بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
HUKUM IKLAN: SEBUAH TINJAUAN SYARIAH
Oleh: Syaikh Muhammad bin Ali al Kamili
Iklan atau promosi memiliki peran penting dalam memerkenalkan suatu produk, baik produk tersebut berwujud barang, program, ataupun sekadar menunjukkan keberadaan sebuah institusi. Pada masa ini, dengan semakin canggihnya teknologi informasi, pemaparan iklan memiliki banyak unsur yang bisa mendukungnya, sehingga mampu menampilkan bentuk iklan sedemikian rupa. Bukan saja hanya dengan tulisan, tetapi unsur audio dan video juga sangat membantu periklanan. Begitu pula adanya persaingan yang ketat, pemasang iklan pun tak lupa memberikan pariwara dengan bermacam hadiah yang menggiurkan konsumen.
Bagaimanakah tinjauan syariat dalam masalah iklan ini? Insya Allah tulisan berikut akan memberikan pemaparan, yang kami angkat dari risalah Syaikh Muhammad bin Ali al Kamili yang berjudul Ahkam al I’lanat at-Tijariyyah, Penerbit Daruth-Thayyibah al-Khadhra, Cetakan Tahun 2001. Diringkas dengan beberapa penjelasan seperlunya oleh Ustadz Hermawan as-Sundee.
Definisi
Kata iklan berasal dari bahasa Arab, yaitu i’lan, yang artinya pemberitahuan [Lisanul-‘Arab, Ibnu Manzhur, Juz 13]. Dalam ilmu bisnis, yang dimaksud dengan iklan ialah suatu aktivitas yang dilakukan oleh produsen, baik secara langsung ataupun tidak, untuk memerkenalkan produknya kepada khalayak (konsumen) melalui beragam media. Tujuannya yaitu untuk menambah atau meningkatkan permintaan atas produknya. [Kamus Ekonomi Perdagangan, As’as Sungguh]
Karena beberapa bentuk iklan menyertakan hadiah dengan beragam bentuknya, maka ada baiknya perlu diketahui juga definisi hadiah. Yang dalam bahasa Arab, hadiah disebut ja’izah atau jawa’iz, yang berarti pemberian [Lisanul-‘Arab, Ibnu Manzhur, bagian huruf jim waw zay, halaman 327-328. Lihat pula al-Qamus, Fairuz Abadi, halaman 651]. Adapun makna hadiah dalam pembahasan ini, yaitu suatu pemberian dari pihak produsen kepada konsumen, yang bentuknya sesuai dengan kehendak produsen, baik berupa barang ataupun jasa, baik secara langsung ataupun melalui suatu perlombaan, kuis, undian, dan sebagainya, baik secara cuma-cuma atau dengan syarat-syarat tertentu, sebagai sarana memromosikan produk [Terdapat perbedaan antara hadiah dalam konteks promosi dengan hadiah seperti yang dianjurkan oleh sebuah hadis yang mengatakan: “Lakukanlah saling memberi hadiah, karena hadiah itu menghilangkan kedengkian”. (HR Tirmidzi, no. 8997). Adapun dalam Bahasa Indonesia, istilah hadiah, mencakup hadiah promosi dan hadiah seperti yang dianjurkan hadis tadi, Pen].
Selain itu, untuk melengkapi pemahaman masalah ini, terlebih dahulu juga perlu diketahui definisi Maysir, Qimar, dan Gharar. Masalah-masalah ini akan banyak bersinggungan dengan hukum seputar periklanan.
Maysir secara bahasa berarti permainan dengan media anak panah. Adapun makna secara syariat, yaitu permainan, dan bagi pemenangnya disediakan sejumlah hadiah yang dikumpulkan dari orang-orang yang terlibat dalam permainan tersebut. [Lisanul-‘Arab, Ibnu Manzhur (5/298). Taisir al-Karimur-Rahman, ‘Abdurrahman as-Sa’di (1/515)]
Qimar secara bahasa berarti taruhan. Dalam hal ini terdapat unsur ketidakpastian, yaitu antara akan mendapatkan keuntungan atau kerugian, atau antara akan mendapatkan keuntungan atau impas, atau antara mengalami kerugian atau impas [Lisanul-‘Arab, Ibnu Manzhur (5/115), Qamus al-Muhith, Fairuz Abadi, halaman 598, al-Furusiyah, Ibnul Qayyim, halaman 194].
Sedangkan Gharar, secara bahasa berarti penipuan. Dalam istilah syariat diartikan sebagai sesuatu yang akibatnya majhul (tidak diketahui) dan tidak dapat diprediksikan sebelumnya. [Lisanul’-Arab (5/11), at-Ta’rifat, al-Jurjani, halaman 208]
Apakah antara Maysir dan Qimar terdapat perbedaan? Dalam masalah ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pada dasarnya keduanya DIHARAMKAN karena mengandung unsur ketidakpastian dalam hal perhitungan untung ruginya.
2. Kebanyakan para ulama tidak menyebutkan perbedaan antara keduanya. Sebagian yang lainnya ada yang memandang, bahwa Maysir lebih luas ketimbang Qimar. Kata mereka, Qimar merupakan salah satu dari Maysir. Jadi, setiap Qimar adalah Maysir, tetapi tidak sebaliknya.
Adapun hukumnya, ketiganya memiliki persamaan, yaitu HARAM. Ini ditegaskan dengan beragam dalil yang telah dijelaskan pada poin-poin tersebut.
Tinjauan Syariat
Memandang iklan yang amat beragam bentuk, media, dan penampilannya, maka Islam memiliki batasan-batasan berkaitan dengan masalah tersebut. Yang pada dasarnya berpijak pada kaidah “Menciptakan manfaat dan mencegah mudarat”. Ini tidak lain agar iklan tetap berada dalam koridor syariat, sejalan dengan kaidah yang berlaku, dan terjaganya Maqashidusy Syariah, yaitu melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Hukum Iklan Secara Umum
Secara umum, iklan yang mendatangkan manfaat diperbolehkan. Bahkan secara khusus, iklan terdapat dalam materi syariat sendiri. Misalnya mengiklankan pernikahan. Dan azan sendiri, yang setiap hari berkumandang merupakan “iklan” berkaitan dengan salat yang akan didirikan.
Sedangkan hukum iklan dari segi penampilannya, secara umum adalah sebagai berikut:
1. Iklan Yang Mengandung Penipuan (Mengelabui Konsumen) atau Gharar
Hukumnya adalah HARAM. Banyak dalil yang menegaskan keharaman tipu muslihat ini. Satu di antaranya adalah hadis berikut:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang siapa yang mengelabui (menipu) kami, maka ia bukan golongan kami.” [HR Muslim, no. 164].
Apabila produsen mengiklankan suatu produk secara berlebihan dan tidak sesuai dengan hakikat produknya, maka konsumen yang sudah terjebak membeli produknya tersebut berhak untuk mengembalikannya. Dan produknya sendiri terhitung sebagai barang yang cacat.
Juga bagi si pembeli ada dua alternatif, yaitu mengembalikan barang yang dibelinya, atau tidak mengembalikannya, tetapi meminta ganti rugi sesuai dengan nilai kekurangan barang tersebut.
2. Iklan Yang Disertai Musik
Hukumnya adalah haram. Sebab musik hukumnya haram. Keharamannya ditegaskan oleh sejumlah dalil. Di antaranya adalah hadis berikut:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِف
“Akan ada dari umatku segolongan yang menghalalkan perzinaan, sutra, yang memabukkan, dan musik…” [HR Bukhari, no. 5590]
3. Iklan Mempergunakan Gambar
Hukumnya tergantung kepada gambarnya. Berkaitan dengan pemakaian gambar ini, terdapat penjelasan sebagai berikut:
a. Gambar benda mati, hukumnya diperbolehkan karena tidak memiliki nyawa.
b. Gambar makhluk hidup. Berkaitan dengan gambar ini ada beberapa bentuk:
b.1. Berupa potongan dari makhluk hidup yang tidak memungkinkannya untuk hidup, misal gambar tangan, kaki, mata, dan lain-lain, maka hukumnya tidak haram. [Al-Mughni, Ibnu Qudamah (8/112), Fathul-Bari, Ibnu Hajar (10/401)]
b.2. Gambar sebagian atau utuh dari makhluk hidup yang memungkinkannya untuk hidup. Gambar seperti ini diharamkan. Keharamannya ditegaskan oleh sejumlah dalil. Di antaranya adalah sabda Nabi ﷺ berikut ini:
“كُلّ مُصَوّرٍ فِي النّارِ. يَجْعَلُ لَهُ، بِكُلّ صُورَةٍ صَوّرَهَا، نَفْساً فَتُعَذّبُهُ فِي جَهَنّمَ”.
وَقَالَ ابن عباس: إنْ كُنْتَ لاَ بُدّ فَاعِلاً، فَاصْنَعِ الشّجَرَ وَمَا لاَ نَفْسَ لَه
“Setiap pelukis (tukang menggambar) tempatnya adalah Neraka. Akan dijadikan pada setiap gambar yang dilukisnya memiliki nyawa dan mengazabnya di dalam Neraka Jahannam”.
Ibnu Abbas berkata: ”Apabila Anda harus menggambar, maka gambarlah pepohonan dan yang tidak memiliki nyawa.” [HR Bukhari, no. 2225]
Syaikh ‘Utsaimin berkata: ”Gambar ada dua jenis, yaitu gambar yang dihasilkan oleh tangan (lukisan tangan secara manual) dan gambar dengan alat (fotografi). Gambar dengan tangan hukumnya haram, bahkan termasuk dosa besar. Sedangkan gambar fotografi yang dihasilkan oleh kamera, dengan tanpa campur tangan manusia dalam perancangannya, maka ini menjadi perdebatan para ulama mutaakhirin. Ada yang memperbolehkannya dan ada juga yang melarangnya. Yang lebih hati-hati dalam masalah ini ialah menghindarinya, sebab termasuk perkara syubhat. [Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, Syaikh Muhammad Shalih al ‘Utsaimin (2/253)]
Dan yang tampak kuat adalah, wallahu a’lam, bahwa gambar fotografi hukumnya haram, sebab termasuk jenis gambar juga. [Fatwa Lajnah Da’imah (1/455)]
c. Sedangkan iklan yang berupa “gambar bergerak” (video), apabila hanya berupa gambar benda-benda tak bernyawa, hukumnya boleh.
Adapun iklan yang memergunakan gambar-gambar makhluk bernyawa (berdasarkan pendapat yang memperbolehkannya), maka patut memperhatikan batasan-batasan berikut.
c.1. Perempuan TIDAK DIBOLEHKAN tampil dalam iklan. Iklan yang tidak mengindahkannya, berarti haram.
c.2. Anak kecil diperbolehkan untuk tampil dalam iklan sepanjang aman dari fitnah.
c.3. Hewan dibolehkan ditampilkan, terkecuali yang haram, seperti anjing dan babi, apabila konteksnya memuliakan.
c.4. Laki-laki dibolehkan tampil dalam iklan dengan syarat tidak menampakkan aurat, berpakaian sopan, dan tidak tergambarkan auratnya, tidak ada unsur menyerupai wanita atau orang kafir, tidak berkaitan dengan hal-hal yang diharamkan, dan tidak mengundang perhatian perempuan.
4. Promosi Mempergunakan Media Suara
Secara umum, dalam masalah ini terdapat empat jenis suara. Yaitu: suara manusia, suara hewan, suara alat, dan suara alam.
a. Suara Manusia. Pembagiannya meliputi:
a.1. Suara Anak Kecil
Sebelum mencapai usia baligh, suara anak kecil tidak mengapa dipergunakan dalam iklan, sepanjang aman dari fitnah. Apabila menimbulkan fitnah, maka hukumnya haram. Selain itu, isi pembicaraannya pun hanya yang baik-baik, tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
a.2. Suara Lelaki Dewasa
Promosi dengan suara lelaki dewasa dibolehkan, dengan batasan-batasan: tidak disertai dengan hal-hal yang bertentangan dengan syariat, suara atau intonasinya tidak dibuat-buat (tamayyu’), apalagi sampai menyerupai wanita. Isi pembicaraannya pun baik dan beradab, serta tidak menimbulkan fitnah, baik dari sisi suaranya itu sendiri atau pemilik suaranya, atau keduanya sekaligus.
a.3. Suara Wanita
Suara wanita TIDAK DIBOLEHKAN untuk dilibatkan dalam iklan. Bukan sebuah kedaruratan jika suatu produk mesti diiklankan oleh wanita, karena yang lain bisa menggantikannya untuk mengiklankannya. Wanita diperintahkan untuk merendahkan suaranya. Wanita dilarang berbicara secara ‘menggoda’ atau lembut di hadapan para lelaki. Larangan ini karena dalam suara wanita dapat menimbulkan fitnah. Allah taala berfirman:
يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفاً
“Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”. [QS. al-Ahzab/33:32]
b. Suara Hewan
Tidak mengapa berpromosi memergunakan suara hewan. Tidak mengandung masalah apapun di dalamnya, sepanjang tidak untuk menakut-nakuti. Dan bisa saja hukumnya makruh, apabila suara yang dipergunakan adalah suara hewan yang kita disuruh berlindung darinya. Misalnya suara anjing dan keledai. Wallahu a’lam.
c. Suara Alat
Ada dua jenis, yaitu:
c.1. Suara Musik. Suara yang seperti ini diharamkan penggunaanya, sebagaimana sudah disinggung di muka.
c.2. Alat-alat lain yang tidak termasuk permainan melalaikan atau alat musik, misalnya mobil, motor, komputer, dan lain sebagainya. Penggunaan alat-alat semacam ini dibolehkan. Wallahu a’lam.
d. Suara Alam. Yang dimaksud misalnya suara angin, air, petir, dan sebagainya. Penggunaannya dibolehkan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: http://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Leave A Comment