بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
HUKUM-HUKUM PUASA BAGI MUSAFIR
Pertama: Keringanan Bagi Musafir
Musafir, orang yang melakukan perjalanan jauh, dibolehkan berbuka dan tidak diwajibkan berpuasa, berdasarkan dalil Alquran, As-Sunnah dan ijma’. Allah ta’ala berfirman:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan jauh (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain (di luar Ramadan).” [Al-Baqoroh: 184]
Dan firman Allah ta’ala:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [Al-Baqoroh: 185]
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ الصَّلَاةِ، أَوْ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ عَنِ الْمُسَافِرِ، وَعَنِ الْمُرْضِعِ، أَوِ الْحُبْلَى
“Sesungguhnya Allah ta’ala meringankan sebagian shalat atau separuh shalatdan puasa, dari musafir dan dari wanita menyusui, atau wanita hamil.” [HR. Abu Daud dari Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiyallahu’anhu, Shahih Abi Daud: 2083]
Al-‘Allaamah Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
وقد أجمع العلماء أنه يجوز للمسافر الفطر
“Ulama sepakat, bahwa dibolehkan bagi musafir untuk berbuka.” [Asy-Syarhul Mumti’, 6/326]
Kedua: Bolehkah Musafir Berpuasa?
Kondisinya ada tiga:
1) Apabila musafir berpuasa akan membahayakannya, atau sangat memberatkannya, maka hukumnya haram, sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ الله كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” [An-Nisa’: 29]
Dan firman Allah ta’ala:
وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” [Al-Baqoroh: 195]
Sahabat yang Mulia Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ، فَصَامَ النَّاسُ، ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ، حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ، ثُمَّ شَرِبَ، فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ: إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ، فَقَالَ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ، أُولَئِكَ الْعُصَاةُ
“Bahwa Rasulullah ﷺ keluar menuju Makkah di tahun Fathu Makkah pada waktu Ramadan. Beliau ketika itu sedang berpuasa. Sampai tiba di bukit lembah Al-Ghamim, dan manusia ketika itu juga berpuasa. Maka beliau meminta segelas air, lalu mengangkatnya, agar manusia dapat melihatnya. Kemudian beliau minum. Maka dikatakan kepada beliau setelah itu: Sesungguhnya sebagian manusia masih ada yang berpuasa. Beliau ﷺ bersabda: Mereka adalah orang-orang yang bermaksiat, mereka adalah orang-orang yang bermaksiat.” [HR. Muslim]
2) Apabila musafir berpuasa akan memberatkannya, namun ia masih mampu untuk berpuasa, maka hukumnya makruh, berdasarkan hadis Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma, beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ مَا هَذَا؟ فَقَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ لَيْسَ مِنَ البِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ
“Rasulullah ﷺ pernah melihat kerumunan orang, dan seseorang yang dinaungi (karena kepayahan). Beliau ﷺ pun bersabda: Ada apa dengannya? Mereka berkata: Dia sedang puasa. Maka beliau ﷺ bersabda: Tidak termasuk kebaikan, melakukan puasa ketika safar.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Dalam riwayat An-Nasaai:
إِنَّهُ لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ أَنْ تَصُومُوا فِي السَّفَرِ، وَعَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللهِ الَّتِي رَخَّصَ لَكُمْ فَاقْبَلُوهَا
“Sesungguhnya tidak termasuk kebaikan, kalian berpuasa ketika safar. Hendaklah terhadap keringanan dari Allah yang Dia berikan kepada kalian, terimalah.” [HR. An-Nasaai dalam As-Sunan Al-Kubro dari Jabir radhiyallahu’anhu, Shahihut Targhib: 1054]
Dan sabda Rasulullah ﷺ:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ
“Sesungguhnya Allah mencintai keringanan-keringanan dari-Nya diambil, sebagaimana Allah membenci kemaksiatan kepada-Nya dilakukan.” [HR. Ahmad dan Ibnu Hibban dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Shahihul Jaami’: 1886]
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata:
إذا اشتد الحر، وعظمت المشقة، تأكد الفطر، وكره الصوم للمسافر
“Apabila sangat panas dan berat bebannya, maka dimakruhkan bagi musafir untuk berpuasa.”[Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 15/237]
3) Apabila musafir berpuasa tidak membahayakannya dan tidak pula memberatkannya, atau kondisinya sama saja, baik berbuka atau berpuasa tidak ada bedanya, maka boleh baginya untuk berpuasa dan boleh berbuka, berdasarkan hadis Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata:
سَأَلَ حَمْزَةُ بْنُ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيُّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِر
“Hamzah bin Amr Al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang puasa ketika safar. Beliau ﷺ bersabda: Kalau kamu mau berpuasa silakan, dan kalau kamu mau berbuka, juga silakan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Juga hadis Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau berkata:
كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِرِ، وَلاَ المُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ
“Kami pernah melakukan safar bersama Nabi ﷺ. Maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang tidak puasa, dan orang yang tidak puasa tidak mencela orang yang berpuasa.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata:
ومن صام فلا حرج عليه إذا لم يشق عليه الصوم، فإن شق عليه الصوم كره له ذلك
“Barang siapa berpuasa, maka tidak ada dosa atasnya, apabila puasa tidak menyulitkannya. Namun apabila memberatkannya, maka dimakruhkan baginya berpuasa.” [Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 15/237]
Ketiga: Bagi Musafir yang Boleh Berbuka dan Boleh Berpuasa, Manakah yang Lebih Afdhal?
Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah menguatkan, bahwa yang afdhal baginya adalah berpuasa karena empat alasan: [Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/330 dan 6/343]
1) Rasulullah ﷺ pernah berpuasa ketika safar. Sahabat yang Mulia Abu Ad-Darda’ radhiyallahu’anhu berkata:
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِي يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الحَرِّ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا مَا كَانَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَابْنِ رَوَاحَةَ
“Kami keluar bersama Nabi ﷺ dalam sebagian safar beliau di hari yang sangat panas, sampai seorang laki-laki meletakkan tangannya di atas kepala karena sangat panasnya, dan tidak ada seorang pun di antara kami yang berpuasa selain Nabi ﷺ dan Abdullah bin Rowahah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
2) Berpuasa lebih cepat membebaskan diri dari kewajiban.
3) Berpuasa lebih mudah ketika dilakukan bersama-sama kebanyakan kaum Muslimin daripada melakukannya sendiri.
4) Berpuasa pada waktu Ramadan lebih afdhal.
Keempat: Jarak Safar yang Membolehkan Buka Puasa
Jarak safar yang membolehkan seseorang berbuka puasa adalah jarak safar yang membolehkannya mengqoshor shalat, yaitu meringkas shalat yang tadinya empat rakaat menjadi dua rakaat. Berapa jarak minimalnya?
Pendapat Pertama: Mayoritas ulama berpendapat, jarak minimalnya adalah kurang lebih 80 KM. Pendapat ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dan Al-Lajnah Ad-Daimah. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 10/203, no. 7652]
Pendapat Kedua: Sebagian ulama berpendapat, bahwa jarak safar dikembalikan kepada kebiasaan (‘urf) manusia. [Sebagai faidah seputar permasalahan ‘urf, lihat risalah ringkas kami yang berjudul “Al-‘Urf, Haqiqatuhu, wa Hujjiyyatuhu wa Tathbiqotuh”] Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 24/38-44] dan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahumallah. [Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 15/265 no. 1098]
Pendapat yang kuat, insya Allah, adalah pendapat kedua, karena tidak ada dalil yang shahih lagi sharih (tegas), yang menentukan jarak safar. Maka hal ini dikembalikan kepada kebiasaan manusia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
كُلُّ اسْمٍ لَيْسَ لَهُ حَدٌّ فِي اللُّغَةِ وَلَا فِي الشَّرْعِ فَالْمَرْجِعُ فِيهِ إلَى الْعُرْفِ فَمَا كَانَ سَفَرًا فِي عُرْفِ النَّاسِ فَهُوَ السَّفَرُ الَّذِي عَلَّقَ بِهِ الشَّارِعُ الْحُكْمَ
“Setiap nama yang tidak memiliki batasan dalam Bahasa, dan tidak pula dalam syariat, maka rujukan untuk menentukannya dikembalikan kepada kebiasaan. Maka apa yang dianggap safar menurut kebiasaan manusia, itulah safar yang dikaitkan dengan hukum oleh Penetap Syariat.” [Majmu’ Fatawa, 24/40-41]
Apabila Terjadi Perbedaan Kebiasaan Manusia dalam Penentuan Jarak Safar
Apabila seseorang sulit memastikan kebiasaan manusia dalam penentuan satu jarak safar karena perbedaan kebiasaan mereka, maka hendaklah kembali kepada pendapat Jumhur Ulama, yaitu 80 KM. Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
ولا حرج عند اختلاف العرف فيه أن يأخذ الإنسان بالقول بالتحديد؛ لأنه قال به بعض الأئمة والعلماء المجتهدين, فليس عليهم به بأس إن شاء الله تعالى, أما مادام الأمر منضبطاً فالرجوع إلى العرف هو الصواب
“Tidak mengapa ketika terjadi perbedaan kebiasaan dalam jarak tertentu, sehingga seseorang mengambil pendapat yang menentukan jarak safar, karena itu adalah pendapat sebagian imam dan ulama mujtahid, maka tidak mengapa insya Allah. Namun apabila perkaranya dapat dipastikan dengan kebiasaan, maka dikembalikan kepada kebiasaan, itulah yang benar.” [Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 15/265 no.1098]
Kelima: Kapan Musafir Mulai Berbuka?
Musafir baru dibolehkan berbuka ketika ia telah berstatus sebagai musafir. Misalkan seseorang berniat di malam hari untuk safar di siang hari, maka tidak boleh ia masuk waktu pagi dalam keadaan tidak berpuasa, karena ia baru meniatkan safar, belum melakukan safar. Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata:
وَاتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ فِي الْمُسَافِرِ فِي رَمَضَانَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُبَيِّتَ الْفِطْرَ لِأَنَّ الْمُسَافِرَ لَا يَكُونُ مُسَافِرًا بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا يَكُونُ مُسَافِرًا بِالْعَمَلِ وَالنُّهُوضِ فِي سَفَرِهِ
“Para Fuqoha sepakat dalam permasalahan musafir pada waktu Ramadan, bahwa ia TIDAK BOLEH bermalam dalam keadaan berniat tidak berpuasa, karena musafir tidak menjadi musafir dengan sekedar berniat safar, tetapi dengan perbuatan dan mulai melakukan safarnya.” [At-Tamhid, 22/49]
Keenam: Di Mana Musafir Boleh Berbuka?
Pendapat Pertama: Apabila sudah meninggalkan perumahan kampungnya. Ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah. [Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/346]
Pendapat Kedua: Apabila sudah siap melakukan safar, walau masih berada di kampungnya. Ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. [Lihat risalah beliau yang berjudul “Tashih Hadis Ifthoris Shooim Qobla Safarihi wa Ba’dal Fajri”]
Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat yang kedua, berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya dari Al-Imam Muhammad bin Ka’ab rahimahullah, beliau berkata:
أَتَيْتُ أَنَسَ بْنِ مَالِكٍ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ سَفَرًا، وَقَدْ رُحِلَتْ لَهُ رَاحِلَتُهُ، وَلَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ، فَدَعَا بِطَعَامٍ فَأَكَلَ، فَقُلْتُ لَهُ: سُنَّةٌ؟ قَالَ: سُنَّةٌ ثُمَّ رَكِبَ
“Aku mendatangi Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pada waktu Ramadan dan beliau ingin melakukan safar. Kendaraannya pun telah disiapkan, dan beliau telah mengenakan pakaian safar. Maka beliau meminta makanan, lalu memakannya. Aku pun berkata kepadanya: Apakah ini sunnah? Beliau berkata: Ya sunnah. Kemudian beliau naik kendaraan.” [HR. At-Tirmidzi, Shahih At-Tirmidzi, 1/419]
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata:
وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ إِلَى هَذَا الحَدِيثِ، وَقَالُوا: لِلْمُسَافِرِ أَنْ يُفْطِرَ فِي بَيْتِهِ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَقْصُرَ الصَّلاَةَ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْ جِدَارِ الْمَدِينَةِ أَوِ القَرْيَةِ، وَهُوَ قَوْلُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ الحَنْظَلِيِّ
“Sebagian ulama yang berdalil dengan hadis ini, mereka berkata: Boleh bagi musafir untuk berbuka di rumahnya sebelum keluar, tetapi tidak boleh baginya meng-qoshor shalat sampai ia keluar dari perumahan kotanya atau kampungnya. Ini adalah pendapat Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali.” [Sunan At-Tirmidzi, 2/155]
Ketujuh: Apabila Musafir Singgah di Suatu Negeri, Masih Bolehkah Baginya untuk Tidak Puasa?
Pendapat Pertama: Bolehnya berbuka hanya bagi musafir yang tinggal sementara di suatu negeri dalam waktu kurang dari empat hari. Apabila lewat empat hari, maka wajib baginya puasa, dan tidak boleh lagi meng-qoshor shalat. Pendapat ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah. [Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 12/276]
Pendapat Kedua: Selama apa pun boleh baginya berbuka selama ia tidak berniat mukim. Pendapat ini yang dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. [Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 24/18]
Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat yang kedua, karena tidak ada dalil shahih dan sharih yang menunjukkan penentuan batas waktu bagi musafir yang singgah di satu negeri. Maka selama ia tidak menetap, statusnya masih musafir, berlaku baginya hukum-hukum musafir terkait shalat dan puasa. Dan terdapat banyak riwayat para sahabat dan tabi’in yang tinggal sementara di satu negeri selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun dalam keadaan meng-qoshor shalat, karena mereka tidak berniat untuk menetap atau bermukim.
Kedelapan: Apakah Orang yang Melakukan Safar dengan Pesawat Masih Boleh Berbuka?
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata:
ولا حرج فيه سواء كانت وسائل النقل مريحة أو شاقة لإطلاق الأدلة
“Tidak apa-apa bagi musafir untuk berbuka. Sama saja apakah sarana transportasinya nyaman atau tidak nyaman, berdasarkan keumuman dalil-dalil (tidak memberikan pengecualiaan terhadap jenis transportasi tertentu).” [Majmu’ Al-Fatawa, 15/236]
Kesembilan: Apabila Musafir Kembali Pulang di Siang Hari dalam Keadaan Tidak Berpuasa, Bolehkah Baginya Makan, Minum dan Berhubungan Suami Istri?
Tidak sah baginya berpuasa apabila telah masuk waktu pagi dalam keadaan berbuka, atau tadinya berpuasa kemudian telah berbuka karena safar. Tetapi bolehkah ia makan, minum dan berhubungan suami istri apabila telah sampai ke rumahnya?
Pendapat Pertama: Tidak boleh karena statusnya bukan lagi musafir. Pendapat ini dikuatkan Al-Lajnah Ad-Daimah. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/210 no. 1954]
Pendapat Kedua: Boleh karena ia berbuka dengan sebab yang dibolehkan syariat. Pendapat ini dikuatkan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah. [Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 6/409]
Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat kedua, karena tidak ada dalil shahih lagi sharih yang mengharuskannya untuk menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami istri dalam keadaan ia tidak berpuasa. Dan terdapat beberapa riwayat dari Salaf yang menguatkan pendapat ini. Sahabat yang Mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata:
من أفطر أول النهار فليفطر آخره
“Barang siapa dibolehkan berbuka di awal hari, maka boleh baginya berbuka di akhirnya.”[Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, 3/54]
Al-Imam Malik dan Asy-Syafi’i rahimahumallah berkata:
وَلَوْ قَدِمَ مُسَافِرٌ فِي هَذِهِ الْحَالِ فَوَجَدَ امْرَأَتَهُ قَدْ طَهُرَتْ جَازَ لَهُ وَطْؤُهَا
“Andai seorang musafir kembali dalam keadaan seperti ini, lalu ia mendapati istrinya baru bersih dari haid (dan tidak berpuasa karena haid), maka boleh baginya untuk menggauli istrinya tersebut.” [At-Tamhid, 22/53]
Ats-Tsauri meriwayatkan dari Abu Ubaid, dari Jabir bin Zaid rahimahumullah:
أَنَّهُ قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فَوَجَدَ الْمَرْأَةَ قَدِ اغْتَسَلَتْ مِنْ حَيْضَتِهَا فَجَامَعَهَا
“Bahwa beliau ketika pulang dari safar pada waktu Ramadan, mendapati istrinya baru mandi besar dari haidnya, maka beliau menggaulinya.” [At-Tamhid, 22/53]
Peringatan: Suami istri yang melakukan safar bersama pada waktu Ramadan boleh berhubungan suami istri, karena tidak wajib bagi mereka berpuasa. Akan tetapi bila mereka melakukan safar hanya untuk mendapatkan keringanan berhubungan suami istri, maka dosa mereka lebih besar, karena mereka telah membatalkan puasa dengan berjima’ dan melakukan tipu daya dalam syariat. Dan wajib atas mereka untuk bertaubat kepada Allah ta’ala dan membayar kaffaroh, sebagaimana akan datang pembahasannya lebih detail insya Allah ta’ala.
Kesepuluh: Apa Kewajiban Musafir yang Tidak Berpuasa?
Kewajibannya hanyalah meng-qodho’ sejumlah hari yang ia tidak berpuasa padanya pada waktu Ramadan, sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [Al-Baqoroh: 185]
Termasuk orang-orang yang bekerja dalam keadaan safar seperti supir, pilot dan yang semisalnya, maka boleh bagi mereka untuk berbuka dan meng-qoshor shalat, dan kewajiban mereka hanyalah meng-qodho’ puasa setelah bulan Ramadan, selain di hari-hari yang terlarang berpuasa, yaitu dua hari raya dan hari-hari Tasyriq. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/212.]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Penulis: Al-Ustadz Sofyan Chalid Ruray hafizhahullah
Sumber:
https://web.facebook.com/sofyanruray.info/posts/805016959647788:0
Leave A Comment