بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
KEUTAMAAN ILMU SYARI DAN MEREKA YANG MEMELAJARINYA
Pertama: Allah akan Mengangkat Derajat Penuntut Ilmu
Allah akan mengangkat derajat para penuntut ilmu di atas manusia yang lain. Ini sesuai dengan firman Allah ﷻ:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاَتٍ
“Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian, dan orang-orang yang berilmu, dengan beberapa derajat.” [QS. al-Mujadalah: 11]
Bahkan para malaikat pun diperintah sujud kepada Adam sebagai bentuk penghormatan kepadanya, karena Allah telah mengajarkan kepadanya ilmu. Ini sebagaimana firman Allah ﷻ:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:”Sujudlah kamu kepada Adam,”maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Ia enggan dan takabur, dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” [QS. al-Baqarah: 34]
Berkata Ibnu Katsir menerangkan dua ayat sebelumnya di dalam tafsirnya [1/ 222]:
هذا مقام ذكر الله تعالى فيه شرف آدم على الملائكة، بما اختصه به من عِلم أسماء كلّ شيء دونهم
“Ini kedudukan di mana Allah menyebutkan kemuliaan Adam terhadap malaikat, karena Allah mengajarkan kepadanya nama-nama segala sesuatu yang tidak diajarkan kepada makhluk lainnya.”
Kedua: Orang-Orang Berilmu Ikut Memersaksikan Ke-Esaan Allah bersama Para Malaikat
Allah ﷻ berfirman:
شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُولُوا الْعِلْمِ قَائِماً بِالْقِصْطِ
“Allah telah memersaksikan, bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah melainkan Dia, dan para malaikat dan orang yang berilmu (ikut memersaksikan) dengan penuh keadilan.” [QS. Ali ‘Imran: 18]
Berkata Imam al-Qurthubi di dalam al-Jami’ li Ahkam Alquran (4/41):
في هذه الآية دليل على فضل العلم وشرف العلماء وفضلهم ؛ فإنه لو كان أحد أشرف من العلماء لقرنهم الله باسمه واسم ملائكته كما قرن اسم العلماء.
“Di dalam ayat ini terdapat dalil tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan ulama serta keutamaan mereka. Jika ada seseorang yang lebih mulia dari ulama, niscaya Allah akan menggandengkan nama mereka dengan nama–Nya dan nama malaikat-malaikat-Nya, sebagaimana Allah menggandengkan nama ulama.”
(3) Ketiga: Allah Membedakan antara Orang-Orang yang Berilmu dengan Orang-orang yang tidak Berilmu
Ini sebagaimana firman Allah ﷻ:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ
“Katakan, apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” [QS. az-Zumar: 9]
Berkata Syekh Abdurrahman as-Sa’di di dalam Taisiri al-Karim ar-Rahman [1/720]:
“Katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui Rabb mereka dan mengetahui ajaran agama-Nya yang syari dan pembalasan-Nya, serta rahasia-rahasia dan hikmah-hikmah di dalamnya, dengan orang-orang yang tidak mengetahuinya sama sekali? Maka tidaklah sama antara mereka (yang tahu) dengan mereka (yang tidak tahu), sebagaimana tidak sama antara malam dan siang, antara terang dan gelap, antara air dan api. Hanyasaja yang mau mengambil pelajaran jika diingatkan adalah mereka yang Ulul Albab, yaitu mereka yang mempunyai akal yang bersih dan cerdas. Yang lebih mengutamakan sesuatu yang tinggi daripada sesuatu yang rendah. Mereka lebih mengutamakan ilmu daripada kebodohan. Mengutamakan taat kepada Allah daripada bermaksiat kepada-Nya. Hal itu karena mereka mempunyai akal yang menunjukkan agar mereka melihat akibat dari segala sesuatu. Berbeda dengan orang yang tidak mempunyai kecerdasan dan akal, maka dia akan menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan.”
Keempat: Orang Berilmu dijadikan Rujukan Utama Masyarakat dalam Masalah Agama
Allah ﷻ berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Maka bertanyalah kepada ahli zikir (orang-orang berilmu) jika kalian tidak mengetahui.” [QS. an-Naml: 43]. Ayat yang sama juga tersebut di dalam [QS. al-Anbiya’: 7]
Berkata Imam al-Qurthubi di dalam al-Jami’li Ahkami Alquran [11/272]:
لم يختلف العلماء أن العامة عليها تقليد علمائها، وأنهم المراد بقول الله عز وجل:”فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ”وأجمعوا على أن الأعمى لأبد له من تقليد غيره ممن يثق بميزه بالقبلة إذا أشكلت عليه، فكذلك من لا علم له ولا بصر بمعنى ما يدين به لا بد له من تقليد عالمه، وكذلك لم يختلف العلماء أن العامة لا يجوز لها الفتيا، لجهلها بالمعاني التي منها يجوز التحليل والتحريم
“Para ulama tidak berbeda pendapat, bahwa orang awam harus mengikuti para ulama mereka, dan merekalah yang dimaksud (pada ayat di atas). Dan mereka sepakat bahwa orang buta jika bingung, maka dia harus mengikuti orang lain yang dia percayai tentang arah Kiblat. Begitu juga orang yang tidak mempunyai ilmu dan tidak mengetahui tentang agamanya, maka dia harus mengikuti orang yang tahu. Begitu juga para ulama tidak berbeda pendapat, bahwa orang awam tidak boleh berfatwa, karena mereka bodoh terhadap hal-hal yang seseorang bisa mengetahui yang halal dan yang haram.”
Kelima: Orang Berilmu Memahami Perumpamaan-Perumpamaan yang disebutkan Allah
Ini sesuai dengan firman Allah ﷻ:
وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
“Dan tidak ada yang mengetahuinya (perumpamaan-perumpamaan yang dibuat oleh Allah), melainkan orang-orang yang berilmu.” [QS. al-’Ankabut: 43]
Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya [6/279]:
أي: وما يفهمها ويتدبرها إلا الراسخون في العلم المتضلعون منه
“Yaitu tidak ada yang bisa memahami permisalan-permisalan tersebut dan bisa merenunginya, kecuali orang-orang yang kuat ilmu mereka dan sangat menguasainya.”
Diriwayatkan bahwa Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhu berkata:
عَقَلْتُ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ألف مثل
“Saya bisa memahami dari Rasulullah ﷺ 1000 permisalan.” [HR. Ahmad. Berkata al-Haitsami di dalam al-Majma’ (8/264): Isnadnya Hasan]
Keenam: Orang-Orang Berilmu adalah Orang-Orang yang Takut Kepada Allah ﷻ
Ini sesuai dengan firman Allah ﷻ:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمآءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” [QS. Fathir: 28]
Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya (6/544):
إنما يخشاه حق خشيته العلماء العارفون به؛ لأنه كلما كانت المعرفة للعظيم القدير العليم الموصوف بصفات الكمال المنعوت بالأسماء الحسنى -كلما كانت المعرفة به أتمّ والعلم به أكمل، كانت الخشية له أعظم وأكثر.
“Hanya saja yang takut kepada-Nya dengan sebenar-benar takut adalah para ulama yang mengetahui tentang Allah. Hal itu karena pengetahuan terhadap Allah yang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Yang mempuyai sifat yang sempurna, dan mempunyai nama-nama yang baik. Setiap pengenalan terhadap-Nya lebih sempurna, dan pengetahuan terhadap-Nya lebih lengkap, maka rasa takut kepada-Nya lebih besar dan lebih banyak.”
Ketujuh: Allah ﷻ Memerintahkan untuk Terus Menambah Ilmu
Ini sesuai dengan firman Allah ﷻ:
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: ”Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” [QS.Thaha: 114]
Berkata Imam al-Qurthubi di dalam al-Jami’ li Ahkam Alquran (4/41):
فلو كان شيء أشرف من العلم لأمر الله تعالى نبيه صلى الله عليه وسلم أن يسأله المزيد منه كما أمر أن يستزيده من العلم
“Seandainya ada sesuatu yang lebih mulia dari ilmu, maka Allah akan memerintahkan Nabinya ﷺ untuk meminta tambahan dari-Nya, sebagaimana Dia memerintahkan untuk meminta tambahan ilmu.”
Kedelapan: Ilmu adalah Pemimpin, Sedang Amal adalah Pengikutnya
Allah ﷻ berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Ketauhilah, sesungguhnya tidak ada Ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan mintalah ampun atas dosa-dosamu.” [QS. Muhammad: 16]
Imam Bukhari di dalam kitab Sahihnya [1/24], beliau mengatakan:
العِلْمُ قَبْلَ القَوْلِ وَالعَمَلِ
“Ilmu dulu sebelum ucapan dan amal perbuatan.”
Berkata al-Hasan al-Bashri:
العَامِلُ عَلَى غَيْرِ عِلْمٍ كَالسَّالِكِ عَلَى غَيْرِ طَرِيقٍ، والعَامِلُ عَلَى غَيْرِ عِلْمٍ يُفْسِدُ أَكْثَرُ مِمَّا يُصْلِحُ، فَاطْلُبُوا العِلْمَ لا تَضُرُّوا بِالعِبَادَةِ واطْلُبُوا العِبَادَةَ طَلَباً لا تَضُرُّوا بِالعِلْمِ فَإِنَّ قَوْمَاً طَلَبُوا العِبَادَةَ وَتَرَكُوا العِلْمَ حَتَّى خَرَجُوا بِأَسْيَافِهِمْ عَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ طَلَبُوا العِلْمَ لَمْ يَدُلَّهَمْ عَلَى مَا فَعَلُوا
“Orang yang beramal tanpa ilmu, seperti orang yang meniti di luar jalan. Orang yang beramal tanpa ilmu lebih banyak merusak daripada memerbaiki. Maka tuntutlah ilmu dengan tidak merusak ibadah, dan beribadahlah dengan tidak merusak ilmu. Karena sesungguhnya terdapat suatu kaum yang banyak beribadah tetapi meninggalkan ilmu, sehingga mereka keluar dengan pedang-pedang mereka untuk memerangi umat Muhammad. Seandainya mereka mau menuntut ilmu, maka ilmu tersebut tidak akan menunjukkan kepada perbuatan tersebut.”
Kesembilan: Orang-Orang Berilmu adalah Pewaris Para Nabi
Ini sebagaimana di dalam hadis Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
وَإنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأنْبِيَاءِ ، وَإنَّ الأنْبِيَاءَ لَمْ يَوَرِّثُوا دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً وَإنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan Dinar maupun Dirham, akan tetapi mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambil bagian ilmu, maka sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak.” [HR. at-Tirmidzi, 3643. Hadis ini Hasan sebagaimana dalam Misykatu al-Mashabih, 212]
Berkata Imam al-Qurthubi di dalam al-Jami’ li Ahkami Alquran (11/78):
هذا الحديث يدخل في التفسير المسند ؛ لقوله تعالى: {وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُدَ} وعبارة عن قول زكريا: {فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيّاً يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ} وتخصيص للعموم في ذلك ، وأن سليمان لم يرث من داود مالا خلفه داود بعده ؛ وإنما ورث منه الحكمة والعلم ، وكذلك ورث يحيى من آل يعقوب ؛ هكذا قال أهل العلم بتأويل القرآن… والأظهر الأليق بزكريا عليه السلام أن يريد وراثة العلم والدين.
“Hadis di atas masuk di dalam tafsir yang bersanad. Ini berdasarkan firman Allah [QS.27:16.“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud). Begitu juga apa yang disampaikan Nabi Zakariya [QS. 19:5-6. ”Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub). Dan ini merupakan pengkhususan dari keumuman (warisan). Dan Nabi Sulaiman tidaklah mewarisi dari Nabi Daud harta yang ditinggalkan sesudah kematiannya. Tetapi beliau mewarisi darinya hikmah dan ilmu. Begitu juga Nabi Yahya mewarisi dari keluarga Ya’qub (hikmah dan ilmu). Inilah pendapat para ulama di dalam menafsirkan ayat di atas…Dan tafsir yang lebih tepat dan sesuai bahwa Nabi Zakariya ingin mewariskan ilmu dan agama.”
Pendapat Imam al-Qurthubi di atas sesuai dengan hadis:
إنا معشر الأنبياء لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ
“Sesungguhnya kami para nabi tidak diwarisi. Apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.” [HR. Bukhari, 6726 dan Muslim, 4501 dari hadis Abu Bakar as-Siddiq tanpa ”Sesungguhnya kami para Nabi”. Adapun tambahan lafal ini ada dalam as-Sunan al-Kubra karya Imam an-Nasai dengan sanad sesuai syarat Muslim]
Kesepuluh: Ilmu Adalah Amalan yang Tidak Terputus Pahalanya Walaupun Pemiliknya Meninggal Dunia
Ini sesuai hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia meninggal, maka semua amalannya terputus kecuali tiga perkara:
• Sedekah jariyah, atau
• Ilmu yang bermanfaat, atau
• Anak saleh yang mendoakan untuknya.” [HR. Muslim]
Ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah ﷺ:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang memulai untuk memberi contoh kebaikan (dalam Islam), maka ia mendapat pahala perbuatannya, dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu, sampai Hari Kiamat.” [HR. Muslim]
Bahkan al-Mutanabi, seorang penyair yang sangat terkenal menyebutkan, bahwa jasa-jasa orang yang sudah meninggal adalah umur keduanya, yang kemudian diungkapkan kembali oleh Ahmad Syuqi dalam salah satu syairnya:
دَقَاتُ قَلْبِ الْمَرْءِ قَائِلَةً لَهُ إِنَّ الْحَيَاةَ دَقَائِقُ وَثَوَانِ
فَارْفَعْ لِنَفْسِكَ بَعْدَ مَوْتِكَ ذِكْرَهَا فَالذِّكْرُ لِلْإِنْسَانِ عُمْرُ ثَانٍ
“Ketukan-ketukan hati seseorang mengatakan kepadanya: ”Sesungguhnya hidup ini hanyalah terdiri dari menit-menit dan detik-detik.”
“Maka, angkatlah nama dirimu (dengan amal perbuatan) setelah kematianmu, karena terangkatnya nama merupakan umur kedua bagi manusia.”
Kesebelas: Menuntut Ilmu Merupakan Jalan Menuju Surga
Tersebut di dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ َيتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke Surga baginya. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk membaca Alquran, melainkan mereka akan diliputi ketenangan, rahmat, dan dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. Barang siapa yang ketinggalan amalnya, maka nasabnya tidak juga meninggikannya.” [HR. Muslim: 4867]
Pelajaran dari Hadis:
a) Menuntut ilmu adalah salah satu jalan yang menyebabkan seseorang masuk Surga, karena dengan ilmu dia mengetahui halal dan haram, sehingga menjauhi sesuatu yang haram. Dan dengan ilmu, dia mengetahui amalan-amalan yang mengantarkannya menuju Surga, sehingga dia mengikutinya.
Bahkan amal-amal saleh lain yang disebutkan sebelumnya di dalam hadis, seperti menolong orang lain, memudahkan kesusahannya dan lain-lainnya tidak akan bisa dilakukan, kalau seseorang tidak mempunyai ilmu. Atau kita katakan, bahwa amal-amal saleh yang disebutkan sebelumnya memang bermanfaat bagi orang lain, tetapi menuntut ilmu manfaatnya lebih banyak dan lebih luas dibanding amal-amal saleh lainnya.
b) Menuntut ilmu yang menyebabkan masuk Surga adalah jika hal itu diniatkan ikhlas karena Allah, bukan karena mencari ijazah, atau mencari jabatan, atau agar dikatakan seorang alim, atau agar mendapatkan pengikut yang banyak.
Berkata an-Nawawi di dalam Syarh Sahih Muslim (17/22):
فضل المشى فى طلب العلم ويلزم من ذلك الاشتغال بالعلم الشرعى بشرط أن يقصد به وجه الله تعالى وان كان هذا شرطا فى كل عبادة لكن عادة العلماء يقيدون هذه المسألة به لكونه قد يتساهل فيه بعض الناس ويغفل عنه بعض المبتدئين و ونحوهم
“Di dalam hadis tersebut terdapat keutamaan menuntut ilmu, dan secara otomatis menunjukkan keutamaan menyibukkan diri dengan ilmu syari. Tetapi syaratnya harus diniatkan karena Allah. Syarat ini walaupun berlaku dalam seluruh ibadah, tetapi sebagai kebiasaan para ulama menekankan secara khusus keikhlasan di dalam menuntut ilmu, karena sebagian masyarakat menganggap remeh hal ini, dan para penuntut ilmu yang pemula seringkali lengah dalam masalah ini.”
c) Salah satu cara menuntut ilmu adalah berkumpul dalam majelis untuk membaca dan memelajari serta menadabburi Alquran. Perlu diketahui, bahwa belajar secara bersama, baik dalam bentuk halaqah-halaqah ilmu maupun dalam bentuk majelis-majelis ilmu, sangatlah membantu di dalam menuntut ilmu. Karena seseorang jika di suatu majelis, maka dia tertuntut untuk bersungguh-sungguh dan memerhatikan apa yang disampaikan oleh seorang alim atau guru. Dia bisa menahan dirinya untuk tidak berbuat sesuka hatinya, karena gerak-geriknya akan menjadi perhatian orang banyak.
Berbeda jika dia belajar sendiri, maka tidak ada orang lain yang mengawasinya. Maka dia akan berbuat seenaknya sendiri, dan cenderung akan mengikuti segala keinginannya, sehingga susah untuk fokus dan konsentrasi pada ilmu. Dalam keadaan seperti ini, biasanya setan mulai menggoda dan berusaha menjauhkannya dari menuntut ilmu. Selain itu, belajar sendiri tanpa guru cenderung banyak salahnya, karena banyak istilah-istilah dalam bidang-bidang tertentu yang tidak bisa dipahami dengan baik, kecuali melalui keterangan guru yang sudah menguasainya.
d) Majelis ilmu tidak terbatas di masjid saja, tetapi bisa di tempat lain, seperti di ruang sekolah, aula pertemuan, dan tempat-tempat lainnya. Adapun maksud baitullah di dalam hadis di atas bukan terbatas pada masjid.
Berkata an-Nawawi di dalam Syarh Sahih Muslim (17/22):
ويلحق بالمسجد فى تحصيل هذه الفضيلة الاجتماع فى مدرسة ورباط ونحوهما ان شاء الله تعالى ويدل عليه الحديث الذى بعده فإنه مطلق يتناول جميع المواضع ويكون التقييد فى الحديث الأول خرج على الغالب لا سيما فى ذلك الزمان فلا يكون له مفهوم يعمل به
“Selain di masjid, untuk mendapatkan keutamaan berkumpul untuk mencari ilmu juga bisa di dapat di tempat lain seperti sekolah, pesantren dan sejenisnya, insya Allah. Yang menunjukkan hal itu adalah hadis sesudahnya yang menerangkan tentang cakupan semua tempat. Oleh karena sebutan tempat tertentu (masjid) pada hadis pertama hanya menunjukkan kebiasaan, khususnya pada zaman itu, sehingga tidak ada mafhum yang diamalkan.”
(5) Di dalam hadis di atas terdapat empat keutamaan yang akan di dapat orang-orang yang sering hadir dalam majelis-majelis ilmu, yaitu sebagai berikut:
Keutamaan Ke- 1: نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ (Mendapatkan Ketenangan Hati)
As-Sakinah di dalam hadis di atas artinya ath-Thuma’ninah wa al-Waqar (Ketenangan dan Keteguhan). Mereka akan merasakan ketenangan yang terus menerus, karena mereka berada di atas petunjuk Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman, dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” [QS. ar-Ro’du: 28]
Keutamaan Ke- 2: وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ (Diselimuti Rahmat Allah). Yaitu bahwa orang-orang yang hadir di majelis-majelis ilmu akan mendapatkan rahmat dan kasih-sayang dari Allah ﷻ.
Keutamaan Ke-3: وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ (Dikelilingi para Malaikat). Berkata Syekh Athiyah Salim di dalam Syarah Arba’in an-Nawawiyah (19/ 11):
فالملائكة تحفهم بأجنحتها إما رأفة بهم، وإما إعجاباً بهم، وإما تطييباً لخواطرهم
“Malaikat mengelilingi mereka dengan sayap-sayapnya, karena sayang kepada mereka, atau kagum dengan perbuatan mereka, atau ingin menyenangkan hati mereka.”
Berkata Shaleh Ali Syekh di Syarah Arba’in an-Nawawiyah (hadis: 37/6):
يعني أنهم أحدقوا بهم من جميع الجهات، وتراصوا بحيث كانوا حافين بهم، وهذا يدل على أن هؤلاء تعرضوا لفضل عظيم، لا يتسلط عليهم وهم إذْ ذاك شيطان إلا ما كان من هوى أنفسهم والقرين.
“Maksudnya bahwa para malaikat menutupi mereka dari segala penjuru, dan mereka berbaris rapat mengelilingi mereka. Dan ini menunjukkan, bahwa mereka mendapatkan kemuliaan yang besar. Maka mereka tidak akan dikuasai setan dalam keadaan seperti ini, kecuali dari dalam diri mereka sendiri.”
Keutamaan Ke-4: وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ (Allah menyebut-nyebut mereka kepada makhluk yang berada di sisi-Nya).
Maksudnya, bahwa Allah akan menyebut-nyebut mereka di depan para malaikat yang berada di sisi-Nya dengan memuji mereka, dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar. Yang di sisi Allah adalah para malaikat, sebagaimana firman Allah ﷻ:
وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ
“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya, dan tiada (pula) merasa letih.” [QS. al-Anbiya’: 19]
Berkata al-Mubarakfuri di dalam Tuhfatu al-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi [9/ 226]:
وذكرهم الله فيمن عنده أي ذكرهم الله مباهاة وافتخارا بهم بالثناء الجميل عليهم وبوعد الجزاء الجزيل لهم
“Allah akan menyebut-nyebut mereka di depan siapa yang ada di sisi-Nya, yaitu menyebut mereka dengan memamerkan dan membanggakan mereka dengan memberikan pujian yang baik dan dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar.”
Keduabelas: Diperbolehkan Hasad kepada Orang yang Berilmu
Ini sebagaimana yang tersebut di dalam hadis Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ أَتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ وَرَجُلٌ أَتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
”Tidak boleh hasad kecuali dalam dua hal, yaitu terhadap:
• Orang yang Allah berikan kepadanya harta dan ia menggunakannya dalam kebenaran, dan
• Orang yang Allah berkan kepadanya hikmah lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya.” [HR. Al-Bukhari]
Ketigabelas: Malaikat akan Membentangkan Sayap Terhadap Penuntut Ilmu
Ini sebagaimana yang tersebut di dalam hadis Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقاً يَبْتَغِي فِيهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَريقاً إِلَى الجَنَّةِ، وَإنَّ المَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ العِلْمِ رِضاً بِمَا يَصْنَعُ ، وَإنَّ العَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّماوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ حَتَّى الحيتَانُ في المَاءِ ، وَفضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِ القَمَرِ عَلَى سَائِرِ الكَوَاكِبِ ، وَإنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأنْبِيَاءِ ، وَإنَّ الأنْبِيَاءَ لَمْ يَوَرِّثُوا دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً وَإنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بحَظٍّ وَافِرٍ
“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju ke Surga. Sesungguhnya malaikat akan meletakan sayap-sayap mereka kepada penuntut ilmu, sebagai bentuk keridaan terhadap apa yang dia perbuat. Sesungguhnya semua yang ada di langit dan di bumi memintakan ampun untuk seorang yang berilmu sampai ikan yang ada di air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibandingkan dengan ahli ibadah sebagaimana keutamaan bulan purnama terhadap semua bintang. Dan sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan Dinar maupun Dirham, akan tetapi mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambil bagian ilmu, maka sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak.” [HR. At-Tirmidzi, 3643. Hadis ini Hasan sebagaimana dalam Misykatu al-Mashabih, 212)
Keempatbelas: Ilmu Lebih Dibutuhkan daripada Makanan dan Minuman
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu:
الناس محتاجون إلى العلم أكثر من حاجتهم إلى الطعام والشراب، لأن الطعام والشراب يحتاج إليه في اليوم مرة أو مرتين، والعلم يحتاج إليه في عدد الأنفاس
“Manusia sangat membutuhkan kepada ilmu melebihi kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan dalam sehari sekali atau dua kali saja, sedangkan ilmu dibutuhkan sebanyak bilangan nafas seseorang.”
Kelimabelas: Menuntut Ilmu adalah Berjihad di Jalan Allah ﷻ
Menuntut ilmu sebanding dan setara dengan berjihad di jalan Allah ﷻ. Bahkan sebagian ulama menyatakan, bahwa menuntut ilmu adalah bagian berjihad di jalan Allah ﷻ. Adapun dalil-dalilnya sebagai berikut:
Pertama: Firman Allah ﷻ:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memerdalam pengetahuan mereka tentang agama, dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [QS. at-Taubah: 122]
Berkata Syekh al-‘Utsaimin di dalam Liqaat al-Bab al-Maftuh (3/211):
“Allah menjadikan ilmu setara dengan berjihad di jalan-Nya, sebagaimana di dalam firman-Nya [QS. at-Taubah: 122). Jika engkau telah mengetahui bahwa menuntut ilmu setara dengan jihad fi sabilillah, maka ketahuilah, bahwa menuntut ilmu itu sendiri merupakan jihad di jalan Allah. Bahkan di sebagian keadaan tidak mungkin berjihad kepada mereka, kecuali dengan ilmu. Seperti halnya kepada orang-orang munafik, maka tidak mungkin berjihad kepada mereka dengan senjata.”
Kedua: Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ دَخَلَ مَسْجِدَنَا هَذَا لِيَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ لِيُعَلِّمَهُ كَانَ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ دَخَلَهُ لِغَيْرِ ذَلِكَ كَانَ كَالنَّاظِرِ إِلَى مَا لَيْسَ لَهُ
“Siapa yang mendatangi masjid kami untuk belajar sesuatu yang baik atau mengajarkannya, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah. Jika tujuannya tidak seperti itu, maka ia hanyalah seperti orang yang meneliti barang yang bukan miliknya.” [HR. Ibnu Majah no. 227 dan Ahmad, 8603, al-Hakim (1/91), Ibnu Hibban, 87. Berkata Syu’aib al-Arnauth: Sanadnya Hasan]
Ketiga: Hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ خَرَجَ في طَلَبِ العِلْمِ فَهُوَ في سَبيلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ
“Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai pulang.” [HR. at-Tirmidzi, 2647 dan beliau mengatakan:”Hadis ini Hasan Gharib”. Hadis ini didhaifkan di dalam Misykatu al-Mashabih, 220. Hadis ini mempunyai syahid dalam hadis Abu Hurairah di atas]
Keempat: Hadis Mauquf dari Abu ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata:
مَنْ رَأَى الْغُدُوَّ وَالرَّوَاحَ إِلَى الْعِلْمِ لَيْسَ بِجِهَادٍ فَقَدْ نَقَصَ عَقْلُهُ وَرَأْيُهُ
“Barang siapa yang menyangka bahwa pergi pagi dan sore untuk menuntut ilmu bukan termasuk jihad, maka akal dan pendapatnya ada yang kurang.” [HR. Ibnu Abdi al-Barr di dalam Jami’ Bayan ilmi wa fadhlihi, 124]
Keenambelas: Menuntut Ilmu Lebih Utama daripada Berjihad di Jalan Allah ﷻ
Menuntut ilmu lebih utama dari berjihad di jalan Allah, karena untuk berjihad dibutuhkan ilmu dan pengetahuan, agar jihadnya sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama: Firman Allah ﷻ:
وَلَوْ شِئْنَا لَبَعَثْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ نَذِيرًا (51) فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا (52)
“Dan andaikata Kami menghendaki benar-benar, Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Alquran dengan jihad yang besar.” [QS. al-Furqon: 51-52]
Berkata Ibnu al-Qayyim dalam Miftah Dar as-Sa’adah [1/271]:
ولهذا كان الجهاد نوعين: جهادٌ بِاليَدِ والسِّنَانِ ، وهذا المُشَارِكُ فيه كَثِيرٌ !والثاني: الجِهَادُ بِالحُجَّةِ وَالبَيَانِ ، وهذا جِهَادُ الخاصَّةِ مِنْ أتْبَاعِ الرُّسُلِ وَهْوَ جِهَادُ الأَئِمَّةِ ، وَهْوَ أَفْضَلُ الجِهَادَيْن لِعِظَمِ مَنْفَعَتِهِ ، وَشِدَّةِ مُؤْنَتِهِ ، وَكَثْرَةِ أَعْدَائِهِ، قَال الله تعالى في «سُورة الفرقان”وهي مكية: ﴿ ولو شئنا لبعثنا في كلِّ قريةٍ نذيراً * فلا تُطِعِ الكافرين وجاهدهم به جهاداً كبيراً ﴾. فهذا جِهَادٌ لهم بالقرآن وهو أكبرُ الجِهَادَيْن»
“Oleh karena itu jihad ada dua bentuk:
• Pertama: Jihad dengan tangan dan senjata. Yang ini pengikutnya banyak.
• Kedua: Jihad dengan hujjah dan keterangan. Ini bentuk jihad khusus para pengikut para rasul. Inilah jihad para imam. Jihad dalam bentuk ini lebih utama dari yang lain, karena besar manfaatnya, keras jalannya, dan banyak musuhnya. Allah ﷻ berfirman di dalam [QS. al-Furqon: 51-52]. Ini Surat Makkiyah. Inilah jihad dengan Alquran, dan inilah jihad yang paling besar.”
Kedua: Di dalam suatu atsar disebutkan:
يُوزَنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِدَادُ الْعُلَمَاءِ وَدَمُ الشُّهَدَاءِ ، فَيَرْجَحُ مِدَادُ الْعُلَمَاءِ عَلَى دَمِ الشُّهَدَاءِ
“Pada Hari Kiamat akan ditimbang tinta para ulama dan darah para syuhada, maka tinta para ulama lebih berat dibanding darah para syuhada’ (hadis ini disebutkan oleh Ibnu al-Jauzi di dalam al-‘ilal al-Mutanahiyah dari Nu’man bin Basyir dengan sanad-sanad yang lemah, tetapi satu yang lainnya saling menguatkan, sebagaimana di dalam at-Taisir bi Syarhi al-Jami’ ash-Shaghir karya al-Munawi (2/982). Dan dinyatakan Maudhu’ oleh al-Albani di dalam Sahih wa Dhaif al-Jami’ ash-Shaghir, hal. 1459]
Berkata Mula ali al-Qari di dalam al-Asrar al-Marfu’ah fi al-Akhbar al-Maudhu’ah, hal (313):
قلت: ومعناه صحيح لأن نفع دم الشهيد قاصر ونفع قلم العالم متعد حاضر
“Makna hadis di atas Sahih, karena manfaat darah syahid terbatas, sebaliknya manfaat tinta seorang alim luas dan langsung.”
Berkata al-Munawi dalam Faidhu al-Qadir (6/469):
هذا الحديث خرج مخرج ضرب المثل بما يفيد أفضلية العلماء على المجاهدين وبعد ما بين درجتهما لأنه إذا كان مداد العلماء أفضل من دم الشهداء وأعظم ما عند المجاهد دمه وأهون ما عند العالم مداده فما ظنك بأشرف ما عند العالم من المعارف والتفكر في آلاء الله وتحقيق الحق وبيان الأحكام وهداية الخلق
“Hadis ini memberikan permisalan yang menunjukkan tentang keutamaan ulama di atas para mujahidin, serta jauhnya jarak derajat keduanya. Karena jika tinta para ulama lebih utama dari darah para mujahidin, padahal sesuatu yang paling berharga bagi para mujahidin adalah darahnya, dan yang paling rendah bagi para ulama adalah tintanya, maka bagaimana perbandingannya dengan sesuatu yang paling mulia bagi para ulama, yaitu berupa pengetahuan-pengetahuan, perenungan terhadap nikmat-nikmat Allah, pembuktian tentang kebenaran dan penjelasan tentang hukum-hukum serta petunjuk bagi manusia?”
Ketiga: Imam az-Zarkasyi di dalam at-Tadzkirah fi al-Ahadis al-Musytahirah (168) menyebutkan perkataan al-Hasan al-Bashri dalam masalah ini:
مداد العلماء أفضل من دم الشهداء
“Tinta para ulama lebih utama dari darah para syuhada.” [Lihat juga as-Sakhawi di dalam al-Maqashid al-Hasanah fima Isytahara ‘ala al-alsinah (959)]
Keempat: Salah seorang penyair menulis:
يا طالبي علم النبي محمد ما أنتم وسواكم بسواء
فمداد ما تجري به أقلامكم أزكى وأرجح من دم الشهداء
“Wahai para penuntut ilmu Nabi Muhammad,
Kalian tidaklah sama dengan yang lainnya.
Tinta yang dengannya pena kalian menulis,
Lebih suci dan berat dari darah para syuhada.”
Kelima: Menuntut Ilmu Hukumnya Fardhu ‘Ain sedangkan Jihad Fi Sabilillah Hukumnya Fadhu Kifayah
Bahkan orang yang berjihad pun harus menuntut ilmu terlebih dahulu.
Sebagian ulama membuat perincian tentang perbandingan antara tinta ulama dan darah syuhada, di antaranya adalah: al-Munawi dan Ibnu al-Qayyim.
Berkata Imam al-Munawi di dalam Faidhu al-Qadir (6/603):
“وينبغي أن يعتبر حال العالم وثمرة علمه وماذا عليه ، وحال الشهيد وثمرة شهادته وما أحدث عليه ، فيقع التفضيل بحسب الأعمال والفوائد ، فكم من شهيد وعالم هون أهوالا ، وفرج شدائد ، وعلى هذا فقد يتجه أن الشهيد الواحد أفضل من جماعة من العلماء ، والعالم الواحد أفضل من كثير من الشهداء ، كل بحسب حاله وما ترتب على علومه وأعماله”انتهى.
“Hendaknya dilihat dulu keadaan seorang alim serta pengaruh ilmunya, dan dilihat juga keadaan syahid dan pengaruh kesyahidannya. Maka keutamaan dilihat dari itu semuanya sesuai dengan amal perbuatan dan pengaruhnya. Betapa banyak seorang syahid dan seorang alim bisa membuat teduh dari keguncangan dan memberikan solusi dari banyak problematika. Dari sini bisa dikatakan seorang syahid lebih utama dari jamaah para ulama. Dan sebaliknya seorang alim bisa lebih utama dari banyak para syahid. Masing-masing sesuai dengan keadaannya dan betapa besar pengaruh ilmu dan amal perbuatannya.”
Berkata Ibnu al-Qayyim di dalam Miftah Dar as-Sa’adah (1/81-82):
والمقصود انه ذكر فيها المراتب الاربعة الرسالة والصديقية والشهادة والولاية فأعلى هذه المراتب النبوة والرسالة ، ويليها الصديقية ، فالصديقون هم أئمة أتباع الرسل ، ودرجتهم أعلى الدرجات بعد النبوة.فإن جرى قلم العالم بالصديقية ، وسال مداده بها ، كان أفضل من دم الشهيد الذي لم يلحقه في رتبة الصديقية
وإن سال دم الشهيد بالصديقية وقطر عليها كان أفضل من مداد العالم الذي قصر عنها. فأفضلهما صِدِّيقهما.
فإن استويا في الصديقية استويا في المرتبة ، والله اعلم.والصديقية: هي كمال الإيمان بما جاء به الرسول علما وتصديقا وقياما ، فهي راجعة إلى نفس العلم ، فكل من كان أعلم بما جاء به الرسول ، وأكمل تصديقا له: كان أتم صديقية. فالصديقية شجرة ، أصولها العلم ، وفروعها التصديق ، وثمرتها العمل.
فهذه كلمات جامعة في مسألة العالم والشهيد ، وأيهما أفضل ؟!
“Maksudnya, bahwa Allah menyebutkan pada ayat di atas [QS. an-Nisa: 69) empat tingkatan: Risalah, Siddiqiyah, Syahadah, Wilayah. Maka yang paling tinggi tingkatakannya adalah Kenabian dan Risalah, kemudian Siddiqiyah. Orang-orang Siddiq adalah mereka para imam pengikut para rasul. Derajat mereka paling tinggi setelah kenabian. Jika pena ulama bisa berjalan dengan sifat Siddiq, dan tintanya mengalir dengan sifat tersebut, maka ini lebih utama dibanding dengan darah syahid yang belum sampai derajat Siddiq. Tetapi jika darah syahid mengalir dengan sifat Siddiq dan menetes dengan sifat tersebut, maka ini lebih utama dari tinta ulama yang tidak disertai sifat Siddiq. Intinya, yang paling utama adalah orang yang paling mendekati sifat Siddiq. Jika sifat Siddiqnya sama, maka derajatnya pun sama.
Adapun yang dimaksud dengan sifat Siddiq adalah kesempurnaan iman seseorang kepada apa yang dibawa oleh rasul secara keilmuan, pembenaraan, dan pelaksanaan. Ini semua kembali kepada ilmu itu sendiri. Maka siapa saja yang lebih mengetahui tentang apa yang dibawa rasul dan lebih sempurna pembenaran kepadanya, maka sifat Siddiqnya lebih sempurna. Sifat Siddiq bagaikan sebuah pohon. Akarnya berupa ilmu, cabangnya berupa pembenaran, dan buahnya adalah amal perbuatan. Inilah pernyataan yang cakupannya luas di dalam masalah perbandingan seorang alim atau syahid, mana yang lebih utama.”
Ketujuhbelas: Meminta Ilmu Didahulukan daripada Meminta Rezeki
Ini sesuai dengan hadis Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ يُسَلِّمُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Bahwa Nabi ﷺ selepas mengucapkan salam selesai Salat Subuh, beliau membaca (doa):”Wahai Allah, sesungguhnya saya meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, dan rezeki yang baik, serta amal perbuatan yang diterima.” [HR. Ibnu Majah, 925, an-Nasai, 9850, Ahmad, 26521, al-Hakim 1/472. Hadis ini Sahih sebagaimana di dalam Sahih Ibnu Majah 753]
Pelajaran dari Hadis di atas:
a) Doa di atas dibaca oleh Rasulullah ﷺ setiap selesai Salat Subuh. Karena Salat Subuh adalah awal dari aktivitas manusia di siang hari, maka sangat tepat kalau beliau meminta tiga hal yang sangat penting di dalam kehidupan manusia. Ketiga hal tersebut adalah ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima.
b) Rasulullah ﷺ mengawali dengan memohon kepada Allah agar dikarunia ilmu yang bermanfaat sebelum meminta yang lain, karena suatu amal yang tidak didasari ilmu yang benar tidak akan diterima oleh Allah. Dan rezeki yang baik tidak akan bisa didapat kalau tidak dibekali dengan ilmu tentang halal dan haram.
c) Hadis di atas juga memberikan isyarat kepada kita, bahwa ilmu ada dua macam:
• Ilmu yang bermanfaat, dan
• Ilmu yang tidak bermanfaat.
Ini sesuai dengan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
سَلُوا اللهَ عِلْمًا نَافِعًا ، وَتَعَوَّذُوا بِاللهِ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ.
“Mintalah kepada Allah ilmu yang bermanfaat, dan berlindunglah kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.” [HR. Ibnu Majah, 3843, al-Baihaqi di Syu’abi al-Iman 3/276, Ibnu Abi Syaibah, 27248. Hadis ini Hasan sebagaimana di dalam ash-Sahihah, 1511]
(4) Berkata al-Hasan al-Bashri rahimahullah:
العلم علمان، علم باللسان، وعلم بالقلب، فعلم القلب هو العلم النافع، وعلم اللسان هو حجة اللَّه على ابن آدم
“Ilmu ada dua:
• Ilmu di lisan dan
• Ilmu di hati.
Ilmu di hati adalah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu di lisan adalah hujjah Allah atas anak Adam.” [Lihat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf (13/235)]
Ilmu yang bermanfaat sebagaimana disebutkan oleh al-Hasan al-Bashri rahimahullah adalah ilmu yang masuk dalam hati, yang menyebabkan hati menjadi tenang dan khusyuk, sehingga takut kepada Allah. Jika hal itu tidak terjadi, maka ilmu tersebut tidak bermanfaat, dan menjadi hujjah atas pemiliknya.
Kedelapanbelas: Orang-orang Berilmu adalah Orang-Orang yang Dikehendaki Allah Menjadi Orang-Orang yang Baik
Ini sesuai dengan hadis Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan, maka Allah akan mengajarkannya ilmu agama.” [HR. Bukhari, 71 dan Muslim, 1037]
Berkata al-‘Aini di dalam ‘Umdatu al-Qari (2/42):
قَوْله: (يفقهه) أَي: يفهمهُ ، إِذْ الْفِقْه فِي اللُّغَة الْفَهم. قَالَ تَعَالَى: (يفقهوا قولي) أَي: يفهموا قولي ، من فقه يفقه ، ثمَّ خُص بِهِ علم الشَّرِيعَة ، والعالم بِهِ يُسمى فَقِيها
“Perkataan (yufaqihhu) artinya dipahamkan, karena fiqh secara bahasa adalah faham. Allah berfirman [QS.Thoha: 28): ”Yafqahu qauli”, yaitu mereka memahami perkataanku. Kemudian istilah ini digunakan secara khusus untuk ilmu syariah. Maka orang yang memahami ilmu syariah disebut orang yang Faqih.”
Berkata Ibnu Taimiyah di dalam al-Fatawa al-Kubra (6/171):
الْفِقْهُ فِي الدِّينِ: فَهْمُ مَعَانِي الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ ، لِيَسْتَبْصِرَ الْإِنْسَانُ فِي دِينِه ِ، أَلَا تَرَى قَوْله تَعَالَى (لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ) فَقَرَنَ الْإِنْذَارَ بِالْفِقْهِ ؛ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْفِقْهَ مَا وَزَعَ عَنْ مُحَرَّمٍ ، أَوْ دَعَا إلَى وَاجِبٍ ، وَخَوَّفَ النُّفُوسَ مَوَاقِعَهُ الْمَحْظُورَةَ
“Bertafaqquh fiddin adalah memahami arti perintah dan larangan, agar seseorang mengerti tentang agamanya, apakah Anda tidak memerhatikan firman Allah: ”…untuk memerdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [QS. at-Taubah: 122]. Maka Allah menggandengkan antara perintah untuk memberikan peringatan dengan perintah untuk bertafaqquh fiddin. Hal ini menunjukkan, bahwa paham adalah dengan menjauhi dari sesuatu yang haram, atau mengajak kepada suatu kewajiban, serta memberikan peringatan kepada jiwa-jiwa agar tidak mendekati hal-hal yang dilarang (agama).”
Berkata Imam an-Nawawi Syareh Sahih Muslim (7/128):
فِيهِ فَضِيلَةُ الْعِلْمِ ، وَالتَّفَقُّهِ فِي الدِّينِ ، وَالْحَثِّ عَلَيْهِ ؛ وَسَبَبُهُ: أَنَّهُ قَائِدٌ إِلَى تَقْوَى اللَّهُ تَعَالَى
“Di dalamnya terdapat keutamaan ilmu dan keutamaan bertafaqquh fiddin (belajar agama), serta motivasi untuk melakukan hal tersebut, karena hal itu akan menyebabkan seseorang menjadi bertakwa kepada Allah.”
Diposting ulang dengan sedikit penyesuaian redaksional di:
══════
Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
KEUTAMAAN ILMU SYARI DAN MEREKA YANG MEMELAJARINYA
KEUTAMAAN ILMU SYARI DAN MEREKA YANG MEMELAJARINYA
KEUTAMAAN ILMU SYARI DAN MEREKA YANG MEMELAJARINYA
KEUTAMAAN ILMU SYARI DAN MEREKA YANG MEMELAJARINYA
KEUTAMAAN ILMU SYARI DAN MEREKA YANG MEMELAJARINYA
KEUTAMAAN ILMU SYARI DAN MEREKA YANG MEMELAJARINYA
KEUTAMAAN ILMU SYARI DAN MEREKA YANG MEMELAJARINYA
Leave A Comment