بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 
HUKUM HARI PERAYAAN KEMERDEKAAN (YAUMUL WATHANI)
 
Sebelumnya perlu dipahami dahulu pengertian Id. Id adalah hari perayaan yang dilakukan secara rutin, baik setiap tahun, setiap bulan, atau setiap pekan. Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam dalam kitab Iqtidha Shiratil Mustaqim. Sehingga dari pengertian ini, yaumul wathoni (hari perayaan kemerdekaan) termasuk Id, karena berulang setiap tahun sekali.
 
Benar sekali bahwa Id ini bisa jadi terkait dengan perkara ibadah seperti Idul Fitri atau Idul Adha. Dan bisa juga terkait dengan perkara non-ibadah seperti perayaan ulang tahun, perayaan hari kemerdekaan, perayaan tahun baru, dll. Namun perlu diketahui, bahwa Rasulullah ﷺ menyatakan, bahwa Id adalah bagian dari agama. Rasulullah ﷺ bersabda:
 
إن لكل قوم عيدا ، وهذا عيدنا
 
“Setiap kaum memiliki Id sendiri, dan Idul Fitri ini adalah Id kita (kaum Muslimin)” [HR. Bukhari no. 952, 3931, Muslim no. 892]
 
Dari hadis di atas jelas sekali, Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa Id adalah ciri dari suatu kaum. Dan Id yang menjadi ciri dari kaum Muslimin adalah Idul Fitri dan Idul Adha, sebagaimana diungkapkan dalam hadis:
 
الفطر يوم يفطر الناس ، والأضحى يوم يضحي الناس
 
“’Idul Fitri adalah hari berbuka puasa, Idul Adha adalah hari menyembelih” [HR. Tirmidzi no.802, disahihkan Al Albani dalam Sahih At Tirmidzi]
 
Nah, jika Id yang menjadi ciri kaum Muslimin adalah hanya Idul Adha dan Idul Fitri, maka Id yang lain adalah ciri dari kaum selain kaum Muslimin. Itulah sebabnya para ulama menghukumi perayaan-perayaan semacam perayaan hari kemerdekaan sebagai tasyabbuh (menyerupai kaum non-Muslim). Dan tasyabbuh sudah tegas dan jelas hukumnya dengan hadis:
 
من تشبه بقوم فهو منهم
 
“Orang yang menyerupai suatu kaum, seolah ia bagian dari kaum tersebut” [HR. Abu Daud, 4031, dihasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, disahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152]
 
Selain itu, pada hadis pertama tadi Rasulullah ﷺ menyatakan, bahwa Id adalah bagian dari agama. Artinya, bahwa dalam Id mengandung perkara ibadah. Oleh karena itu para ulama juga menghukumi perayaan-perayaan semacam perayaan hari kemerdekaan sebagai perkara bidah. Dan bidah telah jelas hukumnya dalam hadis:
 
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد
 
“Orang yang membuat perkara baru dalam agama ini, maka amalannya tersebut tertolak” [HR. Bukhari, no. 2697]
 
Sebagian orang mungkin belum mau menerima penjelasan, bahwa dilarang membuat hari-hari perayaan selain dua hari raya tersebut, karena termasuk tasyabbuh dan bidah. Namun andaikan mereka menolak bahwa perayaan tersebut termasuk tasyabbuh dan bidah, maka terdapat larangan khusus mengenai hal ini, yaitu Rasulullah ﷺ melarang umatnya membuat Id baru selain dua hari Id yang sudah ditetapkan syariat. Hal ini diceritakan oleh Anas bin Malik radhiallahu’anhu:
 
قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال ما هذان اليومان قالوا كنا نلعب فيهما في الجاهلية فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الأضحى ويوم الفطر
 
“Di masa Rasulullah ﷺ baru hijrah ke Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya yang biasanya di hari itu mereka bersenang-senang.
 
Rasulullah ﷺ bertanya: ‘Perayaan apakah yang dirayakan dalam dua hari ini?’
Warga Madinah menjawab: ‘Pada dua hari raya ini, dahulu di masa Jahiliyyah kami biasa merayakannya dengan bersenang-senang.’
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sungguh Allah telah mengganti hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” [HR. Abu Daud, 1134, dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/119, disahihkan Al Albani dalam Sahih Abi Daud, 1134]
 
Dalam hadis ini, Id yang dirayakan oleh warga Madinah ketika itu bukanlah hari raya yang terkait ibadah. Bahkan hari raya yang hanya hura-hura dan senang-senang. Namun tetap dilarang oleh Rasulullah ﷺ. Ini menunjukkan terlarangnya membuat Id baru selain dua hari Id yang sudah ditetapkan syariat, baik Id tersebut tidak terkait dengan ibadah, maupun terkait dengan ibadah.
 
Fatwa Para Ulama
 
Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta’
 
 
ما كان من ذلك مقصوداً به التنسك والتقرب ، أو التعظيم كسباً للأجر ، أو كان فيه تشبه بأهل الجاهلية ، أو نحوهم من طوائف الكفار : فهو بدعة محدثة ممنوعة ، داخلة في عموم قول النبي صلى الله عليه وسلم : (من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد) رواه البخاري ومسلم.
مثال ذلك : الاحتفال بعيد المولد ، وعيد الأم ، والعيد الوطني ؛ لما في الأول من إحداث عبادة لم يأذن بها الله ، ولما في ذلك من التشبه بالنصارى ونحوهم من الكفرة ، ولما في الثاني والثالث من التشبه بالكفار
 
“Kemudian jika Id diselenggarakan dalam rangka taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah dan mengharap pahala serta pengagungan sesuatu, atau di dalamnya terdapat unsur tasyabbuh kepada orang Jahiliyyah atau semacam mereka, misalnya menyerupai orang kafir, maka yang demikian ini termasuk bidah dan terlarang, karena termasuk dalam keumuman sabda Nabi ﷺ: “Orang yang membuat perkara baru dalam agama ini, maka amalannya tersebut tertolak” [HR. Bukhari-Muslim]
 
Contohnya perayaan Maulid Nabi, perayaan Hari Ibu, dan perayaan Hari Kemerdekaan. Contoh yang pertama, termasuk membuat-buat ritual ibadah baru yang tidak diizinkan oleh Allah. Yang demikian juga merupakan tasyabbuh terhadap orang Nasrani dan kaum kuffar lainnya. Sedangkan contoh kedua dan ketiga, termasuk tasyabbuh terhadap kaum kuffar.” [Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 3/88]
 
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz
 
أما اليوم الوطني والاحتفال بيوم وطني أو في أي يوم أو في ليلة الرغائب كل هذا بدعة كلها من البدع ومن التشبه بأعداء الله
 
“Adapun Yaumul Wathani atau perayaan Yaum Wathani, atau perayaan Malam Raghaib, semua ini merupakan kebidahan, dan menyerupai kebiasaan para musuh Allah.” [Sumber: binbaz.org.sa]
 
Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
 
ومن ذلك تقليدهم في الأعياد الشركية والبدعية كأعياد الموالد عند مولد الرسول صلى الله عليه وسلم وأعياد موالد الرؤساء والملوك ، وقد تسمى هذه الأعياد البدعية أو الشركية بالأيام أو الأسابيع – كاليوم الوطني للبلاد
 
“Di antara bentuk mengekor kepada orang kuffar dalam mengadakan perayaan-perayaan yang mengandung syirik dan bidah adalah seperti perayaan Maulid Nabi di hari kelahiran Rasulullah ﷺ. Demikian juga perayaan di hari-hari kelahiran para tokoh dan pemimpin. Terkadang perayaan ini dinamakan dengan ‘Hari Perayaan’ atau kadang dengan ‘Pekan Raya’. Contohnya seperti perayaan hari kemerdekaan.” [Dari khotbah beliau berjudul “Al Hatsu ‘ala Mukhalafatil Kuffar”, bisa dilihat di: https://khutabaa.com/khutabaa-section/corncr-speeches/172870]
 
Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
 
إن كل الأعياد التي تخالف الأعياد الشرعية كلها أعياد بدع حادثة ، لم تكن معروفة في عهد السلف الصالح ، وربما يكون منشؤها من غير المسلمين أيضا ، فيكون فيها مع البدعة مشابهة أعداء الله سبحانه وتعالى ، والأعياد الشرعية معروفة عند أهل الإسلام ؛ وهي عيد الفطر ، وعيد الأضحى ، وعيد الأسبوع ” يوم الجمعة ” ، وليس في الإسلام أعياد سوى هذه الأعياد الثلاثة
 
“Semua perayaan yang bertentangan dengan perayaan-perayaan yang syari, semua adalah perayaan yang bidah. Tidak dikenal di zaman Salafus Shalih. Dan terkadang awal kemunculannya berasal dari kaum non-Muslim. Sehingga selain bidah, perayaan seperti itu juga menyerupai musuh-musuh Allah subhanahu wa taala. Dan perayaan yang disyariatkan dalam Islam adalah: Idul Fitri, Idul Adha, dan hari raya pekanan yaitu Jumat. Dalam Islam tidak ada hari raya lagi selain tiga hari raya ini.” [Majmu Fatawa Ibnu Al Utsaimin, 2/301]
 
Maka tidak selayaknya mengikuti perayaan-perayaan demikian. Lebih lagi ketika di dalamnya banyak sekali hal yang bertentangan dengan syariat, seperti musik, ikhtilath (campur-baur lelaki dan wanita), berjoget, dll.
 
Adapun sebagian fatwa ulama yang membolehkan Id yang sifatnya duniawi (bukan religi), maka ini keliru karena:
 
• Dalam hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengenai hari raya Nairuz dan Mahrajan, Nabi ﷺ tetap melarangnya, walaupun isinya hanya senang-senang, bukan hari raya agama
• Nabi ﷺ bersabda: “Setiap kaum memiliki Id”. Maka Id adalah ciri khas suatu kaum, baik sifatnya duniawi atau pun religi. Sehingga termasuk dalam hadis larangan tasyabbuh.
• Menyelisihi fatwa para ulama kibar
• Membuka pintu untuk membolehkan perayaan-perayaan seperti: hari ulang tahun, Hari Ibu, Hari Valentine, Halloween, dll. yang sifatnya hanya perkara duniawi.
 
Namun jangan disalah-pahami, bahwa kami tidak cinta kepada Indonesia, dan tidak bersyukur dengan kemerdekaan. Tentu saja kita sangat-sangat bersyukur kepada Allah atas nikmat kemerdekaan dan keamanan yang besar ini. Dan kami sangat cinta Indonesia sebagai negeri kaum Muslimin dan negeri tempat kami lahir. Namun menurut kami rasa syukur dan rasa cinta ini tidak mesti diungkapkan dengan bentuk suatu perayaan yang ternyata ini dilarang oleh syariat. Namun rasa syukur dan rasa cinta kita ungkapkan dengan:
 
• Memberikan kontribusi bagi kemajuan dan pembangunan tanah air sesuai kemampuan.
• Memberikan manfaat dan kontribusi positif kepada masyarakat Indonesia sesuai kemampuan.
• Berusaha menaati peraturan-peraturan negara selama tidak bertentangan dengan agama. Misalnya: taat aturan lalu lintas, taat administrasi (memiliki KTP, KK, akta lahir), memelihara fasilitas umum, dll.
• Menjaga kesehatan lingkungan: tidak merokok, tidak buang sampah sembarangan, meminimalisir polusi, dll
• Memajukan pendidikan anak bangsa dan ikut berupa mencerdaskan masyarakat.
• Menggunakan produk dalam negeri dan memajukan usaha local.
• Menjadi penghasil devisa negara.
• Menjaga keamanan tanah air, mencegah terorisme dalam bentuk apapun, dan penjajahan asing.
 
Dan perkara-perkara lain yang lebih konkret daripada sebuah perayaan.
Semoga Allah taala memberikan keberkahan kepada tanah air kita, dan menjaganya dari makar orang-orang yang menyimpang dan para perusak.
Wallahu a’lam.
 
 
Sumber: @fawaid_kangaswad
 
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
HUKUM HARI PERAYAAN KEMERDEKAAN (YAUMUL WATHANI)