بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#SayNoToBid’ah
#ManhafSalaf
MEMAHAMI BID’AH DENGAN BENAR
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:

وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ .

“Bid’ah adalah segala sesuatu yang menyelisihi Alquran dan as Sunnah, atau menyelisihi kesepakatan ulama salaf, baik berupa keyakinan ataupun ibadah.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346).
Untuk mengetahui sesuatu dengan baik, kita perlu bertitik tolak dari definisi yang tepat tentang hal tersebut.
Dalam definisi di atas terkandung beberapa poin penting sekitar bid’ah:

  1. Bid’ah itu tidak hanya terdapat dalam praktik ritual ibadah. Bahkan ada bid’ah dalam i’tiqod (keyakinan, pemikiran dan pendapat), di samping ada bid’ah dalam ritual ibadah. Orang yang berkeyakinan, bahwa Zat Allah itu ada di mana-mana, sifat wajib Allah itu hanya dua puluh, sifat Allah itu sama dengan sifat makhluk, tidak ada penghuni Surga yang merupakan eks penghuni Neraka dan lain-lain, adalah sedikit contoh tentang keyakinan, yang memenuhi kriteria untuk dikategorikan sebagai bid’ah dalam keyakinan.
  2. Tidak ada istilah bid’ah untuk perkara yang diperselisihkan oleh para ulama salaf, karena bid’ah adalah yang menyelisihi kesepakatan ulama salaf. Sehingga perkara yang sudah diperselisihkan oleh para ulama sejak masa salaf (sahabat, tabiin dan tabi’ tabiin) tidak bisa masuk dalam kategori bid’ah. Ini adalah suatu hal yang perlu DIPERHATIKAN dengan seksama. Sebagian orang tidak bisa membedakan dengan baik, manakah permasalahan agama yang masuk ruang lingkup Sunnah-Bid’ah, dengan yang masuk dalam ruang lingkup Rajih-Marjuh (pendapat yang kuat dan pendapat yang kurang kuat). Karena demikian yakin, bahwa pendapat yang dipilih adalah pendapat yang benar berdasar Alquran dan Sunnah, maka ada orang yang kelewat batas dengan memvonis pendapat lain sebagai pendapat yang bid’ah. Andai dia tahu, bahwa ulama salaf sudah berselisih dalam masalah ini, tentu lontaran yang berbahaya tersebut tidak akan diucapkan.
  3. Adanya istilah bid’ah untuk permasalahan agama yang diperselisihkan oleh para ulama pasca masa salaf. Hal ini terjadi ketika pendapat ulama muta-akhirin (belakangan, bukan generasi salaf) tersebut menyelisihi dalil yang tegas kandungan maknanya yang terdapat dalam Alquran dan hadis, meskipun boleh jadi beliau tidak berdosa disebabkan hal itu, dikarenakan beliau dalam kondisi berijtihad. Namun ijtihad beliau tidaklah menghalangi tergelincirnya beliau dalam bid’ah. Akan tetapi, dalam kondisi ini kita yakini, beliau tidak berdosa karena berijtihad, meski hasil ijtihadnya adalah bid’ah yang tidak boleh diikuti, teriring lantunan doa kita, agar Allah melimpahkan kasih saying-Nya kepadanya dan mengumpulkan kita dan beliau dalam Surga-Nya yang luas.

Uraian di atas menunjukkan tidak tepatnya anggapan sebagian orang yang menutup rapat-rapat istilah bid’ah dalam masalah ijtihad, dan masalah yang diperselisihkan ulama, tanpa memerhatikan, apakah hal tersebut adalah perkara yang diperselisihkan sejak masa salaf, ataukah hal tersebut adalah perselisihan baru yang tidak ada di masa salaf.

  1. Yang dimaksud menyelisihi Alquran dan as Sunnah adalah menyelisihi dalil tegas yang terdapat dalam Alquran dan as Sunnah. Artinya, jika dalil yang suatu permasalahan bisa dipahami dengan beberapa pemahaman yang bisa diterima, karena pemahaman tersebut tidaklah timbul dengan dipaksa-paksakan, maka dalam hal ini tidak terdapat istilah bid’ah. Terlebih-lebih jika pemahaman tersebut sudah ada sejak generasi salaf.
  2. Urgensinya memelajari dan menelaah pemahaman dan pendapat yang ada di antara generasi salaf, sehingga kita bisa menilai dengan tepat, apakah suatu pendapat dan pemahaman terhadap Alquran dan sunnah masuk dalam kategori sunnah-bid’ah ataukah tidak.

 
Penulis: Al-Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal hafizhahullah