بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

FIKIH KETIKA LUPA

Lupa, secara bahasa berarti meninggalkan. Seperti dalam ayat:

نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْۗ

“Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.” [QS. At-Taubah: 67]

Maksud nisyan dalam ayat ini adalah meninggalkan.

Secara istilah, Ibnu Nujaim mengatakan tentang nisyan adalah:

عَدَمُ تَذَكَّرُ الشَّيْءِ وَقْتَ حَاجَتِهِ إِلَيْهِ

“Tidak mengingat sesuatu pada waktu ia membutuhkannya.”

Pengaruh Lupa

Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali dalam pendapat sahih menurut mereka, orang yang lupa berarti telah bebas dari mukallaf (pembebanan syariat) ketika ia lupa. Karena mengerjakan suatu perintah harus dengan didasari ilmu.

Adapun pengaruh hukum terhadap yang lupa:

Pertama: Hukum Ukhrawi

Sepakat para ulama bahwa orang yang lupa tidak dikenakan dosa sama sekali. Sebagaimana firman Allah ﷻ:

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” [QS. Al-Baqarah: 286]

Dalam hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika turun firman Allah ﷻ:

لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” [QS. Al-Baqarah: 286]. Lalu Allah menjawab, aku telah mengabulkannya.” [HR. Muslim, no. 125]

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan
• Keliru,
• Lupa, dan
• Dipaksa.” [HR. Ibnu Majah, no. 2045. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih).

Ibnu Taimiyah berkata tentang masalah ini:

مَنْ فَعَلَ مَحْظُورًا مُخْطِئًا أَوْ نَاسِيًا لَمْ يُؤَاخِذْهُ اللَّهُ بِذَلِكَ وَحِينَئِذٍ يَكُونُ بِمَنْزِلَةِ مَنْ لَمْ يَفْعَلْهُ فَلَا يَكُونُ عَلَيْهِ إثْمٌ وَمَنْ لَا إثْمَ عَلَيْهِ لَمْ يَكُنْ عَاصِيًا وَلَا مُرْتَكِبًا لِمَا نُهِيَ عَنْهُ وَحِينَئِذٍ فَيَكُونُ قَدْ فَعَلَ مَا أُمِرَ بِهِ وَلَمْ يَفْعَلْ مَا نُهِيَ عَنْهُ . وَمِثْلُ هَذَا لَا يُبْطِلُ عِبَادَتَهُ إنَّمَا يُبْطِلُ الْعِبَادَاتِ إذَا لَمْ يَفْعَلْ مَا أُمِرَ بِهِ أَوْ فَعَلَ مَا حُظِرَ عَلَيْهِ

“Siapa saja yang melakukan perkara yang dilarang dalam keadaan keliru atau lupa, Allah tidak akan menyiksanya karena hal itu. Kondisinya seperti tidak pernah berbuat kesalahan tersebut, sehingga ia tidak dihukumi berdosa. Jika tidak berdosa, maka tidak disebut ahli maksiat dan tidak dikatakan terjerumus dalam dosa. Jadi ia masih dicatat melakukan yang diperintah, dan tidak mengerjakan yang dilarang. Semisal dengan ini tidak membatalkan ibadahnya. Ibadah itu batal jika tidak melakukan yang Allah perintahkan, atau melakukan yang dilarang.” [Majmu’ah Al-Fatawa, 25:226]

Kedua: Hukum Duniawi

• Jika itu berkaitan dengan meninggalkan perintah karena lupa, maka tidaklah gugur, bahkan harus dilakukan ketika ingat.

• Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa selama bukan pengrusakan, maka tidak dikenakan apa-apa.

• Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa dan ada pengrusakan, maka tetap ada dhaman (ganti rugi).
Kaidah Membedakan Lupa dalam Perintah dan Larangan

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Perbedaan penting yang perlu diperhatikan, bahwa siapa yang melakukan yang haram dalam keadaan lupa, maka ia seperti tidak melakukannya. Sedangkan yang meninggalkan perintah karena lupa, itu bukan alasan gugurnya perintah. Namun bagi yang mengerjakan larangan dalam keadaan lupa, maka itu uzur baginya, sehingga tidak terkenai dosa.” [I’lam Al-Muwaqi’in, 2:51]

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

مَنْ فَعَلَ مَحْظُورًا نَاسِيًا لَمْ يَكُنْ قَدْ فَعَلَ مَنْهِيًّا عَنْهُ

“Barang siapa melakukan suatu yang terlarang karena lupa, maka ia tidak dikatakan melakukan suatu yang terlarang. ” [Majmu’ah Al-Fatawa, 20:573]

Beberapa Bentuk Lupa

Pertama: Lupa dengan meninggalkan perintah

1. Lupa membaca Bismillah pada awal wudhu

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ

“Tidak ada salat bagi yang tidak ada wudhu. Tidak ada wudhu bagi yang tidak membaca Bismillah di dalamnya.” [HR. Abu Daud, no. 101 dan Ibnu Majah, no. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini Hasan).

Kalau dilihat dari hadis-hadis yang ada yang semisal dengan hadis di atas, dapat dikatakan bahwa hadisnya saling menguatkan satu dan lainnya. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:
“Nampak bahwa dilihat dari berbagai macam jalur, hadis yang membicarakan anjuran Bismillah saat wudhu saling menguatkan, yang menunjukkan adanya ajaran akan hal itu.” [Talkhish Al-Habir, 1:128]

Sebagian ulama mendhaifkan hadis di atas. Namun dari berbagai jalur, hadis menjadi kuat. Sedangkan penafian (peniadaan) yang disebutkan dalam hadis adalah kesempurnaan. Jadi maksudnya adalah tidak sempurna wudhunya. Karena ada hadis-hadis yang membicarakan tentang wudhu Nabi ﷺ seperti hadis ‘Abdullah bin Zaid, ‘Utsman bin ‘Affan, dan juga Ibnu ‘Abbas, tidak menyebutkan Bismilah di dalamnya. Sehingga penafian yang ada dimaknakan, tidak sempurna. Jadi tetap ada anjuran membaca Bismillah di awal wudhu, namun tidak menunjukkan wajib.

Ulama Syafi’iyah dan madzhab Imam Ahmad berpendapat, bahwa membaca Bismillah pada awal wudhu termasuk perkara sunnah. Jika lupa membacanya di awal wudhu, maka boleh dibaca kapan pun saat wudhu sebelum wudhu selesai. Jika meninggalkan membaca Bismillah karena lupa, maka sah wudhunya.

2. Lupa mengerjakan salat wajib

Para ulama sepakat, bahwa siapa saja yang lupa salat fardhu, wajib ia mengqadhanya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى

“Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari salat atau ia lupa dari salat, maka hendaklah ia salat ketiak ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah salat ketika ingat.” [QS. Thaha: 14] [HR. Muslim, no. 684)

Cara mengqadhanya jika yang lupa lebih dari satu salat, bisa dengan petunjuk dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berikut ketika beliau mengatakan dalam Manhajus Salikin:

وَمَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةٌ وَجَبَ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا فَوْرًا مُرَتِّبًا

فَإِنْ نَسِيَ أَوْ جَهِلَهُ أَوْ خَافَ فَوْتَ الصَّلاَةِ سَقَطَ التَّرْتِيْبُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الحَاضِرَةِ

“Siapa yang luput dari salat, wajib baginya untuk mengqadhanya segera secara berurutan.

Jika ia lupa, tidak tahu, atau khawatir luput dari salat hadhirah (yang saat ini ada), maka gugurlah tartib (berurutan) antara salat yang luput tadi, dan salat yang hadhirah (yang saat ini ada).”

3. Lupa salah satu bagian salat

Sebagaimana dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, ketentuan mengenai perkara yang tertinggal dalam salat ada tiga yaitu: Fardhu, Sunnah Ab’adh, dan Sunnah Hai’at.

• Jika termasuk Fardhu (Rukun Salat), apabila tertinggal dalam salat, maka tidak bisa digantikan dengan Sujud Sahwi. Akan tetapi jika seseorang teringat sementara jarak waktu masih memungkinkan untuk mengerjakannya, dia harus mengerjakan perkara tersebut dan di akhir melakukan Sujud Sahwi.

• Jika termasuk Sunnah Ab’adh (seperti Tasyahud Awwal, duduk Tasyahud Awwal, Selawat kepada Nabi ﷺ pada Tasyahud Awal, Selawat kepada keluarga Nabi pada Tasyahud Awal dan Akhir, pen.), lalu tertinggal dalam salat, maka tidak perlu diulang apabila yang rukun (fardhu) sudah dikerjakan. Akan tetapi di akhir harus melakukan Sujud Sahwi.

• Jika termasuk dalam Sunnah Hai’at, maka perkara yang tertinggal tersebut tidak perlu diulang setelah tertinggal, dan seseorang tidak perlu melakukan Sujud Sahwi.

Sebab melakukan Sujud Sahwi menurut ulama Syafi’iyah ada empat:

a) Meninggalkan salah satu dari Sunnah Ab’adh seperti Tasyahud Awal.
b) Ragu mengenai jumlah rakaat.
c) Melakukan sesuatu yang terlarang dalam salat karena lupa. Jika dilakukan sengaja, akan membatalkan salat seperti menambah rakaat jadi lima dalam salat Zuhur karena lupa.
d) Memindahkan yang merupakan fi’il (perbuatan) salat, baik Rukun Salat atau Sunnah Ab’adh, atau memindahkan membaca surat bukan pada tempatnya seperti membaca Al-Fatihah ketika tasyahud, membaca surat pendek ketika I’tidal. [Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, 1:173-174]

Cara melakukan Sujud Sahwi:

Sujud Sahwi dilakukan dengan dua kali sujud seperti sujud saat salat. Yang ingin melakukannya berniat untuk Sujud Sahwi. Sujud Sahwi dilakukan di akhir salat sebelum salam. Jika seseorang yang salat mengucapkan salam sebelum Sujud Sahwi dengan sengaja atau lupa, dan jedanya sudah begitu lama, maka Sujud Sahwi jadi gugur. Jika jaraknya masih dekat, maka Sujud Sahwi tetap dilakukan dengan dua kali sujud dengan niatan Sujud Sahwi, lalu salam. Inilah penjelasan dalam Madzhab Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam Al-Fiqh Al-Manhaji, hlm. 174.

Dalam Mughni Al-Muhtaj, salah satu kitab fikih Syafi’iyah disebutkan:
“Tata cara Sujud Sahwi sama seperti sujud ketika salat dalam perbuatan wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thumaninah(bersikap tenang), menahan sujud, menundukkan kepala, melakukan duduk Iftirosy ketika duduk antara dua Sujud Sahwi, duduk Tawarruk ketika selesai dari melakukan Sujud Sahwi, dan zikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti zikir sujud dalam salat.”

4. Lupa membaca Bismillah ketika makan

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: ‘BISMILLAAH AWWALAHU WA AAKHIROHU (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).’” [HR. Abu Daud, no. 3767 dan Tirmidzi, no. 1858. Tirmidzi mengatakan hadis tersebut Hasan Sahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis tersebut sahih]

Dalam lafal lain disebutkan:

إِذَا أَكَلَ أَحَدكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّه ، فَإِنْ نَسِيَ فِي أَوَّله فَلْيَقُلْ : بِسْمِ اللَّه فِي أَوَّله وَآخِره

“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia ucapkan “Bismillah”. Jika ia lupa untuk menyebutnya, hendaklah ia mengucapkan: BISMILLAAH FII AWWALIHI WA AAKHIRIHI (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).” [HR. Tirmidzi no. 1858, Abu Daud no. 3767 dan Ibnu Majah no. 3264. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadis ini Sahih dan Syaikh Al Albani menyatakan hadis ini Sahih]

Kedua: Lupa dengan melakukan larangan

1. Makan dan minun dalam keadaan lupa saat puasa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah ﷺbersabda:

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ

“Barang siapa yang lupa, sedang ia dalam keadaan puasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya, karena kala itu Allah yang memberi ia makan dan minum.” [HR. Bukhari, no. 1933 dan Muslim, no. 1155]

2. Berbicara dalam salat dalam keadaan lupa

Dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamiy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Aku ketika itu salat bersama Nabi ﷺ, lalu ada seseorang yang bersin. Dan ketika itu aku menjawab ‘Yarhamukallah’ (semoga Allah merahmatimu). Lantas orang-orang memalingkan pandangan kepadaku.

Aku berkata ketika itu:

وَاثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَىَّ

“Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memandangku seperti itu?”

Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu, bahwa mereka menyuruhku diam. Lalu aku diam. Tatkala Rasulullah ﷺ selesai salat, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul, dan tidak memakiku. Beliau ﷺ bersabda saat itu:

إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

‘Sesungguhnya salat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena salat itu hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Alquran.’” [HR. Muslim, no. 537]

Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, bahwa siapa yang berbicara ketika salat dalam keadaan lupa, salatnya tidaklah batal, asalkan kata-kata yang keluar sedikit dan nantinya ditutup kealpaan tersebut dengan Sujud Sahwi. Jika kata-kata yang keluar banyak, salatnya batal.

3. Baru mengetahui adanya najis setelah salat

Barang siapa yang lupa membersihkan diri dari najis lalu ia salat dalam keadaan lupa, maka salatnya sah. Masalah najis berkaitan dengan larangan ketika salat. Ketika dilakukan diterjang dalam keadaan lupa, maka salatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi. Hal ini menjadi pendapat Syafi’i yang qadim. Dalil dari hal ini adalah hadis ketika Nabi ﷺ melepas sandal saat salat. Hadis lengkapnya sebagaimana berikut ini.

Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu ia berkata:

بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ قَالُوا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ أَذًى وَقَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا

“Ketika Rasulullah ﷺ salat bersama sahabatnya, tiba-tiba dia melepaskan kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya. Ketika para sahabat melihatnya, mereka pun melepas sandalnya. Ketika Rasulullah ﷺ selesai salat, beliau berkata: ‘Apa yang membuat kalian melepas sandal kalian?’ Mereka berkata: ‘Kami lihat engkau melepas sandalmu, maka kami pun melepas sandal kami.’ Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkan kepadaku, bahwa pada kedua sandalku terdapat kotoran. Dan dia berkata: ‘Jika kalian mendatangi masjid, hendaknya memerhatikan, jika pada sandalnya terdapat najis atau kotoran, hendaknya dia bersihkan, lalu salat dengan memakai keduanya.” [HR. Abu Daud, no. 650. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih]

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:
• Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i. Syaikh Dr. Musthafa Al-Khin, Suyaikh Dr. Musthafa
• Al-Bugha, Syaikh ‘Ali Asy-Syabaji. Penerbit Darul Qalam.
• Al-Haram fii Asy-Syari’ah Al-Islamiyah. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Dr. Qutb Ar Risuni, terbitan Dar Ibni Hazm.
• Al-Mawshu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
• Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib. Al-Qadhi Abu Syuja’.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/19136-fikih-ketika-lupa.html

══════

Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:

WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat

FIKIH KETIKA LUPA

FIKIH KETIKA LUPA

FIKIH KETIKA LUPA