Ideologi Rusak: Asal Vonis Kafir. Norma-Norma Penting Sebelum Menjatuhkan Vonis Kafir

Penulis: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

Setiap Muslim sampai yang awam sekali pun, insya Allah mengerti bahwa membunuh merupakan salah satu perbuatan dosa besar yang dilarang dalam agama Islam. Namun, bagaimana halnya jika ada orang ahli ibadah yang meyakini, bahwa membunuh kaum Muslimin, merampok harta mereka dan menodai kehormatan wanita Muslimah, termasuk satu bentuk ibadah yang paling agung? Di bawah ini, kami membawakan dua contoh nyata yang terjadi di zaman dahulu kala dan di zaman ini, yang menggambarkan adanya jenis tipe manusia di atas:

Suatu hari Imran bin Hithan, ulama sekte Khawarij, bersyair memuji Ibnu Muljam [Minhaj Sunnah 5/244], pembunuh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib:

يَا ضَرْبَةً مِنْ تَقِيِّ مَا أَرَادَ بِهَا

إِلاَّ لِيْبْلُغَ مِنْ ذِيْ الْعَرْشِ رِضْوَاناَ

إِنِّيْ لأَذْكُرُهُ يَوْمًا فَأَحْسِبُهُ

أَوْفَى الْبَرِيَّةِ عِنْدَ اللهِ مِيْزَانَا

Alangkah mulianya sabetan pedang orang yang bertakwa (Ibnu Muljam).

Dia tidak memiliki tujuan, selain menggapai ridho Allah Ta’ala.

Setiap aku teringat dirinya, aku selalu berharap

Bahwa dialah yang paling berat timbangan amal kebaikan di sisi Allah Ta’ala [Tahdzib al-Furuq 4/158].

Para pelaku pengeboman yang belakangan ini cukup marak di berbagai penjuru dunia, dan banyak kaum Muslimin yang menjadi korban tindak pengeboman tersebut. Apakah ketika mereka menjalankan tindak kriminal itu, mereka menganggapnya sebagai perbuatan dosa? Atau justru sebuah ibadah mulia yang diyakini akan mengantar pelakunya ke derajat paling tinggi di Surga bersama para syuhada?!

Mengapa mereka meyakini tindak kejahatan itu sebagai amal saleh? Apakah seluruhnya itu dilakukan tanpa adanya latar belakang ideologi tertentu? Ideologi rusak yang mendalangi tindak kejahatan di atas itulah yang sedang kita soroti pada pembahasan kali ini. Ya, ideologi itu adalah: “Ideologi Asal Vonis Kafir”! Dalang utama di balik kejahatan yang marak belakangan ini.

Tidak diragukan lagi bahwa Takfir (Penjatuhan vonis kafir) merupakan istilah syari. Namun amat disayangkan, tidak sedikit oknum yang memanfaatkannya untuk mewujudkan niat-niat buruk mereka. Maka istilah tersebut harus dijelaskan dengan gamblang, beserta kaidah-kaidahnya. Selain itu, ideologi yang keliru tentangnya harus diluruskan juga.

Api hura-hura yang diakibatkan ideologi ini harus segera dipadamkan. Caranya yaitu dengan menemukan sumber api tersebut: “Ideologi Asal Vonis Kafir”. Lalu memadamkannya terlebih dahulu, sebelum menyibukkan diri dengan solusi-solusi lain.

Namun, meluruskan sebuah ideologi atau pemikiran yang menyimpang bukanlah suatu pekerjaan yang mudah! Karena para pengusungnya telah menganggapnya sebagai ruh jiwa dan jalan hidup. Kita harus bisa membuat pengusungnya sadar dan bisa menerima dengan legowo, bahwa ideologi yang sedang dia anut adalah keliru. Dan hal itu, dengan izin Allah Ta’ala, hanya bisa dihadapi dengan menggunakan ilmu yang murni dan benar, yang disampaikan dengan cara yang santun [Al-Awashim wal Qawashim 4/178].

Maka sepantasnya bagi kita untuk memelajari norma-norma Takfir agar kita tidak gegabah menvonis saudara kita kafir, padahal akan menjadi bumerang bagi kita sendiri. Sebab, tidak sepantasnya seorang berkecimpung dalam masalah Takfir, sebelum dia memahami kaidah-kaidahnya. Jika tidak memahaminya, maka dia akan terjatuh dalam kehancuran dan dosa, serta mendapatkan kemurkaan Allah. Hal itu karena pengafiran adalah masalah besar dalam agama dan masalah yang sangat jeli. Tidak mampu menerapkannya, kecuali orang yang memiliki ilmu luas dan pemahaman yang tajam.

Berikut ini beberapa kaidah penting dalam masalah Takfir:

A. Pengafiran adalah Hukum Syari dan Hak Allah

Takfir adalah hukum syari dan hak Allah, bukan hak suatu lembaga atau kelompok, bukan berdasar pada akal, perasaan, emosi, atau permusuhan. Maka tidak boleh mengafirkan, kecuali orang yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

 

Hal ini berbeda dengan ucapan sebagian manusia seperti Abu Ishaq al-Isfirayini dan pengikutnya yang mengatakan: “Kita tidak mengafirkan, kecuali orang yang mengafirkan kita.” Sebab, pengafiran bukanlah hak mereka, melainkan hak Allah. Tidak boleh bagi manusia untuk membalas berdusta kepada orang yang pernah berdusta padanya, atau melakukan zina kepada istri orang yang berzina dengan istrinya. Bahkan seandainya ada seorang yang memaksanya untuk homoseks, maka tidak boleh baginya untuk membalasnya dengan paksaan untuk homoseks, karena semua itu adalah haram, disebabkan hak Allah. Demikian juga seandainya orang-orang Nasrani mencela Nabi kita ﷺ, maka tidak boleh bagi kita untuk mencela Isa al-Masih. Dan kaum Rafidhah, apabila mengafirkan sahabat Abu Bakar dan Umar, maka tidak boleh bagi kita untuk mengafirkan Ali [Minhaj Sunnah 5/244].

Al-Qarrafi berkata: “Sesuatu itu disebut kufur BUKANLAH berdasarkan logika, melainkan berdasarkan syariat. Kalau syariat mengatakan bahwa hal itu adalah kekufuran, maka itu adalah kekufuran.” [Tahdzib al-Furuq 4/158].

Ibnul Wazir berkata: “Sesungguhnya Takfir itu berdasarkan dalil saja. TIDAK ada ruang untuk akal, dan dalilnya pun harus dalil yang pasti dan tidak ada perselisihan di dalamnya.”  [Al-Awashim wal Qawashim 4/178].

Ibnul Qayyim berkata dalam Nuniyah-nya:

الْكُفْرُ حَقُّ اللهِ ثُمَّ رَسُوْلِهُ

بِالشَّرْعِ يَثْبُتُ لَا بِقَوْلِ فُلَانِ

مَنْ كَانَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ وَعَبْدُهُ

قَدْ كَفَّرَاهُ فَذَاكَ ذُوْ الْكُفْرَانِ

Pengafiran itu adalah hak Allah kemudian Rasul-Nya

Yang ditetapkan dengan nash bukan dengan ucapan Fulan

Siapakah yang dikafirkan oleh Rabb Semesta Alam dan Rasul-Nya

Maka dialah orang yang kafir [Syarh Qashidah Nuniyah 2/412 oleh Syaikh Dr. Muhammad Khalil Harras].

B. Pada Asalnya Seorang Muslim Tetap Dalam Keislamannya

Ini kaidah penting yang harus dipahami, yaitu hukum asal seorang Muslim adalah tetap dalam keislamannya, sehingga ada dalil kuat yang mengeluarkannya dari keislaman. Tidak boleh bagi kita untuk gegabah dalam mengafirkannya, karena hal itu membawa dua dampak negatif yang sangat berbahaya:

Pertama: Membuat kedustaan atas Allah dalam hukum kafir kepada orang yang dia kafirkan.

Kedua: Terjatuh dalam ancaman kafir, kalau ternyata yang dia kafirkan tidak kafir, sebagaimana dalam hadis: “Apabila seorang mengafirkan saudaranya, maka akan kembali kepada salah satu­nya.”

Oleh karena itu, seharusnya sebelum menghukumi seorang Muslim dengan kekafiran, hendaknya memerhatikan dua hal penting:

Pertama: Adanya dalil-dalil dari Alquran dan Sunnah yang menetapkan, bahwa ucapan dan perbuatan tersebut merupakan kekufuran.

Kedua: Hukum tersebut betul-betul terpenuhi pada pelontar atau pelaku tersebut. Dalam artian telah terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang-penghalangnya [Al-Qawa’id al-Mutsla fi Shifatillah wa Asmaihi Husna hlm. 87–89 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin].

Sesungguhnya kita hanya menghukumi secara dzahir saja, baik dalam hukum atau keyakinan orang lain. Nabi Muhammad ﷺ yang mendapatkan wahyu, beliau menerapkan hukum dzahir (tampak)  pada orang-orang munafik [Al-Muwafaqat 2/271 oleh asy-Syathibi].

Orang-orang munafik secara dzahir sholat, puasa, haji, perang, nikah, dan saling mewarisi dengan kaum Muslimin pada zaman Nabi ﷺ. Sekalipun demikian, beliau ﷺ tidak menghukumi orang-orang munafik dengan hukum orang kafir. Bahkan tatkala Abdullah bin Ubai—tokoh munafik yang paling terkenal—meninggal dunia, Rasulullah ﷺ memberikan hak waris kepada anaknya yang notabene termasuk seorang sahabat sejati. Maka hukum Nabi ﷺ dalam masalah darah dan harta mereka sama seperti Muslimin lainnya. Beliau ﷺ tidak menghalalkan harta dan darah mereka, kecuali dengan perkara yang dzahir (tampak), padahal beliau mengetahui kemunafikan kebanyakan orang-orang munafik tersebut [Al-Iman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hlm. 198–201].

Dalil yang sangat jelas tentang hal ini adalah hadis Usamah sebagai berikut:

بَعَثَنَا رَسُولُ اللهِ  فِي سَرِيَّةٍ فَصَبَّحْنَا الْحُرَقَاتِ مِنْ جُهَيْنَةَ فَأَدْرَكْتُ رَجُلًا فَقَالَ لَا إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ. فَطَعَنْتُهُ فَوَقَعَ فِي نَفْسِى مِنْ ذٰلِكَ فَذَكَرْتُهُ لِلنَّبِىِّ  فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : « أَقَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَقَتَلْتَهُ ». قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلَاحِ. قَالَ: « أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا ». فَمَازَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَىَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّى أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ

Pernah Rasulullah ﷺ mengutus kami dalam peperangan kecil. Lalu pagi-pagi kami mendatangi Huruqat, sebuah tempat kaum Juhainah, dan saya mengejar seorang lelaki, tapi dia mengatakan: “La Ilaha illa Allah.” Aku membunuhnya. Hati tidak enak dengan hal itu, maka aku tanyakan kepada Rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ bersabda: “Apakah setelah dia mengatakan La Ilaha illa Allah kamu membunuhnya?!” Saya berkata: “Ya Rasulullah, dia mengatakannya karena takut pedang.” Beliau ﷺ menjawab: “Kenapa engkau tidak membelah hatinya saja agar kamu tahu apakah benar, dia mengatakannya karena takut ataukah tidak.” Beliau ﷺ terus-menerus mengulang ucapan tersebut sehingga saya berangan-angan seandainya baru masuk Islam saat itu [HR. Bukhari: 4269 dan Muslim: 159].

Imam Nawawi berkata:

Makna hadis ini, kamu hanya dibebani dengan amalan yang tampak saja dan apa yang diucapkan oleh lisan. Adapun apa yang di dalam hati, maka kamu tidak mungkin mengetahuinya. Nabi ﷺ mengingkari Usamah tatkala dia tidak menerapkan hukum dzahir ini …. Dalam hadis ini terdapat kaidah yang terkenal dalam fiqih dan ushul bahwa “Hukum itu berdasarkan yang tampak saja, Allah yang mengurusi urusan hati” [Syarh Muslim 2/104].

C. Tidak Dikafirkan Kecuali yang Disepakati Ahlu Sunnah Kekafirannya

Berkata Imam Ibnu Abdil Barr:

Setiap orang yang telah tetap keislamannya dengan kesepakatan kaum Muslimin, lalu dia melakukan suatu dosa sehingga mereka diperselisihkan tentang kekafiran mereka, perselisihan ini (tentang kafirnya) setelah kesepakatan mereka (tentang keislaman mereka), tidak memiliki arti yang bisa menjadikannya hujjah. Seorang tidak keluar dari keislaman yang disepakati, kecuali dengan kesepakatan juga atau Sunnah Shahihah yang tidak ada penentangnya.

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah—Ahli Fikih dan Ahli Hadis—telah bersepakat, bahwa seorang yang melakukan dosa—sekalipun dosa besar—tidak keluar dari agama Islam, sekalipun Ahli Bid’ah menyelisihi mereka dalam hal ini. Maka, sewajibnya untuk tidak mengafirkan, kecuali yang disepakati oleh semuanya tentang kekafiran mereka, atau adanya dalil paten dari Alquran dan Sunnah tentang kekafirannya [At-Tamhid 17/21].

Ibnu Bathal berkata:

Kalau ada perselisihan dalam hal itu—kafirnya Khawarij—maka tidak bisa dipastikan keluarnya mereka dari Islam, karena orang yang sudah jelas keislamannya dengan yakin, maka tidak keluar dari Islam kecuali dengan yakin juga [Fathul Bari 12/314].

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Kita tidak mengafirkan, kecuali apa yang disepakati oleh ulama semuanya.” [Ad-Durar Saniyyah 1/70].

D. Wajibnya Menegakkan Hujjah Kepada yang Dikafirkan

Banyak sekali dalil yang mendasari hal ini, yaitu bahwa seorang Muslim tidaklah kafir dengan ucapan atau perbuatan atau keyakinan, kecuali setelah tegaknya hujjah padanya dan dihilangkannya segala kerancuan yang melekat pada dirinya. Allah berfirman:

… وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًۭا ﴿١٥﴾

Dan Kami tidak akan mengadzab, sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. al-Isra’: 15)

 

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا ﴿١١٥﴾

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisa’: 115)

Dan masih banyak lagi ayat dan hadis lainnya yang menunjukkan secara jelas, bahwa Allah tidak menyiksa seorang pun kecuali setelah ditegakkan hujjah dan dihilangkan kerancuannya, sehingga jelas baginya jalan petunjuk dan jalan kesesatan.

Imam Bukhari berkata: “Bab Memerangi Khawarij Dan Para Penyeleweng Setelah Ditegakkan Hujjah Atas Mereka.” Firman Allah ta’ala:

وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًۢا بَعْدَ إِذْ هَدَىٰهُمْ حَتَّىٰ يُبَيِّنَ لَهُم مَّا يَتَّقُونَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ ﴿١١٥﴾

Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. at-Taubah: 115)

Al-’Aini berkata:

Imam Bukhari mengisyaratkan dengan ayat yang mulia ini, bahwa memerangi Khawarij dan penyeleweng tidak wajib, kecuali setelah tegaknya hujjah pada mereka dan menampakkan kebatilan dalil-dalil mereka. Dalilnya adalah ayat ini, di mana ayat ini menunjukkan, bahwa Allah tidak menyiksa hamba-Nya, sehingga menjelaskan kepada mereka apa yang harus mereka kerjakan dan apa yang harus mereka tinggalkan [Umdatul Qari 24/84].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

Adapun Takfir (Menganggap kafir), ini termasuk ancaman yang keras. Memang barangkali seseorang melakukan perbuatan kufur, tetapi pelakunya bisa jadi baru masuk Islam, atau hidup di perkampungan yang jauh dari agama. Maka orang seperti ini tidak dapat dikafirkan sehingga tegak hujjah atasnya, atau bisa jadi orang tersebut belum mendengar nash-nash, atau mendengarnya tetapi masih rancu, maka orang seperti ini sama seperti yang di atas, sekalipun dia salah.

Dan seringkali aku mengingatkan saudara-saudaraku dengan hadis Bukhari-Muslim tentang seorang yang mengatakan: “Jika aku telah meninggal maka bakarlah aku, kemudian tumbuklah halus-halus, lalu buanglah ke lautan. Kalau memang Allah membangkitkanku, maka Dia akan menyiksaku dengan siksaan yang tidak pernah ada di alam ini.” Akhirnya mereka pun melaksanakan wasiat tersebut. Tatkala Allah membangkitkannya, Allah bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu melakukan ini?” Jawabnya: “Aku takut kepada-Mu.” Lantas Allah mengampuninya [HR. Bukhari: 6481 dan Muslim: 2756].

Lihatlah orang ini, yang ragu akan kemampuan Allah dan kebangkitan manusia setelah mati, bahkan ia meyakini bahwa dia tidak akan dibangkitkan, jelas ini merupakan kekufuran dengan kesepakatan kaum Muslimin. Tapi dia jahil atau bodoh, tidak mengetahui hal itu dan dia takut siksaan Allah, maka Allah pun mengampuninya [Majmu’ Fatawa 3/229–231].

E. Harus Dibedakan Antara Pengafiran Secara Umum dan Secara Individu

Pengafiran secara umum adalah menghukumi suatu perkataan atau perbuatan dengan kekufuran dan menghukumi pelakunya dengan kufur secara umum tanpa vonis individu orang, seperti mengatakan: “Barang siapa mengatakan Alquran makhluk, maka kafir.”

Adapun pengafiran secara khusus adalah menghukumi seseorang yang mengatakan atau melakukan kekufuran dengan kafir, seperti mengatakan: “Si Fulan (nama orang tertentu, Edt.) yang mengatakan Alquran makhluk adalah kafir.”

Termasuk kaidah dalam Takfir adalah membedakan antara Takfir Secara Umum dan Takfir Khusus, karena tidak semua orang yang mengatakan atau melakukan kafir, pasti dia kafir, disebabkan adanya beberapa penghalang atau tidak terpenuhinya beberapa syarat pada dirinya, seperti kalau dia baru masuk Islam atau tidak mengerti hukumnya dan lain sebagainya [Lihat secara luas dalam Dhawabith Takfir al-Mu’ayyan oleh Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin].

Di antara dalil yang membuktikan kaidah ini adalah kisah Muadz bin Jabal tatkala ada beberapa gadis kecil yang menabuh rebana dan mengingat ayah-ayah mereka yang meninggal pada Perang Badar, tiba-tiba ada seorang di antara mereka mengatakan: “Di tengah-tengah kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.” Mendengar hal itu, maka Nabi ﷺ bersabda: “Tinggalkanlah ini, katakanlah yang lain saja seperti tadi.” [HR. Bukhari: 5147].

Perhatikanlah hadis ini. Nabi ﷺ tidak mengafirkan gadis tersebut karena kejahilannya. Beliau hanya melarangnya saja. Padahal kita tahu semua, bahwa mengatakan akan adanya selain Allah yang mengetahui ilmu gaib adalah suatu kekufuran [Lihat Ahkamul Qur’an 2/259 oleh Ibnul Arabi].

Sungguh, ini kaidah yang amat sangat penting. Banyak orang tidak memahaminya, sehingga tak aneh kalau mereka terjatuh dalam kesalahan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

Barang siapa yang tidak memerhatikan perbedaan antara mengafirkan secara umum dan ta’yin (vonis perorangan), niscaya dia akan jatuh dalam banyak ketimpangan. Dia menyangka bahwa ucapan salaf: “Barang siapa yang mengatakan seperti ini kafir” atau “Barang siapa yang melakukan ini maka kafir” mencakup semua orang yang mengatakannya tanpa dia renungi terlebih dahulu, sebab mengafirkan itu memiliki syarat-syarat dan penghalang pada hukum perorangan. Jadi mengafirkan secara umum tidak mengharuskan mengafirkan secara individu orangnya, kecuali apabila terpenuhi persyaratannya dan hilang segala penghalangnya [Majmu’ Fatawa 12/489].

Barang siapa yang memerhatikan sirah ulama salaf, niscaya dia akan mengetahui kebenaran kaidah ini dan mengetahui bahwa mereka di atas kebenaran. Dan sungguh menakjubkanku ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:

Saya sering mengatakan kepada kaum Jahmiyyah dari Hululiyyah yang mengingkari ketinggian Allah di atas langit: “Saya kalau menyetujui kalian, maka saya kafir karena saya mengetahui bahwa pendapat kalian ini adalah kekufuran, sedangkan kalian menurutku tidak kafir karena kalian adalah orang-orang bodoh.”  [Ar-Radd ’ala al-Bakri hlm. 47].

 

http://abiubaidah.com/norma-norma-penting-sebelum-menjatuhkan-vonis-kafir.html/