بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

??HAKIKAT MENJADI MANUSIA MERDEKA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

✳️ “Dan sungguh, Kami telah mengutus rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah Thaghut. Kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah, dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi, dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”(QS An-Nahl [16]: 36)

Setiap 17 Agustus kita merayakan peringatan kemerdekaan Indonesia. Jika kemerdekaan dimaknai merdeka dari penjajah, bangsa ini memang telah merdeka. Namun, dalam perspektif Islam, benarkah bangsa ini merdeka? Lalu apa hakikat kemerdekaan menurut Islam? Ayat di atas menyinggung hal ini secara gamblang.

Misi Rasul: Memerdekakan Umat Manusia

Ayat 16 surat An-Nahl menjelaskan: Allah ta’ala mengutus pada setiap umat seorang rasul, sejak zaman Nabi Nuh  ‘alaihis salam sampai Nabi Muhammad ﷺ, untuk menjalankan misi suci. Yaitu, memerdekakan semua umat manusia dari penyembahan kepada selain Allah, menuju penyembahan kepada Allah semata.

Hal ini dipertegas oleh banyak ayat dalam Alquran, di antaranya Allah berfirman yang artinya:

✳️ “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya ‘Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku’. Maka sembahlah Aku” (QS Al-Anbiyaa’ [21]: 25).

✳️ Maka, Nabi Nuh ‘alaihis salam mengatakan kepada kaumnya: “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (Kiamat)” (QS Al-A’raaf [7]: 59).

✳️ Sedangkan Nabi Hud ‘alaihis salam yang diutus kepada kaum ‘Ad menyeru: “Hai kaumku, sembahlah Allah. Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS Al-A’raaf: 65).

✳️ Begitu pun yang dikatakan Nabi Shalih ‘alaihis salam kepada kaumnya, Tsamud, dalam QS Al-A’raaf: 73. Juga yang diserukan Nabi Syu’aib kepada kaumnya, penduduk Madyan (QS Al-A’raaf: 85).

Hal ini menunjukkan, bahwa Din (agama) para rasul itu satu. Dan adanya Wihadatu Risalaatir Rusul (Kesatuan visi dan misi para rasul), yaitu menjadikan umat manusia merdeka dari penyembahan kepada selain Allah, dan hanya menyeru untuk menyembah Allah semata.

Karena itu, menurut Ibnu Katsir, bagaimana bisa orang-orang musyrik itu mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia” (QS An Nahl: 35).

Sesungguhnya Masyi’ah Syar’iyyah (kehendak Allah yang bersifat syar’i) untuk kufur itu telah ternafikan dengan sendirinya, sehingga tidak bisa mereka menisbatkan kemusyrikannya kepada kehendak Allah, karena hal itu bukanlah keinginan-Nya. Sebab, Allah Ta’ala telah melarang umat manusia untuk kufur melalui lisan para Rasul-Nya. Sementara Masyi’ah Kauniyyah (kehendak Allah yang bersifat kauni), yaitu takdir (ketentuan) Allah atas kekufuran sebagian umat manusia, adalah sesuai dengan pilihan mereka sendiri, sehingga hal ini tidak bisa dijadikan hujjah (argumentasi) atas kekufuran mereka. Sebab, Allah telah menciptakan api Neraka, dan penghuninya adalah setan-setan dan orang-orang kafir. Allah sendiri tidak ridha hamba-hamba-Nya menjadi kufur. Maka, ini telah menjadi hujjah yang kuat bagi-Nya (lihat: Tafsir Ibnu Katsir III/212).

?Kemerdekaan dalam Perspektif Islam

Memahami misi Rasul di atas, jelaslah bahwa kemerdekaan dalam pandangan Islam bukan sekadar merdeka dari penjajah, melainkan ketika kita  menghamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala

semata.

Makna ini dipertegas Rib’i bin Amir ketika diutus oleh panglima perang kaum Muslimin, Sa’ad bin Abi Waqqash, dalam perang Qadisiyah. Di hadapan Rustum, panglima perang bangsa Persia, Rib’i bin Amir menyampaikan misi luhurnya: “Kami datang untuk memerdekakan manusia dari penyembahan dari sesama manusia, menuju penyembahan kepada Rabb manusia, Allah subhanahu wa ta’ala semata. Untuk memerdekakan manusia dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan akhirat, dan untuk memerdekakan manusia dari kezhaliman beragam agama, menuju keadilan Islam” (Al Bidaayah wa’n Nihaayah, Ibnu Katsir IV/43).

Alquran mendokumentasikan, bahwa dalam sejarah peradaban umat manusia telah terjadi penyembahan kepada selain Allah. Di antara mereka ada yang menyembah matahari dan bulan, sebagaimana firman Allah dalam QS Fushshilat (41): 37. Atau yang menyembah malaikat seperti disinggung Allah dalam QS Ali Imran (3): 80.

Ada pula yang menyembah para nabi, misalnya Nabi Isa ‘alaihis salam, sebagaimana tercatat dalam QS Al-Maaidah (5): 116. Pun ada di antara mereka yang menyembah hawa nafsu (QS Al Furqaan [25]: 43, dan QS Al Jaatsiyah [45]: 23.

Dalam bahasa ayat di awal tadi, manusia yang terjajah dan belum merdeka adalah mereka yang berada dalam kesesatan. Sedangkan manusia merdeka adalah yang mendapat hidayah (petunjuk) Allah, yang menghamba hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata.

Begitulah, hidup adalah pilihan di antara dua hal: Hidayah (Petunjuk) atau Dhalalah (Kesesatan), Al Khair (Kebaikan) atau Asy Syarr (keburukan), iman atau kufur, Al Haq (kebenaran) atau Al Baathil (kebatilan), takwa atau fujur. Lalu, di Akhirat nanti manusia dihadapkan pada dua pilihan tempat: Surga atau Neraka. Setiap pilihan memiliki konsekuensi dan balasan masing-masing.

Maka, penting merenungkan keberakhiran manusia dan kaum terjajah, yang durhaka kepada para rasul, mendustakan kebenaran dan menentangnya, seperti kaum ‘Ad dan Tsamud, yang telah dibinasakan Allah subhanahu wa ta’ala disebabkan dosa-dosa mereka.

❤️ Akhirnya, mari kita bina dan kondisikan diri kita, keluarga dan masyarakat, untuk menjadi manusia-manusia merdeka yang hakiki, agar bahagia di dunia dan Akhirat dalam rengkuhan ridha Ilahi.