بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

HUKUM TABUR BUNGA DI KUBURAN
>> Seorang (di alam kubur) hanya akan dinaungi oleh hasil amalnya (di dunia) dan bukan bunga yang diletakkan di kuburnya

Pertanyaan:

Apa hukumnya bila kita menaburkan bunga di atas kuburan sementera kita tidak ada niat untuk syirik kepada Allah melainkan hanya untuk mengharumkan kuburan tersebut dan sekitarnya.

Jawaban:

Perbuatan ini sering dilakukan oleh para peziarah kubur. Kami tidak menemukan satu pun riwayat valid yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya melakukan hal yang serupa ketika menziarahi suatu kubur.

Berdasarkan keterangan para ulama, perbuatan ini merupakan tradisi yang diambil dari orang-orang kafir, khususnya kaum Nasrani. Tradisi tebar bunga dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang telah wafat. Tradisi tersebut kemudian diserap dan dipraktikkan oleh sebagian kaum Muslimin yang memiliki hubungan erat dengan orang-orang kafir, karena memandang perbuatan mereka merupakan salah satu bentuk kebaikan terhadap orang yang telah wafat.

Seorang ulama hadis Mesir, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengatakan, “Perbuatan ini digalakkan oleh kebanyakan orang, padahal hal tersebut TIDAK memiliki sandaran dalam agama. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap berlebih-lebihan dan sikap mengekor kaum Nasrani. Apa yang terjadi, khususnya di negeri Mesir, merupakan contoh dari hal ini. Orang Mesir pun melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara atau saling menghadiahkan bunga sesama mereka. Orang-orang meletakkan bunga di atas pusara kerabat atau kolega mereka sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah wafat.”

Beliau melanjutkan, “Oleh karena itu, apabila para tokoh Muslim mengunjungi sebagian negeri Eropa, Anda dapat menyaksikan mereka menziarahi pekuburan para tokoh di negeri tersebut atau ke pekuburan para pejuang tanpa nama, kemudian melakukan tradisi tebar bunga, sebagian lagi meletakkan bunga imitasi karena mengekor Inggris dan mengikuti tuntunan hidup kaum terdahulu.” Lalu di akhir perkataan beliau menyatakan, “Semua ini adalah perbuatan bid’ah dan kemungkaran yang TIDAK berasal dari agama Islam, tidak pula memiliki sandaran dari Alquran dan Sunnah Nabi. Dan kewajiban para ulama adalah MENGINGKARI dan MELARANG segala tradisi ini sesuai kemampuan mereka.” (Ta’liq Ahmad Syakir terhadap Sunan At Tirmidzi 1/103, dinukil dari Ahkaamul Janaaizhal. 254).

Oleh karena itu, tradisi yang banyak dilakukan oleh kaum Muslimin ini  tercakup dalam larangan Nabi ﷺ, agar tidak mengekor kebudayaan khas kaum kafir sebagaimana yang termaktub dalam sabda beliau ﷺ:

ومن تشبه بقوم فهو منهم

“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad nomor 5114, 5115 dan 5667; Sa’id bin Manshur dalam Sunannya nomor 2370; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya: 19401, 19437 dan 33010. Al ‘Allamah Al Albani menghasankan hadis ini dalam Al Irwa’ 5/109).

Ibnu ‘Abdil Barr Al Maliki rahimahullah mengatakan: “(Maksudnya orang yang menyerupai suatu kaum) akan dikumpulkan bersama mereka di hari Hiamat Kelak. Dan bentuk penyerupaan bisa dengan meniru perbuatan yang dilakukan oleh kaum tersebut atau dengan meniru rupa mereka.” (At Tamhid lima fil Muwaththa minal Ma’ani wal Asaanid 6/80).

Sebagian kaum Muslimin menganalogikan tradisi tabur bunga ini dengan perbuatan Nabi ﷺ yang menancapkan pelepah kurma basah pada dua buah kubur sebagaimana yang terdapat dalam hadis ‘Abdullah bin ‘Abbas radliallahu ‘anhuma. (HR Bukhari: 8 dan Muslim: 111). Mereka beranggapan bahwa pelepah kurma atau bunga yang diletakkan di atas pusara akan meringankan azab penghuninya, karena pelepah kurma atau bunga tersebut akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah.

Anggapan mereka tersebut tertolak dengan beberapa alasan sebagai berikut:

Alasan pertama, keringanan azab kubur yang dialami kedua penghuni kubur tersebut adalah disebabkan doa dan syafaat Nabi ﷺ kepada mereka, bukan pelepah kurma tersebut. Hal ini dapat diketahui jika kita melihat riwayat Jabir bin ‘Abdillah radliallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:

إني مررت بقبرين يعذبان فأحببت بشفاعتي أن يرفه عنهما ما دام الغصنان رطبين

“Saya melewati dua buah kubur yang penghuninya tengah diadzab. Saya berharap azab keduanya dapat diringankan dengan syafaatku selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah.” (HR. Muslim: 3012).

Hadis Jabir di atas menerangkan bahwa yang meringankan adzab kedua penghuni kubur tersebut adalah doa dan syafaat Nabi ﷺ, bukan pelepah kurma yang basah.

Alasan kedua, anggapan bahwa pelepah kurma atau bunga akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah sehingga mampu meringankan azab penghuni kubur bertentangan dengan firman Allah Ta’ala:

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا (٤٤)

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Israa: 44).

Makhluk hidup senantiasa bertasbih kepada Allah, begitu pula pelepah kurma. Tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pelepah kurma atau bunga akan berhenti bertasbih jika dalam keadaan kering.

Alasan ketiga, perbuatan Nabi ﷺ tersebut bersifat kasuistik (waqi’ah al-’ain) dan termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau ditiru. Hal ini dikarenakan beliau tidak melakukan hal yang serupa pada kubur-kubur yang lain. Begitu pula para sahabat tidak pernah melakukannya, kecuali sahabat Buraidah yang berwasiat agar pelepah kurma diletakkan di dalam kuburnya bersama dengan jasadnya.

Namun, perbuatan beliau ini hanya didasari oleh ijtihad beliau semata. Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

“Perbuatan Buraidah tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa beliau menerapkan hadis tersebut berdasarkan keumumannya dan tidak beranggapan bahwa hal tersebut hanya dikhususkan bagi kedua penghuni kubur tersebut. Ibnu Rusyaid berkata, “Apa yang dilakukan oleh Al Bukhari menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena itu Al Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan perkataan Ibnu ‘Umar, Sesungguhnya seorang (di alam kubur) hanya akan dinaungi oleh hasil amalnya (di dunia dan bukan pelepah kurma yang diletakkan di kuburnya).” (Fathul Baari 3/223).

Selain itu, pelepah kurma tersebut ditaruh bersama dengan jasad beliau, bukan diletakkan di atas pusara beliau.

Alasan keempat, alasan lain yang membatalkan analogi mereka dan menguatkan bahwa perbuatan Nabi ﷺ tersebut merupakan kekhususan beliau. Adalah pengetahuan Nabi ﷺ, bahwa kedua penghuni kubur tersebut tengah diadzab. Hal ini merupakan perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala dan para rasul yang diberi keistimewaan oleh-Nya, sehingga mampu mengetahui beberapa perkara gaib dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Allah berfirman:

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (٢٦)إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (٢٧)

“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya.” (QS. Al Jinn: 26-27).

Kalangan yang menganalogikan tradisi tebar bunga dengan perbuatan Nabi ﷺ tersebut telah mengklaim bahwa mereka mengetahui perkara gaib. Mereka mengklaim mengetahui bahwa penghuni kubur sedang diazab sehingga pusaranya perlu untuk ditaburi bunga. Sungguh ini klaim tanpa bukti, tidak dilandasi ilmu dan termasuk menerka-nerka perkara gaib yang dilarang oleh agama.

Alasan kelima, hal ini mengandung sindiran dan celaan kepada penghuni kubur. Karena jika alasan mereka demikian, hal tersebut merupakan salah satu bentuk berburuk sangka  (su’uzh zhan) kepada penghuni kubur karena menganggapnya sebagai pelaku maksiat yang tengah diadzab oleh Allah di dalam kuburnya sebagai balasan atas perbuatannya di dunia. (Rangkuman faidah ini kami ambil dari Ahkaamul Janaa-iz, Taisirul ‘Allam dan uraian dari ustadzuna tercinta, Abu Umamah hafizhahullah ta’ala saat mengaji kitab ‘Umdatul Ahkam).

Berdasarkan keterangan di atas kita dapat mengetahui, bahwa tradisi ini selayaknya DITINGGALKAN dan TIDAK PERLU dilakukan ketika berziarah kubur, karena tercakup dalam larangan Nabi ﷺ. Kita juga mengetahui bahwa tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa para sahabat dan generasi salaf melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dituntunkan oleh syariat kita.

Oleh karena itu, kita patut merenungkan pernyataan As Subki, bahwa segala perbuatan yang tidak pernah diperintahkan dan dilakukan Nabi ﷺ dan para sahabatnya merupakan indikasi, bahwa amalan tersebut tidak disyariatkan. Dalam pernyataan beliau tersebut terkandung kaidah dasar dalam pensyariatan sebuah amalan.

 

Referensi: ikhwanMuslim dot com (Dipublikasikan ulang oleh Konsultasi Syariah)