بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 
HUKUM PUASA PADA TANGGAL 1 MUHARAM
 
Pertanyaan:
 
Apa hukum puasa tanggal 1 Muharam? Adakah dalilnya?
 
Jawaban:
 
Bismillah was salatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
 
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:
 
أفضل الصيام بعد رمضان ، شهر الله المحرم
 
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharam.” [HR. Muslim 1163]
 
Hadis ini merupakan dalil dianjurkannya memerbanyak puasa selama Muharam. An-Nawawi mengatakan:
 
تصريح بأنه أفضل الشهور للصوم
 
”Hadis ini menegaskan, bahwa Muharam adalah bulan yang paling utama untuk puasa.” [Syarh Sahih Muslim, 8/55]
 
Kemudian dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
 
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
 
”Puasa hari Asyura, saya berharap kepada Allah, puasa ini menghapuskan (dosa) setahun yang telah lewat.” [HR. Muslim 1162]
 
Dan setelah Nabi ﷺ mendapatkan informasi bahwa Puasa Asyura adalah kebiasaan puasa Yahudi yang paling agung, beliau bertekad, tahun depan akan puasa tanggal 9 Muharam, agar puasa beliau berbeda dengan kebiasaan puasa Yahudi. [HR. Muslim 1134)
 
Berdasarkan keterangan di atas, kita sepakat, bahwa dalam puasa Muharam, Nabi ﷺ tidak menentukan hari khusus yang paling istimewa untuk puasa, selain tanggal 9 dan 10 Muharam. Beliau ﷺ hanya menganjurkan memerbanyak puasa selama Muharam. Karena itu tidak dibenarkan seseorang menyatakan ada anjuran khusus untuk berpuasa tanggal 1 Muharam, atau tanggal sekian Muharam, sementara dia tidak memiliki dalil yang mendukung pernyataannya.
 
Hukum Puasa Tanggal 1 Muharam
 
Satu prinsip yang penting untuk kita garis bawahi, bahwa satu amal yang sama, bisa jadi memiliki hukum yang berbeda, tergantung dari NIAT pelakunya. Rasulullah ﷺ memberikan kaidah:
 
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
 
”Sah dan tidaknya amal, bergantung pada niatnya. Dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” [HR. Bukhari 1 dan Muslim 1907]
 
Sebagai contoh, misalnya ada orang yang menyerahkan sejumlah uang kepada orang lain: “Ambillah uang ini!” Ada tiga kemungkinan akad yang berlangsung dalam kasus ini:
(a) Jika ia berniat mendermakannya, maka akadnya adalah hibah.
(b) Jika tidak berniat berderma, maka akadnya adalah qardh (utang), yang wajib dikembalikan oleh penerima uang, atau
(c) Akadnya wadi’ah (titipan) yang wajib dijaga oleh penerima.
 
Bentuknya sama-sama penyerahan uang, namun hukumnya berbeda, karena perbedaan niat saat penyerahan uang itu.
 
Contoh yang lain: Si A melakukan puasa di hari Senin tanggal 9 Zulhijah. Ada tiga kemungkinan hukum puasa tersebut:
(a) Jika si A meniatkan puasa itu untuk qadha Ramadan yang menjadi tanggungannya, maka statusnya puasa wajib.
(b) si A meniatkan puasa Sunnah hari Senin, atau
(c) si A berniat Puasa Arafah.
 
Puasa yang dikerjakan sama, namun status dan nilai puasa itu berbeda, tergantung niat orang yang melaksanakannya.
 
Orang yang melakukan puasa tanggal 1 Muharam, ada dua kemungkinan niat yang dia miliki:
 
Pertama: Dia berpuasa tanggal 1 Muharam karena motivasi hadis yang menganjurkan untuk memerbanyak puasa di bulan Muharam. Ini termasuk puasa yang bagus, sesuai Sunnah Nabi ﷺ sebagaimana penjelasan di atas.
 
Kedua: Dia berpuasa tanggal 1 Muharam karena ‘Tahun Baru’, atau mengawali tahun baru dengan puasa, atau karena keyakinan adanya fadhilah khusus untuk puasa awal tahun, dst.
 
DR. Muhammad Ali Farkus, ulama Aljazair, menegaskan:
 
وجديرٌ بالتنبيه أنَّ شهرَ اللهِ المحرَّم يجوز الصيامُ فيه من غير تخصيص صوم يوم آخرِ العام بنية توديع السَّنَةِ الهجرية القمرية، ولا أول يوم من المحرم بنية افتتاح العام الجديد بالصيام
 
”Perlu diperhatikan, bahwa selama Muharam, dianjurkan untuk memerbanyak puasa. Tidak boleh mengkhususkan hari tertentu dengan puasa pada hari terakhir tutup tahun, dalam rangka perpisahan dengan tahun Hijriyah sebelumnya, atau puasa di hari pertama Muharam dalam rangka membuka tahun baru dengan puasa.” [http://ferkous.com/site/rep/Bg29.php]
 
Kemudian DR. Muhammad Ali Farkus menjelaskan hadis yang menganjurkan puasa tutup tahun dan pembukaan tahun baru. Beliau mengatakan:
 
ومن خصّص آخر العام وأوَّلَ العام الجديد بالصيام إنما استند على حديثٍ موضوع: «مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ وَأَوَّلَ يَوْمٍ مِنَ المُحَرَّمِ، خَتَمَ السَّنَةَ المَاضِيَةَ وَافْتَتَحَ السَّنَةَ المُسْتَقْبلَةَبِصَوْمٍ جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَّارَةَ خَمْسِينَ سَنَةً»، وهو حديث مكذوبٌ ومُختلَقٌ على النبي صلى اللهُ عليه وآله وسَلَّم
 
“Orang yang mengkhususkan puasa pada hari terakhir tutup tahun, atau hari pertama tahun baru, mereka dengan hadis palsu: “Barang siapa yang puasa pada hari terakhir Zulhijah dan hari pertama Muharam, berarti dia menutup tahun sebelumnya dan membuka tahun baru dengan puasa. Allah jadikan puasa ini sebagai kaffarah dosanya selama 50 tahun.” Hadis ini adalah DUSTA dan KEBOHONGAN atas nama Nabi ﷺ.
 
Dalam hadis ini terdapat perawi bernama Ahmad bin Abdillah al-Harawi dan Wahb bin Wahb. As-Suyuthi menilai, keduanya perawi pendusta. [al-Lali’ al-Mashnu’ah, 2/92]. Penilaian yang sama juga disampaikan as-Syaukani dalam al-Fawaid al-Majmu’ah (hlm. 96).
 
Peringatan al-Hafidz Abu Syamah
 
Banyaknya amalan yang beredar di tengah masyarakat terkait tahun baru Hijriyah, menjadi sebab para ulama hadis mengingatkan masyarakat untuk menghindari amalan semacam itu. Di antaranya al-Hafidz Abu Syamah (w. 665 H), seorang Ahli Sejarah dan Ahli Hadis dari Damaskus. Dalam kitabnya al-Bahis ’ala Inkar al-Bida’ beliau menegaskan, bahwa berbagai hadis yang menyebutkan keutamaan amalan di akhir tahun atau awal tahun, semuanya hadis yang sama sekali tidak ada dalam kitab hadis (la ashla lahu). Dan derajat ini lebih parah dari pada hadis palsu.
 
Beliau mengatakan:
 
ولم يأت شيءٌ في أول ليلة المحرم، وقد فَتَّشْتُ فيما نقل من الآثار صحيحًا وضعيفًا، وفي الأحاديث الموضوعة فلم أر أحدًا ذكر فيها شيئًا، وإني لأتخوّف -والعياذ بالله- من مفترٍ يختلق فيها حديثًا
 
”Tidak ada riwayat apapun yang menyebutkan keutamaan malam pertama Muharam. Saya telah meneliti berbagai riwayat dalam kitab kumpulan hadis yang Sahih maupun yang Dhaif, atau dalam kumpulan hadis-hadis palsu, namun aku tidak menjumpai seorang pun yang menyebutkan hadis itu. Saya khawatir, wal iyadzu billah, hadis ini berasal dari pemalsu, yang membuat hadis palsu terkait tahun baru.” [al-Bahis ’ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits, hlm. 77]
 
Allahu a’lam
 
 
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
 
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
HUKUM PUASA PADA TANGGAL 1 MUHARAM
HUKUM PUASA PADA TANGGAL 1 MUHARAM