“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” [QS. At Tahrim: 6]
Seorang tabiin, Qatadah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan:
تأمرهم بطاعة الله وتنهاهم عن معصية الله وأن تقوم عليهم بأمر الله وتأمرهم به وتساعدهم عليه فإذا رأيت لله معصية ردعتهم عنها وزجرتهم عنها
“Yakni hendaklah engkau memerintahkan mereka untuk berbuat taat kepada Allah, dan melarang mereka dari berbuat durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menerapkan perintah Allah kepada mereka, dan perintahkan, dan bantulah mereka untuk menjalankannya. Apabila engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, maka peringatkan dan cegahlah mereka.” [Tafsir al-Quran al-’Azhim 4/502]
Demikian pula Rasulullah ﷺ memikulkan tanggung jawab pendidikan anak ini secara utuh kepada kedua orang tua. Dari Ibnu radhiallahu ‘anhu, bahwa dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggunjawabannya. Dan demikian juga seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” [HR. Bukhari: 2278]
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata:
أدب ابنك فإنك مسؤول عنه ما ذا أدبته وما ذا علمته وهو مسؤول عن برك وطواعيته لك
“Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya, serta ketaatannya kepada dirimu.” [Tuhfah al Maudud hal. 123]
Orang tua yang berusaha keras mendidik anaknya dalam lingkungan ketaatan kepada Allah, maka pendidikan yang diberikannya tersebut merupakan pemberian yang berharga bagi sang anak, meski terkadang hal itu jarang disadari. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Al-Hakim, Nabi ﷺ bersabda:
ما نحل والد ولده أفضل من أدب حسن
“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya, selain pendidikan yang baik.” [HR. Al Hakim: 7679]
Mengenai tanggung jawab pendidikan anak terdapat perkataan yang berharga dari Imam Abu al-Hamid al-Ghazali rahimahullah. Beliau berkata:
“Perlu diketahui bahwa metode untuk melatih/mendidik anak-anak termasuk urusan yang paling penting, dan harus mendapat prioritas yang lebih dari urusan yang lainnya. Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya. Dan kalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga dan murni, yang belum dibentuk dan diukir.
Dia menerima apapun yang diukirkan padanya, dan menyerap apapun yang ditanamkan padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik, dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan Akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang tua maupun para pendidiknya yang lain akan turut memeroleh pahala, sebagaimana sang anak memeroleh pahala atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa, serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban mendidiknya.” [Ihya Ulum al-Din 3/72]
Senada dengan ucapan al-Ghazali di atas adalah perkataan al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah:
“Siapa saja yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya, lalu dia membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang fatal. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua mengabaikan mereka, serta tidak mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agama.
Orang tua yang menelantarkan anak-anaknya ketika mereka kecil telah membuat mereka tidak berfaidah bagi diri sendiri dan bagi orang tua, ketika mereka telah dewasa. Ada orang tua yang mencela anaknya yang durjana, lalu anaknya berkata: “Ayah, engkau durjana kepadaku ketika kecil. Maka aku pun durjana kepadamu setelah aku besar. Engkau menelantarkanku ketika kecil, maka aku pun menelantarkanmu ketika engkau tua renta.” [Tuhfah al-Maudud hal. 125]