بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#KaidahFikih

KAIDAH MENGGABUNGKAN IBADAH SEJENIS

 

إِذَا اجْتَمَعَتْ عِبَادَتَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ تَدَاخَلَتْ أَفْعَالُـهُمَا وَاكْتَفَى عَنْهُمَا بِفِعْلٍ وَاحِدٍ إِذَا كَانَ مَقْصُوْدُهُـمَا وَاحِدًا

Apabila dua ibadah sejenis berkumpul, maka pelaksanaannya digabung. Dan cukup dengan melaksanakan salah satunya, jika keduanya memunyai maksud yang sama.

Makna Kaidah

Kaidah ini merupakan implementasi dari prinsip taisir (kemudahan) dalam agama yang mulia ini. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan:

“Ini merupakan nikmat dan kemudahan dari Allah ﷻ, di mana satu amalan bisa mewakili beberapa amalan sekaligus.” [Al-Qawa’id wal Ushulul Jami’ah wal Furuq mat Taqasimul Badi’atun Nafi’ah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Cet. II 1422 H/2001 M, Dar al-Wathan li an-Nasyr, Riyadh, hlm. 93]

Kaidah ini menjelaskan tentang dua ibadah atau lebih yang berkumpul dalam satu waktu. Timbul pertanyaan, apakah seseorang diperbolehkan hanya melaksanakan salah satunya, dengan tetap terhitung mengerjakan semuanya? Bisakah ia meraih pahala semua ibadah itu hanya dengan melaksanakan salah satunya? Para Ulama menjelaskan, bahwa hal itu bisa, apabila terpenuhi empat syarat: [Lihat syarat-syarat ini dalam Talqihul Afhamil ‘Aliyyah bi Syarh al-Qawi’idil Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah ke-18]

Pertama: Ibadah tersebut jenisnya sama. Yaitu shalat dengan shalat, thawaf dengan thawaf dan semisalnya. Jika jenisnya berbeda, seperti shalat dengan puasa, maka tidak bisa digabungkan.

Kedua: Ibadah itu berkumpul dalam satu waktu. Seperti Thawaf Ifadhah (yang ditunda pelaksanaannya sampai menjelang pulang ke kampung halaman) dan Thawaf Wada’.

Ketiga: Salah satu dari kedua ibadah tersebut tidak dilakukan dalam rangka mengqadha’ ibadah wajib yang pernah ditinggalkan. Jika salah satunya dilakukan dalam rangka qadha’, maka kedua ibadah tidak bisa digabungkan. Oleh karena itu, seseorang yang tertinggal shalat Zuhur karena tertidur sampai datang waktu Ashar, maka tidak boleh baginya mengerjakan hanya empat rakaat shalat dengan niat shalat Zuhur dan Ashar. Dia wajib melaksanakan shalat Zuhur, kemudian shalat Ashar. [Lihat Tuhfatu Ahli at-Thalab fi Takrir Ushul Qawa’id Ibni Rajab, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tahqiq Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Cet. II, Tahun 1423 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, hlm. 18]

Empat: Salah satu ibadah tersebut bukan pengikut atau pengiring ibadah lainnya. [Lihat pembahasan tentang syarat-syarat ini dalam at-Ta’liq ‘ala al-Qawa’id wal Ushulil Jami’ah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. I, 1430 H, Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin al-Khairiyyah, Unaizah, hlm. 216]. Jika salah satunya pengikut bagi yang lain, maka tidak bisa digabungkan. Oleh karena itu, shalat sunnah Qabliyah Subuh yang merupakan salah satu sunnah Rawatib misalnya, tidak bisa digabung dengan shalat Subuh, karena shalat sunnah Rawatib mengikuti shalat wajibnya. [Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fiqih Islami, Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Cet. II, Tahun 1432 H/2011 M, Pustaka Al Furqon, Gresik, hlm. 208]. Demikian pula, orang yang punya utang puasa Ramadan dan mengqadha’nya di bulan Syawal dengan niat qadha’ sekaligus puasa sunnah enam hari Syawal, tidaklah mendapatkan kecuali puasa qadha’ saja. Karena puasa Sunnah Syawal tidak bisa dikerjakan, kecuali jika ia telah menyempurnakan kewajiban puasa Ramadan.

Sebagian Ulama yang lain menyebutkan dua syarat tambahan: [Talqihul Afhamil ‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’idil Fiqhiyyah, kaidah ke-18]

Hendaknya salah satu ibadah yang digabung itu lebih besar dari yang lainnya. Seperti Thawaf Ifadhah dengan Thawaf Wada’, yang mana Thawaf Ifadhah lebih wajib daripada Thawaf Wada’. Mandi janabah dengan mandi Jumat, di mana mandi janabah lebih wajib dari mandi Jumat.

Ketika mengerjakan ibadah itu, si pelaku meniatkan kedua ibadah itu, atau meniatkan ibadah yang lebih besar. Jika ia meniatkan ibadah yang lebih kecil, maka hanya itulah yang ia raih.

Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi dalam dua ibadah atau lebih, maka ibadah-ibadah itu bisa digabungkan, dan cukup mengerjakan satu ibadah saja, dan mendapatkan pahala semua ibadah itu. Namun jika dipisah pelaksanaan masing-masing ibadah tersebut, artinya masing-masing dilaksanakan, maka tidak diragukan lagi bahwa itu lebih sempurna. Pembolehan ini sebagai bentuk kemudahan dan keringanan bagi mukallaf.

Dalil Yang Mendasarinya

Kaidah yang mulia ini masuk dalam keumuman sabda Nabi ﷺ:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ: إِنَّـمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّـمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Dari Umar bin al-Khathab rahimahullah, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia raih, atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya.” [HR. al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907]

Contoh Penerapan Kaidah

Di antara contoh permasalahan yang masuk dalam implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut:

Apabila Jumat pagi seorang laki-laki dalam keadaan janabah. Maka ketika itu terkumpul padanya dua tuntutan, yaitu kewajiban mandi janabah dan mandi Jumat. Dalam hal ini, jika ia hanya mandi sekali saja dengan niat mandi janabah dan mandi Jumat, atau dengan niat mandi janabah saja, maka itu sudah cukup, dan ia mendapatkan pahala dua ibadah tersebut. [Lihat Talqihul Afhamil ‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’idil Fiqhiyyah, kaidah ke-18]

Jika seseorang berwudhu kemudian masuk masjid setelah azan Zuhur, maka ketika itu disyariatkan baginya melaksanakan tiga shalat sunnah, yaitu shalat sunnah wudhu, shalat Tahiyyatul Masjid, dan shalat sunnah Qabliyah Zuhur. Dalam keadaan ini, cukup baginya melaksanakan shalat dua rakaat dengan niat ketiga shalat, dan mendapatkan pahala ketiga shalat tersebut. [Dalam masalah ini Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin رحمه الله menjelaskan bahwa jika seseorang meniatkan ketiga shalat tersebut maka ia mendapatkan ketiganya. Jika ia meniatkan salah satunya saja maka jika yang diniatkan adalah shalat sunnah Qabliyah, maka ia juga mendapat ketiganya. Jika yang diniatkan adalah shalat sunnah wudhu saja maka ia hanya mendapatkan shalat sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid. (at-Ta’liq ‘ala al-Qawd’id wal Ushulil Jami’ah, hlm. 217)].

Barang siapa melaksanakan puasa sunnah enam hari Syawal pada hari-hari yang disunnahkan berpuasa, seperti puasa hari-hari Ayyamul Bidh, [Hari-hari bidh adalah tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan hijriyah. Disunnahkan berpuasa pada hari hari tersebut berdasarkan hadits Abu Dzar rahimahullah riwayat at-Tirmidzi no. 761, an-Nasa-i no. 2422 dan selainnya. Dihasankan Syaikh al-Albani dalam lrwa-ul Ghalil no. 9947 dan as-Shahihah no. 1567], maka ia mendapatkan pahala dua puasa sunnah tersebut, yaitu puasa Sunnah Syawal dan puasa hari-hari Ayyamul bidh. [Talqihul Afhamil ‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’idil Fiqhiyyah, kaidah ke-18.]

Jika seseorang menyimak bacaan Alquran dari dua orang, dan keduanya sama-sama membaca Ayat Sajdah, maka cukup baginya melakukan sekali sujud tilawah saja. [Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fiqih Islami, Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, hlm. 211]

Apabila seseorang bangun dari tidur malam dan ingin berwudhu, maka ketika itu terkumpul padanya dua tuntutan ibadah, yaitu kewajiban mencuci kedua tangan tiga kali, sebelum memasukkannya ke bejana, [Sebagaimana disebutkan dalam HR. al-Bukhari no. 162 dan Muslim no. 278 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu] dan Sunnah mencuci tangan tiga kali ketika awal wudhu. Dalam hal ini, cukup baginya mencuci kedua tangan tiga kali dengan niat mencuci yang wajib, dan tercakup di dalamnya yang sunnah, karena ibadah yang kecil tercakup dalam ibadah yang besar.

Jika seseorang masuk masjid dan mendapatkan jamaah sedang melaksanakan shalat Zuhur, maka terkumpul pada haknya ketika itu dua ibadah, shalat fardhu dan shalat Tahiyyatul Masjid. Jika ia masuk mengikuti shalat Zuhur, maka telah tercakup shalat Tahiyyatul Masjid sebagai pengikut. [Talqihul Afhamil ‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’idil Fiqhiyyah, kaidah ke-18]

Dalam ibadah haji, jika seseorang mengakhirkan pelaksanaan Thawaf Ifadhah menjelang kembalinya ke kampung halaman, maka ketika itu wajib baginya melaksakan dua thawaf, Thawaf Ifadhah dan Thawaf Wada’. Dalam hal ini, cukup baginya melaksanakan satu kali thawaf dengan niat keduanya, atau dengan niat Thawaf Ifadhah saja, dan telah tercakup di dalamnya Thawaf Wada’ sebagai pengikut. Adapun jika niatnya hanya Thawaf Wada’ saja, maka ia tidak mendapatkan, kecuali apa yang ia niatkan itu, yaitu Thawaf Wada’. [Lihat Taqrirul Qawa’id wa Tahrirul Fawaid, al-Imam al-Hafizh Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hambali rahimahullah, Ta’liq Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman, Cet. I, Tahun 1419 H/1998 M, Dar Ibni Affan li an-Nasyri wa at-Tauzi, Khubar, Jilid 1, hlm. 149-150]

Wallahu a’lam.

 

Sumber: Majalah as-Sunnah, No. 12 Thn.XV_1433H, Rubrik Qawaid Fiqhiyyah

Tulisan disalin dari dokumen yang ada di www.ibnumajjah.wordpress.com