“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” [QS. At-Tin: 4]
Al-Qurthubi mengatakan:
“في أحسن تقويم” وهو اعتداله واستواء شبابه، كذا قال عامة المفسرين
Makna: “bentuk yang sebaik-baiknya” adalah kesempurnaan dan keseimbangan fisik manusia ketika usia muda. Demikian keterangan umumnya ahli tafsir. [Tafsir Al-Qurthubi, 20/114]
Demikianlah keadaan manusia dibanding makhluk lainnya yang sama-sama memiliki kemampuan bergerak. Bentuk manusia jauh lebih baik dibanding mahluk lainnya.
Mengingat manusia diciptakan dalam bentuk yang sempurna, maka mereka dilarang untuk mengubah ciptaan Allah dari bentuk yang sempurna itu. Karena perbuatan semacam ini termasuk godaan setan. Sebagaimana yang Allah ﷻ tegaskan:
Setan itu mengatakan: “Aku benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk aku goda). Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya. Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. [QS. An-Nisa: 118 – 119]
Mengembalikan ke Bentuk Sempurna
Berdasarkan keterangan di atas, bahwa manusia diciptakan dalam bentuk sempurna dan tidak boleh mengubah ciptaan Allah yang sempurna itu, sebagian ulama kemudian menegaskan bahwa,
“Mengembalikan bentuk anggota badan yang tidak sempurna (baca: cacat) pada keadaan sesuai yang Allah ciptakan, tidak termasuk mengubah ciptaan Allah.”
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
Pertama, hadis dari Urfujah bin As’ad radhiyallahu ‘anhu:
Bahwa hidung beliau terkena senjata pada peristiwa perang Al-Kulab di zaman jahiliyah. Kemudian beliau tambal dengan perak, namun hidungnya malah membusuk. Kemudian Nabi ﷺ memerintahkannya untuk menggunakan tambal hidung dari emas. [HR. An-Nasai 5161, Abu Daud 4232, dan dinilai Hasan oleh Al-Albani).
Kedua, hadis dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
لُعنت الواصلة والمستوصلة والنامصة والمتنمصة والواشمة والمستوشمة من غير داء
“Dilaknat: orang yang menyambung rambut, yang disambung rambutnya, orang yang mencabut alisnya dan yang minta dicabut alisnya, orang yang menato dan yang minta ditato, selain karena penyakit.” [HR. Abu Daud 4170 dan disahihkan Al-Albani]
Dalam riwayat lain, dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
نهى عن النامصة والواشرة والواصلة والواشمة إلا من داء
Rasulullah ﷺ melarang orang mencukur alis, mengkikir gigi, menyambung rambut, dan mentato, kecuali karena penyakit. [HR. Ahmad 3945 dan sanadnya dinilai kuat oleh Syuaib Al-Arnaut).
As-Syaukani mengatakan:
قوله (إلا من داء) ظاهره أن التحريم المذكور إنما هو فيما إذا كان لقصد التحسين لا لداء وعلة، فإنه ليس بمحرم
Sabda Nabi ﷺ, ‘Kecuali karena penyakit’ menunjukkan bahwa keharaman yang disebutkan adalah jika tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan memerindah penampilan, BUKAN untuk menghilangkan penyakit atau cacat, karena semacam ini tidak haram. [Nailul Authar, 6/244]
Ketiga, hadis dari ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
“Semoga Allah melaknat orang yang menatao, yang minta ditato, yang mencabut alis, yang minta dikerok alis, yang merenggangkan gigi, untuk memerindah penampilan, yang mengubah ciptaan Allah. [HR. Bukhari 4886).
An-Nawawi mengatakan:
وأما قوله:(المتفلجات للحسن) فمعناه يفعلن ذلك طلباً للحسن، وفيه إشارةٌ إلى أن الحرام هو المفعول لطلب الحسن، أما لو احتاجت إليه لعلاجٍ أو عيبٍ في السن ونحوه فلا بأس
Sabda Nabi ﷺ: “Yang merenggangkan gigi untuk memperindah penampilan.” Artinya dia melakukan hal itu untuk mendapatkan penampilan yang baik. Dalam hadis ini terdapat isyarat, bahwa yang diharamkan adalah melakukan perenggangan gigi untuk memperindah penampilan. Namun jika dilakukan karena kebutuhan, baik untuk pengobatan atau karena cacat di gigi atau semacamnya, maka DIBOLEHKAN.” [Syarh Shahih Muslim, 14/107]
Keterangan An-Nawawi sangat jelas membedakan antara mengatur gigi untuk tujuan memerbagus penampilan, dan untuk tujuan menormalkan yang tidak normal. Mengatur gigi yang sudah teratur dan sudah normal, termasuk bentuk tidak rida dengan ciptaan Allah. Sementara merapikan gigi dalam rangka menormalkan yang cacat, termasuk mengembalikan ciptaan Allah pada kondisi yang lebih baik.
Demikian keterangan Prof. DR. Hisamuddin Affanah, sebagaimana yang dilansir di situs http://www.onislam.net/
Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)