بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 

HANYA BOLEH HASAD PADA DUA ORANG

Segala puji bagi Allah, selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.

Iri, dengki atau hasad, istilah yang hampir sama, berarti menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain. Asal sekadar benci orang lain mendapatkan nikmat itu sudah dinamakan hasad. Itulah iri. Kata Ibnu Taimiyah:
“Hasad adalah sekadar benci dan tidak suka terhadap kebaikan yang ada pada orang lain yang ia lihat.” [Amrodhul Qulub wa Syifauha, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 31, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1424 H]

Hasad seperti inilah yang tercela. Adapun ingin agar semisal dengan orang lain, namun tidak menginginkan nikmat orang lain hilang, maka ini tidak mengapa. Hasad model kedua ini disebut oleh para ulama dengan Ghibthoh. Yang tercela adalah hasad model pertama tadi.

Bagaimanakah bentuk ghibtoh atau iri yang dibolehkan? Mari kita simak dalam tulisan sederhana berikut ini.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu:
• Orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan, dan
• Orang yang Allah beri karunia ilmu (Alquran dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” [HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816]

Tentang Ghibtoh

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan:
“Hasad yang dimaksud di sini adalah hasad yang dibolehkan oleh Rasulullah ﷺ, dan bukan hasad yang tercela.” [Syarh Al Bukhori, Ibnu Baththol, Asy Syamilah, 1/153]

Ibnu Baththol mengatakan pula:
“Inilah yang dimaksud dengan judul bab yang dibawakan oleh Imam Bukhari yaitu “Bab Ghibthoh dalam Ilmu dan Hikmah”.
Karena siapa saja yang berada dalam kondisi seperti ini (memiliki harta lalu dimanfaatkan dalam jalan kebaikan, dan ilmu yang dimanfaatkan pula, pen), maka seharusnya seseorang Ghibthoh (berniat untuk mendapatkan nikmat seperti itu), dan berlomba-lomba dalam kebaikan tersebut.“ [Syarh Al Bukhori, Ibnu Baththol, Asy Syamilah, 1/153]

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menjelaskan:
“Yang dimaksud hadis di atas adalah tidak ada keringanan pada hasad, kecuali pada dua hal. Atau maksudnya pula adalah, tidak ada hasad yang baik (jika memang benar ada hasad yang baik). Disebut hasad di sini dengan maksud hiperbolis, yaitu untuk memotivasi seseorang untuk meraih dua hal tersebut. Sebagaimana seseorang katakan bahwa hal ini tidak bisa digapai, kecuali dengan jalan yang keliru sekalipun. Dimotivasi seperti ini karena adanya keutamaan, jika seseorang menggapai dua hal tersebut. Jika jalan yang keliru saja ditempuh, bagaimana lagi jika jalan yang terpuji yang diambil dan mungkin tercapai? Intinya masalah ghibtoh ini sejenis dengan firman Allah ﷻ:

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَات

“Berlomba-lombalah dalam kebaikan.” [QS. Al Baqarah: 148]

Karena musobaqoh yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah berlomba-lomba dalam kebaikan, siapakah nantinya yang terdepan.

An Nawawi rahimahullah menjelaskan:
“Para ulama membagi hasad menjadi dua macam, yaitu Hasad Hakiki dan Hasad Majazi. Hasad Hakiki adalah seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini diharamkan berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: Ijmak), dan adanya dalil tegas yang menjelaskan hal ini. Adapun Hasad Majazi, yang dimaksudkan adalah Ghibthoh. Ghibthoh adalah berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain, tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang. Jika Ghibthoh ini dalam hal dunia, maka itu dibolehkan. Jika Ghibthoh ini dalam hal ketaatan, maka itu dianjurkan.

Sedangkan maksud dari hadis di atas adalah tidak ada ghibtoh (hasad yang disukai), kecuali pada dua hal atau yang semakna dengan itu.” [Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’, Beirut, 1392, 6/97]

Pengertian Hikmah

Yang dimaksud dengan hikmah (sebagaimana ada dalam lafal hadis), ada beberapa pengertian:

a) Alquran [Sebagaimana terdapat pada riwayat lain dari hadis di atas]
b) As Sunnah
c) Alquran dan As Sunnah. Sedangkan yang dimaksud “Fiqh fid diin”, paham agama adalah memahami nasikh, mansukh, muhkam, dan mutasyabih
d) Lurus dalam perkataan dan perbuatan
e) Peringatan (nasihat) dari Alquran
f) Memahami dan mengilmui
g) Kenabian
h) Segala hal yang menghalangi dari hal yang jelek
i) Segala hal yang menghalangi dari kebodohan [Disebutkan oleh Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dalam Fiqh Al Hasad, terbitan Dar As Sunnah, hal. 18-19]

Faidah Lain

Ada faidah lain dari hadis di atas:

• Pertama: Mulianya memelajari ilmu syari (ilmu agama), menempuh berbagai cara untuk memahaminya, juga keutamaan mengajarkannya pada orang lain dalam rangka mengharapkan wajah Allah. Inilah yang menyebabkan seseorang boleh iri (ghibtoh) padanya. Artinya ingin seperti itu.

• Kedua: Keutamaan berinfak dari usaha yang halal pada berbagai jalan kebaikan. Contohnya di sini adalah infak untuk pembangunan masjid, madrasah, pencetakan kitab ilmu (seperti kitab tauhid, fiqh, tafsir, dan bantahan untuk hali bidah, kitab bahasa Arab), dan jalan kebaikan lainnya.

• Ketiga: Dalam lafal hadis “آتاه الله مالاً”, seseorang yang Allah beri karunia harta, maka ini menunjukkan, bahwa harta itu sebenarnya datang dari Allah. Allah mengkaruniakan harta tersebut pada siapa saja yang Allah kehendaki. Allah pun tidak memberikannya pada seseorang, sesuai dengan kehendaknya. Barang siapa yang Allah beri karunia harta, maka hendaklah ia bersyukur dengan menunaikan hak Allah. Janganlah ia gunakan nikmat harta tersebut untuk bermaksiat. Sedangkan orang yang disempitkan dalam masalah harta, hendaklah ia bersabar dan tetap menempuh jalan rezeki yang Allah halalkan. Janganlah sampai ia malah menempuh jalan yang Allah haramkan karena kesulitan finansial yang ia hadapi.

• Keempat: Dalam lafal hadis “ورجل آتاه الله الحكمة”, seseorang yang Allah beri karunia ilmu, ini menunjukkan, bahwa ilmu adalah cahaya dari Allah, yang Allah beri kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Akan tetapi ilmu itu diperoleh dengan dicari, perlu ada kesungguhan dalam menghafal, memahami, mengulang dan menyampaikannya pada yang lain. Cahaya ilmu ini diperoleh dengan kesungguhan berharap dan meminta pada Allah sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Katakanlah: Ya Rabbku, berikanlah padaku ilmu.” [QS. Thaha: 114]

Disebutkan dalam hadis:

إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ

“Ilmu itu diperoleh dengan belajar.” [Disebutkan oleh Al Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad), lalu Abu Bakr bin Abi ‘Ashim menyambungkannya (mawshul)]

• Kelima: Kenikmatan dunia yang begitu melimpah bukanlah hal yang patut seseorang ghibtoh (berlomba-lomba untuk memerolehnya), kecuali jika ada maksud untuk amal kebaikan. Namun hal ini berbalik dengan kelakuan kebanyakan orang. Mereka malah senangnya berlomba-lomba untuk memeroleh dunia. Tidak ada rasa keinginan dari mereka untuk memeroleh ilmu dan iman dari para ulama (orang yang berilmu).

• Keenam: Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan dan diajarkan kepada yang lain. Sedangkan ilmu yang hanya dipelajari saja tanpa diamalkan adalah ilmu yang hanya jadi petaka untuknya. Wal ‘iyadzu billah.

• Ketujuh: Harta yang bermanfaat bagi pemiliknya adalah harta yang diperoleh dengan jalan yang halal, lalu disalurkan pada nafkah yang wajib untuk diri dan keluarga secara makruf (wajar). Harta itu pun disalurkan untuk zakat yang wajib dan sedekah kepada fakir miskin, juga disalurkan untuk menyambung hubungan kerabat. [Faidah ini diperoleh dari tulisan Syaikh ‘Ali bin Yahya Al Haddadi tentang hadis fadhilah ‘amal dalam shahihain yang beliau kumpulkan dan beliau beri komentar. Lihat di sini: https://www.haddady.com/ra_page_views.php?id=95&page=19&main=7]

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

 

 

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Sumber https://rumaysho.com/1586-hanya-boleh-hasad-pada-dua-orang.html

══════

Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat