بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#Adab_Akhlak

HUKUM DAN ADAB SEPUTAR HUJAN

Bismillah was sholatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Berikut ini adalah beberapa amalan sunnah ketika hujan turun:

Pertama: Merasa takut ketika melihat mendung gelap

Di antara kebiasaan Nabi ﷺ, beliau sangat takut ketika melihat mendung yang sangat gelap. Karena kehadiran mendung gelap merupakan mukadimah azab yang Allah berikan kepada umat-umat di masa silam. Sebagaimana yang terjadi pada kaum ‘Ad. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى نَاشِئًا فِى أُفُقِ السَّمَاءِ تَرَكَ الْعَمَلَ وَإِنْ كَانَ فِى صَلاَةٍ ثُمَّ يَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا ». فَإِنْ مُطِرَ قَالَ « اللَّهُمَّ صَيِّبًا هَنِيئًا »

“Nabi ﷺ apabila melihat awan gelap di ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya, meskipun dalam sholat. Lalu beliau ﷺ membaca:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا

ALLAHUMMA INNI A’UDZUBIKA MIN SYARRIHA

Artinya:

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya.”

Apabila turun hujan, beliau membaca:

اللَّهُمَّ صَيِّبًا هَنِيئًا

ALLAHUMMA SHAYYIBAN HANI’A

Artinya:

Ya Allah jadikanlah hujan ini sebagi hujan yang bermanfaat (HR. Abu Daud 5101 dan dishahihkan al-Albani)

Mengapa Nabi ﷺ meninggalkan semua aktivitasnya?

Karena beliau ﷺ takut. Beliau ﷺ keluar masuk rumah sambil berdoa memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan awan itu.

A’isyah Radhiyallahu ‘anha menceritakan:

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا رَأَى مَخِيلَةً فِى السَّمَاءِ أَقْبَلَ وَأَدْبَرَ وَدَخَلَ وَخَرَجَ وَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ ، فَإِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ سُرِّىَ عَنْهُ ، فَعَرَّفَتْهُ عَائِشَةُ ذَلِكَ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « مَا أَدْرِى لَعَلَّهُ كَمَا قَالَ قَوْمٌ ( فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ .

Apabila Nabi ﷺ melihat mendung gelap di langit, beliau tidak tenang, keluar masuk, dan wajahnya berubah. Ketika hujan turun, baru beliau ﷺ merasa bahagia. A’isyahpun bertanya kepada beliau apa sebabnya. Jawab Nabi ﷺ:

“Saya tidak tahu ini mendung seperti apa. Bisa jadi ini seperti yang disampaikan kaum ‘Ad: “Tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami”. (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta, supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih” (HR. Bukhari 3206).

Kedua: Membaca doa ketika ada angin kencang

Ketika ada angin kencang, dianjurkan membaca doa:

 اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا، وَخَيْرَ ماَ فِيْهَا، وَخَيْرَ ماَ أُرْسِلَتْ بِهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا، وَشَرِّ مَا فِيْهَا، وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ.

ALLAHUMMA INNI AS ‘ALUKA KHOYROHA WAKHOYRO MAA FII HAA, WA KHOYRO MAA URSILAT BIHI, WA-A’UDZUBIKA MIN SYARRIHA, WA SYARRI MAA FII HAA WA SYARRI MA URSILAT BIHI

Artinya:

Ya Allah, aku memohon kepadamu kebaikan angin ini, kebaikan yang dibawa angin ini, dan kebaikan angin ini diutus. Dan aku berlindung kepada-Mu, dari keburukan angin ini, keburukan yang dibawa angin ini, dan keburukan angin ini diutus (HR. Muslim 2122)

A’isyah Radhiyallahu ‘anha menceritakan:

كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا عَصَفَتِ الرِّيحُ قَالَ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ »

Apabila ada angin bertiup, Nabi ﷺ membaca doa: [doa tersebut di atas]

Ketiga: Membaca doa ketika hujan turun

Ketika hujan turun, dianjurkan membaca:

اللَّهُمَّ صَيِّباً ناَفِعاً

ALLAHUMMA SHOYYIBAN NAAFI’AAN

Artinya:

Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaatPost

Dari Ummul Mukminin, A’isyah radhiyallahu ‘anha:

إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ: اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً

”Nabi ﷺ ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan: “Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].” (HR. HR. Ahmad no. 24190, Bukhari no. 1032, dan yang lainnya).

Dalam riwayat lain, beliau ﷺ membaca:

اللَّهُمَّ صَيِّبًا هَنِيئًا

ALLAHUMMA SHOYYIBAN HANI’AN

Artinya:

Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat

Keempat: Perbanyak doa ketika turun hujan

Dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ

“Dua doa yang tidak akan ditolak: Doa ketika azan dan doa ketika ketika hujan turun.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi; dan dihasankan al-Albani; lihat Shahihul Jami’, no. 3078)

Turunnya Hujan, Kesempatan Terbaik untuk Memanjatkan Doa

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni mengatakan: “Dianjurkan untuk berdoa ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ: عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ

’Carilah doa yang mustajab pada tiga keadaan: Bertemunya dua pasukan, Menjelang sholat dilaksanakan, dan Saat hujan turun.” (al-Mughni, 2/294)

Kelima: Ngalap berkah dari air hujan

Dalam Alquran, Allah menyebut hujan sebagai sesuatu yang diberkahi:

وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ

Kami turunkan dari langit air yang berkah (banyak manfaatnya), lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam. (QS. Qaf: 9)

Di antara bentuk ngalap berkah (tabarruk) yang diperbolehkan dalam syariat adalah ngalap berkah dengan air hujan. Bentuknya dengan menghujankan sebagian anggota tubuh kita. Mengapa ini diizinkan? Jawabnya, karena Nabi ﷺ pernah melakukannya.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan:

“Kami pernah kehujanan bersama Rasulullah ﷺ. Lalu Rasulullah ﷺ menyingkap bajunya, lalu beliau ﷺ guyurkan badannya dengan hujan. Kami pun bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa Anda melakukan demikian?” Jawab Rasulullah ﷺ:

لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى

“Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan.” (HR. Ahmad 12700, Muslim 2120, dan yang lainnya).

An Nawawi menjelaskan:

ومعناه أَنَّ الْمَطَرَ رَحْمَةٌ وَهِيَ قَرِيبَةُ الْعَهْدِ بِخَلْقِ اللَّهِ تَعَالَى لَهَا فَيُتَبَرَّكُ بِهَا

“Makna hadis ini adalah hujan itu rahmat. Rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Nabi ﷺ bertabaruk (mengambil berkah) darinya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/195).

Kapan Dianjurkan Ngalap Berkah?

Kita simak keterangan an Nawawi:

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلِيلٌ لِقَوْلِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ عِنْدَ أَوَّلِ الْمَطَرِ أَنْ يَكْشِفَ غَيْرَ عَوْرَتِهِ لِيَنَالَهُ الْمَطَرُ

“Dalam hadis ini terdapat dalil yang mendukung pendapat ulama Syafi’iyah tentang anjuran menyingkap bagian badan selain aurat pada awal turunnya hujan, agar bisa terguyur air hujan.” (Syarh Shahih Muslim, 6/196).

Contoh Bentuk Ngalap Berkah dengan Hujan

Praktik ngalap berkah ketika turun hujan juga dilakukan oleh Ibnu Abbas. Ketika hujan turun, Ibnu Abbas menyuruh pembantunya (Jariyah) untuk mengeluarkan barang-barangnya, agar terkena hujan.

Dari Ibnu Abi Mulaikah, dari Ibnu ‘Abbas:

أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ، يَقُوْلُ: “يَا جَارِيَّةُ ! أَخْرِجِي سَرْجِي، أَخْرِجِي ثِيَابِي، وَيَقُوْلُ: وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكاً

“Apabila turun hujan, beliau mengatakan: ”Wahai jariyah keluarkanlah pelanaku, juga bajuku”.” Lalu beliau membaca (ayat):

وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكاً

“Dan Kami menurunkan dari langit, air yang penuh barokah (banyak manfaatnya).” (QS. Qaaf: 9).” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 1228 dan dinyatakan Shahih Mauquf, sampai Ibnu Abbas).

Keenam: Membaca doa ketika melihat atau mendengar suara petir

Doa ini menunjukkan pengagungan kita kepada Allah. Di saat kita terheran karena melihat fenomena alam yang mengerikan, kita memuji Allah yang telah menciptakannya.

Di antara doa yang dianjurkan untuk kita baca, doa ketika melihat atau mendengar petir:

سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ

SUBHAANALLADZI YUSABBIHUR RO’DU BIHAMDIHI WAL MALAAIKATU MIN KHIIFATIHI

Artinya:

Maha Suci Dzat, petir itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya

Dari Amir, dari ayahnya Abdullah bin Zubair:

أَنَّهُ كَانَ إِذَا سَمِعَ الرَّعْدَ تَرَكَ الْحَدِيثَ وَقَالَ سُبْحَانَ الَّذِى يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ. ثُمَّ يَقُولُ إِنَّ هَذَا لَوَعِيدٌ لأَهْلِ الأَرْضِ شَدِيدٌ

Apabila beliau mendengar petir, beliau berhenti bicara. Lalu membaca doa di atas. Kemudian beliau mengatakan: ‘Sungguh ini adalah ancaman keras bagi penduduk bumi.’ (al-Muwatha’, Malik, no. 1839 dan dihahihkan al-Albani dalam Shahih al-Kalim at-Thayib).

Ketujuh: Ketika Terjadi Hujan Lebat

Ketika turun hujan, kita berharap agar hujan yang Allah turunkan menjadi hujan yang mendatangkan berkah dan bukan hujan pengantar musibah. Karena itu, ketika hujan datang semakin lebat, dan dikhawatirkan membahayakan lingkungan, kita berdoa memohon, agar hujan dialihkan ke daerah lain, agar lebih bermanfaat.

Di Madinah pernah terjadi hujan satu pekan berturut-turut, hingga banyak tanaman yang rusak dan binatang kebanjiran. Para sahabat meminta pada Nabi ﷺ supaya berdoa agar cuaca kembali menjadi cerah. Akhirnya beliau ﷺ berdoa:

اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

ALLAHUMMA HAWAALAINA WA LAA ’ALAINA. ALLAHUMMA ’ALAL AAKAMI WAL JIBAALI, WAZH ZHIROOBI, WA BUTHUNIL AWDIYATI, WA MANAABITISY SYAJARI

Artinya:

Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan membahayakan kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan.” (HR. Bukhari 1013 & Muslim 2116).

Kedelapan: Jangan Mencela Hujan

Sebagian orang merasa dirugikan ketika musim hujan. Tertuama mereka yang aktivitasnya dilakukan pada cuaca cerah. Memang benar, tidak semua yang terjadi di sekitar kita sesuai dengan yang kita harapkan. Terkadang kita berharap langit cerah, namun Allah turunkan hujan. Dan sebaliknya. Namun apakah kehendak Allah harus bergantung kepada kehendak kita?

Hati bisa saja sedih dengan kondisi tidak nyaman yang kita alami karena hujan. Namun jangan sampai kesedihan ini menyebabkan kita menjadi murka dan marah dengan takdir Allah. Terlebih, jaga lisan baik-baik, jangan sampai mengeluarkan kata celaan terhadap hujan yang Allah turunkan.

Terkadang kita tidak sadar, ucapan kita bisa menjadi sebab diri kita tergelincir ke dalam Neraka. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً ، يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ

“Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang mengundang ridha Allah, yang tidak sempat dia pikirkan, namun Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu. Sebaliknya, ada hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang membuat Allah murka dan tidak pernah dia pikirkan bahayanya, lalu dia dilemparkan ke dalam Jahannam.” (HR. Ahmad 8635, Bukhari 6478, dan yang lainnya).

Mencela Hujan = Mencela Dzat Yang Memberi Hujan

Protes seorang hamba ketika Allah menetapkan takdir, sejatinya dia protes kepada Allah. Tak terkecuali protes terhadap turunnya hujan. Dalam Hadis Qudsi, Allah ta’ala melarang kita mencela keadaan yang Dia ciptakan. Rasulullah ﷺ bersabda: bahwa Allah Ta’ala berfirman:

يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ ، يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ ، بِيَدِى الأَمْرُ ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Manusia menyakiti Aku. Dia mencaci maki masa (waktu), padahal Akulah adalah pemilik masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang.” (HR. Bukhari 4826, Muslim 6000, dan yang lainnya).

Dalil di atas berbicara tentang hukum mencela waktu. Kasus mencela hujan, tidak berbeda dengan mencela waktu.

Rincian Hukum Mencela Hujan

Para ulama memberikan rincian hukum untuk kasus mencela waktu, hujan atau semacamnya.

  • Pertama, hanya sebatas memberitakan. Misalnya seseorang mengatakan: ‘Sepatu saya rusak karena kehujanan.’ ‘Motor saya macet karena kehujanan.’
  • Kedua, mencela hujan dengan maksud mencela ketetapan dan takdir Allah. Misalnya seseorang mengatakan: ‘Ini hujan, ngapain turun. Bikin tambah macet aja.’ ‘Sebel, hujan terus. Pagi-pagi sudah hujan.’

Celaan semacam ini termasuk perbuatan dosa, karena hakikatnya, dia mencela Allah.

Kesembilan: Berwudhu dengan air hujan

Allah ta’ala menyebut hujan sebagai air untuk bersuci. Allah berfirman:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ

“Dialah yang menurunkan kepada kalian hujan dari langit yang menyucikan kalian.” (QS. al-Anfal: 11)

Allah juga berfirman:

وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira, dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan). Dan Kami turunkan dari langit air yang bisa digunakan untuk bersuci. (QS. al-Furqan: 48).

Ibnu Katsir mengatakan:

أي: آلة يتطهر بها

(Makna Maa’an Thahura), alat untuk bersuci. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/114).

Karena itulah diriwayatkan, bahwa Rasulullah ﷺ, apabila ada aliran air hujan, beliau ﷺ berwudhu dengannya.

كَانَ يَقُوْلُ إِذَا سَالَ الوَادِي ” أُخْرُجُوْا بِنَا إِلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللهُ طَهُوْرًا فَنَتَطَهَّرُ بِهِ “

Apabila air mengalir di lembah, Nabi ﷺ mengatakan: “Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini, yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian kami bersuci dengannya.” (HR. Baihaqi 3/359 dan dishahihkan dalam Irwa al-Ghalil no. 679).

Ibnu bi Hatim membawakan keterangan dari Tsabit al-Bunani:

دخلت مع أبي العالية في يوم مطير، وطرق البصرة قذرة، فصلى، فقلت له، فقال: { وَأَنزلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا } قال: طهره ماء السماء

Saya masuk kota Bashrah bersama Abul Aliyah di waktu cuaca hujan. Ketika masuk Bashrah, kami terkena kotoran. Kemudian Abul Aliyah sholat. Saya pun menegurnya. Lalu beliau membaca firman Allah, (yang artinya): ‘Kami turunkan dari langit air yang bisa digunakan untuk bersuci’. Lalu beliau mengatakan: “Telah disucikan oleh air hujan.” (Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, 6/115).

Seperti itulah bagaimana respon para ulama terhadap ayat Alquran yang Allah turunkan. Mereka mempraktikkannya dalam kehiupan sehari-hari.

Ibnu Qudamah mengatakan:

ويستحب أن يتوضأ من ماء المطر إذا سال السيل

“Dianjurkan untuk berwudhu dengan air hujan apabila airnya mengalir.” (al-Mughni, 2/295)

Kesepuluh: Kalimat azan khusus ketika hujan

Bagi kaum pria, sholat jamaah di masjid merupakan syiar mereka. Hanya saja ketika turun hujan, mereka diizinkan untuk sholat di rumah. Karena hujan menjadi udzur baginya. Karena itu, bagi muadzin yang mengumandangkan azan di tengah derasnya hujan, dia dianjurkan untuk mengucapkan:

صَلّوْا فِي بُيُوتِكُـمْ

“Sholatlah di rumah kalian”.

Kalimat ini menggantikan ‘Hayya ‘alas Shalah’

Dari Abdullah bin Harits, bahwa Ibnu Abbas memerintahkan muadzin ketika suasana hujan:

إِذا قلتَ أشهد أنَّ محمداً رسول الله فلا تقُل: حيَّ على الصلاة، قل: صلّوا في بيوتكم

Jika kamu telah selesai mengumandangkan ‘Asyhadu anna Muhammadar rasulullah’, jangan ucapkan ‘Hayya ‘alas shalah’. Tapi ucapkanlah: SHALLU FII BUYUTIKUM.

Mendengar ini, banyak orang merasa aneh dan mengingkari nasihat Ibnu Abbas. Kemudian beliau mengatakan:

فعَله من هو خيرٌ منّي، إِنَّ الجُمعة عَزمةٌ، وإنِّي كرهتُ أن أحرجكم فتمشون في الطين والدَّحْض

Ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari pada aku (Rasullullah ﷺ). Sesungguhnya Jumatan itu kewajiban, dan saya tidak ingin memberatkan kalian, sehingga harus berjalan di tanah becek dan lumpur. (HR. Bukhari 901).

Atau bisa juga dengan mengumadangkan:

صلوا في رحالكم

“Sholatlah di tempat kalian”

Kalimat ini dibaca seusai Hayya ‘alal Falah.

Dari Nuaim bin an-Naham Radhiyallahu ‘anhu, mengatakan:

سمعت مؤذن النبي – صلى الله عليه وسلم – في ليلة باردة وأنا في لحاف فتمنيت أن يقول: صلوا في رحالكم، فلما بلغ حي على الفلاح، قال: صلوا في رحالكم، ثم سألت عنها فإذا النبي – صلى الله عليه وسلم – كان أمر بذلك

Saya mendengar muadzin Nabi ﷺ di malam yang sangat dingin, sementara aku sedang memakai selimut, maka saya berharap dia mengumandangkan: SHALLUU FII RIHALIKUM.’ Ketika sampai pada Hayya ‘alal Falah, muadzin mengumandangkan, ‘Shalluu fii rihalikum.’ Aku pun bertanya kepada Muadzin, dan ternyata Nabi ﷺ yang menyuruhnya. (HR. Ahmad 18098, dan Abdurrazaq dalam Mushannaf 1925)

Kesebelas: Doa Seusai Hujan

Doa ini menggambarkan rasa syukur kita kepada Allah, atas hujan yang telah Allah turunkan. Karena itu, doa ini menjadi lambang ketauhidan seseorang kepada Allah. Doa itu adalah

مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ

MUTHIRNA BI FADHLILLAHI WA ROHMATIH

Artinya:

Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah

Dari Zaid bin Kholid al-Juhani, Nabi ﷺ melakukan sholat Subuh bersama kami di Hudaibiyah, setelah hujan turun pada malam harinya. Tatkala hendak pergi, beliau ﷺ menghadap ke jamaah, lalu bersabda:

هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ

“Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian?”

Jawab para sahabat: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”.

Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:

أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ

“Pada pagi hari, di antara hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah), maka dia beriman kepada-Ku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘Muthirna binnau kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepada-Ku dan beriman pada bintang-bintang.” (HR. Bukhari 486, Muslim 240 dan yang lainnya)

Kita bisa perhatikan, Allah membanggakan orang yang membaca doa di atas ketika usai hujan, karena doa ini melambangkan rasa syukur kepada Allah, dan menyandarkan nikmat kepada Allah. Bukti bahwa dia adalah orang yang mengagungkan Allah.

Syirik ketika Hujan

Kebalikan dari sikap di atas, menyandarkan hujan kepada selain Allah. Nabi ﷺ menyebutnya sebagai sikap kekufuran. Lantas kapan terhitung sebagai kekufuran?

Ibnu Rajab menjelaskan:

فإضافة نزول الغيث إلى الأنواء، إن اعتقد أن الأنواء هي الفاعلة لذلك، المدبرة له دون الله عز وجل، فقد كفر بالله، وأشرك به كفرا ينقله عن ملة الإسلام، ويصير بذلك مرتدا، حكمه حكم المرتدين عن الإسلام، إن كان قبل ذلك مسلما. وإن لم يعتقد ذلك، فظاهر الحديث يدل على أنه كفر نعمة الله. وقد سبق عن ابن عباس، أنه جعله كفرا بنعمة الله عز وجل.

Menyandarkan turunnya hujan kepada rasi bintang, ada dua keadaan:

  • Jika dia meyakini bahwa rasi bintang itu yang menurunkan hujan, yang mengatur hujan, dan bukan Allah, maka dia telah kufur kepada Allah, menyekutukan Allah. Dia melakukan kekufuran yang menyebabkannya keluar dari Islam. Sehingga dia menjadi murtad. Statusnya sebagaimana orang yang murtad dari Islam, jika sebelumnya dia Muslim.
  • Namun jika dia tidak meyakini demikian, zahir hadis menunjukkan, bahwa dia kufur nikmat. Dan telah disebutkan keterangan dari Ibnu Abbas, bahwa beliau menilai perbuatan ini sebagai kufur kepada nikmat Allah ‘azza wa jalla.

(Fathul Bari, 9/260)

 

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

 

Sumber:

https://konsultasisyariah.com/23808-amalan-ketika-hujan-bagian-01.html

https://konsultasisyariah.com/23819-amalan-ketika-hujan-bagian-02.html