بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
FAQ RAMADAN
1. Apakah Makna Saum ?
Secara bahasa artinya Al Kaffu: menahan diri.
Imam Ibnu Jarir Ath Thabariy rahimahullah berkata:
وَمَعْنَى الصِّيَامِ: الْكَفُّ عَمَّا أَمَرَ اللَّهُ بِالْكَفِّ عَنْهُ
“Makna Ash Shiyam yaitu menahan diri dari apa-apa yang Allah perintahkan untuk ditahan.” [Tafsir Ath Thabariy, 3/152]
Sementara, Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah mengatakan:
الصيام، يطلق على الامساك.
قال الله تعالى: (إني نذرت للرحمن صوما) أي إمساكا عن الكلام.
“Ash Shiyam secara mutlak artinya Al Imsaak (menahan diri). Allah Ta’ala berfirman: Aku (Maryam) bernadzar akan saum, yaitu menahan diri dari berbicara.” [Fiqhus Sunnah, 1/431]
Makna secara syariat, Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
وَهُوَ الْإِمْسَاكُ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ
وَالْوِقَاعِ، بِنِيَّةٍ خَالِصَةٍ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Yaitu menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri, dengan niat ikhlas karena Allah ﷻ semata. [Tafsir Ibnu Katsir, 1/364]
Sayyid Sabiq rahimahullah berkata:
الامساك عن المفطرات، من طلوع الفجر إلى غروب الشمس، مع النية
“Menahan diri dari yang membatalkan, dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari, yang diberangi dengan niat.” [Fiqhus Sunnah, 1/431]
2. Apa Makna Ramadan?
Ramadan, jamaknya adalah Ramadanaat, atau armidhah, atau Ramadanun. Dinamakan demikian karena mereka mengambil nama-nama bulan dari bahasa kuno [Al Qadimah). Mereka menamakannya dengan waktu realita yang terjadi saat itu, yang melelahkan, panas, dan membakar (Ar ramadh). Atau juga diambil dari ramadha ash shaaimu: sangat panas rongga perutnya, atau karena hal itu membakar dosa-dosa. [Lihat Al Qamus Al Muhith, 2/190]
Imam Abul Hasan Al Mawardi rahimahullah mengatakan:
وَكَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ يُسَمَّى فِي الْجَاهِلِيَّةِ ناتِقٌ ، فَسُمِّيَ فِي الْإِسْلَامِ رَمَضَانَ مَأْخُوذٌ مِنَ الرَّمْضَاءِ ، وَهُوَ شِدَّةُ الْحَرِّ: لِأَنَّهُ حِينَ فُرِضَ وَافَقَ شِدَّةَ الْحَرِّ وَقَدْ رَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} قَالَ: إِنَّمَا سُمِّيَ رَمَضَانُ: لِأَنَّهُ يَرْمِضُ الذُّنُوبَ أَيْ: يَحْرِقُهَا وَيَذْهَبُ بِهَا.
“Adalah bulan Ramadan pada zaman Jahiliyah dinamakan dengan ‘kelelahan’. Lalu pada zaman Islam dinamakan dengan Ramadan, yang diambil dari kata Ar Ramdha, yaitu panas yang sangat. Karena ketika diwajibkan puasa bertepatan dengan keadaan yang sangat panas. Anas bin Malik telah meriwayatkan, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya dinamakan Ramadan karena dia memanaskan dosa-dosa. Yaitu membakarnya dan menghapuskannya.” [Al Hawi Al Kabir, 3/854. Darul Fikr]
3. Hukum dan Kedudukannya
Hukumnya wajib, termasuk Rukun Islam. Kewajibannya berdasarkan Alquran [QS. Al Baqarah: 183], As Sunnah (Hadis: Buniyal Islam ‘Ala Khamsin – Islam dibangun di atas lima perkara), serta Ijmak (Konsensus)
Imam Ibnu Rusyd Al Hafid rahimahullah berkata:
لم ينقل إلينا خلاف عن أحد من الأئمة فى ذلك
“Tidak ada nukilan yang sampai kepada kami dari seorang pun para imam tentang perbedaan pendapat dalam hal ini.” [Bidayatul Mujtahid wa Kifayatul Muqtashid, Hal. 265]
4. Bagaimana hukum bagi orang mengingkari kewajibannya?
Saum Ramadan adalah Rukun Islam, dan Al Ma’lum minad din bidh dhararurah (Kewajiban agama yang telah diketahui secara pasti). Mengingkari kewajibannya adalah kafir dan murtad, karena telah mengingkari salah satu Rukun Islam.
Syaikh Abdullah Al Qadiriy Al Ahdal berkata:
أما الحكم على من أنكر ركنا من أركان الإيمان أومن أركان الإسلام، فليس بخاف على صغار طلبة العلم أنه يكون مرتدا، إذا كان من المسلمين،بل إن من أنكر حكما من أحكام الإسلام معلوما من الدين بالضرورة، كتحريم الربا، أو الخمر، أو الزنى، فإنه يكون مرتدا، فكيف بمن أنكر ركنا من أركان الإيمان؟!
“Hukum mengingkari salah satu Rukun Iman atau Rukun Islam, maka tidak samar lagi bagi para penuntut ilmu, bahwa itu adalah murtad jika dilakukan oleh kaum Muslimin. Bahkan jika mengingkari hukum-hukum Islam yang telah pasti haramnya seperti khamr, riba, zina, maka itu murtad. Maka bagaimana dengan yang mengingkari Rukun Iman? (https://www.saaid.net/Doat/ahdal/00026.htm)
5. Tidak puasa tanpa alasan walau masih mengakui kewajibannya, apakah berdosa?
Ya, jika dia tidak berpuasa tanpa alasan yang dibenarkan.
Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata:
وعند المؤمنين مقرر أن من ترك صوم رمضان بلا مرض ولا عرض أنه شر المكاس والزاني ومدمن الخمر بل يشكون في إسلامه ويظنون به الزندقة والانحلال
“Orang-orang beriman telah menetapkan, bahwa orang yang meninggalkan puasa Ramadan padahal tidak sakit dan tidak ada alasan, maka dia lebih buruk dari perampok, pezina, peminum khamr. Bahkan diragukan keIslamannya. Dan mereka menyangka orang tersebut adalah zindik dan telah copot keIslamannya.” [Dikutip oleh Imam Al Munawiy, Faidhul Qadir, 4/211]
6. Kapan saum Ramadan diwajibkan?
Kapan Diwajibkan Puasa Ramadan?
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah:
وقد فرض الله الصيام في السنة الثانية إجماعاً، فصام النبي صلّى الله عليه وسلّم تسع رمضانات إجماعاً
“Telah Ijmak, bahwa Allah mewajibkan puasa pada tahun kedua. Dan Ijmak pula, bahwa puasanya Nabi ﷺ adalah sembilan kali Ramadan.” [Syarhul Mumti, 6/298. Mawqi Ruh Al Islam]
7. Kepada siapakah diwajibkan saum Ramadan?
Saum Ramadan diwajibkan kepada semua Muslim dan Muslimah, yang baligh, berakal, sehat, dan mukim (tidak safar), yang tidak haid dan nifas.
Tidak wajib bagi anak-anak, orang gila, pikun, pingsan, sakit berat, dan safar. Ada pun ibu hamil dan menyusui, boleh baginya berpuasa jika dia kuat, dan boleh juga meninggalkannya, jika khawatir atas dirinya dan bayinya, lalu diqadha di hari lain, atau fidyah menurut pendapat yang lain.
8. Usia berapakah yang tepat mengajarkan anak kecil untuk saum?
Tidak ada keterangan baku baik dalam Alquran dan As Sunnah tentang itu. Jika mau, bisa dianalogikan dengan salat, yaitu di usia tujuh tahun.
Boleh saja lebih muda dari itu jika memang dia mampu. Atau ajak dia berpuasa secara bertahap, setengah hari dulu, atau cara lain yang membuatnya terlatih dan tetap happy.
9. Kalau anak kecil berpuasa, apakah berpahala?
Jawab:
Amal saleh anak kecil tetap berpahala. Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan dalam Al Fatawa Al Kubra:
وقال جمهور العلماء: وثواب عبادة الصبي له
“Berkata Jumhur Ulama: ‘Pahala ibadah anak-anak adalah untuknya.” [Al Fatawa Al Kubra, 5/318]
Al ‘Allamah Muhamnad Al Hathab rahimahullah berkata, sebagaimana dikutip Imam An Nafrawiy rahimahullah:
الصحيح أن أجر أعمال الصبي له ولا تكتب عليه السيئات
“Yang benar, amal-amal baik anak-anak diberikan pahala. Ada pun kejelekannya tidaklah dicatat sebagai dosa.” [Al Fawakih Ad Dawaniy, 1/180]
8. Apakah orang tua juga mendapat pahala jika anaknya berpuasa?
Jawab:
Ya, jika orang tua mendidiknya seperti itu.
Syaikh Muhammad ‘Ulaisy Al Malikiy rahimahullah berkata:
المعتمد أن ثواب عمل الصبي له خاصة، ولوالديه ثواب التسبب فيه
“Pendapat resmi, bahwa pahala amal anak-anak adalah untuknya secara khusus. Adapun kedua orang tuanya dapat pahala karena sebagai sebabnya.” [Fathul ‘Aliy, 1/213)
9. Bolehkah Puasa Tidak Berniat?
Jawab:
Tidak boleh dan tidak sah, sebab niat adalah Rukun Puasa. Sebagian mengatakan syarat sahnya puasa.
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata:
الامساك عن المفطرات، من طلوع الفجر إلى غروب الشمس، مع النية
“Menahan diri dari yang membatalkan dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari, yang dibarengi dengan niat.” [Fiqhus Sunnah, 1/431]
10. Apakah Niat Itu dilafalkan?
Jawab:
Semua ulama sepakat, bahwa tempatnya niat adalah dihati. Tapi mereka berbeda pendapat bolehkah melisankan niat dengan tujuan memerkokoh apa yang ada di hati? Mayoritas Ulama mengatakan sunah, sebagian lain mengatakan tidak boleh.
Imam Muhammad bin Hasan Al Hanafi mengatakan:
النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ فَرْضٌ ، وَذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ سُنَّةٌ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَفْضَل
“Niat di hati adalah wajib. Menyebutnya di lisan adalah sunah. Dan menggabungkan keduanya adalah lebih utama.” [Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/100]
Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:
( وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ
“(Disunahkan mengucapkan) dengan apa yang diniatkan (sesaat sebelum takbir), agar lisan membantu hati dan keluar dari khilaf (perbedaan pendapat), dengan kalangan yang mewajibkan, walaupun yang mewajibkan ini adalah pendapat yang syadz (janggal). Sunnahnya ini diqiyaskan dengan apa yang ada pada haji (yakni pengucapan kalimat talbiyah, pen).” [Tuhfah Al Muhtaj, 5/285]
Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس وللخروج من خلاف من أوجبه
“Dianjurkan mengucapkan apa yang diniatkan sesaat sebelum takbir untuk membantu hati, karena hal itu dapat menjauhkan was-was, dan untuk keluar dari perselisihan pendapat dengan pihak yang mewajibkannya.” [Nihayatul Muhtaj, 1/457. Darul Fikr]
Imam Al Buhuti Al Hambali rahimahullah mengatakan:
وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وُجُوبًا وَاللِّسَانُ اسْتِحْبَابًا
“Tempatnya niat adalah di hati sebagai hal yang wajib, dan disukai (sunah) diucapkan lisan.” [Kasysyaf Al Qina’, 2/442. Mawqi’ Islam]
Sementara ulama lain seperti Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata:
وهي عمل قلبي محض لا دخل للسان فيه،والتلفظ بها غير مشروع
“Niat adalah murni perbuatan hati, bukan termasuk amalan lisan. Dan melafalkan niat merupakan amalan yang tidak disyariatkan.” [Fiqhus Sunnah, 1/43. Darul Kitab Al ‘Arabi]
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah berkata:
التلفظ بالنية بدعة ، والجهر بذلك أشد في الإثم ، وإنما السنة النية بالقلب ؛ لأن الله سبحانه يعلم السر وأخفى ، وهو القائل عز وجل { قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ } . ولم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ولا عن أحد من أصحابه ، ولا عن الأئمة المتبوعين التلفظ بالنية ، فعُلم بذلك أنه غير مشروع ، بل من البِدَع المحدثة . والله ولي التوفيق .
“Melafalkan niat adalah bidah, dan mengeraskannyalebih berat lagi dosanya. Sunahnya adalah niat itu di hati, karena Allah Ta’ala mengetahui rahasia dan yang tersembunyi. Allah ﷻ berfirman: “Katakanlah, apakah kalian hendak mengajarkan Allah tentang agama kalian? Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang di langit dan apa-apa yang di bumi.”
Dan, tidak ada yang sahih dari Nabi ﷺ, tidak pula dari seorang pun sahabatnya, dan tidak pula dari para imam panutan tentang pelafalan niat. Maka telah diketahui, bahwa hal itu tidaklah disyariatkan, bahkan termasuk bidah yang diada-adakan. Wallahu Waliyut Taufiq.” [Fatawa Islamiyah, 1/478]
Demikianlah perbedaan pendapat dalam hal ini. Hendaknya kita lapang dada, silakan ambil sikap, tapi jangan ingkari yang berbeda.
11. Bolehkah niat puasa Ramadan setelah Subuh?
Jawab:
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini:
Imam Malik: Niat itu mesti SEBELUM Subuh, baik puasa wajib atau puasa Sunnah.
Imam Asy Syafi’iy: Niat itu SEBELUM Subuh jika puasa wajib, dan tetap sah jika setelah Subuh bagi puasa Sunnah.
Imam Abu Hanifah: Setelah Subuh tetap sah, baik puasa wajib atau Sunnah. [Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Hal. 266]
Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:
وَفَرَّقَ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ بَيْنَ الْفَرْضِ وَالنَّفَل، فَاشْتَرَطُوا لِلْفَرْضِ التَّبْيِيتَ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ لَمْ يُجَمِّعِ الصِّيَامَ قَبْل الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ وَأَمَّا النَّفَل فَاتَّفَقُوا عَلَى صِحَّةِ صَوْمِهِ بِنِيَّةٍ قَبْل الزَّوَال، لِحَدِيثِ عَائِشَةَ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال لِعَائِشَةَ يَوْمًا: هَل عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟ قَالَتْ: لاَ. قَال: فَإِنِّي إِذَنْ أَصُومُ
Syafi’iyyah dan Hambaliyah membedakan antara wajib dan sunah. Mereka mensyaratkan untuk saum wajib adalah masih kisaran malam hari. Hal ini berdasarkan hadis: ‘Barang siapa yang belum meniatkan puasa di malam hari, maka tidak ada puasa baginya.’
Untuk saum Sunnah mereka sepakat boleh sampai sebelum Zawwal (Zuhur). Berdasarkan hadis Aisyah, bahwa Nabi ﷺ bertanya kepada Aisyah di pagi hari: “Apakah kamu ada makanan?” Aisyah menjawab: “Tidak.” Nabi ﷺ menjawab: “Kalau begitu saya berpuasa.” [Al Mausu’ah, 10/15]
12. Apakah niat wajib tiap malam? Atay cukup sekali di awal Ramadan?
Mayoritas Ulama mengatakan wajib TIAP MALAM:
ذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى تَجْدِيدِ النِّيَّةِ فِي كُل يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ…
Madzhab Mayoritas Ulama adalah niat itu harus diperbarui setiap hari puasa di bulan Ramadan.
وَلأِنَّ كُل يَوْمٍ عِبَادَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ ، لاَ يَرْتَبِطُ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ ، وَلاَ يَفْسُدُ بِفَسَادِ بَعْضٍ…….
Karena masing-masing hari adalah ibadah yang tersendiri, satu sama lain tidak saling terkait, dan tidaklah batal yang satu membuat batal yang lain.
وَذَهَبَ زُفَرُ وَمَالِكٌ – وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ أَحْمَدَ – أَنَّهُ تَكْفِي نِيَّةٌ وَاحِدَةٌ عَنِ الشَّهْرِ كُلِّهِ فِي أَوَّلِهِ ، كَالصَّلاَةِ. وَكَذَلِكَ فِي كُل صَوْمٍ مُتَتَابِعٍ ، كَكَفَّارَةِ الصَّوْمِ وَالظِّهَارِ…..
Ada pun Zufar, Malik, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, bahwa niat cukup sekali untuk satu bulan, yaitu di awal malam Ramadan, sebagaimana salat. Demikian pula puasa dua bulan berturut-turut, baik karena kafarat atau zhihar.” [Al Mausu’ah Al Fiqhyah Al Kuwaitiyah, 28/26]
Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:
ولابد أن تكون قبل الفجر، من كل ليلة من ليالي شهر رمضان
“Harus berniat sebelum Subuh, setiap malamnya di antara malam-malam bulan Ramadan.” [Fiqhus Sunnah, 1/437]
Demikian. Wallahu a’lam.
13. Lagi Sahur tahu-tahunya masuk azan Subuh, bagaimana?
Jawab:
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah menjelaskan:
ويباح للصائم، أن يأكل، ويشرب، ويجامع، حتى يطلع الفجر، فإذا طلع الفجر، وفي فمه طعام، وجب عليه أن يلفظه، أو كان مجامعا وجب عليه أن ينزع.
فإن لفظ أو نزع، صح صومه، وإن ابتلع ما في فمه من طعام، مختارا، أو استدام الجماع، أفطر.
“Dibolehkan bagi orang yang berpuasa untuk makan, minum, dan jimak sampai terbitnya fajar.
Jika fajar sudah terbit dan di mulutnya ada makanan, maka wajib baginya membuangnya. Atau dia sedang jimak, wajib baginya mencabutnya. Maka jika sudah dibuang atau dicabut, maka sah puasanya. Tapi jika makanan tersebut ditelan juga, atau jimaknya diteruskan, maka puasanya batal. [Fiqhus Sunnah, 1/464]
Dalilnya adalah:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Bilal biasa melakukan azan (pertama) di malam hari. Maka Rasulullah ﷺ berkata: “Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummu Maktum melakukan azan, karena dia tidak melakukan azan, kecuali sudah terbit fajar.” ][HR. Bukhari no. 1918])
14. Bangun Subuh kesiangan, dalam keadaan junub pula, bagaimana puasanya?
Jawab:
Silakan lanjuntukan puasanya, tidak masalah. Jangan lupa mandi janabah dulu, lalu salat Subuh dan lanjuntkan puasanya.
‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiallahu ‘anhuma menceritakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
“Adalah Rasulullah ﷺ memasuki fajar dalam keadaan junub karena berhubungan dengan istrinya, lalu dia mandi dan berpuasa.” [HR. Bukhari No. 1925, Muslim No. 1109]
Imam Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan:
قَالَ الْقُرْطُبِيّ: فِي هَذَا فَائِدَتَانِ ، إِحْدَاهُمَا أَنَّهُ كَانَ يُجَامِع فِي رَمَضَان وَيُؤَخِّر الْغُسْل إِلَى بَعْد طُلُوع الْفَجْر بَيَانًا لِلْجَوَازِ. الثَّانِي أَنَّ ذَلِكَ كَانَ مِنْ جِمَاع لَا مِنْ اِحْتِلَام لِأَنَّهُ كَانَ لَا يَحْتَلِم إِذْ الِاحْتِلَام مِنْ الشَّيْطَان وَهُوَ مَعْصُوم مِنْهُ.
“Berkata Al Qurthubi: ‘Hadis ini ada dua faidah. Pertama: Bahwa beliau berjimak pada Ramadan (malamnya), dan mengakhirkan mandi hingga setelah terbitnya fajar, merupakan penjelasan bolehnya hal itu. Kedua: Hal itu (junub) dikarenakan jimak bukan karena mimpi basah, karena beliau tidaklah mimpi basah, mengingat bahwa mimpi basah adalah dari syetan, dan beliau ma’shum dari hal itu.” [Fathul Bari, 4/144]
15. Takut tidak bisa bangun sahur, akhirnya makan sahurnya jam 22-23. Apakah ini boleh?
Jawab:
Tentu makan jam 22-23 tidak ada larangannya. Tapi apakah itu dinamakan makan sahur? Tentu bukan. Sebab makan sahur itu adalah makan di waktu sahur.
Sahur adalah nama penggalan waktu, yaitu di sepertiga malam terakhir.
Pertanyaan ini mirip pertanyaan, apakah makan jam 7 pagi disebut makan siang? Tentu bukan. Itu sarapan namanya. Namun bagi yang melakukannya puasanya tetap sah, walau dia tidak dihitung bersahur.
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
وقت السحور بين نصف الليل وطلوع الفجر
“Waktu sahur adalah antara tengah malam dan terbitnya fajar.” [Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/360]
Imam Ad Dasuqi rahimahullah mengatakan:
ويدخل وقت السحور بنصف الليل الأخير وكلما تأخر كان أفضل
“Masuknya waktu sahur itu adalah pada tengah malam akhir. Dan jika diakhirkan, maka itulah yang lebih utama.” [Hasyiyah Ad Dasuqi, 1/515]
Syaikh Abdullah Al Faqih hafizhahullah mengatakan:
فإذا كان ما قمت به من أكل ونحوه قد حصل بعد منتصف الليل فهو سحور، وإن كان قبل ذلك فلا يعتبر سحوراً شرعاً، والصيام صحيح مع ترك السحور أصلاً
“Maka, jika makan dan semisalnya setelah tengah malam, maka itulah sahur. Jika sebelumnya, maka itu tidak dinamakan sahur secara syar’iy. Tapi pada dasarnya puasanya tetap sah, walau dia tidak sahur.” [Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 108993]
16. Puasa tapi tidak sahur, bagaimana?
Jawaban:
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah mengatakan:
وقد أجمعت الامة على استحبابه، وأنه لا إثم على من تركه
“Umat telah Ijmak atas kesunahannya, dan tidak berdosa meninggalkannya.” [Fiqhus Sunnah, 1/455]
Tapi janganlah hal itu dijadikan kebiasaan, sebab khawatir menyerupai puasanya orang kafir.
Dari Amru bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السُّحُور
“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah pada makan sahur.” [HR. Muslim No. 1096]
17. Mencicipi makanan saat puasa bolehkah?
Jawab:
Mencicipi saja di lidah lalu dibuang, sekadar untuk mengetahui rasa atau suatu hajat, bukan untuk menikmatinya, adalah tidak apa-apa.
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah:
وقال ابن عباس: لا بأس أن يذوق الطعام الخل، والشئ يريد شراءه. وكان الحسن يمضغ الجوز لابن ابنه وهو صائم، ورخص فيه إبراهيم.
“Berkata Ibnu Abbas: ‘Tidak mengapa mencicipi asamnya makanan, atau sesuatu yang hendak dibelinya.’ Al Hasan pernah mengunyah-ngunyah kelapa untuk cucunya, padahal dia sedang puasa. Dan Ibrahim memberikan keringanan dalam hal ini.” [Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/462]
Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:
فلا خلاف بين الفقهاء في أن ذوق الصائم للطعام لا يبطل صومه ما لم يصل شيء من ذلك إلى جوفه. وهو جائز من غير كراهة إذا دعت إليه الحاجة
“Tidak ada perbedaan pendapat di antara fuqaha, tentang mencicipi makanan bagi seorang yang berpuasa, bahwa itu tidak membatalkan puasanya, selama tidak sampai ke rongga perutnya. Hal itu dibolehkan dan tidak makruh, jika memang disebabkan adanya keperluan untuk itu.” Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 6363]
Tapi jika tidak ada perlunya, hanya iseng saja, tentu jangan, sebab itu perbuatan yg sia-sia.
18. Mencium aroma yang sedap bolehkah?
Jawab:
Tidak apa-apa, itu bukan materi. Ini sama seperti aroma masakan saat seorang wanita masak dan dia sedang puasa.
Syaikh Sulaiman bin Manshur Al Jamal rahimahullah berkata:
لِأَنَّهُ لَيْسَ عَيْنًا وَيُؤْخَذُ مِنْ هَذَا أَنَّ وُصُولَ الدُّخَانِ الَّذِي فِيهِ رَائِحَةُ الْبَخُورِ أَوْ غَيْرُهُ إلَى جَوْفِهِ لَا يَضُرُّ وَإِنْ تَعَمَّدَ ذَلِكَ
.. karena itu bukan materi. Dari sinilah, bahwasanya sampainya asap wewangian bukhur (dupa) atau lainnya sampai ke rongga perut tidaklah masalah, walau dia sengaja melakukannya.” [Hasyiyah Al Jamal, 2/318]
Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وَشَمُّ الرَّوَائِحِ الطَّيِّبَةِ لَا بَأْسَ بِهِ لِلصَّائِمِ
“Mencium harum-haruman adalah tidak mengapa bagi orang berpuasa.” [Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Fatawa Al Kubra, 5/376]
19. Bolehkah menikah saat Ramadan?
Jawab:
Tidak ada larangan menikah di bulan Ramadan, atau di bulan apa pun.
Hanya saja, nikah di bulan Ramadan, bagaimana dengan pesta walimahnya? Sebab ketika siang tamu umumnya berpuasa, kalau malam mereka juga Tarawih. Kecuali jika ingin akadnya saja di malam hari.
Lalu kuatkah menahan diri? Biasanya pengantin baru itu maunya berduaan terus, khawatir tidak kuasa menahan diri, akhirnya mereka merusak puasanya di siang hari.
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid hafizhahullah mengatakan:
ليس في الشريعة أي نهي عن الزواج في رمضان لذات رمضان ، ولا في غيره من الأشهر ، بل الزواج جائز في أي يوم من أيام السنة .
“Dalam syariat tidak ada larangan menikah di bulan Ramadan, semata-mata Ramadannya. Begitu pula tidak ada larangan di bulan lainnya. Tetapi nikah boleh dilakukan waktu kapan pun dihari-hari sepanjang tahun.
لكن الصائم في رمضان يمتنع عن الطعام والشراب والجماع من الفجر إلى غروب الشمس ، فإن كان يملك نفسه , ولا يخشى أن يفعل ما يفسد صيامه , فلا حرج عليه من الزواج في رمضان .
“Tetapi orang yang sedang berpuasa terlarang untuk makan, minum, dan jimak, sejak terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Jika dia mampu menguasai diri dan tidak khawatir akan melakukan hal yang bisa merusak puasa, maka tidak apa-apa baginya menikah di bulan Ramadan.
والظاهر أن الذي يريد أن يبدأ حياته الزوجية في رمضان ، – غالباً – لا يستطيع الصبر عن زوجته الجديدة طوال النهار ، فيُخشى عليه من الوقوع في المحظور ، وانتهاك حرمة هذا الشهر الفضيل ، فيقع في الإثم الكبير ، مع وجوب القضاء والكفارة المغلظة ، وهي عتق رقبة ، فإن لم يجد فصيام شهرين متتابعين ، فإن لم يستطع فإطعام ستين مسكينًا ، وإذا تكرر الجماع في عدة أيام تكررت معه الكفارة بعدد الأيام .
Kenyataannya, orang yang akan menilai kehidupan suami istri di bulan Ramadan, biasanya, tidak mampu bersabar atas istrinya di sepanjang siang. Khawatirnya dia melakukan hal terlarang di siang hari. Dengan itu dia merusak kehormatan bulan Ramadan. Dosa besar, dan wajib baginya qadha, juga kafarat, yaitu dengan membebaskan budak. Kalau tidak mampu, maka puasa dua bulan berturut-turut. Kalau tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin. Jika ini terjadi berulang-ulang, maka sebanyak itu pula kafarat yang dia lakukan.” [Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 65736]
20. Bolehkah Mencium istri saat puasa?
Jawab:
Boleh, selama bisa menahan diri. Jika tidak bisa menahan diri, maka makruh.
Diriwayatkan dari Umar radhilallahu ‘anhu:
عنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ
“Suatu hari bangkitlah syahwat saya. Lalu saya mencium istri. Saat itu saya sedang puasa. Maka saya datang kepada Rasulullah ﷺ, saya berkata: ‘Hari inib aku telah melakukan hal yang besar. Aku mencium istri, padahal sedang puasa. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Apa pendapatmu jika kamu bekumur-kumur dengan air dan kamu sedang berpuasa? Saya (Umar) menjawab: ‘Tidak mengapa.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Lalu, kenapa masih ditanya?’ [HR. Ahmad No. 138. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: Sahih, sesuai syarat Muslim. Lihat Taliq Musnad Ahmad No. 138]
Dalam hadis lain, dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:
كان يباشر و هو صائم ، ثم يجعل بينه و بينها ثوبا . يعني الفرج
“Rasulullah bermubasyarah padahal sedang puasa. Lalu dia membuat tabir dengan kain antara dirinya dengan kemaluan (‘Aisyah).” [HR. Ahmad No. 24314, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: Sahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 24314]
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berikut:
قال ابن المنذر رخص في القبلة عمر وابن عباس وأبو هريرة وعائشة، وعطاء، والشعبي، والحسن، وأحمد، وإسحاق. ومذهب الاحناف والشافعية: أنها تكره على من حركت شهوته، ولا تكره لغيره، لكن الاولى تركها. ولا فرق بين الشيخ والشاب في ذلك، والاعتبار بتحريك الشهوة، وخوف الانزال، فإن حركت شهوة شاب، أو شيخ قوي، كرهت. وإن لم تحركها لشيخ أو شاب ضعيف، لم تكره، والاولى تركها. وسواء قبل الخد أو الفم أو غيرهما. وهكذا المباشرة باليد والمعانقة لهما حكم القبلة.
Berkata Ibnul Mundzir: Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Aisyah, Atha’, Asy Sya’bi, Ahmad dan Ishaq, mereka memberikan rukhshah (keringanan) dalam hal mencium (istri).
Madzhab Hanafi dn Asy Syaf’i: Mencium itu makruh jika melahirkan syahwat, dan tidak makruh jika tidak bersyahwat. Tetapi lebih utama meninggalkannya.
Dalam hal ini, tak ada perbedaan antara anak muda dan orang tua. Yang menjadi pelajaran adalah munculnya syahwat (rangsangan) itu, dan kekhawatiran terjadinya inzal (keluarnya mani). Maka, munculnya syahwat, baik anak muda dan orang tua yang masih punya kekuatan, adalah makruh. Namun jika tidak menimbulkan syahwat, baik untuk orang tua atau anak muda yang lemah, maka tidak makruh. Dan lebih utama adalah meninggalkannya. Sama saja, baik mencium pipi, atau mulut, atau lainnya. Begitu pula mubasyarah (hubungan-cumbu) dengan tangan atau berpelukan, hukumnya sama dengan mencium.” [Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah , 1/461]
21. Bolehkah menghirup obat flu atau menyemprot obat asma?
Jawab:
Tidak apa-apa, selama tidak sampai ke perut. Demikian uang difatwakan Ulama Kontemporer.
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah mengatakan:
وبخاخ الربو لا يفطّر لأنه غاز مضغوط يذهب إلى الرئة وليس بطعام ، وهو محتاج إليه دائما في رمضان وغيره
“Semprotan asma tidak membatalkan puasa, karena itu adalah gas yang ditekan ke arah paru-paru dan bukan makanan. Dan dia selalu membutuhkannya, baik di Ramadan atau lainnya. [Fatawa Ad Da’wah no. 997]
Berkata Syaikh Utsaimin rahimahullah:
هذا البخاخ يتبخر ولا يصل إلى المعدة ، فحينئذٍ نقول: لا بأس أن تستعمل هذا البخاخ وأنت صائم ، ولا تفطر بذلك
“Semprotan ini menguap dan tidak sampai ke perut. Maka saat itu kami katakan, tidak apa-apa menggunakan semprotan ini di saat Anda puasa, dan Anda tidak batal karenanya.” [Fatawa Arkanul Islam no. 475]
22. Obat tetes mata, bolehkah?
Jawab:
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah:
الاكتحال: والقطرة ونحوهما مما يدخل العين، سواء أوجد طعمه في حلقه أم لم يجده، لان العين ليست بمنفذ إلى الجوف. وعن أنس: ” أنه كان يكتحل وهو صائم “. وإلى هذا ذهبت الشافعية، وحكاه ابن المنذر، عن عطاء، والحسن، والنخعي، والاوزاعي، وأبي حنيفة، وأبي ثور. وروي عن ابن عمر، وأنس وابن أبي
أوفى من الصحابة. وهو مذهب داود. ولم يصح في هذا الباب شئ عن النبي صلى الله عليه وسلم، كما قال الترمذي.
“Bercelak dan meneteskan obat atau lain-lain ke dalam mata, semuanya adalah sama. Walaupun terasa dalam keronkongan atau tidak, karena mata bukanlah bukanlah jalan menuju rongga perut. Dari Anas: “Bahwa beliau bercelak, padahal sedang berpuasa. Inilah Madzhab Syafi’iyyah, dan menurut cerita Ibnul Mundzir, ini juga pendapat Atha, Al Hasan, An Nakhai, Al Auzai, Abu Hanifah dan Abu Tsaur. Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Anas, dan Ibnu Abi Aufa dari golongan sahabat. Ini juga Madzhab Daud. Dalam masalah ini, tak ada satu pun yang Sahih dari Nabi ﷺ (yang menunjukkan larangan, pen), sebagaimana yang dikatakan oleh Imam At Tirmidzi. [Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 460]
23. Obat tetes telinga, apakah juga boleh?
Jawab:
Tidak apa-apa untuk pengobatan, yang dengannya dapat menghilangkan sakit yang dialaminya. Tapi jika bukan untuk pengobatan, sebaiknya jangan dilakukan.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar rahimahullah menjelaskan:
ابتلى بوجع فى أذنه لا يحتمل معه السكون الا بوضع دواء يستعمل فى دهن أو قطن و تحقق التخفيف أو زوال الألم به بأن عرف نفسه أو أخبره طبيب جاز ذلك و صح صومه للضرورة
“Seseorang tertimpa rasa sakit di telinganya, dan itu membuatnya tidak nyaman kecuali dengan meletakkan obat yang digunakan pada minyak atau kapas, yang dengannya dia menjadi lebih ringan atau hilang sakitnya. Hal ini telah dia ketahui, dan memberitahukannya ke seorang dokter, maka itu boleh, dan puasanya tetap sah karena darurat.” [Bughiyah Al Mustarsyidin, Hal. 182]
24. Gosok gigi bolehkah?
Jawab:
Tidak apa-apa, bahkan Sunnah, selama dia bisa menjaga jangan sampai tertelan airnya.
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata:
ويستحب للصائم أن يتسوك أثناء الصيام، ولا فرق بين أول النهار وآخره. قال الترمذي: ” ولم ير الشافعي بالسواك، أول النهار وآخره بأسا “. وكان النبي صلى الله عليه وسلم يتسوك، وهو صائم.
“Disunahkan bersiwak bagi orang yang berpuasa ketika ia berpuasa. Tak ada perbedaan antara di awal siang dan akhirnya. Berkata At Tirmidzi: Imam Asy Syafi’i menganggap tidak mengapa bersiwak pada awal siang dan akhirnya. Dan Nabi ﷺ bersiwak, padahal dia sedang puasa.” [Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1,Hal. 459]
Beliau menambahkan:
والصائم والمفطر في استعماله أول النهار وآخره سواء، لحديث عامر بن ربيعة رضي الله عنه
“Dan disunnahkan bagi orang yang berpuasa dan tidak, untuk bersiwak baik di awal siang atau di akhirnya. Sama saja.”
Diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah radhiallahu ‘anhu:
وَيُذْكَرُ عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَاكُ وَهُوَ صَائِمٌ مَا لَا أُحْصِي أَوْ أَعُدّ
Disebutkan dari Amir bin Rabi’ah, dia berkata: “Aku melihat Nabi ﷺ bersiwak, dan dia sedang puasa, dan tidak terhitung jumlahnya.” [HR. Bukhari, Bab Siwak Ar Rathbi wal Yaabis Lish Shaa-im]
Imam Al Bukhari membuat judul Bab dalam kitab Jami’ush Shahih-nya:
بَاب سِوَاكِ الرَّطْبِ وَالْيَابِسِ لِلصَّائِمِ
“Siwak dengan yang kayu basah dan yang kering bagi orang berpuasa.”
Imam Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath:
وَأَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَةِ إِلَى الرَّدِّ عَلَى مَنْ كَرِهَ لِلصَّائِمِ الِاسْتِيَاكَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ كَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّعْبِيِّ ، وَقَدْ تَقَدَّمَ قَبْلُ بِبَابِ قِيَاسِ اِبْنِ سِيرِينَ السِّوَاكَ الرَّطْبَ عَلَى الْمَاء الَّذِي يُتَمَضْمَضُ بِهِ
“Keterangan ini mengisyaratkan bantahan atas pihak yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa, yakni bersiwak dengan kayu basah, seperti kalangan Malikiyah dan Asy Sya’bi. Dan telah dikemukakan sebelumnya tentang qiyasnya Ibnu Sirin, bahwa bersiwak dengan yang basah itu sama halnya seperti air, yang dengannya kita berkumur-kumur (yakni boleh, pen).” [Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/158]
Sebagian ulama ada yang membolehkan di pagi hari, tapi memakruhkan di sore hari. Alasannya, hal itu “menghilangkan” jejak ibadah, yaitu bau mulut. Padahal bau mulut orang berpuasa lebih Allah Ta’ala cintai dibanding Kesturi.
25. Berbekam, ambil darah buat lab, cabut gigi, bolehkah?
Jawab:
Tidak apa-apa jika tidak sampai melemahkan badan, dan tidak pula darah itu tertelan bagi yang cabut gigi. Madzhab Hambaliy tidak membolehkan. Tapi dalil yang lebih kuat adalah boleh.
Dalilnya:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Nabi ﷺ berbekam dan beliau sedang ihram. Dan pernah berbekam, padahal sedang berpuasa.” [HR. Bukhari No. 1938]
Dari Tsabit Al Bunani:
سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لَا إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
“Anas bin Malik ditanya: “Apakah Anda memakruhkan berbekam bagi orang puasa?” Beliau menjawab: “Tidak, selama tidak membuat lemah.” [HR. Bukhari No. 1940]
Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ وَغَيْره: فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ حَدِيث ” أَفْطَرَ الْحَاجِم وَالْمَحْجُوم ” مَنْسُوخ لِأَنَّهُ جَاءَ فِي بَعْض طُرُقه أَنَّ ذَلِكَ كَانَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاع
“Berkata Ibnu Abdil Bar dan lainnya: “Hadis ini merupakan dalil, bahwa hadis yang berbunyi “Orang yang membekam dan yang dibekam, hendaknya berbuka”, telah mansukh (dihapus), karena telah ada beberapa riwayat lain, bahwa hal itu (berbekam ketika ihram) terjadi pada Haji Wada’ (perpisahan). [Fathul Bari, 4/178. Darul Marifah]
Dari keterangan ini maka jelaslah kebolehan berbekam. Kecuali jika melemahkan, maka ia makruh, sebagaimana yang dikatakan Anas bin Malik radhiallahu anhu. Hal ini sama dengan orang yang mendonorkan darahnya, tidak apa-apa jika tidak melemahkannya. Inilah pendapat yang lebih kuat dalam hal ini.
26. Kumur-kumur dan menghirup air lewat hidung apa boleh juga?
Jawab:
Dari Laqith bin Shabrah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
أَسْبِغْ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah berwudhuk dan gosok-gosoklah antara jari jemari kalian. Dan bersungguhlah dalam menghirup air, kecuali jika kalian puasa.” [HR. Abu Daud No. 2366, At Tirmidzi No. 788, katanya: Hasan Sahih]
Hadis ini menunjukkan bolehnya menghirup air ke rongga hidung, namun makruh jika berlebihan. Oleh karena itu Imam At Tirmidzi memberi judul Bab Ma Jaa Fi Karahiyah Mubalaghah Al Istinsyaq Li Shaim (Apa-apa saja yang dimakruhkan, berupa menghirup air bagi orang berpuasa secara berlebihan/mubalaghah).
Apakah batasan berlebihan? Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri ketika mengomentari hadis di atas:
فَلَا تُبَالِغْ لِئَلَّا يَصِلَ إِلَى بَاطِنِهِ فَيُبْطِلَ الصَّوْمَ.
“Maka janganlah berlebihan, yakni hingga sampainya (air) ke rongga perutnya, sehingga batal-lah puasa.” [Tuhfah Al Ahwadzi, 3/418. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah]
Diriwayatkan dari Umar radhilallahu ‘anhu:
عنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ
“Suatu hari bangkitlah syahwat saya, lalu saya mencium istri. Saat itu saya sedang puasa. Maka saya datang kepada Rasulullah ﷺ, saya berkata: Hari ini, aku telah melakukan hal yang besar. Aku mencium istriku, padahal sedang puasa. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Apa pendapatmu jika kamu bekumur-kumur dengan air dan kamu sedang berpuasa? Saya (Umar) menjawab: ‘Tidak mengapa.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Lalu kenapa masih ditanya? [HR. Ahmad No. 138. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: Sahih, sesuai syarat Muslim. Lihat Taliq Musnad Ahmad No. 138]
Hadis ini menunjukkan, bahwa berkumur-kumur tidaklah mengapa. Dan disamakan dengan mencium istri, selama tidak sampai berlebihan.
Wallahu A’lam
27. Mandi siang-siang, bagaimana?
Jawab:
Boleh, dan Nabi ﷺ melakukannya, asalkan bisa yakin menjaga jangan sampai tertelan airnya.
Abu Bakar berkata, telah ada yang bercerita kepadaku seseorang:
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعَرْجِ يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ الْعَطَشِ أَوْ مِنْ الْحَر
“Aku telah melihat Rasulullah ﷺ mengguyurkan air ke kepalanya, lantaran rasa haus dan panas.”
[HR. Malik, Al Muwaththa, No. 561, riwayat Yahya Al Laits. Ahmad No. 16602. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 16602]
Disebutkan dalam Imam Abu Sulaiman Walid Al Baji rahimahullah mengatakan:
وَقَدْ بَلَغَ بِهِ شِدَّةُ الْعَطَشِ أَوْ الْحَرِّ أَنْ صَبَّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ لِيَتَقَوَّى بِذَلِكَ عَلَى صَوْمِهِ وَلِيُخَفِّفْ عَنْ نَفْسِهِ بَعْضَ أَلَمِ الْحَرِّ أَوْ الْعَطَشِ وَهَذَا أَصْلٌ فِي اسْتِعْمَالِ مَا يَتَقَوَّى بِهِ الصَّائِمُ عَلَى صَوْمِهِ مِمَّا لَا يَقَعُ بِهِ الْفِطْرُ مِنْ التَّبَرُّدِ بِالْمَاءِ وَالْمَضْمَضَةِ بِهِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُعِينُهُ عَلَى الصَّوْمِ وَلَا يَقَعُ بِهِ الْفِطْرُ ؛ لِأَنَّهُ يَمْلِكُ مَا فِي فَمِهِ مِنْ الْمَاءِ وَيَصْرِفُهُ عَلَى اخْتِيَارِهِ
“Beliau mengalami haus atau panas yang sangat, sehingga beliau mengguyurkan air ke kepalanya untuk menguatkan puasanya, dan meringankan sebagian rasa sakit yang dialami dirinya, lantaran panas atau haus. Ini adalah hukum dasar dalam memakai apa saja yang bisa menguatkan orang berpuasa, yakni tidaklah membatalkan puasa, baik berupa menyejukkan diri dengan air dan berkumur-kumur dengannya. Karena hal itu bisa membantunya dalam puasa, dan tidaklah membatalkan puasanya, karena dia mampu menjaga mulutnya dari air, dan bisa mengatur air.” [Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, Juz. 2, Hal. 172, Mawqi’ Al Islam]
Tentang hadis di atas, berkata Imam Asy Syaukani rahimahullah:
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لِلصَّائِمِ أَنْ يَكْسِرَ الْحَرَّ بِصَبِّ الْمَاءِ عَلَى بَعْضِ بَدَنِهِ أَوْ كُلِّهِ ، وَقَدْ ذَهَبَ إلَى ذَلِكَ الْجُمْهُورُ ، وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ الْأَغْسَالِ الْوَاجِبَةِ وَالْمَسْنُونَةِ وَالْمُبَاحَةِ.
وَقَالَتْ الْحَنَفِيَّةُ: إنَّهُ يُكْرَهُ الِاغْتِسَالُ لِلصَّائِمِ ، وَاسْتَدَلُّوا بِمَا أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ عَلِيٍّ مِنْ النَّهْيِ عَنْ دُخُولِ الصَّائِمِ الْحَمَّامَ
“Dalam hadis ini terdapat dalil bolehnya bagi orang puasa mengurangi rasa panas dengan mengguyurkan air ke sebagian badannya atau seluruhnya (seperti mandi, pen). Demikianlah Madzhab Jumhur (Mayoritas Ulama), dan mereka tidak membedakan antara mandi wajib, sunah, dan mubah (semuanya hukumnya sama).
Kalangan Hanafiyah berkata: Sesungguhnya mandi adalah makruh bagi orang berpuasa. Mereka beralasan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Ali, berupa larangan bagi orang puasa untuk memasuki kamar mandi. [Nailul Authar, 4/585. Lihat Aunul Mabud, 6/352]
Tetapi riwayat larangan tersebut adalah dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar. (Ibid)
28. Berenang atau berendam saat puasa bagaimana?
Jawab:
Imam Abul Walid Al Baji rahimahullah mengatakan:
وَيُكْرَهُ لَهُ الِانْغِمَاسُ فِي الْمَاءِ لِئَلَّا يَغْلِبَهُ الْمَاءُ مَعَ ضِيقِ نَفَسِهِ فَيَفْسُدَ صَوْمُهُ فَإِنْ فَعَلَ فَسَلِمَ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ.
“Dan dimakruhkan berendam dalam air, karena air telah menguasai (menutupi) dirinya dan membuatnya disempitkan dengan air tersebut, sehingga puasanya bisa dirusak olehnya. Tetapi jika dia melakukan itu, dan selamat dari hal itu, maka tidak apa-apa.” [Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, Juz. 2, Hal. 172, Mawqi’ Al Islam]
29. Suntik saat puasa bagaimana?
Jawab:
Hal ini diperselisihkan ulama kita.
Syaikh Ahmad bin Umar Asy Syathiriy rahimahullah menjelaskan:
أما حكم الإبرة قالوا إن الإبرة التى يحقن بها المريض تمر بالعروق و تصل إلى الجوف فتفسد الصوم لكن قال بعض العلماء كل ما يدخل الى الجسم من منفذ غير طبيعى فإنه لا يبطل به الصوم
“Adapun hukum suntikan, para ulama mengatakan, bahwa suntikan yang diinjeksi kepada orang sakit yang melewati urat/pembuluh darahnya dan sampai ke lambung, maka dapat merusak puasanya. Tetapi sebagian ulama mengatakan, semua yang masuk ke tubuh dari jalan yang tidak alami, maka itu tidak membatalkan puasa.” [Syarh Al Yaqut An Nafis, Hal. 307]
Jalan tengahnya, jika dia sedang sakit, lebih baik ambil rukhshah untuk tidak berpuasa. Sebab orang sakit boleh tidak berpuasa dan ganti hari lain.
30. Kawan saya buka puasa di waktu Isya, sedangkan kita berbuka puasa di Maghrib. Apakah ada dalilnya?
Jawab:
Mereka yang berbuka Isya, dalilnya adalah firman Allah ﷻ:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa kalian sampai Lail (malam). [QS. Al Baqarah: 187]
Mereka anggap Isya itulah makna dari Lail (malam).
Apa arti Al Lail?
“اللَّيْلُ: من مَغْرِبِ الشمسِ إلى طُلوعِ الفَجْرِ الصادِقِ أو الشمسِ”
“Lail (malam) itu dimulai dari terbenam matahari sampai terbitnya fajar Ash Shadiq atau matahari. [Qamus Al Muhith, Hal. 1364]
Dalam Lisanul ‘Arab:
اللَّيْلُ: عقيب النهار ، ومَبْدَؤُه من غروب الشمس” انتهى.
Al Lail artinya setelah siang, dimulainya dari terbenamnya matahari. [Lisanul ‘Arab, 11/607]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat di atas:
يقتضي الإفطار عند غُرُوب الشمس حكمًا شرعيًا
“Ayat ini menunjukkan, bahwa berbuka puasa adalah saat terbenam matahari secara hukum syar’iy.” [Tafsir Ibnu Katsir, 1/517]
Dalil hadis:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا ، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا ، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Jika malam telah datang dari sini, dan siang telah tertutup dari sini, dan matahari terbenam, maka itu waktu berbuka bagi yang puasa.” [HR. Bukhari no. 1954]
Dalam hadis lain:
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَمَّا غَرَبَتْ الشَّمْسُ قَالَ لِبَعْضِ الْقَوْمِ يَا فُلَانُ قُمْ فَاجْدَحْ لَنَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ أَمْسَيْتَ قَالَ انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَوْ أَمْسَيْتَ قَالَ انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا قَالَ إِنَّ عَلَيْكَ نَهَارًا قَالَ انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا فَنَزَلَ فَجَدَحَ لَهُمْ فَشَرِبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ اللَّيْلَ قَدْ أَقْبَلَ مِنْ هَا هُنَا فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
Dari ‘Abdullah bin Abu Awfa radliallahu ‘anhu berkata: ‘Kami pernah bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu perjalanan dan beliau berpuasa. Ketika matahari terbenam, beliau berkata kepada sebagian rombongan: “Wahai Fulan, bangun dan siapkanlah minuman buat kami”. Orang yang disuruh itu berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kita menunggu hingga sore?” Beliau berkata: “Turunlah dan siapkan minuman buat kami.” Orang itu berkata lagi: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kita menunggu hingga sore?” Beliau berkata lagi: “Turunlah dan siapkan minuman buat kami.” Orang itu berkata lagi: “Sekarang masih siang.” Beliau kembali berkata: “Turunlah dan siapkan minuman buat kami.” Maka orang itu turun lalu menyiapkan minuman buat mereka. Setelah minum lalu Nabi ﷺ berkata: “Apabila kalian telah melihat malam sudah datang dari arah sana, maka orang yang puasa sudah boleh berbuka.” [HR. Bukhari no. 1955]
Bersambung…
Oleh: Farid Nu’man Hasan (alfahmu.id)
══════
Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
FAQ RAMADAN
Leave A Comment