berniat untuk poligami, namun sangat disayangkan beliau menempuh jalan yang salah.
 
Yang ingin saya tanyakan adalah:
1. Apakah saya berdosa karena telah ikut mendengar aib-aib tersebut dari lisan orang lain?
2. Bagaimana hukumnya kami mengambil ilmu dari Ustadz tersebut?
 
Jawaban:
 
Alhamdulillah
Washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa ash habihi ajma’in.
 
Benar, setiap hamba Allah pasti pernah berbuat salah, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang masyhur:
 
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.
 
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” [Tirmidzi 2499, Ibnu Majah 4251]
 
Bahkan dalam hadis yang lain memang disebutkan bahwa kesalahan, aib, atau dosa adalah fitrah manusiawi yang tak mungkin bisa dihapuskan, Rasulullah ﷺ bersabda:
 
لَوْ أَنَّ الْعِبَادَ لَمْ يُذْنِبُوْا، لَخَلَقَ اللهُ خَلْقًا يُذْنِبُوْنَ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُوْنَ، ثُمَّ يَغْفِرُ لَهُمْ وَهُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
 
“Seandainya hamba-hamba Allah tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menciptakan makhluk yang berbuat dosa kemudian mereka istighfar (minta ampun kepada Allah), kemudian Allah mengampuni dosa mereka, dan Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Silsilah Ash-Shohihah 967-970].
 
Dan yang sering dilupakan oleh kita semua adalah adab dalam menerima aib seseorang. Sering kali kita tidak proposional dalam bersikap, yakni men-standarkan orang lain sesuai standar kita, namun tidak terima ketika diri kita distandarkan menurut standar orang lain.
Jika kita tidak pernah mencuri, lalu didapati orang lain mencuri, maka kita seakan sudah menutup pintu kebaikan dari orang lain tersebut karena kasus pencuriannya. Padahal ketika orang lain itu tidak pernah ghibah, lalu kita dicela karena doyan (suka ~ed) ghibah, maka kita tidak terima dan protes ketika dicap buruk karena kebiasaan ghibah kita. Sungguh ironis bukan?
 
Padahal jika kita matang dalam memahami dua hadis di atas, alangkah bijaknya diri kita.
 
Maka kematangan dan kebijakan diri dalam menyikapi aib itu sejatinya bisa kita latih dengan mengamalkan firman Allah:
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
 
“Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepada kalian membawa berita, hendaklah kalian teliti (tabayyun/crosscheck).” [QS Al-Hujurat 6]
 
Kenapa?
Karena orang yang sedang ber-ghibah/namimah adalah orang fasik. Maka kita tidak dibenarkan memercayai atau menceritakan berita yang dibawanya tersebut sampai kita meneliti kabar yang dibawanya.
 
Mengapa demikian?
Allah menerangkan dalam kelanjutan ayat tersebut:
 
أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
 
“Agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang sebenarnya, sehingga menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [QS Al-Hujurat 6]
 
Ketahuilah, orang yang gemar membicarakan aib orang lain, sejatinya tanpa ia sadari ia sedang memerlihatkan jati dirinya yang asli. Yaitu tidak bisa memegang rahasia, lemah kesetiakawanannya, penggosip, penyebar berita bohong (karena belum tentu yang diceritakannya benar). Dan ketahuilah, semakin banyak aib yang ia bicarakan/sebarkan, maka semakin jelas keburukan diri si penyebar.
 
Rasulullah ﷺ bersabda:
”Barang siapa yang membela kehormatan saudaranya sesama Muslim, maka Allah subhana wa taala akan membelanya dari Neraka kelak di Hari Kiamat.” [HR Tirmidzi Ahmad 6/450]
 
Sebaiknya, sebelum kita memberi reaksi terhadap aib orang lain, lihatlah dengan jujur seperti apa diri kita lebih baik atau lebih buruk?
Apabila ternyata kita lebih baik, maka bersyukurlah. Namun jika ternyata kita lebih buruk, maka segera bertobatlah.
 
Inilah yang dimaksud dengan:
”Seorang mukmin, adalah cermin bagi mukmin lainnya”.
 
Dan bila kita menemukan diri kita masih lebih baik dari saudara semukmin kita, jangan menjadikan kita sombong dan jangan pula menyebarkan aib orang lain.
 
Perbuatan menutup aib orang lain sejatinya juga dapat mengangkat derajat seorang Muslim.
Sebab hal ini menunjukkan kebaikan dari akhlaknya yang terdidik dan terpelihara dengan baik. Dia tidak mau menimbulkan pertikaian sesama Muslim dengan cara menjauhi membuka aib orang lain yang dapat mencelakakan dirinya. Dia senantiasa berusaha menjaga lisannya dari ucapan-ucapan yang menimbulkan maksiat secara terang-terangan, baik yang diterimanya secara langsung, hanya mendengar dari orang lain, atau hanya rekaan orang lain saja.
 
Janganlah kita menyelidiki kesalahan, aib dan dosa seseorang, atau bahkan membuka serta menyebarkannya pada orang lain. Tapi bawalah orang tersebut pada kebenaran dengan penjelasan, nasihat, juga menghalanginya dari berbuat maksiat. Lakukan pendekatan dengan tutur kata yang lembut, halus, ramah, hangat dan mendidik. Insya Allah hatinya akan terbuka. Jangan justru kita malah menggunjingkan mereka, menjauhi, mengucilkan, serta memojokkannya, atau bahkan mencaci makinya, karena semua itu tidak akan membawa kita kepada kebaikan.
 
Islam juga melarang seorang Muslim untuk membuat atau menyebarkan isu merusak atau tasjassus, sebagaiamana firman Allah:
 
“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” [QS Al Hujurat 12]
 
Sebab mencari-cari kesalahan orang lain, menyelidiki dan membeberkan aib hanyalah akan menimbulkan kekacauan umat. Semua itu dapat merambat ke masyarakat. Maka tersiarlah berita-berita keji di masyarakat. Semakin lama semakin banyak yang ikut berbicara. Merajalelalah maksiat, kebencian menyebar, begitu juga dengan ketakutan. Semua mulai rusak. Dan pada akhirnya hancurlah masyarakat.
 
Adapun berkaitan dengan diri kita yang telah mendengar ghibah tentang aib orang lain, ada sebuah tulisan menarik dari murid Syaikh Al-Albani rahimahullah, yakni Syaikh Salim Bin ‘Ied Al-Hilali, beliau menukilkan dalam kitabnya:
”Ketahuilah, bahwasanya ghibah membicarakan keburukan itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi aib saudaranya yang lain untuk melarang orang itu, kalau dia tidak takut kepada mudharat yang jelas. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika hal itu memungkinkan.
 
Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib baginya untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah bermaksiat.
 
Jika dia berkata dengan lisannya: ”Diamlah”, namun hatinya ingin pembicaraan ghibah keburukan tersebut berlanjut, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci ghibah tersebut dengan hatinya agar bisa bebas dari dosa.
 
Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah keburukan itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka haram baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgho’ (mendengarkan dengan seksama) pembicaraan ghibah itu.
 
Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berzikir kepada Allah subhanahu wa taala dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu, maka tidak dosa baginya mendengar ghibah, yaitu sekadar mendengar namun tidak memperhatikan, atau tidak mau faham dengan apa yang didengar. Namun jika dalam beberapa waktu kemudian mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis.” [Bahjatun Nadzirin 3/29-30]
 
Lalu bagaimana hukum mengambil ilmu dari seseorang yang diketahui aibnya?
Jika aib di sini adalah masalah akidah atau manhaj, jelas terlarang. Namun jika masalah aib di sini bukan tentang akidah atau manhaj, dan hal itu terus menerus dipersoalkan, lantas bagaimana seseorang dapat mengambil ilmu?? Sementara tidak ada seorang pun di dunia ini yang luput dari aib.
 
 
Wallahu a’lam
Wabillahit taufiq.
 
 
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah حفظه الله
(Dewan Konsultasi Bimbinganislam.com)
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: http://nasihatsahabat.com/
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabatPinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat