بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 
HATI YANG TERBAIK
 
Wasiat khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu ini adalah suatu wasiat terkenal di kalangan para ulama, yang menjelaskan kategori manusia.
 
Setelah beliau menjelaskan bahwa hati manusia itu adalah bagaikan wadah, maka hati yang terbaik adalah hati yang dipenuhi dengan ilmu. Hati yang dipenuhi oleh pemahaman terhadap Alquran dan Sunnah Rasulullah ﷺ. Karena mereka yang memahami Alquran dan Sunnah Rasul-Nya adalah orang-orang yang dikehendaki oleh Allah Taala untuk memeroleh kebaikan, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
 
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
 
“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.” [HR. Bukhari nomor 71 dan Muslim nomor 1037]
 
Pada sabda Nabi ﷺ tadi, Rasulullah ﷺ menyebutkan lafal خيرا yang berarti kebaikan dalam bentuk nakirah (indefinitif), yang didahului oleh kalimat bersyarat, sehingga menunjukkan makna yang umum dan luas. Seakan-akan Nabi ﷺ hendak mengatakan:
Jika Allah menghendaki seluruh kebaikan diberikan kepada seorang, maka Allah hanya akan memberikannya kepada para hamba-Nya yang Dia pahamkan terhadap agama-Nya. Karena seluruh kebaikan hanya Allah berikan bagi orang-orang yang mau memelajari dan mengaji agama Allah Taala.
 
Dari hadis di atas juga kita dapat memahami, bahwasanya mereka yang enggan memelajari agama Allah Taala, maka pada hakikatnya mereka tidak memeroleh kebaikan.
 
Oleh karenanya, imam Ibnu Hajr Al Asqalani Asy Syafi’i tatkala menjelaskan hadis di atas, beliau mengatakan:
 
مَفْهُوم الْحَدِيث أَنَّ مَنْ لَمْ يَتَفَقَّه فِي الدِّين – أَيْ: يَتَعَلَّم قَوَاعِد الْإِسْلَام وَمَا يَتَّصِل بِهَا مِنْ الْفُرُوع – فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْر
 
“Konteks hadis di atas menunjukkan, bahwa seorang yang tidak memahami agama, dalam artian tidak memelajari berbagai prinsip fundamental dalam agama Islam dan berbagai permasalahan cabang yang terkait dengannya, maka sungguh ia diharamkan untuk memeroleh kebaikan.” [Fathul Baari 1/165]
 
Sang Alim Rabbani
 
Kemudian Khalifah ’Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu menerangkan, bahwasanya manusia terbagi menjadi tiga kategori:
 
Kategori pertama adalah عالم رباني seorang yang berilmu, mengajarkan, mendakwahkan, dan menyebarkan ilmunya. Karena seorang Alim Rabbani adalah sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Mujahid rahimahullah Taala:
 
الرباني الذي يربي الناس بصغار العلم قبل كباره
 
”Ar Rabbani adalah seorang yang mengajari manusia hal-hal yang mendasar, sebelum mengajari mereka dengan berbagai hal yang rumit.” [Tafsir Al Qurthubi 4/119]
 
Maka seorang Rabbani adalah seorang yang mengajarkan ilmunya. Maka dialah seorang yang selayaknya kita ikuti. Dialah seorang yang berilmu dengan ilmu yang benar, yaitu yang berupa Alquran dan Sunnah Rasulullah ﷺ. Karena ilmu adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah:
 
كُلُّ الْعُلُوْمِ سِوَى الْقُرْآنِ مُشْغِلَةٌ إِلاَّ الْحَدِيْثَ وَ عِلْمَ الْفِقْهِ قِي الدِّيْنِ
 
اَلْعِلْمُ مَا كَانَ فِيْهِ قَالَ حَدَّثَنَا وَ مَا سِوَى ذَاكَ وَسْوَسُ الشَّيَاطِيْنَ
 
 
Setiap ilmu selain Alquran akan menyibukkan, kecuali ilmu hadis dan fikih
Ilmu adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat ungkapan ‘Haddatsana’ (yaitu ilmu yang berdasar kepada wahyu)
Adapun ilmu selainnya, hal itu hanyalah bisikan setan semata.” [Diwan al Imam asy Syafi’i, Dar al Kutub al ’Ilmiyah]
 
Namun yang patut dicamkan oleh mereka yang berilmu adalah, ilmu yang mereka ketahui dan ajarkan kepada manusia selamanya tidak akan bermanfaat, hingga mereka mengamalkannya. Nabi ﷺ bersabda:
 
مثل العالم الذي يعلم الناس الخير و ينسى نفسه كمثل السراج يضيء للناس و يحرق نفسه
 
“Permisalan seorang alim yang mengajari kebaikan kepada manusia, namun melupakan dirinya (karena tidak mengamalkan ilmunya), adalah seperti lilin yang menerangi manusia, namun justru membakar dirinya sendiri.” [Al Jami’ush Shaghir wa Ziyadatuhu nomor 10770 dengan sanad yang sahih]
 
Penuntut Ilmu di Atas Jalan Keselamatan
 
Jika kita bukan termasuk kategori pertama, maka hendaknya kita menjadi orang yang termasuk dalam kategori kedua, kategori yang beliau katakan sebagai متعلم على سبيل نجاة yaitu seorang yang mau belajar. Dan orang inilah orang yang berada di atas jalan keselamatan.
 
Maka benarlah apa yang beliau katakana. Karena sesungguhnya seorang yang terus mau belajar adalah orang yang sedang meniti jalan menuju Surga, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi ﷺ:
 
من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة
 
“Barang siapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga.” [HR. Muslim nomor 2699]
 
Maka seorang yang selalu belajar dan belajar, maka dialah على سبيل نجاة orang yang berada di atas jalan keselamatan.
 
Hamajun Ra-a’ (Gembel yang Tidak Berguna)
 
Adapun orang yang selain kedua golongan ini, maka hal ini adalah sesuatu yang memalukan dan sangat berbahaya.
 
Kata beliau, mereka ini adalah orang-orang yang gembel dan tidak begitu berguna. Mereka ini adalah orang-orang yang memiliki sifat mengikuti setiap orang yang berkomentar, dan mengikuti ke mana arah angin bertiup.
 
Artinya, siapa saja yang memberikan komentar kepadanya, maka dia akan mengikutinya, tanpa memertimbangkannya terlebih dahulu. Orang ini tidak memiliki pendirian, ketegasan sikap, karena ia tidak memiliki ilmu. Maka dia adalah seorang yang bingung.
 
Maka beliau katakan, bahwa orang ini layaknya seperti pohon yang mengikuti ke mana arah angin bertiup. Itulah orang-orang yang tidak menjalani kehidupannya dengan cahaya ilmu, dengan cahaya firman Allah dan sabda Rasul-Nya ﷺ. Orang ini adalah orang yang tidak berada dalam posisi yang kokoh dan kuat, sehingga ia adalah seorang yang cepat berubah dan tidak memiliki pendirian. Orang yang mengikuti apa saja yang dikatakan oleh orang yang berada di sebelah kanan dan kirinya. Maka boleh jadi, dan bisa jadi, dia celaka dikarenakan hal tersebut.
 
Persis seperti kejadian yang terjadi di masa Rasulullah ﷺ. Ada seorang yang terlempar dari untanya. Maka kepalanya pun terluka. Namun pada malam hari dia bermimpi sehingga dia memasuki pagi hari dalam kondisi junub. Akan tetapi ia tidak tahu bagaimana bersikap, dikarenakan minimnya ilmu yang dia miliki. Akhirnya dia pun bertanya kepada orang yang berada di sampng kanan dan di samping kirinya, apakah ia harus mandi untuk bersuci, atau dia diperbolehkan bertayammum karena kepalanya terluka.
 
Ternyata dia bertanya kepada orang yang salah, sehingga dia memeroleh jawaban yang salah. Pihak yang ditanyai menyarankan, bahwa dia tetap harus mandi, karena tidak ada rukhshah (dispensasi) bagi dirinya. Akhirnya orang ini pun mandi, dan ia pun meninggal. Karena ketidaktahuannya tentang suatu hal yang mendasar bagi seorang Muslim, yaitu bagaimana cara seorang Muslim harus bersuci, kapan dia harus mandi dan bertayammum, akhirnya … keadaan naas pun menimpanya.
 
Demikian pula seorang yang tidak menuntut ilmu agama, pada hakikatnya dia bagaikan jasad yang tidak bernyawa. Hal ini dikarenakan ilmu agama adalah nutrisi bagi hati, yang menentukan keberlangsungan hidup hati seorang. Seorang yang tidak memahami agamanya, dia layaknya sebuah mayat, meski jasadnya hidup. Tidak heran jika al Imam asy Syafi’i rahimahullah sampai mengatakan:
 
مَنْ لَمْ يَذُقْ مُرَّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً تَجَرَّعَ ذُلُّ الْجَهْلِ طُوْلَ حَيَاتِهِ
 
وَ مَنْ فَاتَهُ التَّعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ فَكَبِّرْ عَلَيْهِ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ
 
“Barang siapa yang tidak pernah mencicipi pahitnya belajar,
Maka dia akan meneguk hinanya kebodohan di sepanjang hidupnya.
Barang siapa yang tidak menuntut ilmu di masa muda,
Maka bertakbirlah empat kali, karena sungguh dirinya telah wafat.” [Diwan al Imam asy Syafi’i, Dar al Kutub al ’Ilmiyah]
 
Urgensi Menuntut Ilmu Agama
 
Wasiat Amir al-Mukminin, Ali radhiallahu anhu di atas pada dasarnya menghasung kita sebagai umat Islam untuk memelajari agama ini dengan benar, karena diri kita sangatlah butuh akan ilmu agama ini.
 
Al Imam Ahmad rahimahullah mengatakan:
 
الناس محتاجون إلى العلم قبل الخيز و الماء لأن العلم محتاجون إليه الإنسان في كل ساعة و الخبز و الماء في اليوم مرة أو مرتين
 
“Manusia sangat membutuhkan ilmu, melebihi kebutuhan terhadap roti dan air, karena ilmu dibutuhkan manusia di setiap saat. Sedangkan roti dan air hanya dibutuhkan manusia sekali atau dua kali.” [Al Adab asy Syariyyah 2/44-45]
 
Faktor yang membuat kita memahami urgensi menuntut ilmu syari di saat ini adalah jika kita mengamati realita keagamaan di sekitar kita. Jika kita mau mengamati, betapa banyak pada zaman sekarang orang-orang yang berbicara tentang agama Allah ini tanpa dilandasi dengan ilmu.
 
Mantan artis yang baru saja berkubang dengan kemaksiatan, kemudian mengubah penampilan sehinga nampak saleh, dijadikan ikon kesalehan, dan dijadikan tempat bertanya mengenai permasalahan agama. Seorang yang tidak pernah mengenyam pendidikan agama secara formal, tidak memiliki background pendidikan agama, tidak tahu bahasa Arab, tidak menghafal Alquran, begitu pula tidak tahu-menahu mengenai hadis-hadis Nabi ﷺ, dimintai pendapatnya dalam permasalahan agama.
 
Sungguh benar apa yang disabdakan Nabi ﷺ yang mulia, beliau telah mensinyalir hal ini akan terjadi, dalam sebuah hadisnya:
 
سيأتي على الناس سنوات خداعات يصدق فيها الكاذب ويكذب فيها الصادق ويؤتمن فيها الخائن ويخون فيها الأمين وينطق فيها الرويبضة . قيل وما الرويبضة ؟ قال: الرجل التافه ؛ يتكلم في أمر العامة
 
“Akan datang tahun-tahun yang dipenuhi penipuan. Pada saat itu seorang pendusta justru dibenarkan, dan seorang yang jujur malah didustakan. Seorang pengkhianat malah dipercaya, dan seorang yang amanah malah dikhianati. Pada saat itu, ar-Ruwaibidhah akan angkat bicara. Para sahabat bertanya: “Apa Ruwaibidhah itu?”
Nabi ﷺ menjawab: “Ar-rumwaibidhah adalah seorang yang (pada hakikatnya) dungu, namun berani bicara mengenai urusan umat.” [Ash-Shahihah nomor 1887]
 
Begitu pula jika kita menyimak firman Allah yang mencela kebodohan seseorang terhadap agama-Nya, maka kita akan memahami, bahwa setiap Muslim dituntut untuk mengetahui perkara agama. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:
 
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٦)يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ (٧)
 
“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) Akhirat adalah lalai.” [QS. Ar Ruum: 6-7]
 
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan:
 
أي: أكثر الناس ليس لهم علم إلا بالدنيا وأكسابها وشؤونها وما فيها، فهم حذاق أذكياء في تحصيلها ووجوه مكاسبها، وهم غافلون عما ينفعهم في الدار الآخرة، كأن أحدهم مُغَفّل لا ذهن له ولا فكرة
 
“Maksudnya, kebanyakan manusia tidak memiliki pengetahuan melainkan tentang dunia, dan pergulatan serta kesibukannya, juga segala apa yang di dalamnya. Mereka cukup cerdas untuk mencapai dan menggeluti berbagai kesibukan dunia, tetapi mereka lalai terhadap urusan Akhirat, dan berbagai hal yang bermanfaat bagi mereka di alam Akhirat, seakan-akan seorang dari mereka lalai, tidak berakal, dan tidak pula memikirkan (perkara Akhiratnya).”
 
Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan:
 
>والله لَبَلَغَ من أحدهم بدنياه أنه يقلب الدرهم على ظفره، فيخبرك بوزنه، وما يحسن أن يصلي
 
“Demi Allah, seorang dari mereka akan berhasil menggapai dunia, di mana ia bisa membalikkan Dirham di atas kukunya, lalu dia mampu memberitahukan Anda tentang beratnya. Namun dia tidak becus dalam mengerjakan salat.”
 
Dampak dari kebodohan terhadap agama Allah adalah berkurangnya keimanan kepada Allah Subhanahu wa Taala. Seorang Muslim yang ‘alim terhadap perkara agama akan mengetahui berbagai perkara yang dapat mengundang keridaan Allah Subhanahu wa Taala terhadap dirinya. Dan begitupula ia akan mengetahui berbagai perkara yang dapat mengundang kemurkaan Allah, sehingga ia dapat menjauhinya.
 
Berbeda halnya dengan seorang Muslim yang tidak tahu perkara agama, karena ketidaktahuan dirinya, dan sedikitnya ilmu agama yang ia miliki, terkadang ia menerjang kemaksiatan, mendahulukan perkara-perkara yang tidak penting, atau rela menjual agamanya demi mendapatkan dunia. Dia tidak mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allah. Sehingga terkadang orang yang jahil terhadap agama, akan menyembah Allah sekenanya saja. Ia tidak terlalu mempedulikan apakah ibadah yang ia lakukan telah diterima oleh Allah.
 
Terkadang dia beranggapan, bahwa ibadahnya telah diterima, sehingga dirinya sangat minim untuk menginstropeksi berbagai amalan yang ia lakukan, dan mengukurnya dengan barometer syariat, dengan barometer yang ditetapkan oleh Allah Taala. Hal ini dikarenakan barometer yang ada pada dirinya telah terbalik.
 
Berdasarkan hal ini kita dapat menyimpulkan, bahwa ilmu agama merupakan sumber dari setiap kebaikan, sedangkan kebodohan terhadap agama ini merupakan sumber dari setiap keburukan.
 
Jika kita menyimak ayat-ayat Alquran, maka kita pun akan menemukan, bahwa berbagai bentuk kesyirikan, yang notabene adalah dosa terbesar, dan kemaksiatan bersumber dari ketidaktahuan seorang terhadap perkara agamanya. Di antaranya adalah firman Allah ﷻ:
 
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (١٣٨)
 
“Bani lsrail berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala), sebagaimana mereka mempunyai beberapa Sesembahan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Rabb).” [QS. Al A’raaf: 138]
 
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ (٥٤)أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (٥٥)
 
“Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu, sedang kamu memerlihatkan(nya)?” “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu).” [QS. An Naml 54-55]
 
Coba Anda perhatikan kedua ayat di atas, bukankah permintaan Bani Israil kepada Nabi Musa ‘alaihis salam agar dibuatkan Sesembahan (berhala) dan tindakan homoseks kaum Nabi Luth berangkat dari ketidaktahuan mereka terhadap agama? Oleh karenanya Nabi Musa dan Luth menyatakan, bahwa mereka adalah kaum yang jahil!
 
Oleh karena itu, setiap orang wajib untuk menuntut ilmu agama. Siapa pun dia, apa pun profesinya, wajib menuntut ilmu agama, untuk menghadapi dan melepaskan diri dari berbagai fitnah yang akan dia temui di dunia.
 
Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi Muhammad ﷺ, keluarganya, para sahabatnya, dan umat beliau yang berjalan di atas Sunnah beliau.
 
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Baca juga:
HATI YANG TERBAIK
HATI YANG TERBAIK
HATI YANG TERBAIK