بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
HUKUM ZAKAT PROFESI
>> Bolehkah memotong gaji karyawan 2.5% setiap bulannya sebagai Zakat Profesi?
 
Pertanyaan:
Tadi pagi saya ditanya atasan saya perihal Hukum Zakat Profesi:
 
1. Apakah Ijtihad/Qiyas yang dipakai oleh ulama yang membolehkan Zakat Profesi itu bisa dijadikan dalil untuk diamalkan? Di perusahaan saya sudah lama diberlakukan Zakat Profesi ini dengan cara potong gaji tiap bulannya berdasarkan kesepakatan sebelumnya. Ada yang mau dan ada pula yang tidak mau dipotong gajinya.
 
2. Adakah buku yang bagus yang khusus menjelaskan Zakat Profesi ini!?
 
Jawaban:
 
1. Zakat yang diwajibkan untuk dipungut dari orang-orang kaya telah dijelaskan dengan gamblang dalam banyak dalil. Dan zakat adalah permasalahan yang tercakup dalam kategori permasalahan ibadah. Dengan demikian TIDAK ADA peluang untuk berijtihad atau merekayasa permasalahan baru yang tidak diajarkan dalam dalil. Para ulama dari berbagai mazhab telah menyatakan:
 
الأَصْلُ فِي العِبَادَاتِ التَّوقِيفُ
 
“Hukum asal dalam permasalahan ibadah adalah tauqifi alias terlarang.”
 
Berdasarkan kaidah ini, para ulama menjelaskan, bahwa barang siapa yang membolehkan atau mengamalkan suatu amal ibadah, maka sebelumnya ia berkewajiban untuk mencari dalil yang membolehkan atau mensyariatkannya. Bila tidak, maka amalan itu TERLARANG atau tercakup dalam amalan bidah:
 
مَنْ عَمِلَ عَمَل لَيْسَ عَلَيهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ رواه مسلم
 
“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan itu tertolak.” [Riwayat Muslim]
Coba kita renungkan: Zakat adalah salah satu Rukun Islam, sebagaimana Syahadatain, salat, puasa, dan haji. Mungkinkah kita dapat menolerir bila ada seseorang yang berijtihad pada masalah-masalah tersebut dengan mewajibkan salat selain salat lima waktu, atau mengubah-ubah ketentuannya; subuh menjadi empat rakaat, Maghrib 5 rakaat, atau waktunya digabungkan jadi satu. Ucapan Syahadat ditambahi dengan ucapan lainnya yang selaras dengan perkembangan pola hidup umat manusia. Begitu juga haji diadakan di masing-masing negara guna efisiensi dana umat dan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan umat. Dan puasa amadan dibagi pada setiap bulan sehingga lebih ringan dan tidak memberatkan para pekerja pabrik dan pekerja berat lainnya.
 
Mungkinkah kita dapat menerima ijtihad ngawur semacam ini? Bila kita tidak dapat menerimanya, maka semestinya kita juga tidak dapat menerima ijtihad Zakat Profesi, karena sama-sama ijtihad dalam amal ibadah dan Rukun Islam.
 
Terlebih-lebih telah terbukti dalam sejarah, bahwa para sahabat nabi dan juga generasi setelah mereka tidak pernah mengenal apa yang disebut-sebut dengan Zakat Profesi. Padahal apa yang disebut dengan gaji telah dikenal sejak lama, hanya beda penyebutannya saja. Dahulu disebut dengan al ‘atha’ dan sekarang disebut dengan gaji atau raatib atau mukafaah. Tentu perbedaan nama ini tidak sepantasnya mengubah hukum.
 
Ditambah lagi, bila kita mengaji pendapat ini dengan seksama, maka kita akan dapatkan banyak kejanggalan dan penyelewengan. Berikut sekilas bukti akan kejanggalan dan penyelewengan tersebut:
 
(a). Orang-orang yang mewajibkan Zakat Profesi menqiyaskan (menyamakan) Zakat Profesi dengan Zakat Hasil Pertanian, tanpa memerdulikan perbedaan antara keduanya. Zakat Hasil Pertanian adalah 1/10 (seper sepuluh) dari hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya, dan 1/20 (seper dua puluh), bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun Zakat Profesi, maka zakatnya adalah 2,5 %, sehingga qiyas semacam ini adalah qiyas yang benar-benar ANEH dan MENYELEWENG. Seharusnya qiyas yang benar ialah dengan mewajibkan Zakat Profesi sebesar 1/10 (seper sepuluh) bagi profesi yang tidak membutuhkan modal, dan 1/20 (seper dua puluh) bagi profesi yang membutuhkan modal. Tentu hal ini sangat memberatkan, dan orang-orang yang mengatakan ada Zakat Profesi tidak akan berani memfatwakan Zakat Profesi sebesar ini.
 
(b). Gaji diwujudkan dalam bentuk uang. Maka gaji lebih tepat bila diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat jual beli, dan standar nilai barang.
 
(c). Orang-orang yang memfatwakan Zakat Profesi telah nyata-nyata melanggar Ijma’/Kesepakatan Ulama selama 14 abad, yaitu dengan memfatwakan wajibnya zakat pada gedung, tanah dan yang serupa.
 
(d). Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus, keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa buktinya:
 
Sahabat Umar bin Al Khatthab radhiyallahu ‘anhu pernah menjalankan suatu tugas dari Rasulullah ﷺ. Lalu ia pun di beri upah oleh Rasulullah ﷺ. Pada awalnya sahabat Umar radhiallahu ‘anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah.” [Riwayat Muslim]
 
Seusai sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan beliau berjumpa dengan Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu. Maka Umarpun bertanya kepadanya: “Hendak ke manakah engkau?” Abu Bakar menjawab: “Ke pasar.” Umar kembali bertanya: “Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukkanmu?” Abu Bakar menjawab: “Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?” Umar pun menjawab: “Kita akan memberimu secukupmu.” [Riwayat Ibnu Sa’ad dan Al Baihaqy]
Imam Al Bukhari juga meriwayatkan pengakuan sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tentang hal ini:
 
لقد عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لم تَكُنْ تَعْجِزُ عن مؤونة أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أبي بَكْرٍ من هذا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فيه.
 
“Sungguh kaumku telah mengetahui, bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku, sedangkan sekarang, aku disibukkan oleh urusan umat Islam. Maka sekarang keluarga Abu Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta Baitul Maal), sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka.” [Riwayat Bukhary]
 
Ini semua membuktikan, bahwa gaji dalam kehidupan umat Islam bukanlah suatu hal yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satu pun ulama yang memfatwakan adanya Zakat Profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa Zakat Profesi TIDAK ADA. Yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (tahun).
 
Oleh karena itu ulama ahlul ijtihaad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini. Di antara mereka adalah Syeikh Bin Baz. Beliau berkata:
“Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka TIDAK wajib di zakati.” [Maqalaat Al Mutanawwi’ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/134. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Ar Rasaa’il 18/178.]
 
Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia. Berikut Fatwanya:
 
“Sebagaimana yang telah diketahui bersama, bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. TIDAK dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi, karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu tahun (haul).” [Majmu’ Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia 9/281, fatwa no: 1360]
 
Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasulullah ﷺ berikut:
 
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ. رواه مسلم
 
“Tidaklah sedekah itu akan mengurangi harta kekayaan.” [Riwayat Muslim]
 
Berdasarkan penjelasan di atas, maka saya mengusulkan agar Anda mengusulkan kepada perusahaan Anda atau atasan Anda agar menghapuskan pemotongan gaji yang selama ini telah berlangsung dengan alasan Zakat Profesi. Karena bisa saja dari sekian banyak yang dipotong gajinya belum memenuhi kriteria wajib zakat. Karena harta yang berhasil ia kumpulkan/tabungkan belum mencapai nishab. Atau kalaupun telah mencapai nishab mungkin belum berlalu satu tahun/haul, karena telah habis dibelanjakan pada kebutuhan yang halal. Dan kalaupun telah mencapai satu nishab dan telah berlalu satu haul/tahun, maka mungkin kewajiban zakat yang harus ia bayarkan tidak sebesar yang dipotong selama ini. Wallahu ta’ala a’alam bis showaab.
 
2. Berdasarkan jawaban pertama, maka tidak perlu kita mencari buku-buku atau tulisan-tulisan yang membahasa masalah Zakat Profesi. Cukuplah kita dan juga umat Islam lainnya mengamalkan zakat-zakat yang telah nyata-nyata disepakati oleh seluruh ulama umat Islam sepanjang sejarah. Dan itu telah dibahas tuntas oleh para ulama kita dalam setiap kitab-kitab fikih.
 
Wallahu a’alam bisshawab.
 
 
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A
 
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat

#daliltentangzakatprofesi #hukumzakatpropesi #bagaimanahukumzakatprofesi #haditszakatprofesi #hukumzakatprofesidalamIslam #hukumzakatprofesi #zakatprofesi #zakatpropesi #zakatgajikaryawan #potonggajikaryawanuntukzakat #zakatpegawai #zakatkaryawan #zakathasilpertanian #zakatmaal #zakatmal #zakatharta #hadiszakatprofesi #potonggajitiapbulan