بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 
JADILAH MUSLIM YANG ASERTIF (MEMILIKI IZZAH)
 
Seorang Muslim yang asertif (memiliki izzah):
 
• Percaya diri dengan agamanya, karena Islam adalah agama yang sempurna, dan Allah sendirilah yang menyempurnakannya.
• Tak segan mengatakan ‘TIDAK’ pada hal yang bertentangan dengan Islam, semisal hari raya agama lain.
• Tidak malu mengekspresikan syiar-syiar Islam, semisal nama Islami, janggut, serta ucapan ‘Assalaamu’alaikum’.
 
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata asertif diartikan sebagai sifat ‘tegas’. Kata asertif merupakan serapan dari Bahasa Inggris, assertive. Kata ini biasa digunakan untuk menunjukkan sifat percaya diri yang dimiliki oleh seseorang di dalam mengekspresikan apa yang dia yakini sebagai kebenaran. Wujud pengekspresian tersebut bisa dalam tindakan ataupun perkataannya.
 
Seorang Muslim seharusnya memiliki sifat asertif terkait agamanya, yaitu bersifat percaya diri dengan ajaran agamanya, dan tak segan untuk mengatakan TIDAK terhadap nilai-nilai yang bertentangan dengan kepercayaannya. Di antara wujud percaya diri tadi adalah dengan tidak malu atau minder untuk mengekspresikan syiar-syiar agama dalam perilaku, ucapan, gaya berpakaian, dan berbagai aspek lainnya dalam kehidupan.
 
Islam yang Memerintahkannya
 
Islamlah yang memerintahkan para pengikutnya untuk percaya diri dengan ajaran agamanya sendiri. Allah ﷻ berfirman dalam Surat Al-Kafirun:
 
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
 
Yang artinya:
“Katakanlah, “Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Rabb yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Rabb yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.” [QS. Al Kafirun: 1-6]
 
Maka perhatikanlah dalam ayat-ayat tersebut, bagaimana Allah memerintahkan agar kita secara tegas untuk mengatakan:
 
• ‘YA’ pada apa yang kita yakini dalam ajaran Islam, dan tegas pula untuk mengatakan
• ‘TIDAK’ pada hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
 
Perhatikan pula bagaimana Allah memerintah kita untuk tegas berkata: ‘Untukmu agamamu, dan untukku agamaku’.
 
Hal tersebut juga diisyarakatkan oleh Rasulullah ﷺ dalam sabda beliau berikut:
“Janganlah kalian menjadi imma’ah (orang yang tak punya pendirian) yang berkata: ‘Jika manusia berbuat baik, maka kami berbuat baik juga. Dan jika manusia berbuat zalim, maka kami berbuat zalim pula’. Akan tetapi milikilah pendirian yang teguh pada diri kalian. Jika manusia berbuat baik, ikutlah berbuat baik. Namun jika mereka berbuat jelek, jangan kalian berbuat zalim.” [HR. Attirmidzi, Hasan Gharib]
 
Contoh Muslim yang Tak Percaya Diri dengan Ajaran Agamanya
 
Banyak sekali contoh di zaman ini yang menunjukkan, bahwa sudah banyak kaum Muslimin yang tak lagi percaya diri dengan ajaran agamanya sendiri.
 
Sebagai contoh, kalaulah seluruh kaum Muslimin bersikap asertif dengan kitab suci mereka, tak akan mau mereka ikut merayakan Hari Natal. Allah ﷻ berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya Al-Masih Isa bin Maryam adalah utusan Allah.” [QS. Annisa: 171]
 
Pada ayat lain, Allah ﷻ berfirman:
 
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
(Yang artinya):
“Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan.” [QS. Al Ikhlash: 3]
 
Maka tatkala ada seorang Muslim yang ikut merayakan Natal, dia tidak percaya diri dengan ajaran agamanya sendiri, karena dia ikut di dalam perayaan yang disebut sebagai “Kelahiran anak Allah”.
 
Contoh lainnya, banyak kita dapati di zaman ini kaum Muslimin yang malu dan tidak percaya diri untuk menampakkan simbol-simbol keislaman mereka. Betapa banyak kaum Muslim yang enggan untuk memelihara janggutnya, karena merasa malu untuk dicemooh, padahal Rasulullah ﷺ bersabda:
 
“Biarkanlah janggut (jangan dicukur).” [HR. Bukhari dan Muslim]
 
Jika seorang Muslim percaya diri dengan ajaran Nabi ﷺ tersebut, tak perlu dia merasa malu dengan cemoohan orang-orang, karena hal tersebut adalah ajaran nabinya.
 
Banyak pula orang yang memiliki nama Abdullah, Muhammad, atau nama-nama islami lainnya, yang merasa malu dengan namu tersebut, dan lebih senang untuk dipanggil dengan selain nama tersebut. Jika seseorang memiliki nama dua kata, semisal Muhammad Fulan, maka orang-orang cenderung lebih suka untuk memanggil dengan nama Fulan, bukan dengan Muhammad. Serupa pula dengan hal ini, banyak orang tua yang malu menamai anaknya dengan nama Islami semisal Abdullah dan Abdurrohman, namun bangga jika anaknya memiliki nama kebarat-baratan.
 
Ada pula yang tak lagi percaya diri mengucapkan ’Assalamu’alaikum’. Bahkan sampai mengucapkan salam dengan ajaran agama lain. Dan juga ada, sebagian kaum Muslim yang malu untuk menggunakan ’Syukran’, atau ucapan ’Jazakallahu khairan’, tapi merasa bangga bila bisa mengucapkan ’Thank you’ atau kalimat-kalimat terima kasih dalam bahasa asing lainnya.
 
Apa yang Membuat Kita Tak Percaya Diri dengan Islam yang Sempurna Ini?
 
Di antara hal yang bisa membuat kita percaya diri dengan agama Islam adalah dengan mengingat-ingat, bahwa agama ini adalah agama yang sempurna, dan Allah sendirilah yang menyempurnakannya. Allah ﷻ berfirman:
 
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
 
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu …” [QS. Al Maidah: 3]
 
Seharusnya kita percaya diri dengan kesempurnaan agama ini. Para pemeluk agama lainlah yang seharusnya iri dengan kesempurnaan agama Islam. Bukan sebaliknya.
 
Lihatlah bagaimana kecemburuan yang dimiliki oleh seorang yang beragama Yahudi kepada kesempurnaan agama Islam ini. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwasanya pernah datang seorang laki-laki dari kalangan Yahudi kepada Umar bin Khattab. Kemudian dia berkata: “Wahai Amirul Mukminin, ada sebuah ayat dalam kitab kalian, dan kalian membacanya. Sekiranya ayat itu turun kepada kami orang-orang Yahudi, sungguh akan kami jadikan hari di mana ayat itu turun sebagai hari raya”.
 
Umar kemudian bertanya kepadanya: “Ayat manakah yang engkau maksudkan?”
 
Orang Yahudi tersebut mengatakan: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu.” [QS. Al Maidah: 3]
 
Umar pun menjawab: “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui hari dan tempat ketika ayat itu turun kepada Rasulullah ﷺ, yaitu ketika Hari Jumat bertepatan dengan Hari Arafah”.
 
Maka lihatlah bagaimana rasa iri yang dimiliki oleh orang Yahudi tersebut terhadap kesempurnaan Islam. Bahkan ia berpikiran untuk menjadikan hari ketika Allah menurunkan ayat tentang telah disempurnakannya agama Islam sebagai hari raya.
 
Kesempurnaan itulah yang dikatakan oleh Abu Dzar radhiallahu anhu dalah hadis berikut ini:
 
عَنْ أَبِى ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ إِلاَّ وَهُوَ يَذْكُرُنَا مِنْهُ عِلْمًا. قَالَ: فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.
 
Dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah ﷺ telah pergi meninggalkan kami (wafat). Dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya di udara, melainkan beliau ﷺ telah menerangkan ilmunya kepada kami.”
 
Berkata Abu Dzarr radhiyallahu anhu, “Rasulullah ﷺ telah bersabda: ‘Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka, melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian.’” [HR. At-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (II/155-156 no. 1647) dan Ibnu Hibban (no. 65) dengan ringkas dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah no. 1803]
 
Kemuliaan Itu Ada Pada Kaum Muslimin
 
Maka percaya dirilah dengan ajaran Islam. Tampakkanlah simbol-simbol keislaman itu tanpa perlu malu, karena kemuliaan itu adanya pada orang-orang yang beriman. Allah ﷻ berfirman:
 
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
 
Yang artinya:
“Padahal kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang yang beriman. Tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui. [QS. Al-Munafiqun: 8]
 
Alangkah bermaknanya perkataan Umar bin Khattab radhiyallaahu anhu ketika penaklukkan Baitul Maqdis. Ketika itu Umar sampai ke Baitul Maqdis dalam keadaan compang-camping, karena baru saja menempuh perjalanan panjang dari Madinah. Sebagian kaum Muslimin merasa malu dengan penampilan Umar di hadapan penduduk Baitul Maqdis, padahal dia adalah pemimpin tertinggi kaum Muslimin ketika itu.
 
Maka ketika tahu mereka merasa malu, Umar kemudian berkata:
“Dahulu kalian adalah manusia yang paling sedikit jumlahnya, dan manusia yang paling hina. Lalu Allah memuliakan kalian dengan datangnya Islam. Maka manakala kalian mencari kemuliaan dengan selain Islam, maka Allah akan menghinakan kalian.” [Tarikh Syarhis Sunnah, sahih]
 
Maka jadilah seorang Muslim yang asertif, yang percaya diri dengan ajaran agamanya, dan tak segan untuk mengatakan TIDAK kepada nilai-nilai yang bertentangan dengan kepercayaannya.
 
Semoga Allah berikan petunjuk dan taufiq kepada kita semua.
 
Penulis: Muhammad Rezki Hr, S.T., M.Eng., Ph.D.
Muraja’ah: Ustaz Abu Salman, B.I.S.
 
 
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
JADILAH MUSLIM YANG ASERTIF (MEMILIKI IZZAH)