Apa Makna Thiyaroh (Pamali/Merasa Sial)?

Secara bahasa, kata Thiyaroh (anggapan merasa sial/pamali) adalah isim mashdar dari kata tathayyara yang mana asal katanya adalah tha`irun yang berarti burung. Hal ini karena dulu, ketika orang-orang Arab jahiliyah hendak mengadakan suatu perjalanan, maka mereka terlebih dahulu melempar seekor burung ke udara. Jika burungnya terbang ke kanan maka mereka melanjutkan rencana keberangkatan mereka, karena itu adalah pertanda baik. Dan jika burungnya terbang ke kiri, maka mereka membatalkan perjalanan tersebut karena itu adalah pertanda jelek. Orang-orang jahiliah dulu meyakini bahwa Thiyaroh (anggapan sial atau keberuntungan) melalui sesuatu (hewan, benda, arah angin, atau selainnya) dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan/menolak marabahaya.

Ketika seseorang kejatuhan cicak, atau mendengar suara burung gagak, seringkali dia menganggap bahwa itu pertanda akan ada bencana, atau akan ada yang meninggal. Atau ada orang yang mengurungkan niatnya (membatalkan rencananya) karena merasa melihat atau mengalami suatu pertanda buruk.

 Adapun secara istilah, Thiyaroh adalah menjadikan/menyandarkan kesialan atau keberuntungan kepada sesuatu yang dilihat atau yang didengar atau yang diketahui.

Contoh sesuatu yang dilihat: Orang yang akan berangkat pergi tanpa sengaja menjatuhkan piring, gelas atau hal lainnya di dalam rumahnya, lantas ia tidak jadi berangkat.

Contoh sesuatu yang didengar: Bila ia mendengar suara burung hantu atau burung gagak yang hinggap di atas rumahnya, maka ia mengurungkan maksudnya untuk berangkat atau kegiatan lainnya.

Contoh sesuatu yang diketahui: Misalnya menganggap suatu keberuntungan dengan memiliki pohon yang sarat dengan bunga, di pekarangan rumahnya.

Perbuatan Thiyaroh  ini bisa menafikan (meniadakan) tauhid atau mengurangi kesempurnaan tauhid yang wajib. Hal ini bisa ditinjau dari dua sisi:

  1. Bahwa Thiyaroh  ini memutuskan ketawakkalannya kepada Allah dan bersandar kepada selain-Nya, yang mana hal itu tidak bisa memberikan manfaat dan mendatangkan mudharat.
  2. Bahwa Thiyaroh ini menjadikan ketergantungan hati kepada suatu perkara yang tidak ada hakekatnya sama sekali, bahkan ini adalah persangkaan belaka dan takhayul.

 

Dan tidak diragukan bahwa kedua hal di atas mencacati nilai-nilai tauhid, karena tauhid adalah ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

Mengapa Thiyaroh dikategorikan sebagai kesyirikan?  Karena Allah-lah satu-satu-Nya Yang Mengatur, Mencipta, Berkuasa. Semua yang terjadi tidak ada yang keluar dari kehendak-Nya dan ciptaan-Nya. Maka jika ada keyakinan bahwa ada yang mengatur, mencipta dan berkuasa selain Allah, disinilah letak kesyirikannya. Yaitu dengan MENYAMAKAN SELAIN ALLAH DENGAN ALLAH TA’ALA DI DALAM PERKARA YANG KHUSUS MILIK ALLAH TA’ALA, dalam hal ini pengaturan, penciptaan dan kekuasaan.

Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa kafarah (penghapus/penebus)-nya ?”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Hendaknya engkau mengucapkan):

اللَّهُمَّ لاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ

ALLAHUMMA LAA KHAIRO ILLA KHAIRUKA WA LAA THOIRO ILLA THOIRUKA WA LAA ILAAHA GHOIRUKA.

Artinya:

Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan yang datang dari-Mu, tidak ada kesialan kecuali kesialan yang datang dari-Mu, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau” [Diriwayatkan oleh Ahmad (2/220), Ibnus-Sunniy (no. 287), Ibnu Wahb dalam Jaami’-nya (no. 656, 657, 659, 660); dari Ibnu ‘Amr. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah (no. 1065).]

Dan yang bisa menghilangkan semua itu adalah tawakkal kepada Allah, menggantungkan harapan kepada Allah dan berhusnudzan kepada-Nya jalla wa ‘ala.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  melarang Thiyaroh dan syu’m (kesialan) secara umum dan memuji orang-orang yang menjauhinya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:

يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ هُمْ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Tujuh puluh ribu orang dari ummatku akan masuk Jannah tanpa hisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak berobat dengan cara kay, tidak meminta diruqyah, tidak bertathayyur (Thiyaroh )dan hanya bertawakkal kepada Allah semata.” [HR. Al-Bukhari no. 6472 dari Ibnu ‘Abbas رضي الله عنهما. Diriwayatkan juga dengan lafadzh yang panjang oleh al-Bukhari no. 5705, 5752, dan Muslim no. 220 dari Ibnu ‘Abbas رضي الله عنهما]