بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

HARUSKAH SUAMI MENERIMA GUGATAN CERAI ISTRI?

Pertanyaan:

Jika terjadi sesuatu yang mendorong seorang istri untuk mengajukan khulu’ (gugatan cerai) dan dia telah mengangkat perkaranya kepada hakim syari , maka apakah suami wajib mengabulkan tuntutannya dan menceraikannya?

Jawaban:

Mayoritas ulama berpendapat, bahwa suami TIDAK WAJIB menerima gugatan cerai istrinya, akan tetapi sifatnya hanya dianjurkan saja untuk menerima gugatan cerai tersebut, dan menerima apa yang diberikan oleh istri, atau tebusan yang diberikan, agar suami menceraikannya.

Namun sebagian ulama berpendapat, bahwa suami wajib menerima gugatan cerai istrinya. Inilah pendapat Hanabilah. Pendapat tersebut adalah salah satu dari dua pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan dinilai kuat oleh Asy Syaukani. Dan beliau menetapkan pendapat wajib, karena khawatir terhadap agama dan jiwa si istri, jika tetap berada dalam ikatan pernikahan dengan suaminya. Ini juga merupakan pendapat dua Syaikh, Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah.

Syaikh Muhammad ibn Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan: “Apakah seorang istri boleh meminta khulu’ (mengajukan gugat cerai) atau tidak?”

Jawabannya adalah, Jika khulu’ ini disebabkan alasan yang syari dan tidak memungkinkan lagi bagi istri untuk tinggal bersama suaminya, maka istri boleh minta khulu’. Adapun jika tanpa sebab (yang syari), maka istri tidak boleh minta khulu’.

Contoh:

Seorang perempuan yang membenci pergaulan suaminya, baik karena suaminya buruk rupa atau karena dia buruk akhlaknya atau karena lemah agamanya atau karena selalu lemah syahwatnya, intinya disebabkan alasan yang mengurangi keharmonisan pergaulan rumah tangga, maka istri boleh meminta khulu’.

Oleh sebab itu, istri Tsabit bin Qais bin Syammas radhiyallahu ‘anhuma mengadu kepada Nabi ﷺ:

يا رسول الله ! ثابت بن قيس لا أعيب عليه في خُلُق ولا دِين – فهو مستقيم الدين ، مستقيم الخلق – ولكني أكره الكفر في الإسلام –

“Ya Rasulullah, saya tidak mencela akhlak maupun agama Tsabit bin Qais, karena agamanya baik dan akhlaknya juga baik. Tetapi saya tidak ingin berbuat kufur.”  Yang dia maksud dengan “kufur” adalah tidak menunaikan kewajiban sebagai istri.

Nabi ﷺ menanggapi:

أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ

“Bersediakah engkau mengembalikan kebun darinya?”

Kebun itu adalah mahar pernikahan dari Tsabit untuknya.

Istri Tsabit menjawab: “Ya, (saya bersedia).”

Kemudian Nabi ﷺ memerintahkan kepada Tsabit:

خُذ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا

“Ambillah kebun yang dikembalikannya, dan ceraikan dia!”

Tsabit pun menerima kebun itu dan menceraikan istrinya. (HR. Bukhari)

Sisi penguat dari hadis ini adalah perkataan istri Tsabit bin Qais:, “Aku tidak mencela Tsabit pada akhlak dan agamanya”.

Dengan demikian, jika suami jarang mengikuti shalat jamaah, atau jarang shalat, atau durhaka kepada orang tua, atau bermu’amalah dengan harta ribawi dan perbuatan lain yang semisal, maka istri boleh meminta khulu’, disebabkan karena kebencian terhadap agama suaminya.

Jika seorang istri telah sampai pada keadaan seperti istri Tsabit ibn Qais radhiallahu ‘an huma, kemudian meminta khulu’, apakah wajib bagi suami untuk mengabulkan permintaan  khulu’ si istri ataukah tidak ? Tidak ragu lagi, suami dianjurkan untuk menyetujuinya. Itu lebih baik baginya di waktu sekarang dan yang akan datang.

Allah ta’ala berfirman:

وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلاًّ مِنْ سَعَتِه

“Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya” (QS. An Nisa 130)

Akan tetapi jika suami enggan dan ditawarkan mahar padanya (yang dulu pernah diberikan suami kepada istri), lalu dikatakan padanya: “Kami akan memberikan mahar kepadamu secara penuh”, apakah suami wajib mengabulkan khulu’ si istri ataukah tidak?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, mayoritas ulama berpendapat tidak wajib. Karena dia adalah seorang suami, keputusan ada di tangannya.

Adapun pendapat yang paling kuat adalah suami wajib menceraikan istrinya. Apabila istri berkata: “Tidak ada yang menahan apa yang ada di sisku. Aku telah memberikan maharnya. Jika dia mau, aku bisa memberinya lebih banyak”, karena kebersamaan dengan suaminya dalam keadaan demikian mengakibatkan keduanya sengsara dan menimbulkan perpecahan. Sementara syariat melarang segala sesuatu yang menimbulkan kebencian dan permusuhan. Oleh sebab itu, syariat mengharamkan menawar barang dagangan yang sedang ditawar saudaranya. Hal itu dikarenakan dapat menimbulkan permusuhan. Lantas, bagaimana dengan keadaan suami istri yang seperti ini?

Maka, hendaknya suami tetap menceraikannya.

Dan hadis Tsabit radhiyallaahu ‘anhu menunjukkan contoh akan hal ini. Rasulullaah ﷺ bersabda:

خذ الحديقةَ وطلِقها

“Ambilah kebunnya dan ceraikanlah dia”

Pada asalnya perintah Nabi ﷺ dihukumi wajib. Adapun pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa perintah Nabi ﷺ dalam hadis di atas sekedar bimbingan, maka perlu ditinjau ulang.

Pendapat yang menyatakan suami wajib menceraikan istri adalah pendapat yang paling kuat. Beliau (penulis Al-Mumti’) berkata dalam Al-Furu’ “Sebagian hakim di masanya mewajibkan para suami menerima gugatan istri”. Orang-orang yang mewajibkan hal ini, merekalah yang sesuai dengan kebenaran.”‘

Demikian nukilan dari Asy Syarh Al Mumti’ (451- 454/12) secara ringkas.

Dengan demikian, jika suami menolak permintaan khulu’ istrinya, maka hakim wajib memaksanya.

Yang nampak bagi kami, bahwa ketidakhadiranmu di pengadilan adalah sebab yang menjadikan hakim menyempurnakan khulu’ yang telah diajukan istrimu. Dalam keadaan seperti ini hakim diberi udzur. Dia juga telah meminta kedatanganmu untuk mendengar keterangan darimu, sementara kamu menolak pergi memberi keterangan kepada hakim, agar ia mendengar pengakuanmu dan jawabanmu terhadap dakwaan istrimu.

Adapun hak-hak yang wajib bagimu, mudah-mudahan jika engkau berkenan kembali ke pengadilan, engkau dapati hak-hakmu di sana sedang menungguanmu.

Pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullaah.

Seorang wanita menikah dengan anak pamannya (sepupu). Allah tidak menakdirkan perasaan cinta kasih bersemayam di hatinya. Wanita itu pergi meninggalkan rumah suaminya selama 13 tahun. Dia berupaya agar suaminya menceraikannya, atau dia yang mengajukan gugatan cerai, atau berusaha mendatangi pengadilan bersama suaminya. Akan tetapi, suaminya tidak menyetujui hal tersebut, hingga menjadikan wanita itu sangat membenci suaminya. Dia memilih mati daripada harus kembali kepada suaminya. Ketika keluarganya berusaha mendamaikan mereka berdua, wanita itu benar-benar menjatuhkan diri dari atap (rumah). Maka bagaimana hukum terkait hal tersebut?

Beliau menjawab: “Wanita yang seperti ini harus dipisahkan dari suaminya yang telah disebutkan, jika istri telah menyerahkan mahar kepada suaminya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ kepada Tsabit bin Qais tatkala istrinya membencinya dan meminta cerai kepadanya. Istri Tsabit pun rela mengembalikan kebunnya kepada Tsabit. Nabi ﷺ bersabda:

اقبل الحديقة وطلِّقها تطليقة

“Terimalah kebun tersebut dan ceraikan dia dengan talak satu.” (HR. Bukhari dalam shahihnya)

Karena jika istrinya tetap berada dalam ikatan pernikahan dengan Tsabit, sementara keadaannya sebagaimana telah disebutkan, maka hal ini akan menimbulkan mudarat yang banyak bagi istri. Dan Nabi ﷺ telah bersabda:

لاَ ضَرَر وَلاَ ضِرَار

“Tidak boleh melakukan perbuatan yang berbahaya bagi diri sendiri dan membahayakan orang lain.”(HR. Ibnu Majah dengan sanad hasan)

Karena syariat datang untuk mewujudkan banyak kemaslahatan serta menyempurnakannya, dan menolak berbagai kerusakan serta meminimalisirnya. Tidak diragukan lagi, kelangsungan ikatan pernikahan wanita semacam ini bersama suaminya termasuk bentuk kerusakan yang harus ditolak, dihilangkan dan dijauhkan.

Jika suami berhalangan hadir di pengadilan bersama istri (yang disebutkan di atas), maka hakim wajib memfasakh (membatalkan) istri dari ikatan pernikahan suaminya. Jika istri meminta hal itu dan mengembalikan maharnya.

Berdasarkan dua hadis yang telah lewat (yaitu hadis istri Tsabit dan hadis لاَ ضَرَر وَلاَ ضِرَار) juga berdasarkan makna yang sesuai dengan syariat.

Hakim wajib mematuhi kaidah-kaidah syariat . Saya memohon kepada Allah untuk memberikan taufik kepada para hakim kaum Muslim.

Karena pada hal yang demikian terdapat perbaikan bagi masyarakat dan bangsa, mencegah orang zalim dari kezalimannya, dan bentuk kasih sayang terhadap orang  terzalimi, dan menempatkannya sesuai dengan tempatnya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلًّا مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا

‘Jika keduanya bercerai, Allah akan mencukupkan masing-masing dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas dan Maha Adil.‘ (An Nisa:130)

Demikian nukilan dari Fatawa Syaikh Bin Baz (259/21).

****

Sumber: https://islamqa.info/ar/174662

Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Wanitasalihah.com