بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 
HUKUM PERAYAAN HARI IBU (MOTHER’S DAY)
 
Pernah ditanyakan kepada Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah tentang perayaan yang disebut Hari Ibu.
Apakah hukum perayaan ini halal atau haram?
Apakah boleh dirayakan dan boleh saling memberikan kado dalam rangka hari raya tersebut?
 
Berikut ini jawaban Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
 
Sesungguhnya semua perayaan hari yang MENYELISIHI hari-hari raya dalam syariat merupakan amalan bidah yang diada-adakan. Hal itu tidak pernah dikenal di zaman Salafus Saleh. Terkadang sumbernya bukan dari kaum Muslimin. Artinya, di samping merupakan amalan bidah, perayaan tersebut juga adalah tasyabbuh terhadap musuh-musuh Allah subhanahu wa taala.
 
Hari id atau hari-hari raya dalam syariat sudah makruf di kalangan umat Islam, yaitu Idulfitri, Iduladha, dan hari id tiap pekan (hari Jumat). Di dalam Islam TIDAK ADA perayaan hari, kecuali tiga hari tersebut. Maka dari itu, setiap perayaan hari yang dibuat-buat selain itu, berarti TERTOLAK atas pencetusnya dan BATIL menurut syariat Allah subhanahu wataala.
 
Dasarnya adalah hadis Aisyah radhiallahu ‘anha:
 
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
 
“Siapa yang mengadakan perkara baru dalam agama kami yang bukan dari agama ini, maka perkara itu ditolak.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
 
Dalam lafal yang lain:
 
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
 
“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami, amalannya tertolak.” [HR. Muslim]
 
Karena itu jelas, bahwa bahwa (perayaan Hari Ibu) tidak diperbolehkan. Pada hari yang dikatakan oleh penanya sebagai Hari Ibu, seorang Muslim tidak boleh menampakkan satu syiar pun di antara syiar-syiar hari raya (id), seperti bersenang gembira, saling memberi hadiah atau kado, dan yang semisalnya.
 
Seorang Muslim wajib berwibawa dan berbangga dengan agamanya. Hendaknya dia mencukupkan diri dengan apa yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam agama yang benar ini, sesuai dengan apa yang diridai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tidak perlu menambah atau mengurangi.
 
Semestinya juga seorang Muslim tidak suka ikut-ikutan dan mengikuti setiap kata orang. Namun seorang Muslim seharusnya memiliki kepribadian yang selalu mengikuti syariat Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan demikian, dia menjadi panutan, bukan ikut-ikutan. Dia menjadi suri teladan, bukan pengekor. Sebab, alhamdulillah, syariat Allah sudah sempurna dari segala aspek, sebagaimana firman-Nya:
 
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينًاۚ
 
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” [QS. al-Maidah: 3]
 
Selain itu, hak seorang ibu tidak hanya dihormati pada satu hari dalam setahun. Seorang ibu memiliki hak yang wajib ditunaikan oleh putra-putrinya, yaitu agar mereka memerhatikannya dan menaatinya pada urusan yang bukan maksiat kepada Allah ﷻ, setiap saat, di setiap tempat.
 
[Fatawa Nur ‘ala ad-Darb hlm. 34—35, terbitan Maktabah adh-Dhiya dan Fatawa ‘Ulama Baladil Haram hlm. 1025—1026]
 
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook:
https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
HUKUM PERAYAAN HARI IBU (MOTHER’S DAY)