بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT?
Oleh: Syaikh Prof. DR. Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr
Setelah memerhatikan perkataan para ahli ilmu mengenai masalah agung ini, bisa kita simpulkan, banyak sebab yang membuat akidah ini kokoh dalam diri orang yang memegangnya, dan membuat akidah ini terus langgeng dan selamat dari perubahan dan penyelewengan. Kami ringkaskan di sini dalam poin-poin berikut:
1. Para pemegang akidah ini berpegang teguh dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya ﷺ
Mereka berpegang teguh dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, serta mengimani semua yang datang dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ. Mereka juga benar-benar meyakini, bahwa tidak boleh meninggalkan sesuatu pun dari apa yang datang dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Dan memang wajib atas setiap Muslim untuk mengimani dan membenarkan semua yang datang dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ. Sehingga mereka mengimani semua nash yang termuat di dalamnya, misalnya nash yang berisi berita tentang Allah, Asma dan Sifat-Nya; para nabi-Nya, Hari Akhir, takdir dan lainnya. Mereka mengimaninya, baik secara global maupun terperinci. Iman secara global terhadap semua yang Allah ﷻ beritakan berupa perkara-perkara iman. Iman secara terperinci terhadap semua yang telah sampai ilmunya kepada mereka dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu.” [QS. Al-Hujurat/49:15]
Beginilah sikap mereka terhadap semua nash al-Kitab dan as-Sunnah. Mereka menerima dan mengimani semuanya. Sikap mereka adalah seperti yang dikatakan sebagian kaum salaf: “Dari Allah ﷻ datangnya risalah. Kewajiban Rasul adalah menyampaikannya. Sedangkan kewajiban kita adalah menerimanya.”
Barang siapa yang berpegang teguh terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya dengan berpedoman dan berlandaskan pada keduanya, maka keselamatan, istiqamah, dan jauh dari penyelewengan akan menyertainya, atas izin Allah ﷻ.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Inti yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan, antara petunjuk dan kesesatan, jalan kebahagiaan dan keselamatan dengan jalan kecelakaan dan kebinasaan, adalah dengan menjadikan apa yang dibawa oleh para Rasul-Nya sebagai kebenaran yang wajib untuk diikuti. Dengannya terwujud pembeda (antara yang haq dan batil), petunjuk, ilmu, dan iman. Sehingga ia percaya, bahwa itulah al-haq dan kebenaran. Adapun selainnya berupa perkataan seluruh manusia, maka harus ditimbang pada kebenaran tersebut. Jika perkataan itu sesuai dengannya, maka itu benar. Namun bila menyelisihinya, maka itu batil. Adapun jika tidak diketahui apakah itu sesuai dengan kebenaran (yang datang dari Allah dan Rasul-Nya) atau tidak, (misalnya-red) karena ucapan tersebut masih bersifat global, sehingga tidak diketahui maksud pemilik ucapan tersebut, atau telah diketahui maksudnya akan tetapi tidak diketahui apakah (ajaran) Rasul membenarkannya atau tidak, maka (dalam kondisi seperti ini-red) kita harus menahan diri. Seseorang tidak boleh berbicara kecuali dengan dasar ilmu. Sedangkan ilmu adalah apa yang ditopang oleh dalil. Dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasul ﷺ.” [Majmu` Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 13/135-136]
Inilah inti sari jalan yang ditempuh Ahlussunnah wal Jamaah dalam masalah yang agung ini – semoga Allah merahmati mereka. Mereka berpedoman pada al-Kitab dan as-Sunnah. Dengan berpedoman seperti ini, mereka berhasil mendapatkan keselamatan dan kekokohan akidah.
Syaikhul Islam rahimahullah sering mengatakan:
“Barang siapa yang memisahkan diri dari dalil, ia akan sesat jalan. Dan tidak ada dalil kecuali apa yang dibawa oleh Rasul ﷺ.” [Lihat Miftah Dar As-Sa`adah karya Ibnul Qayyim, hlm. 90]
Ibnu Abil `Izz dalam Syarah al-`Aqidah Ath-Thahawiyyah berkata:
“Bagaimana mungkin bisa sampai pada Ilmu Ushul (ilmu prinsip-prinsip agama) tanpa (berpedoman) pada apa yang dibawa oleh Rasul ﷺ.” [Syarh al-`Aqidah ath-Thahawiyyah, hlm. 180]
Jadi, sikap Ahlussunnah yang berpedoman pada ajaran yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ, merupakan sebab utama kekokohan akidah mereka. Tak ada seorang pun dari Ahlussunnah wal Jamaah -semoga Allah merahmati mereka- yang merumuskan suatu keyakinan dari dirinya sendiri, atau mendatangkan suatu keyakinan atau agama dari pendapat, perasaan, dan pikirannya. Yang biasa melakukan perbuatan seperti itu adalah para pengikut hawa nafsu. Oleh karena itu akidah para pengikut nafsu itu kropos alias tidak kokoh; dan sering terjadi ketidakkonsistenan di tengah mereka, sebagaimana akan dijelaskan nanti insya Allah ﷻ.
Adapun Ahlussunnah, tak ada seorang pun dari mereka yang menggagas suatu keyakinan dari diri mereka sendiri. Bahkan mereka semua berpedoman dan bersandar pada Kitab Allah ﷻ dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ.
Di sini akan kami nukilkan ungkapan yang sangat indah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata:
“Keyakinan (i’tiqad dalam akidah) bukanlah dariku, bukan pula dari orang yang lebih senior dariku. [Artinya bukan wewenangku untuk mendatangkan keyakinan dari diriku di mana aku menggagas dan merumuskannya. Bukan pula wewenang orang yang lebih senior dariku seperti Imam Ahmad, Asy-Syafii, Malik, dan lainnya dari kalangan para imam agama ini. Tidak ada satupun dari mereka yang mencanangkan suatu keyakinan dari dirinya]. Akan tetapi keyakinan itu diambil dari Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Dan apa yang telah menjadi kesepakatan para salaf (pendahulu) umat ini, diambil dari Kitabullah dan dari hadis-hadis riwayat al-Bukhari, Muslim dan lainnya, berupa hadis-hadis yang telah dikenal dan yang valid dari Salaf umat ini.” [Majmu` al-Fatawa, 3/203]
Syaikhul Islam juga berkata:
“Keyakinan asy-Syafi’i rahimahullah dan keyakinan para salaf umat ini seperti imam Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, Ibnul Mubarak, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, yang itu juga keyakinan para masyayikh yang menjadi panutan seperti al-Fudhail bin Iyadh, Abu Sulaiman ad-Darani, Sahl bin Abdillah at-Tustari dan selain mereka, sesungguhnya tidak ada pertentangan di antara para imam tersebut dan para ulama semisal mereka dalam hal prinsip-prinsip agama. Demikian pula Abu Hanifah rahimahullah. Sesungguhnya keyakinan yang valid dari Abu Hanifah dalam masalah tauhid, takdir, dan semacamnya, sesuai dengan keyakinan para ulama tersebut. Dan keyakinan para ulama tersebut itulah keyakinan yang dipegang oleh kalangan sahabat dan tabiin yang mengikuti jejak sahabat dengan bijak. Dan itulah yang dikatakan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah.” [Majmu` al-Fatawa, 5/256]
Jadi, ini adalah prinsip dasar pertama atau poin pertama dari sebab-sebab kokohnya akidah ini dalam diri para pemegangnya, yaitu berpedoman pada al-Kitab dan as-Sunnah. Tanpa berpedoman pada keduanya, tak ada jalan menuju kokohnya akidah. Tanpa itu, tak ada jalan menuju keselamatan dan keistiqamahan.
2. Para Ulama Salaf Meyakini Kitabullah dan as-Sunnah mengandung Akidah yang haq dan Sempurna
Mereka meyakini, bahwa keduanya mengandung akidah yang haq, tak ada kekurangan sama sekali dari semua sudut pandang. Sungguh, akidah yang haq sudah sangat jelas dan tampak terang benderang dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ, sebagaimana firman Allah ﷻ :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu.”
Yaitu telah sempurna dalam hal akidah, ibadah, dan perilaku. Lanjutan ayatnya:
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” [QS. Al-Ma’idah /5:3]
Telah dijelaskan dalam Alquran dan as-Sunnah semua hal yang dibutuhkan manusia, baik yang terkait dengan masalah i’tiqad (keyakinan), ibadah, juga muamalah (tata cara berinteraksi antar sesama), akhlak, dan suluk. Dalam hadis yang sahih dari Nabi ﷺ disebutkan beliau ﷺ bersabda:
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِىٌّ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Tidak ada nabi sebelumku melainkan menjadi kewajiban atasnya untuk menunjukkan kebaikan yang ia ketahui kepada umatnya, dan memberi peringatan tentang keburukan yang ia ketahui kepada mereka.” [HR. Muslim]
Ketika Ahlussunnah mengimaninya secara sempurna dan mereka benar-benar merasa puas bahwa agama mereka, baik yang terkait akidah, ibadah, maupun suluk, itu semua telah dijelaskan dengan sangat gamblang dalam Alquran dan as-Sunnah, maka mereka memegang teguh itu secara konsekuen, dan mereka landaskan segala sesuatunya pada apa yang datang dalam Alquran dan as-Sunnah secara sempurna. Dalam masalah ini, mereka tidak perlu merujuk kepada selain yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ. Mereka tegar secara totalitas di atas Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ. Dengan ini terwujudlah bagi mereka keselamatan yang sempurna.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah menjelaskan semua urusan agama ini, baik dalam ushul (pokok) maupun furu’nya (cabang-cabang), baik yang batin (amalan yang terkait hati) maupun lahiriyahnya (terkait amalan yang tampak), baik terkait ilmu maupun pengamalannya. Sungguh, prinsip ini adalah dasar dari semua prinsip ilmu dan iman. Semakin kuat seseorang berpegang dengan prinsip ini, maka semakin berhak dan layak untuk berada dalam kebenaran, baik secara keilmuan maupun penerapannya.” [Majmu` al-Fatawa, 19/155]
Yang dimaksud dengan prinsip dasar tersebut adalah berpedoman dan berlandaskan secara sempurna pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ. Karena dalam Alquran dan as-Sunnah telah dijelaskan semua urusan agama, baik dalam bidang akidah, ibadah, maupun perilaku (suluk).
Di dalam keduanya telah dijelaskan perkara-perkara rinci yang dianggap remeh terkait adab, seperti adab buang hajat, adab bersuci, adab bermuamalah (berinteraksi antar sesama) dan yang lainnya. Jika masalah-masalah rinci yang terlihat ringan ini dijelaskan dalam Alquran dan as-Sunnah, lalu apakah mungkin masalah terkait akidah ditinggalkan begitu saja tanpa dijelaskan?!
Ini hal yang mustahil, seperti dinyatakan oleh Imam Darul Hijrah, Malik rahimahullah:
“Mustahil Nabi ﷺ telah menjelaskan untuk umat ini segala perkara termasuk masalah buang hajat, sedangkan masalah tauhid tidak beliau ﷺ jelaskan kepada mereka!”
Jadi, dalam Alquran dan as-Sunnah terkandung semua kebaikan, terkandung semua petunjuk, kebenaran, baik dalam hal akidah, ibadah, muamalah maupun akhlak. Dan kadar keselamatan dan keistiqamahan yang diraih oleh seseorang tergantung pada kadar komitmennya untuk berpedoman dan berpegang pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ. Imam Malik rahimahullah:
“Sunnah adalah bahtera Nabi Nuh. Barang siapa menaikinya, maka ia selamat. Dan barang siapa meninggalkannya, pasti ia akan tenggelam.”
3. Mengembalikan Segala Perbedaan dan Perselisihan kepada Alquran dan As-Sunnah
Di antara sebab kokohnya akidah dalam diri para pemegangnya adalah, bila terjadi perselisihan atau perbedaan atau semacamnya, mereka tidak murujuk pada apapun, selain pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ. Mereka yakin seyakin-yakinnya, bahwa perselisihan, perbedaan, atau yang semacamnya, tidak akan bisa dipecahkan dan ditunntaskan problemnya kecuali dengan bersandarkan pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ, sebagaimana yang Allah ﷻ firmankan:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [QS. An-Nisa’/4:59]
Dan tidak diragukan lagi, bahwa orang yang senantiasa berpegang atau bersandar pada Kitabullah dan Sunnah Nabi ﷺ dalam semua permasalahan yang diperselisihkan di antara manusia, maka kekokohan dan keselamatan akan selalu menyertainya, tidak terombang-ambing. Dan sebagaimana sudah diketahui bersama, bahwa setiap perselisihan atau perbedaan yang terjadi di antara manusia, sering tidak ada solusi dan pemecahannya kecuali dengan bersandar pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ. Karena pendapat dan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana cara pandang mereka juga sering berlawanan. Maka tidak ada cara untuk menyelesaikan perselisihan dan keluar dari pertentangan, kecuali bila semua pihak secara tulus dan rela kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ. Ini adalah salah satu sebab utama, di antara sebab-sebab tegarnya ahlul haq di atas kebenaran.
4. Fitrah Mereka Terjaga
Fitrah adalah nikmat dan anugerah dari Allah ﷻ kepada para hamba-Nya. Allah ﷻ telah berkenan memberi anugerah kepada mereka, dengan menciptakan mereka semuanya di atas fitrah, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ :
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” [HR. Al-Bukhari, no. 1385]
Allah ﷻ menciptakan mereka di atas fitrah. Dan fitrah Ahlussunnah akan terus bersih, tidak berubah. Allah ﷻ menjaga fitrah mereka sehingga tidak berubah, tidak berganti atau menyimpang. Sedangkan manusia lainnya, fitrah mereka telah terkontaminasi, telah terjamah oleh penyimpangan, dengan kadar yang bervariasi. Ada yang sedikit ada pula yang banyak.
Dalam Hadis Qudsi Allah ﷻ berfirman:
خَلَقْتُ عِبَادِى حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ
“Aku telah menciptakan para hamba-Ku dalam keadaan lurus semuanya (dalam keadaan Muslim; atau siap menerima hidayah-Nya). Dan sesungguhnya setan pun mendatangi mereka, hingga setan pun menggodanya dan memalingkannya dari agama mereka.” [HR. Muslim, no. 2365]
Dan di dalam Alquran, Allah ﷻ berfirman:
وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
“Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar, dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” [QS. Az-Zukhruf /43:37]
Jadi setan dan bala tentaranya memalingkan dan membelokkan manusia dari fitrah mereka.
Karena itulah, di antara sebab kokohnya akidah ini adalah berusaha sungguh-sungguh menjaga fitrah diri. Allah ﷻ berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [QS. Ar-Rum/30:30]
Perlu diketahui, bahwa keselamatan fitrah seseorang itu terkait erat dengan selamatnya nara sumber (rujukannya). Bila pemilik fitrah yang bersih ini bersandar dan berlandaskan pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ, maka fitrahnya pun tidak berubah. Namun bila ia menyerahkan fitrahnya pada hawa nafsu yang membinasakan, syubhat yang merusak, dan pendapat-pendapat yang menyeleweng serta merekayasa fitrah hingga jauh dari asalnya, maka fitrahnya pun akan melenceng.
5. Akal Mereka Lurus
Ahlussunnah wal Jamaah adalah orang yang paling bagus akalnya. Pendapat, pikiran, dan manhajnya paling selamat. Mereka mempunyai akal yang unggul nan cemerlang. Mereka tidak melebih-lebihkan, tidak pula menyepelekan akal manusia, tidak seperti pengikut hawa nafsu dan bidah.
Di kalangan Ahlussunnah, tidak ada unsur berlebihan (ekstrim) dalam memosisikan akal mereka, seperti yang tampak jelas di kalangan Ahli Kalam dan Falsafah, serta orang-orang yang setipe dengan manhaj mereka. Yaitu mereka yang menyingkirkan Kitabullah dan Sunnah, lalu secara totalitas menjadikan akal, pikiran, dan pendapatnya sebagai sandaran. Apa yang ia pandang benar menurut akalnya, maka ia akan berpegangan padanya. Adapun kalau ia pandang bertentangan dengan akalnya, iapun akan meninggalkannya, meskipun yang mengatakannya adalah Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Sebab yang dijadikan sebagai landasan dan pegangan menurutnya adalah apa yang disimpulkan oleh akal dan pendapat mereka.
Padahal sebagaimana telah diketahui, bahwa akal manusia itu tidak sama. Oleh sebab itu, ketika banyak orang berpedoman pada akal, maka itu menjadi sebab maraknya berbagai penyimpangan, karena akal manusia berbeda-beda. Sebagian salaf mengatakan:
“Seandainya hawa nafsu itu hanya satu, maka pasti disebut al-haq (kebenaran). Akan tetapi hawa nafsu itu bermacam-macam dan beragam.”
Demikian pula kita bisa mengatakan: “Seandainya akal itu satu, maka pasti ia disebut al-haq (kebenaran). Akan tetapi akal itu beragam dan bermacam-macam.”
Pengikut hawa nafsu ini lebih mengedepankan akal mereka daripada wahyu yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ. Mereka menjadikan akal sebagai pedoman dan landasan. Akal menjadi pegangan mereka. Dulu, salah seorang salaf pernah membuat sebagian kalangan mereka tidak berkutik, ketika dikatakan kepada mereka, bahwa konsekuensi dari pendapat mereka (yang menetapkan bahwa akal mereka merupakan landasan-red) adalah mereka harus mengatakan: “Aku bersaksi bahwa akalku adalah utusan Allah”, sebagai ganti dari ucapan: “Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Karena yang dijadikan sebagai pegangan dan landasan olehnya adalah akalnya.
Ini salah satu sisi penyimpangan dalam akal, yaitu berlebih-lebihan terhadap akal, dan mengangkat status akal melebihi kedudukannya yang semestinya. Di samping itu, ada juga penyimpangan dalam masalah akal, yaitu menyepelekan dan menjauhkan peran akal. Ini banyak didapati pada kalangan Ahli Tasawwuf yang sesat dan tak berilmu, di mana mereka menyingkirkan akal mereka. Kemudian atas nama Tasawwuf, mereka masuk pada hal-hal yang mereka sebut sebagai jadzb, syathahat [Syathahat: ucapan ganjil yang dilontarkan kaum Sufi yang kaum Mukmin merasa terusik, karena seringkali bertentangan dengan prinsip akidah (-pen)] atau junun dan semacamnya. Sehingga mereka terjatuh dalam berbagai macam penyimpangan yang begitu buruk, yang tidak bisa diterima akal sehat. Mereka bisa terperosok kedalam hal-hal tersebut, karena mereka telah menyingkirkan fungsi akal secara total.
Sedangkan Ahlussunnah -semoga Allah merahmati mereka- merupakan kalangan yang berada di pertengahan. Mereka tidak melampaui batasan akal, namun juga tidak menyingkirkan dan membatalkan peran akal. Mereka menempatkan akal pada batasan dan koridor yang telah ditentukan.
Sebagaimana pendengaran manusia mempunyai batas kemampuanan yang tidak mungkin dilampaui, begitu pula dengan pandangan dan indra lainnya, termasuk akal. Akal punya batasan tertentu. Barang siapa berusaha untuk memaksa akalnya memasuki area di luar batas kemampuannya, maka ia akan tersesat.
Karena itulah, akal para pengikut Ahlussunnah wal Jamaah tetap sehat dan selamat dari penyimpangan. Karena mereka memberdayagunakan akal mereka pada batasannya yang telah ditentukan, dan tidak mengabaikannya.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” [QS. Ali Imran /3: 190]
Mereka adalah orang-orang yang mempunyai pikiran yang lurus dan akal yang unggul. Mereka menempatkan akal mereka pada batasan dan bidang yang semestinya, tanpa ada unsur pengultusan akal ataupun pengabaian akal. Tidak berlebih-lebihan, namun juga tidak menyepelekan. Tanpa menambah-nambahkan ataupun mengurangi. Ini adalah perkara agung yang merupakan salah satu sebab Ahlussunnah tegar di atas kebenaran.
6. Jiwa Ahlussunnah Merasa Sangat Tenteram Dengannya
Semua orang Ahlussunnah merasa hatinya tenang, jiwanya tenteram, bahkan merasa bahagia dengan akidah yang haq, yang Allah ﷻ anugerahkan kepada mereka. Rasa tenang, tenteram, dan bahagia yang dirasakan oleh Ahlussunnah tersebut tidak dirasakan oleh para pengikut hawa nafsu. Dan mustahil mereka bisa merasakannya. Allah ﷻ berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman, dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” [QS. Ar-Ra’du/13:28]
Tentang perasaan yang dirasakan oleh Ahlussunnah terkait akidah haq yang mereka ambil dari Alquran, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitab as-Shawa’iqul Mursalah:
“Ketenangan dan kemantapan hati pada sesuatu tidak mungkin terwujud, kecuali dengan dilandasi keyakinan (hati terhadap sesuatu itu-red). Bahkan itulah (hakikat) keyakinan itu sendiri. Oleh karena itu, engkau dapati hati para Ahlussunnah sangat mantap dan tenang dengan keimanan mereka kepada Allah, (beriman kepada) Nama-nama-Nya, Sifat-sifat-nya, dan Perbuatan-Nya. Juga (beriman kepada) para Malaikat-Nya, dan Hari Akhir. Mereka tidak ragu dan tidak berselisih dalam masalah itu.” [Ash-Shawa’iqul Mursalah 2/741]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
“Adapun Ahlussunnah dan (Ahlul) Hadis, maka tidak didapati dari salah seorang ulama mereka atau orang awam yang saleh di antara mereka yang keluar dari akidahnya, atau menarik kembali pendapatnya. Mereka adalah kelompok manusia yang paling sabar, meski ditimpa berbagai macam cobaan dan fitnah. Demikianlah kondisi para nabi dan para pengikut mereka yang terdahulu.” [Majmu’ Fatawa 4/50]
Abdulhaq al-Isybiili rahimahullah mengatakan:
“Ketahuilah! Bahwa Su’ul Khatimah (akhir yang buruk) dari akidah ini–semoga Allah ﷻ melindungi kita darinya- tidak akan terjadi pada seseorang yang zahir dan hatinya istiqamah. Ini tidak pernah terdengar, alhamdulillah. Su’ul Khatimah hanya terjadi pada orang yang rusak akidahnya, terus-menerus melakukan dosa besar, atau nekat melakukan dosa-dosa besar.” [Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam al-Jawabul Kafi, hlm. 198]
Inilah di antara faktor yang menyebabkan para pengikut Al-Haq itu kokoh pendiriannya. Jiwa dan hati mereka sangat tenang, tenteram, dan sangat nyaman.
Jika memang demikian keadaan hati mereka, lantas untuk apa lagi mereka harus beralih dan mencari akidah yang lain ?!!
7. Berpegang Teguh dengan Pemahaman Para as-Salafus Shalih Yaitu Para Sahabat dan Pengikut mereka
Di samping faktor-faktor yang telah disebutkan di depan, ada juga faktor lain, yaitu mereka mencukupkan diri dengan pemahaman para sahabat dan para pengikut mereka, dalam memahami nash-nash dan kandungannya, karena pemahaman manusia bisa jadi salah dan keliru. Namun barang siapa yang menggali agama dari sumber aslinya, yaitu Nabi ﷺ, dengan jiwa yang bersih, akal yang sehat dan benar-benar jujur, maka dia benar-benar berhak untuk meraih ilmu, keselamatan, dan hikmah. (Mereka itulah para sahabat-red.) Oleh karena itu, Ahlussunnah selalu berpegang teguh pada pemahaman para sahabat dalam memahami dalil dan nash.
Imam Sijzi rahimahullah dalam kitab ar-Radd ‘ala Man Ankara al-Harf was Shaut, ketika menjelaskan sifat Ahlussunnah mengatakan:
“Mereka adalah kelompok yang konsisten di atas akidah yang dinukil oleh para as-salafus shaleh dari Rasul ﷺ atau dari para sahabat radhiyallahu anhum dalam hal-hal yang tidak ada nash yang jelas dari Alquran dan Hadis, karena mereka adalah para imam panutan. Kita diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka.” [Ar-Raddu ’ala Man Ankara al-Harfa wash Shaut, hlm. 99]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
“Kamu tidak bisa meraih derajat imam dalam ilmu dan agama seperti (derajat imam yang telah diraih oleh-red) imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, juga seperti al-Fudhail, Abu Sulaiman, Ma’ruf al-Kurkhiy, kecuali disebab mereka telah berterus terang, bahwa ilmu terbaik mereka adalah ilmu karena mengikuti ilmu para sahabat. Dan sebaik-baik amalan mereka adalah amalan yang mengikuti amalan para sahabat. Mareka juga memandang, bahwa para sahabat itu mengungguli dalam semua keutamaan.” [Syarh al-‘Aqidatil Ashfahaniyah, hlm. 128]
Al-Ajurri juga dalam kitab asy-Syari’ah mengatakan:
“Tanda yang menunjukkan bahwa seorang itu dikehendaki baik oleh Allah ﷻ adalah dia menempuh jalan ini (yaitu berpegang teguh dengan-red) Alquran dan Sunnah, serta sunnah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, serta mengikuti jejak para ulama kaum Muslimin di setiap negeri, seperti al-Auza’i, Sufyan Tsauri, Malik bin Anas, Syafi’i, Ahmad bin Hambal, al-Qasim bin Sallam, dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka. Juga menjauhi semua pendapat yang dipegangi oleh para ulama ini” [Asy-Syari’ah 1/301]
Ibnu Qutaibah juga berkata:
“Seandainya kita ingin pindah dari pendapat Ahli Hadis (Ahlussunnah) dan membencinya menuju pendapat Ahli Kalam, maka pasti kita pindah dari persatuan menuju perpecahan. Dari kehidupan yang teratur menuju kehidupan yang terbengkalai. Dan dari suasana damai menuju suasana yang beringas.” [Ta’wil Mukhtalifil Hadis, hlm. 16]
Ini semua menunjukkan, bahwa kekokohan itu tidak mungkin diraih kecuali dengan bersandar pada pemahaman Salaf Shalih secara totalitas. Allah ﷻ berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [QS. An-Nisa’/4:115]
8. Sikap Tengah-Tengah Tidak Berlebihan dan Tidak Meremehkan
Ahlussunnah bersikap tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan dan tidak meremehkan, sebagaimana firman Allah ﷻ :
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” [QS. Al-Baqarah/2:143]
Sikap tengah-tengah mereka maksudnya, mereka senantiasa berpegang teguh dan istiqamah di atas al-haq, serta menjauhi jalan-jalan menyimpang, baik yang cenderung kepada sikap berlebih-lebihan, atau yang cenderung kepada sikap meremehkan. Mereka tetap tegar di jalan itu dengan sebab pertolongan dari Allah ﷻ buat mereka. Inilah di antara faktor penting kekokohan akidah mereka.
Tawassuth (sikap tengah-tengah) itu tidak akan mungkin terwujud, kecuali dengan berpegang teguh dengan al-haq. Tidak menambah, juga tidak mengurangi. Rasulullah ﷺ bersabda:
القَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوْا
“Hendaklah kalian bersikap yang sedang-sedang. Niscaya kalian bisa mencapai (maksud kalian).” [HR. Al-Bukhari, no.6463]
(Maksudnya sikap terbaik bagi seseorang yang hendak melakukan perbuatan taat, adalah sikap sedang-sedang dan bertahap, agar bisa terus-menerus melakukan perbuatan tersebut, tanpa putus. Tidak terlalu memaksa diri, sampai akhirnya tidak mampu, dan berhenti dari perbuatan taat tersebut-red [Lihat syarah hadis ini dalam Fathul Bari, 1/95]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
“Agama Allah itu antara sikap berlebih-lebihan dan sikap meremehkan. Dan sebaik-baik manusia adalah yang bersikap tengah. Lepas dari sikap orang-orang yang meremehkan (urusan agama-red), namun tidak sampai pada sikap berlebih-lebihan. Allah ﷻ telah menjadikan umat ini umat yang tengah-tengah, yaitu umat terbaik yang adil, karena berada di antara dua sikap yang tercela. [Ighatsatul Lahfan 1/201]
9. Tidak Lebih Mendahulukan Akal dan Rasa Daripada Alquran dan Sunnah
Masalah ini sudah sedikit disinggung pada poin-poin sebelumnya. Disini kami akan membawakan perkataan Abul Muzhfir as-Sam’ani rahimahullah yang dinukil oleh at-Taimi dalam kitabnya al-Hujjah, juga ibnul Qayyim rahimahullah dalam ash-Shawa’iq. As-Sam’ani rahimahullah mengatakan:
“Penyebab utama Ahli Hadis (Ahlussunnah) sepakat, adalah karena mereka mengambil agama dari Alquran dan Sunnah, sehingga membuat mereka bersatu dan saling mencintai. Sementara Ahli Bidah, karena mereka mengambil agama dari akal dan logika mereka, maka itu membuat mereka saling berpecah dan berselisih. Karena penukilan dan riwayat dari orang-orang terpercaya dan ahli jarang sekali yang berbeda. Jika terjadi perbedaan dalam lafal atau kata, maka itu tidak membahayakan (tidak merusak) agama mereka. Adapun akal, perasaan dan pendapat, maka jarang sekali ada kesepakatan. Bahkan akal, pendapat atau perasaan seseorang akan berbeda dengan yang lain.” [Mukhtashar Shawa’iq, hlm. 518]
Jadi, di antara faktor utama kekokohan akidah mereka adalah mereka tidak mendahulukan akal, perasaan, dan pendapat mereka, daripada Alquran dan Sunnah Nabi ﷺ. Berbeda dengan para Ahli Bidah yang lebih mendahulukan hal-hal tersebut di atas daripada Alquran dan Sunnah. Di antara mereka ada yang lebih mendahulukan akal, ada yang lebih mendahulukan pendapat, ada yang mendahulukan perasaannya, ada yang mendahulukan cerita dan mimpi, dan ada pula yang lebih mendahulukan hawa nafsu daripada perintah Allah ﷻ. Mereka berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Masing-masing memiliki metode dan jalan. Adapun Ahlussunnah, maka mereka terselamatkan dari keburukan-keburukan ini, dan tetap tegar di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ﷺ.
10. Sangat Bergantung kepada Allah ﷻ
Ahlussunnah senantiasa memerbaiki hubungan dengan Allah ﷻ, sangat kuat mengikat diri mereka dengan-Nya, dan sangat bergantung kepada-Nya, karena taufik hanya di tangan Allah ﷻ semata. Hubungan mereka dengan Allah ﷻ baikk dan ketergantungan mereka kuat. Mereka senantiasa meminta dan memohon pertolongan kepada-Nya agar diberikan keteguhan. Mereka mengikuti contoh dari Nabi ﷺ dalam banyak doa beliau ﷺ.
Di antara doa beliau ﷺ :
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Ya Allah! Aku Memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kehormatan diri, dan kecukupan.”
Beliau ﷺ juga berdoa:
اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، وَأَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا
“Ya Allah! Anugerahkanlah ketakwaan kepada jiwa-jiwa kami, dan sucikanlah jiwa-jiwa kami,karena Engkau sebaik-baik Zat yang bisa menyucikannya. Engkaulah walinya dan Penguasanya.”
Beliau ﷺ juga berdoa:
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِى دِينِىَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِى وَأَصْلِحْ لِى دُنْيَاىَ الَّتِى فِيهَا مَعَاشِى وَأَصْلِحْ لِى آخِرَتِى الَّتِى فِيهَا مَعَادِى وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِى فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِى مِنْ كُلِّ شَرٍّ
“Ya Allah! Perbaikilah untukku agamaku yang menjadi benteng urusanku! Perbaikilah untukku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku! Perbaikilah bagiku Akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan, dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala keburukan!
اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Ya Allah! Rabb bagi Malaikat Jibril, Mikail, dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui hal yang gaib dan yang nampak, Engkaulah yang menetapkan keputusan di antara para hamba dalam berbagai hal yang mereka perselisihkan. Berilah aku petunjuk untuk mengetahui kebenaran dalam hal-hal yang diperselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa saja yang Engkau kehendaki untuk menuju jalan yang lurus.”
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Wahai Maha Pembolak-balik hati! Teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”
اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْتَ
“Ya Allah! Tunjukilah kami pada jalan orang-orang yang telah beri petunjuk kepada mereka.”
اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِيْنَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ
“Ya Allah! Hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami sebagai pembimbing yang senantiasa mendapatkan petunjuk.” [Kebanyak doa-doa ini ada pada kitab Sahih Muslim, kecuali dua yang terakhir ada pada Musnad Imam Ahmad dan an-Nasa’i]
(Itulah Rasulullah ﷺ, utusan Allah ﷻ yang sudah pasti mendapatkan petunjuk dari Allah ﷻ, namun beliau ﷺ tetap memohon petunjuk kepada-Nya-red). Dan para pengikut beliau ﷺ senantiasa berusaha mengikuti jalannya ﷺ. Mereka senantiasa bersandar kepada Allah ﷻ, memohon petunjuk, keteguhan, dan taufik. Oleh karena itu, Allah ﷻ memberikan taufik kepada mereka, menolong mereka, dan menjaga mereka.
Kedekatan mereka kepada Allah ﷻ ini membuahkan kesalehan dalam ibadah dan keistiqamahan dalam akhlak. Oleh karena itu, di antara buah akidah yang benar itu tercermin pada amalan mereka. Ini adalah berkah, manfaat, dan buah dari akidah yang benar. Begitu juga akidah yang menyimpang, dia memiliki pengaruh buruk kepada orang-orang yang meyakininya. Kerusakan akidah mereka diiringi dengan kerusakan amal dan perilaku.
Barang siapa mengamati mereka, khususnya para tokoh kebatilan, niscaya dia akan dapati indikasi ini dengan jelas. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap amal ibadah dan akhlak. Seandainya pun didapati di antara mereka ada yang memiliki sedikit perhatian, maka sungguh perhatian Ahlussunnah jauh lebih besar dibandingkan perhatian mereka.
11. Mereka Benar-benar dengan Akidah Mereka dan Tidak Menjadikannya Bahan Perdebatan
Ini merupakan sebab yang sangat urgen agar tetap tegar di atas keyakinan yang haq, yaitu menerima dan merasa puas dengan keyakinannya. Ahlussunnah itu menerima dan merasa puas secara total, serta percaya penuh dengan agama dan keyakinan yang mereka pegang. Ahlussunnah tidak perlu menimbang agama dan keyakinan mereka dengan pendapat dan logika orang-orang. Berbeda dengan pengikut hawa nafsu (Ahlul Ahwa) dan bidah yang selalu berpindah-pindah dari satu orang ke orang lainnya, untuk bertanya dan meminta pendapat tentang ajaran yang ia pegang. Sebab ia merasa ragu, tidak yakin, dan kurang nyaman dengannya.
Pengikut Ahlussunnah yakin seyakin-yakinnya. Ia tidak sudi akidahnya diperdebatkan dan diperbantahkan. Ia merasa puas dan menerima akidahnya secara total, dan sangat merasa nyaman dengannya, karena keterikatannya dengan akidahnya adalah keterikatan dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. Kitabullah yang tak ada kebatilan di dalamnya dari semua sisi, dan sunnah Nabi-Nya yang tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu. Ia berada pada puncak ketenangan dan puncak kepercayaan terhadap akidahnya. Sama sekali ia tidak perlu untuk menimbangnya kepada seorang ahli debat, ahli dialektika dan semacamnya. Ia berjalan di atas akidahnya dengan satu irama sejak awal hingga ujungnya, tanpa ada keraguan, keterombang-ambingan, tidak berpindah-pindah (dalam sikap dan keyakinannya), dan tanpa merasa sangsi.
Berbeda dengan keadaan orang yang berada di atas kebatilan. Allah ﷻ berfirman:
مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu, melainkan dengan maksud membantah saja. Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” [QS. Az-Zukhruf /43:58]
Kita dapati mereka terombang-ambing dan ragu. Mereka paparkan keyakinan yang ada pada mereka pada pendapat dan logika orang-orang.
Di sini kami nukilkan beberapa atsar dari kalangan Salaf yang sangat besar faidahnya:
Hudzaifah radhiyallahu anhu berkata kepada Abu Mas’udz:
“Sesungguhnya kesesatan yang nyata adalah, bila apa yang engkau ingkari engkau jadikan sebagai yang makruf (bentuk kebaikan), dan apa yang engkau pandang makruf justru engkau ingkari. Dan hindarilah sikap plin-plan (mudah berubah, tidak konsisten) dalam agama Allah ﷻ. Karena sesungguhnya agama Allah itu satu.” [Al-Ibanah karya Ibnu Baththah 2/505]
Umar bin Abdil Aziz rahimahullah berkata:
“Barang siapa menjadikan agamanya sebagai bahan untuk diperdebatkan, ia akan banyak berpindah-pindah (dalam keyakinannya).” [Al-Ibanah karya Ibnu Baththah 2/503]
Ia juga tberkata:
“Barang siapa banyak perbantahannya, maka ia akan senantiasa berpindah-pindah dari satu agama (faham dalam suatu keyakinan) ke agama lain (faham lainnya).” [Al-Ibanah karya Ibnu Baththah 2/504]
Ma’n bin Isa berkata:
“Suatu hari Malik radhiyallahu anhu pulang dari masjid sambil bertumpu pada tanganku. Lalu ada seorang lelaki yang dikenal dengan sebutan Abul Juwairiyah menyusulnya. Ia tertuduh mempunyai pemahaman Murjiah. Ia berkata: “Wahai Abu Abdillah! Dengarlah sesuatu dariku. Aku adukan argumentasiku kepadamu, dan aku beritahukan pendapatku kepadamu!” Malik radhiyallahu anhu menjawab: “(Bagaimana) kalau engkau berhasil mengalahkanku (hujahku)?” Ia berkata: “Kalau aku berhasil mengalahkanmu, engkau harus mengikutiku!” Malik berkata: “Kalau ada orang lain yang mengajak kita berdialog (berdebat), lalu ia berhasil mengalahkan kita?” Ia berkata: “Kita ikuti dia.” Malik radhiyallahu anhu berkata: “Wahai hamba Allah! Allah ﷻ mengutus Muhammad ﷺ dengan satu agama. Namun aku lihat, engkau ini berpindah-pindah dari satu (paham) agama ke paham yang lain.” [Al-Ibanah karya Ibnu Baththah 2/508]
Bagi mereka, urusannya akan berpindah-pindah dari satu orang ke orang lain, dari satu pendapat ke pendapat lain. Inilah makna ucapan Umar bin Abdil Aziz yang tersebut sebelumnya: “Barang siapa yang menjadikan agamanya sebagai bahan perbantahan, ia akan banyak berpindah-pindah.”
Malik radhiyallahu anhu berkata:
“Orang itu [Imam Malik rahimahullah mengisyaratkan pada salah seorang imam Salaf yang tidak beliau sebut namanya], bila kedatangan sebagian Ahlul Ahwa akan berkata: “Saya berada di atas bukti yang jelas dari Rabb-ku, sedangkan engkau ini orang yang ragu-ragu. Maka pergilah engkau kepada orang yang ragu-ragu seperti keadaanmu. Debatlah dia!” Malik radhiyallahu anhu berkata: “Dan orang tersebut berkata: “Mereka membuat rancu diri mereka sendiri, kemudian mereka mencari orang yang bisa mengenalkan (masalah agama) kepada mereka.” [Al-Ibanah karya Ibnu Baththah 2/509]
Ishaq bin Isa ath-Thabba’ berkata:
“Malik bin Anas radhiyallahu anhu mencela perbantahan dalam urusan agama. Ia berkata: ‘Setiap kali datang kepada kita seseorang yang lebih lihai dalam berdebat daripada orang lain, ia ingin agar kita menolak apa yang telah dibawa Jibril kepada Rasulullah ﷺ.” [Al-Ibanah karya Ibnu Baththah 2/507]
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:
“Modal seorang Mukmin adalah agamanya. Kalau modal ini hilang, maka hilang pula agamanya. Ia tidak boleh meninggalkan modal agama ini kepada orang-orang, dan tidak boleh mempercayakannya kepada orang-orang.” [Al-Ibanah karya Ibnu Baththah 2/509]
Beginilah keadaan Ahlussunnah. Tidak ada seorang pun dari mereka yang menimbang agama dan keyakinannya pada logika, hawa nafsu, dan pendapat manusia. Mereka hanya berpegang dengan apa yang ada dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ, sesuai dengan pemahaman para Salaf umat ini.
Dzakwan rahimahullah berkata:
“Al-Hasan al-Bashri melarang perdebatan dalam agama, dan ia berkata: ‘Yang melakukannya hanyalah orang yang ragu dalam agamanya.” [Al-Ibanah karya Ibnu Baththah 2/519]
Ahmad bin Sinan berkata:
“Abu Bakr al-Ashamm datang kepada Abdurrahman bin Mahdi. Ia berkata: ‘Aku datang kepadamu untuk berdebat denganmu dalam masalah agama.” Abdurrahman menjawab: “Kalau engkau ada keraguan terhadap sesuatu dalam masalah agamamu, maka berdirilah engkau (di sini), hingga aku keluar untuk salat. Kalau tidak, maka pergilah engkau menuju pekerjaanmu!” Maka al-Ashamm pun pergi dan tidak berdiam (di sana).” [Al-Ibanah karya Ibnu Baththah 2/538]
Dalam ucapan ini terkandung makna, bahwa Ahlussunnah disibukkan dengan kebenaran yang mereka pegang, dan disibukkan dengan ibadah kepada Allah ﷻ.
Inilah beberapa nukilan yang berfaidah yang saya nukilkan dari kitab al-Ibanah karya Ibnu Baththah al-Ukburi rahimahullah, yang merupakan sebuah kitab spektakuler terkait dengan tema pembahasannya. Semua nukilan dari kaum salaf ini menunjukkan kekokohan keyakinan beragama mereka, besarnya perhatian dan penjagaan mereka terhadapnya. Mereka tidak menjadikan agama ini sebagai bahan perdebatan.
Inilah di antara sebab ketegaran mereka di atas kebenaran.
12. Mereka Yakin Bahwa Masalah Akidah Adalah Masalah yang Tetap, Tidak Terkena Perubahan Apapun
Kaum Salaf yakin, bahwa permasalahan i’tikad, seperti masalah iman kepada Allah, Asma dan Sifat-Nya, percaya kepada Hari Akhir dan masalah-masalah semacamnya yang dibawa oleh para rasul merupakan perkara yang tetap (konstan), yang tidak terkena naskh (penghapusan), pengubahan dan semacamnya. Karena akidah bukanlah perkara yang bisa dijangkau oleh naskh, oleh karena itu ajaran para nabi dari awal hingga akhir dalam masalah akidah adalah satu. Dalam hadis sahih dari Nabi ﷺ, beliau ﷺ bersabda:
الأَنْبِيَاءُ إخْوَةٌ مِنْ عَلَّاتٍ وَأُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ
“Para nabi adalah saudara sebapak, sedangkan ibu mereka berbeda-beda. Namun agama mereka satu.” [Sahih Muslim, 4/1837]
13. Akidah Ahlussunnah itu Jelas, Mudah dan Jauh dari Kepelikan
Akidah Ahlussunnah wal jamaah itu jelas sejelas matahari di siang bolong. Ini disebabkan oleh sumbernya yang juga jelas dan terang. Berbeda dengan akidah selain mereka yang diliputi oleh berbagai macam kepelikan dan ketidakjelasan, serta banyak unsur syubhat (hal yang samar-samar).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam ash-Shawa`iqul Mursalah ketika menjelaskan akidah yang hak ini, beliau mengatakan:
“Ia seperti cahaya matahari bagi penglihatan. Tak ada kemusykilan (kesulitan) padanya. Penyebutan secara global (ijmal) tidak memgubah sisi pendalilannya (wajhu dalalah). Dan (makna-makna) yang dibolehkan dan juga dimungkinkan tidak bertentangan dengannya. Ia masuk dalam pendengaran tanpa memerlukan izin. Posisinya bagi logika bagaikan posisi air tawar segar bagi orang yang haus dahaga. Keutamaannya dibandingkan argumentasi ahli logika dan kalam, seperti keutamaan Allah ﷻ atas manusia. Tidak mungkin bagi seseorang untuk mencercanya dengan cercaan yang bisa menimbulkan kerancuan. Kecuali kalau sekiranya ia bisa untuk mengingkari terangnya cuaca pada pertengahan siang saat matahari terik.” [Ash-Shawa`iq al-Mursalah, 3/1199]
Jadi, orang yang hendak mencela akidah yang sahih lagi selamat ini, yang diambil dari al-Kitab dan as-Sunnah, perumpamaannya seperti seseorang yang mendatangi orang-orang pada pertengahan siang seraya berkata: “Aku ingin membuktikan kepada kalian, bahwa sekarang ini adalah waktu malam, bukan siang.” Inilah permisalan orang yang hendak menaburkan keraguan tentang keabsahan akidah yang sahih lagi selamat, yang diambil dari Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.
Namun masalahnya adalah seperti yang Allah ﷻ firmankan:
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” [QS. Al-Hajj /22: 46]
14. Mereka Mengambil Pelajaran Pengikut Hawa Nafsu
Ada ungkapan hikmah yang mengatakan:
السَّعِيْدُ مَنِ اتَّعَظَ بِغَيْرِهِ
“Orang yang bahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari orang lain.”
Para pengekor hawa nafsu yang meninggalkan al-Kitab dan as-Sunnah, menggiring mereka pada sikap plin-plan dan penyelewengan, berpindah-pindah dan gamang, serta jauh dari ketegaran dan kekokohan. Mereka selalu saja berpindah ke sana kemari. Saya nukilkan di sini beberapa nukilan dari para ahli ilmu tentang keadaan para pengikut hawa nafsu.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata:
“Ahlul Kalam adalah orang yang paling banyak berpindah-pindah dari satu pendapat ke pendapat lainnya. Mereka sering menetapkan (benarnya) suatu pendapat di suatu tempat, namun di tempat lain juga menetapkan (benarnya) pendapat yang bertentangan dengan pernyataan pertama, sekaligus memvonis kafir orang yang berpendapat demikian. Ini adalah bukti ketidakyakinan mereka. Sesungguhnya iman itu seperti yang dikatakan Qaisar ketika ia bertanya kepada Abu Sufyan tentang orang-orang yang masuk Islam bersama Nabi ﷺ. Qaisar bertanya: “Apakah ada salah seorang dari mereka murtad dari agamanya karena benci kepadanya setelah ia memasukinya?” Abu Sufyan menjawab: “Tidak.” Qaisar berkata: “Demikian pula dengan iman. Bila manis indahnya telah merasuk ke dalam hati, maka tak ada seorang pun yang membencinya.” [Majmu` Fatawa, 4/50]
Dalam kisah ini terdapat pelajaran dan ibrah dari keadaan para pengekor hawa nafsu, yaitu mereka tidak memiliki ketegaran dan kekokohan. Mereka selamanya akan berpindah-pindah dan dalam kegamangan.
Di antara gambaran dan penjelasan para ulama tentang keadaan para pengikut hawa nafsu adalah ucapan Abul Muzhaffar As-Sam’ani yang dinukilkan oleh at-Taimi dan Ibnul Qayyim. As-Sam’ani berkata:
“Bila engkau perhatikan Ahli Bidah, engkau akan dapati mereka bercerai-berai dan berselisih paham dalam banyak kelompok dan golongan. Hampir-hampir tidak akan engkau dapati dua orang dari mereka berada dalam satu jalan yang sama dalam masalah i’tiqad. Sebagian mereka memvonis lainnya sebagai Ahli Bidah, bahkan sampai pada taraf mengafirkan. Anak mengafirkan ayahnya. Seseorang mengafirkan saudaranya, dan seseorang mengafirkan tetangganya. Engkau lihat selamanya mereka berada dalam pertikaian, saling membenci dan berselisih. Umur mereka habis, sedangkan mereka tidak bisa sampai pada satu kata yang sama.” [Mukhtashar Ash-Shawa`iq Al-Mursalah, hlm. 518]
Ibrahim an-Nakha’i berkata:
“Mereka memandang bahwa plin-plan dalam agama termasuk keraguan hati terhadap Allah ﷻ.” [Al-Ibanah karya Ibnu Baththah 2/505]
Malik bin Anas berkata:
“Merupakan penyakit yang sangat akut: berpindah-pindah (dari satu pendapat ke pendapat lain) dalam agama.” Beliau radhiyallahu anhu juga berkata: “Seseorang berkata: ‘Kalaulah engkau hendak bermain-main, maka janganlah engkau sekali-kali bermain-main dengan agama kamu.” [Al-Ibanah karya Ibnu Baththah 2/506]
Orang yang memerhatikan keadaan Ahlul Ahwa (pengekor hawa nafsu) ia akan dapati, bahwa pada hakikatnya mereka memermainkan agama, berpindah-pindah (dari satu pendapat ke pendapat lainnya). Tak ada kekokohan pada mereka. Bahkan sampai-sampai salah seorang tokoh Ahli Kalam –di mana dia berada dalam kebimbangan dan kegamangan- pernah ditemui oleh salah seorang terpandang dari kalangan Ahlussunnah. Sang Ahli Kalam bertanya: “Apa keyakinanmu?” Ia menjawab: “Aku meyakini seperti apa yang diyakini oleh kaum Muslimin -artinya apa yang datang dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” Sang Ahli Kalam bertanya kembali: “Dan engkau merasa tenteram dan lega hati dengan keyakinanmu?” Ia menjawab: “Ya.” Ahli Kalam berkata: “Bersyukurlah kepada Allah atas nikmat ini. Karena aku, demi Allah, aku tidak tahu apa yang aku yakini. Demi Allah! Aku tidak tahu apa yang aku yakini. Demi Allah, aku tidak tahu apa yang aku yakini! Lalu ia menangis hingga membasahi jenggotnya.” [Lihat Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hlm. 246]
Ini dikarenakan mereka menjadikan masalah akidah menjadi bahan perbantahan, perdebatan, dan semacamnya.
Orang yang memerhatikan keadaan Ahlul Ahwa mendapati ada pelajaran dan ibrah pada mereka, seperti yang telah disampaikan di awal poin ini: “Orang yang bahagia adalah yang mengambil pelajaran dari orang lain.” Maka pemegang Sunnah mestinya bersyukur kepada Allah atas nikmat Sunnah. Dan memohon kepada Allah ﷻ agar menjadikannya tegar di atasnya.
15. Mereka Bersatu dan Tidak Berselisih
Di antara sebab ketegaran Ahlussunnah di atas keyakinan yang haq ini adalah mereka bersatu dan tidak bercerai-berai. Ini berbeda dengan Ahlul Ahwa. Mereka cerai-beraikan agama mereka dan mereka terpecah, bergolong, dan berkelompok. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada kelompoknya.
Qatadah rahimahullah mengatakan:
“Seandainya keyakinan Khawarij itu (benar di atas) petunjuk, pasti mereka bersatu padu. Namun mereka di atas kesesatan, sehingga mereka bercerai-berai.” [Tafsir ath-Thabari 3/178]
Ucapan ini bisa diterapkan pada semua Ahli Bidah. Adapun Ahlussunnah, maka mereka tetap bersatu padu. Tidak ada perpecahan atau perselisihan pada mereka dalam masalah agama Allah ﷻ. Mereka berada di atas jalan yang lurus, selalu menjaganya, saling mewasiatkannya, dan bersabar menjalaninya.
Abul Muzhaffar as-Sam’ani berkata:
“Di antara yang menunjukkan bahwa Ahlul Hadis berada di atas kebenaran adalah, bila engkau menelaah semua kitab-kitab mereka yang ditulis sejak awal hingga yang terakhir, baik kitab klasik maupun yang baru, akan engkau dapatkan –meski mereka berbeda negeri dan masa, berjauhan negara di antara mereka, dan masing-masing mendiami daerah tertentu- mereka berada di atas satu jalan dan satu metode dalam penjelasan tentang masalah akidah. Mereka berjalan di atas jalan yang mereka tidak menyimpang darinya. Dalam hal tersebut, mereka satu hati. Mengenai penukilan yang mereka nukilkan, tidak engkau dapati di dalamnya perbedaan atau perselisihan dalam sesuatu apapun, meski hanya sedikit. Bahkan sekiranya engkau himpun semua yang dituturkan lisan mereka dan apa yang mereka nukilkan dari Salaf mereka, engkau akan mendapatinya seolah-olah ia datang dari satu hati dan meluncur dari satu lisan. Lalu, apakah ada dalil atas kebenaran yang lebih terang dari hal ini? Allah ﷻ berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memerhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” [QS. An-Nisa’ /4: 82]
Allah ﷻ juga berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan. Maka Allah memersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.” [QS. Ali Imran /3: 103][ Mukhtashar Ash-Shawa`iq al-Mursalah, hlm. 518]
Ini juga merupakan di antara sebab yang begitu agung, yang membuat Ahlussunnah tetap tegar di atas kebenaran, dan istiqamahnya di atas akidah yang sahih, serta selamat dari penyimpangan, sikap plin-plan dan berubah-rubah.
Ini merupakan poin terakhir yang saya terangkan. Namun sebelum menutup, saya ingin membawakan beberapa nukilan yang menunjukkan, bahwa Ahlussunnah itu sepakat dalam masalah akidah.
Imam Malik rahimahullah mengatakan:
“Apa-apa yang pada zaman Nabi ﷺ bukan termasuk (ajaran) agama, maka pada hari ini pun tidak akan bisa menjadi (ajaran) agama. Dan tidak akan menjadi ajaran agama hingga Kiamat menjelang. Dan generasi akhir dari umat ini tidak akan baik, kecuali dengan sesuatu yang dengannya generasi awal menjadi baik.”
Bila engkau perhatikan akidah mereka pada masa sekarang ini, dan juga pada semua masa yang silam, engkau dapati ia adalah akidah yang satu. Saya berikan di sini sebagian contoh:
Misalnya: Bila engkau periksa tentang sisi tauhid dan keikhlasan, ikhlas beramal karena Allah ﷻ, engkau dapati mereka semua merupakan para penyeru tauhid. Mereka semua menyeru pada ikhlas beramal karena Allah ﷻ. Semuanya memberi peringatan agar tidak jatuh dalam kesyirikan terhadap Allah, dan tidak memberikan peribadatan kepada selain Allah ﷻ.
Engkau tidak akan temukan seorang pun di antara mereka yang menyerukan satu bentuk apapun dari perbuatan syirik atau yang bertentangan dengan tauhid. Tidak seperti yang dilakukan oleh banyak kalangan dari Ahlul Ahwa, di mana mereka menyeru pada bentuk-bentuk penyimpangan ini. Lalu mereka menamakannya dengan sebutan-sebutan lainnya. Mereka menamakan berbagai bentuk kesyirikan dengan sebutan Tawassul, atau syafaat dan semacamnya.
Misal lain, mereka semua sepakat untuk menyokong Sunnah dan melarang bidah dan melarang mengikuti hawa nafsu. Tidak engkau dapati di antara mereka kecuali ia menyerukan Sunnah, dan memeringatkan dari bidah. Tidak engkau temukan di antara mereka orang yang menganggap, bahwa (mengikuti) hawa nafsu adalah hal yang baik, dan tidak ada pula yang memotivasi hal-hal bidah. Atau tidak ada pula yang berusaha untuk menjelaskan, bahwa ada sisi-sisi kebaikan dari perkara-perkara bidah, atau yang semacamnya. Yang ada, mereka dari yang pertama hingga yang terakhir, semua memeringatkan dari bidah dan hawa nafsu, dan menyeru manusia untuk berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ.
Misal ketiga: Iman mereka kepada Asma dan Sifat-Sifat Allah ﷻ. Engkau dapati mereka -dari yang pertama sampai yang akhir- berjalan di atas satu metode. Mereka menetapkan Asma dan sifat yang Allah tetapkan untuk Diri-Nya, dan apa-apa yang Rasulullah ﷺ tetapkan. Mereka menafikan apa yang Allah nafikan dari Diri-Nya, dan apa yang Rasulullah ﷺ nafikan dari-Nya berupa kekurangan dan cela. Mereka tidak melakukan tahrif, tathil, takyif, tidak juga tamtsil. Kaidah yang mereka pegang dalam masalah tersebut adalah seperti yang Allah ﷻ kabarkan:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” [QS. Asy-Syura /42: 11]
Mereka semua berjalan di atas satu jalan dalam masalah ini.
Adapun selain mereka, engkau dapati ada di antara mereka yang mu`Aththil (Ahli Ta’thil) atau Muharrfi (Ahli Tahrif); Mukayyif (Ahli Takyif) atau Mumatstsil (Ahli Tamtsil), atau yang menempuh jalan lainnya, yang juga disertai perselisihan yang membentang luas pada masing-masing penganut madzhab tersebut.
Misal terakhir, kesamaan Manhaj Ahlussunnah wal Jamaah dalam metode ber-istidlal (pengambilan dalil). Ini adalah permasalahan yang sudah saya terangkan sebelumnya. Jadi, metode mereka dalam ber-istidlal adalah satu, dan sandaran mereka dalam hal itu juga satu, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ﷺ.
Di pungkasan kalimat ini saya bertawajjuh kepada Allah ﷻ dengan perantara Asma-Nya yang terbaik dan terindah, dan Sifat-sifat-Nya yang Maha Mulia, agar Dia berkenan menyertakanku dan juga pembaca sekalian agar bisa dibangkitkan bersama dengan para hamba-Nya yang saleh. Dan agar Dia memberi anugerah kepada kami dan juga kalian agar bisa konsisten berjalan di atas Sunnah dan mengikuti jejak langkah Salaf umat ini.
Semoga Allah berkenan menjauhkan kita dari hawa nafsu dan bidah! Semoga Allah ﷻ memberikan kita akidah yang saleh, iman yang selamat, dan suluk (perilaku) yang istiqamah, serta adab dan akhlak nan mulia.
Kita memohon kepada Allah agar memberi taufik kepada kita semua dengan taufik dari-Nya; menunjuki kita semua jalan yang lurus, dan menjadikan kita sebagai hamba yang bisa mengarahkan petunjuk dan juga mendapatkan petunjuk. Menjadikan kita termasuk orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang terbaik darinya. Sesungguhnya Dia Yang Mengurusi itu semua, dan Yang Mampu mewujudkannya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Sumber:
• https://almanhaj.or.id/52671-mengapa-akidah-salaf-kokoh-dan-selamat2-2.html
• https://almanhaj.or.id/52693-mengapa-akidah-salaf-kokoh-dan-selamat1-2.html
Diposting ulang dengan sedikit penyesuaian redaksional di:
══════
Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT?
MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT?
MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT?
MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT?
MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT?
MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT?
MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT?
MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT?
MENGAPA AKIDAH SALAF KOKOH DAN SELAMAT?
Leave A Comment