بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ 

 
MENCELA SAHABAT NABI ﷺ PANGKAL KERUSAKAN AGAMA
>> Larangan, Bahaya dan Hukum Orang yang Mencela Sahabat Nabi ﷺ
 
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
 
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘ahnu, beliau berkata: Rasulullah ﷺ telah bersabda:
“Janganlah kalian mencela seorang pun di antara para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila seandainya ada salah satu di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud, maka itu tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di antara mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau bahkan setengahnya.” [Muttafaq ‘alaih]
 
Pengertian Sahabat
 
Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi ﷺ dalam keadaan Muslim, meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia pernah murtad seperti Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa dalam pengertian ini lebih luas daripada duduk di hadapannya, berjalan bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara. Dan termasuk dalam pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat [lihat Taisir Mushthalah Hadis, hal. 198, An Nukat, hal. 149-151]
 
Faidah Hadis
 
1. Larangan Mencela Sahabat
 
Dalam Islam, mencela sahabat sangat diharamkan, dengan dalil:
 
a). Karena hal itu merupakan ghibah yang dilarang dan menyakiti kaum Mukminin, sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah:
 
وَلاَيَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
 
Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. [QS. Al Hujurat:12]
.
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَااكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
 
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. [QS. Al Ahzab:58].
 
b). Allah telah meridai mereka. Sehingga bila mencela mereka, berarti menunjukkan ketidak ridaan kepada mereka. Demikian ini bertentangan dengan firman Allah:
 
لَّقَدْ رَضِىَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَافِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَة عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
 
Sungguh Allah telah meridai kaum Mukminin ketika mereka membaiatmu di bawah pohon. Maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, lalu menurunkan ketenangan atas mereka, dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). [QS. Al Fath:18].
 
c). Perintah beristighfar (memohon ampunan) bagi mereka, sebagaiman firman Allah:
 
وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
 
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang”. [QS. Al Hasyr:10].
 
Aisyah menafsirkan ayat ini dalam pernyataannya kepada kemenakannya yang bernama Urwah bin Az Zubair:
 
يَا ابْنَ أُخْتِي أُمِرُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبُّوهُمْ
 
Wahai kemenakanku, mereka diperintahkan untuk memohon ampunan bagi para sahabat Nabi ﷺ, tetapi mereka justru mencacinya. [Muslim dalam Shahih-nya, kitab Tafsir, no. 5344]
 
Imam Nawawi menjelaskan pernyataan ‘Aisyah ini, dia berkata:
“Tampaknya beliau menyatakan hal ini ketika penduduk Mesir mencela Utsman, dan penduduk Syam mencela Ali, sedangkan Al Haruriyah mencela keduanya. Adapun perintah memohon ampunan yang beliau isyaratkan, maka ia adalah firman Allah:
 
وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ
 
Dan dengan ayat ini juga Imam Malik berhujjah, bahwa orang yang mencela sahabat tidak berhak mendapatkan harta fa’i. Karena Allah hanya menjadikan harta tersebut kepada orang yang datang setelah sahabat yang memohon ampunan bagi mereka. [Syarah Shahih Muslim, karya Imam Nawawi, Tahqiq Asy Syaikh Khalil Ma’mun Syaikha, Cetakan ketiga, Tahun 1417 H , Dar Al Ma’rifah, Beirut, hlm. 18/352-353]
 
d). Allah melaknatnya, sebagaimana dalam sabda Rasulullah ﷺ:
 
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ
 
“Barang siapa mencela sahabatku, maka ia mendapat laknat Allah.” [Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah, no. 1001, hlm. 2/469 dan dihasankan Al Albani dalam Dzilalil Jannah Fi Takhrij As Sunnah, 2/469. Lihat kitab As Sunnah, karya Ibnu Abi ‘Ashim dengan Dzilal Al Jannah, karya Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cetakan ketiga, Tahun 1413 H, Al Maktab Al Islami, Bairut]
 
e). Larangan Rasulullah ﷺ dalam hadis Abu Sa’id di atas.
Bahkan sudah menjadi kesepakatan Ahlu Sunnah Wal Jamaaah, sebagaimana dinyatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (13/34): ‘Ahlu Sunnah Wal Jamaah telah bersepakat atas kewajiban tidak mencela seorang pun dari para sahabat .[ Dinukil dari kitab Min Aqwal Al Munshifin Fi Ash Shahabat Al Khalifah Mu’awiyah, karya Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al ‘Abad, Cetakan pertama, Tahun 1416 H, Markas Syu’un Ad Dakwah, Al Jami’ah Al Islamiyah, Madinah, hlm. 13]
 
2. Bahaya Mencela Sahabat
 
Di antara bahaya yang timbul dari perbuatan mencela sahabat adalah:
 
a). Mencela sahabat sebagai tanda kerendahan pelakunya, dan merupakan bidah dalam agama. Hal ini dinyatakan oleh Abu Al Mudzaffar As Sam’ani: “Mencela sahabat merupakan tanda kerendahan pelakunya. Ia juga merupakan kebidahan dan kesesatan”. [Ibid, hlm. 12]
 
b). Mencela mereka berarti mencela saksi Alquran dan Sunnah, dan dapat membawa pelakunya menjadi zindiq.
Hal ini diungkapkan Imam Abu Zur’ah Ar Razi:
”Jika kamu melihat seseorang melecehkan seorang sahabat Nabi ﷺ, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Karena menurut kita, Rasulullah ﷺ adalah benar dan Alquran benar. Sedangkan yang menyampaikan Alquran dan Sunnah Nabi ﷺ kepada kita adalah para sahabat. Mereka hanya ingin mencela para saksi kita untuk menghancurkan Alquran dan Sunnah. Celaan kepada mereka (para pencela) lebih pantas, dan mereka adalah zindiq”. [Ibid]
 
c). Mendapat hukuman paling ringan, yaitu ditazir (didera menurut kebijaksanaan pemerintah Islam). [Lihat Mukhtashar Ash Sharim Al Mashlul ‘Ala Syatim Ar Rasul, karya Ibnu Taimiyah oleh Muhammad bin ‘Ali Al Ba’li, Tahqiq ‘Ali bin Muhammad Al Imran, Cetakan pertama, Tahun 1422 H, Dar ‘Alam Al Fawaid, Makkah, hlm. 121]
 
d). Mendapatkan laknat Allah ﷻ, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ.:
 
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ
 
Barang siapa mencela sahabatku, maka ia mendapat laknat Allah. [Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah, no. 1001, hlm. 2/469, dan dihasankan Al Albani dalam Dzilalil Jannah Fi Takhrij As Sunnah, 2/469. Lihat kitab As Sunnah, karya Ibnu Abi ‘Ashim dengan Dzilal Al Jannah, karya Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cetakan ketiga, Tahun 1413 H, Al Maktab Al Islami, Bairut]
 
e). Menuduh Rasulullah ﷺ jelek, karena memiliki sahabat yang berhak dicela, sebagaimana diungkapkan Imam Malik: “Mereka kaum yang jelek, ingin mencela Rasulullah ﷺ, namun tidak bisa. Lalu mereka mencela para sahabat beliau sampai dikatakan “Orang jelek tentu memiliki sahabat yang jelek pula”. [Mukhtashar Ash Sharim Al Maslul, op.cit. hlm. 122]
 
3. Hukum Orang Yang Mencela Sahabat Nabi ﷺ.
 
Orang yang mencela sahabat dapat kita bagi menjadi beberapa bagian:
 
a). Orang yang sekadar mencela sahabat, maka masih perselisihkan karena ia berada di antara melaknat karena marah dan karena i’tiqad. [Ibid, hlm. 127]
 
b). Orang yang mencela sahabat dengan keyakinan Ali sebagai Tuhan atau Nabi, maka ia telah kafir.
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Adapun orang yang mengiringi celaannya dengan keyakinan bahwa Ali sebagai Tuhan atau ia seorang Nabi, atau berkeyakinan Jibril salah dalam menyampaikan wahyu; maka tidak diragukan (ini merupakan) kekafirannya, bahkan tidak diragukan juga kekafiran orang yang tidak mengafirkannya.” [Ash Sharim Al Maslul ‘Ala Syatim Ar Rasul, karya Ibnu Taimiyah, Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut, hlm. 586]
 
c). Orang yang mencela sahabat karena keyakinannya akan kekafiran sahabat, maka berdasarkan Ijma’, ia adalah kafir dan dihukumi dengan hukum bunuh, karena ia telah mengingkari sesuatu yang secara pasti telah diakui dalam agama, yaitu Ijma’ umat Islam tentang keimanan para sahabat. [Lihat Majalah As Sunnah, Edisi 12/1/1415-1995, hlm. 23, menukil dari Majalah Al Furqan, Edisi 54 Tahun IV Rabi’ul Akhir 1415 H/ Oktober 1994]
 
Syaikhul Islam berkata:
“Adapun orang yang melakukan hal itu (yaitu sekadar mencela, Pen)) sampai menganggap para sahabat telah murtad setelah Rasulullah ﷺ kecuali sejumlah kecil tidak sampai belasan orang, atau menganggap para sahabat seluruhnya fasik; maka tidak diragukan lagi kekafirannya. Karena ia telah mendustakan nash Alquran yang banyak berisi keridaan dan pujian kepada mereka. Bahkan orang yang ragu tentang kekafiran yang seperti ini, maka kekafirannya itu pasti”. [Ash Sharim Al Maslul, op.cit. hlm. 586-587]
 
d). Orang yang mencela sahabat seluruhnya dengan keyakinan, bahwa mereka seluruhnya fasik. Maka orang ini dihukumi kufur, sebagaimana disampaikan Ibnu Taimiyah di atas.
 
e). Orang yang mencela sahabat dengan keyakinan bahwa mencela mereka itu merupakan pendekatan diri (taqarub) kepada Allah, sikap ini merupakan natijah (akibat) dari kebencian mereka terhadap sahabat, dan tentu ini adalah sebagai konsekuensi dari keyakinan mereka tentang kefasikan sahabat. Tentu hal itu adalah kufur dan keluar dari Islam.
 
Imam Thahawi mengatakan:
“Benci terhadap sahabat adalah kufur, nifaq dan melampaui batas.”
 
Imam Malik mengatakan:
“Barang siapa yang bangun pagi, sedangkan di dalam hatinya ada kebencian terhadap salah seorang sahabat, berarti ia terkena ayat Alquran, yakni firman Allah taala:
 
لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ
 
Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang Mukmin). [QS. Al Fath:29]. [As Sunnah, Edisi 12/I/1415-1995, hlm. 23-24]
 
f). Orang mencela sahabat dengan celaan yang tidak merusak keadilan dan agama mereka, seperti menyatakan Abu Sufyan bakhil atau Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sukanya makan dan sejenisnya; maka ia berhak dididik dan dihukum ta’zir.
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Adapun orang yang mencela mereka (para sahabat) dengan celaan yang tidak merusak keadilan dan agama para sahabat, seperti menyifatkan sebagian mereka dengan bakhil, atau penakut, atau sedikit ilmu, atau tidak memiliki sifat zuhud, dan sejenisnya, maka orang ini berhak mendapat pembinaan dan hukuman tazir, dan kita tidak menghukuminya kafir hanya dengan hal ini saja”. [Ash Sharim Al Maslul, op.cit, hlm. 586]
 
Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan, sebagaimana disampaikan Ibnu Taimiyah, yaitu ada di antara orang yang mencela sahabat yang sudah pasti kekufurannya, dan ada yang tidak divonis kufur, serta ada yang masih dibimbangkan kekufurannya.
 
4. Hukum mencela istri-istri Nabi. [Masalah ini diterjemahkan dari Mukhtashar Ash Sharim Al Maslul, op.cit. hlm. 116]
 
Adapun orang yang mencela istri-istri Nabi ﷺ ; maka barang siapa yang menuduh Aisyah dengan apa yang telah Allah lepaskan dirinya dari tuduhan tersebut, maka ia telah kafir. Lebih dari seorang ulama telah menyampaikan Ijma’ ini. Sedangkan orang yang mencela selain beliau dari kalangan para istri Nabi ﷺ, maka terdapat dua pendapat.
 
Pertama: Menyatakan ia seperti mencela salah seorang sahabat.
Kedua: Menyatakan bahwa menuduh seseorang dari Ummahat Al Mukminin sama dengan (hukum) menuduh Aisyah. Dan inilah yang benar.
 
Oleh karena itu berhati-hatilah, wahai kaum Muslimin. Hendaklah kita memelihara lisan kita dari mencela ataupun berdusta atas nama sahabat Nabi ﷺ.
 
Semoga bermanfaat.
 
Sumber:
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
 
#janganmencelasahabat #laranganmencelasahabat, #jSyiahbukanIslam #jmencelasahabatNabipangkalkerusakanagama #bahayamencelasahabatNabi #hukummencelasahabatNabi #artisahabatNabi #definisisahabatNabi