Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Ketika seseorang membunuh orang lain dengan sengaja, ada tiga hak yang terlibat di sana:
1. Hak Allah,
2. Hak korban, dan
3. Hak wali (keluarga) korban.
Imam Ibnu al-Qayyim menjelaskan:
التحقيق أن القتل، تتعلق به ثلاثة حقوق، حق لله، وحق للمقتول، وحق للولي
“Kesimpulan pembahasan, bahwa pembunuhan berhubungan dengan tiga hak: hak Allah, hak korban (al-maqtul), dan hak wali (keluarga) korban (auliya` al-maqtul). [Dinukil dari Hasyiyah ar-Raudhul Murbi’, Abdurrahman Qosim, 7/165]
Penjelasan lebih rinci untuk masing-masing, sebagai berikut:
Pertama: Hak Allah
Membunuh seorang Muslim yang terlindungi darahnya termasuk dosa besar yang sangat Allah murkai. Karena itu Allah memberikan ancaman sangat keras bagi orang yang membunuh dengan sengaja. Di antara firman-Nya adalah:
“Barang siapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam. Ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, mengutukinya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” [QS. an-Nisa`: 93]
Dalam ayat ini Allah mengancam keras pelaku pembunuhan dengan sengaja. Sampai karena besarnya dosa pembunuhan ini, Allah tidak mensyariatkan adanya kafarat (tebusan).
Kemudian dalam hadis dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi ﷺ bersabda:
“Lenyapnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan pembunuhan terhadap seorang Muslim.” [HR. Nasai 3987, Turmudzi 1395 dan disahih al-Albani]
Bahkan Rasulullah ﷺ mengancam orang kafir yang terlindungi darahnya, akan dijauhkan dari Surga:
من قتل معاهداً لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها ليوجد من مسيرة أربعين عاماً
“Barang siapa yang membunuh orang kafir yang memiliki perjanjian perlindungan (mu’ahad), maka dia tidak akan mencium wangi Surga. Sungguh, wangi Surga itu tercium sejauh jarak empat puluh tahun.” [HR. Bukhari 3166]
Hubungannya dengan hak Allah, hak ini bisa gugur, jika pelaku secara serius bertobat, memohon ampun atas dosa besar yang telah dilakukannya.
Kedua: Hak Korban
Hak ini tidak bisa digugurkan begitu saja karena korban telah meninggal. Sehingga tidak ada jaminan dia memaafkan. Korban akan meminta haknya pada Hari Kiamat kepada pembunuhnya. Dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:
أول ما يقضى بين الناس يوم القيامة في الدماء
“Sengketa antar manusia yang pertama kali diputuskan pada Hari Kiamat adalah masalah darah.” [HR. Bukhari 6533 dan Muslim 1678]
Dalam hadis lain, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda:
“Orang yang membunuh dan korban yang dibunuh akan didatangkan pada Hari Kiamat dengan menenteng kepala temannya (pembunuh). Dalam riwayat lain: Dia (korban) membawa orang yang membunuh, sementara urat lehernya bercucuran darah. Dia mengatakan: ‘Ya Allah, tanya orang ini, mengapa dia membunuh saya’.” [HR. Ibnu Majah 2621 dan disahihkan al-Albani]
Mengingat masih ada hak korban yang tidak mungkin bisa ditunaikan kecuali setelah Kiamat, sebagian ulama berpendapat, tidak ada tobat bagi pembunuh. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum, Abu Salamah bin Abdurrahman, Qatadah, Ad-Dhahhak, dan Hasan Al-Bashri.
Sementara Mayoritas Ulama mengatakan, bahwa pembunuh memiliki hak untuk bertobat, sebagaimana dosa yang lainnya. Dan inilah pendapat yang kuat, berdasarkan firman Allah:
”Sesungguhnnya Aku Maha Pengampun bagi setiap orang yang mau bertobat dan beramal saleh, kemudian dia meniti jalan petunjuk.” [QS. Thaha: 82]
Lalu bagaimana dengan hak korban di Akhirat? Apakah pahala pembunuh akan diambil di Akhirat untuk diberikan kepada korban, ataukah Allah yang akan menanggungnya?
Mengenai hal ini, Imam Ibnu al-Qayyim menjelaskan:
فإذا أسلم القاتل نفسه طوعا إلى الولي، وندما وخوفا من الله، وتاب توبة نصوحا، سقط حق الله بالتوبة، وحق الأولياء بالاستيفاء أو الصلح، أو العفو، وبقي حق المقتول، يعوضه الله يوم القيامة، عن عبده التائب، ويصلح بينه وبينه
“Apabila pembunuh menyerahkan dirinya kepada wali korban, dia menyesal dan takut kepada Allah, betul-betul bertobat kepada Allah, maka hak Allah menjadi gugur dengan tobat, hak wali gugur dengan dia menyerahkan diri, berdamai, dan memaafkan. Tinggallah hak korban (al-Maqtul). Allah akan memberi ganti haknya pada Hari Kiamat, dari hamba-Nya yang bertobat, dan Allah akan memerbaiki hubungan keduanya. [Dinukil dari Hasyiyah ar-Raudhul Murbi’, Abdurrahman Qosim, 7/165]
Ketiga: Hak Wali Korban
Yang dimaksud wali korban adalah keluarga korban yang menjadi ahli waris.
Dalam kasus pembunuhan disengaja, wali korban memiliki tiga pilihan hak,
Pilihan Pertama: Qisas, Nyawa Balas Nyawa
Wali korban bisa menuntut hukuman pancung untuk pelaku pembunuhan. Pelaksanaan hukuman ini HANYA bisa dilakukan oleh pemerintah. Allah ﷻ berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu untuk melaksanakan Qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh….” [QS. al-Baqarah: 178]
Islam memotivasi agar pihak ahli waris korban menggugurkan hukuman Qisas bagi pelaku, dengan catatan, apabila pelaku tidak dikenal sebagai orang jelek. Allah ﷻ ingatkan:
“Barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik. Dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (Diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu, dan merupakan suatu rahmat.” [QS. al-Baqarah: 178]
Mengingat Qisas tidak bisa dibagi-bagi, sehingga jika ada salah satu di antara ahli waris yang memaafkan si pembunuh agar tidak diqisas, maka hukuman Qisas ini menjadi gugur. Selanjutnya si pembunuh wajib menunaikan pilihan kedua, yaitu Diyat. [Fikih Sunah, 2/523]
Pilihan Kedua: Membayar Diyat
Diyat dalam kasus pembunuhan ada dua:
a. Diyat Mukhaffafah (Diyat Ringan). Diyat ini berlaku untuk pembunuhan tidak sengaja atau semi sengaja.
b. Diyat Mughaladzah (Diyat Berat). Diyat ini berlaku untuk pembunuhan sengaja, ketika wali korban membebaskan pelaku dari qishas.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang menjadi wali korban pembunuhan, maka ia diberi dua pilihan: memilih Diyat atau Qisas.” [HR. Bukhari 2434 & Muslim 1355).
Besar Diyat Mughaladzah menurut Madzhab Syafiiyah, dan salah satu riwayat dalam Madzhab Hambali senilai 100 ekor unta, dengan rincian: 30 unta hiqqah (unta betina dengan usia masuk tahun keempat), 30 unta jadza’ah (unta betina dengan usia masuk tahun kelima), dan 40 unta induk yang sudah pernah beranak satu yang sedang hamil. [al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 21/51]
Pada dasarnya Diyat dibayarkan dalam bentuk unta. Namun jika tidak memungkinkan untuk membayar dengan unta, Diyat bisa dibayarkan dengan uang senilai harga unta dengan kriteria di atas.
Pilihan Ketiga: Memberikan Ampunan Tanpa Bayaran
Para ahli waris korban memiliki hak untuk mengampuni pelaku dengan tidak meminta Qisas maupun Diyat. Dan bentuk pemaafan ini Allah sebut sebagai sedekah bagi keluarga yang memaafkan. Allah ﷻ berfirman:
فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ
“Barang siapa yang melepaskan (hak Qisas)-nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.” [QS. al-Maidah: 45]
Beda antara Qisas dengan Diyat ketika Digugurkan
Ketika salah satu ahli waris menggugurkan Qisas, maka hukuman Qisas menjadi gugur, sekalipun ahli waris yang lain tidak memaafkannya. Karena Qisas tidak bisa dibagi.
Berbeda dengan Diyat, ketika salah satu ahli waris menggugurkan Diyat, kewajiban bayar Diyat tidak menjadi gugur seluruhnya, selama masih ada ahli waris lain yang menuntut Diyat. Hanya saja, sebagian kewajiban Diyat menjadi gugur.
Allahu a’lam.
Rujukan:
• Fiqih Sunnah, Sayid Sabiq, Dar Kitab al-Arabi, cet. III, 1397 H.
• Diktat: Fikih Jinayat, Dr. Yusuf as-Syubili, www.shubily.com
• Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementrian Wakaf Kuwait, 1427 H.
• Hasyiah ar-Roudh al-Murbi’, Abdurrahman bin Qosim al-Ashimi, cet. I, 1397 H.
Ditulis oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)