بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
FAIDAH SEPUTAR BULAN SYAKBAN
Kata Pembuka
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد للّه، والصلاة والسلام على رسول اللّه.
Segala puji hanyalah milik Allah Subhanahu wa Taala. Salawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah ﷺ. Berikut ini adalah kumpulan ringkasan yang berisi faidah-faidah seputar Syakban.
Kami memohon kepada Allah agar menjadikan risalah ini bermanfaat, dan semoga Allah membalas dengan kebaikan setiap orang yang turut andil di dalam membantu penyusunan dan penyebaran risalah ini.
Syakban adalah bulan kedelapan dari kalender Hijriah, berada di antara Rajab dan Ramadan. Disebut Syakban karena orang-orang Arab terdahulu yatasya’abuna (berpencar dan berpisah) di bulan ini dalam rangka mencari air.
Ada juga yang berpendapat, di bulan ini sejumlah kabilah/ suku berkelompok-kelompok (Tasya’ubil Qobail) ke dalam pasukan-pasukan penyerangan.
Sebagian lagi berpendapat, dikatakan Syakban dikarenakan sya’aba yaitu yang muncul di antara Rajab dan Ramadan.
Bentuk pluralnya adalah: Sya’abina atau Syakbanat. [Tafsir Ibnu Katsir IV/147 dan Lisanul ‘rab I/502]
Syakban adalah bulan penuh berkah di antara Rajab dan Ramadan, yang banyak dilalaikan orang. Padahal dianjurkan untuk memerbanyak puasa di bulan Syakban ini.
Dari Usamah bin Zayd radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
<< يَا رَسُولَ اللَّه، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَاتـَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ؟ قَالَ ﷺ: (ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ الْأَعْمَالُ إِلـى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، فَأًحِبُّ أَنْ يُرْفـعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ) >>
“Wahai Rasulullah, saya belum pernah melihat Anda berpuasa di bulan-bulan lainnya seperti Anda berpuasa di bulan Syakban ini?”
Rasulullah ﷺ menjawab: “Karena ini bulan yang banyak dilalaikan manusia, di antara Rajab dan Ramadan. Padahal di bulan ini amalan terangkat sampai ke Rabb Semesta Alam. Dan aku senang apabila saat amalku terangkat, sedangkan aku berpuasa.” [HR. an-Nasai No: 2375 dan dihasankan Syaikh al-Albani di dalam ash-Shahahah No: 1898]
Menghidupkan Syakban dengan Berpuasa
Nabi ﷺ berpuasa Sunnah di bulan Syakban ini tidak seperti berpuasa di bulan-bulan lainnya. Beliau ﷺ lebih banyak berpuasa di bulan Syakban ini.
Sebagaimana diceritakan Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
<< مَا رأيْتُ رَسُولَ اللَّه صلى اللّه عليه وسلّم اسْتكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ، وَ مَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ >>
“Tidak pernah saya melihat Rasulullah ﷺ menyempurnakan puasa di suatu bulan, seperti berpuasa di bulan Ramadan. Dan belum pernah saya melihat beliau lebih banyak berpuasa di suatu bulan, seperti berpuasa di bulan Syakban.” [HR. Bukhari no.1969 dan Muslim no.1156]
Di dalam riwayat lain:
وَفِي رواية: << كَانَ يَصُومُ شـعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا >>
“Pernah Nabi berpuasa di bulan Syakban seluruhnya, dan pernah juga berpuasa Syakban hanya sedikit (hari) saja.” [HR. Bukhari No.1970 dan Muslim No.1156]
Nabi ﷺ belum pernah berpuasa selama dua bulan berturut-turut, kecuali di bulan Syakban dan Ramadan. Beliau ﷺ berpuasa lebih banyak di bulan Syakban, dan menyambungnya dengan Ramadan.
Sebagaimana diutarakan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
<< قالت أًمُّ الْمُؤْمنين أمّ سَلَمَه رضي اللّه عنها: مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلّي اللّه عليه و سلّم يَصُومُ شَهْرَيْنَ مًتَتَابِعَيْنِ إِلَّا شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ >>
“Belum pernah saya melihat Nabi ﷺ berpuasa dua bulan berturut-turut, kecuali di bulan Syakban dan Ramadan.” [HR. Tirmidzi No.736 dan Nasa’i No.2352. Disahihkan oleh al-Albani]
Banyak orang yang lalai berpuasa di bulan Syakban, lantaran bulan ini didahului oleh bulan al-Haram (bulan suci) yaitu Rajab, di mana berpuasa di bulan-bulan suci (asyhur al-hurum)
(Saat Allah ﷻ menciptakan langit dan bumi, Allah ﷻ telah menentukan jumlah bulan yaitu dua belas bulan: EMPAT di antaranya adalah BULAN HARAM. Tiga bulan berurutan yaitu Zulqaidah, Zulhijah, lalu Muharam, serta satu yang terpisah, yaitu Rajab. Ini merupakan bulan-bulan haram yang diagungkan, baik pada masa Jahiliyyah ataupun pada masa Islam).
Allah ﷻ berfirman:
(إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتٰبِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ ۚ وَقٰتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَاعْلَمُوٓا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ)
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya, sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.” [QS. at-Taubah: 36]
Ini secara umum adalah dianjurkan, namun tanpa meyakini keutamaan khusus terhadap Rajab dibandingkan bulan haram lainnya. Lalu diikuti oleh Ramadan yang penuh berkah. Akhirnya banyak orang yang teralihkan dari Syakban lantaran kedua bulan ini. Padahal dianjurkan untuk menghidupkan Syakban ini dengan berpuasa.
Bulan yang Sering Dilalaikan
Ucapan Nabi ﷺ: “Karena ini bulan yang banyak dilalaikan manusia di antara Rajab dan Ramadan.”
Di sini terdapat isyarat halus, bahwa seyogyanya manusia menggunakan waktu-waktu lainnya dengan amal ketaatan.
Dan hal ini termasuk perkara yang dicintai dan diridai Allah ﷻ. Karena itulah ada sejumlah salaf yang menyukai salat sunnah (tathawwu’) di antara waktu Maghrib dan Isya dengan alas an, bahwa ini waktu yang seringkali dilalaikan (manusia).
Demikian pula lebih diutamakan salat malam pada sepertiga malam terakhir, karena ini waktu yang paling banyak dilalaikan manusia dari berzikir (mengingat) Allah.
Nabi ﷺ bersabda:
<< النبيُّ صلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الرَّبُّ مِنَ العَبْدِ فِي جَوْفِ اللّيْلِ الآخِرِ، فَإنَ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ يَذْكُرُ اللَّه فِي تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ >>
“Waktu terdekat Rabb kepada hamba-Nya adalah di saat malam terakhir. Karena itu jika kau mampu untuk menjadi orang yang berzikir kepada Allah di waktu tersebut, maka kerjakanlah.” [HR. Tirmidzi no.3579 dan Nasa’i no.572. Disahihkan oleh al-Albani]
Karena itulah dianjurkan untuk berzikir kepada Allah di tempat-tempat yang di sana banyak kelalaian, keberpalingan, dan sedikitnya orang yang berzikir, seperti di pasar dan majelis-majelis yang sia-sia. [Lathaiful Maarif karya Ibnu Rajab Hal: 131]
Di antara faidah beramal di waktu lalai adalah, bahwa seorang Muslim yang menghidupkan waktu-waktu yang dilalaikan manusia dengan amal ketaatan, maka hal ini lebih menyembunyikan amalannya.
Sedangkan menyembunyikan amal-amal ketaatan yang bersifat nafilah (sunnah) itu lebih dekat kepada keikhlasan. Akan sulit bagi seorang Muslim untuk bisa selamat dari riya’ (pamer/ingin dilihat) apabila ia menampakkan amal salehnya.
Syakban adalah bulan diangkatnya amalan kepada Allah, sebagaimana di dalam hadis: “Di bulan ini amalan terangkat sampai ke Rabb Semesta Alam, dan aku senang di saat amalku terangkat, aku sedang berpuasa.”
Nabi ﷺ senang saat amalan beliau terangkat, beliau dalam keadaan berpuasa. Karena di momen tersebut lebih diterimanya amalan dan diangkatnya derajat. Karena itu hendaknya kaum Muslimin meneladani Nabi mereka ﷺ di dalam hal ini, dan memerbanyak puasa di bulan Syakban.
Diangkatnya Amalan
Dalam Tahdibus Sunan Abi Dawud Karya Ibnul Qayyim (III/199), Thariqul Hijratain Hal: 75 dan Latha ‘iful Ma’arif Hal: 126 Menerangkan terangkatnya amalan kepada Allah ﷻ ada tiga macam, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil syariat:
Pertama:
Terangkatnya amalan harian, yaitu sehari dua kali, di malam dan siang hari, sebagaimana dalam hadis:
<< يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ، وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ >>
“Amalan malam terangkat kepada Allah sebelum amalan siang, dan amalan siang sebelum amalan malam.” [HR. Muslim: 179]
Jadi amalan siang diangkat pada saat akhir, dan amalan malam juga diangkat pada saat akhir. Malaikat naik dengan membawa amalan pagi yang terakhir di awal waktu siang, dan naik membawa amalan siang setelah selesainya di waktu awal malam, sebagaimana di dalam hadis:
<< الحديث: < يَتَعَاقُبُونَ فِيكُمْ مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بِالنَهَارِ،وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الفَجْرِ وَ صَلَاةِ العَصْرِ… >>
“Malaikat yang bertugas di malam dan siang hari bergantian mengamati kalian. Lalu mereka berkumpul di waktu salat Fajar (Subuh) dan waktu salat Ashar.” [HR. Bukhari no.555 dan Muslim no.632]
<< فَمَن كَانَ حيئذٍ فِي طَاعَة بُورِكَ له في رزقه و في عمله >>
“Maka barang siapa yang di waktu tersebut berada di dalam ketaatan, maka dia akan diberkahi rezeki dan amalannya.” [Fathul Bari karya Ibnu Hajar II/37]
Karena itulah Adh-Dhahhak biasa menangis di akhir waktu siang lalu berkata: “Saya tidak tahu apakah amalanku terangkat (ataukah tidak).” [Lathaiful Ma’arif Hal: 127]
Kedua:
Terangkatnya amalan pekanan. Amalan terangkat dalam pekannya sebanyak dua kali, yaitu di hari Senin dan Kamis, sebagaimana dalam hadis: “Amalan manusia terangkat setiap pekannya sebanyak dua kali, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Setiap hamba beriman akan diampuni dosanya, kecuali seorang hamba yang dia memiliki permusuhan dengan saudaranya. Dikatakan kepadanya: “Tinggalkan kedua orang ini sampai mereka berdua berdamai.” [HR. Muslim: 36]
Ibrahim an-Nakha’i pernah menangis di hadapan istrinya pada hari Kamis, dan istrinya pun juga ikut menangis. An-Nakha’i berkata: “Hari ini amalan kita terangkat kepada Allah ﷻ.” [Latha’iful Ma’arif Hal: 127]
Ketiga:
Terangkatnya amalan tahunan. Semua amalan dalam setahun terangkat seluruhnya dalam setahun pada bulan Syakban, sebagaimana ditunjukkan sabda Nabi ﷺ: “Di bulan ini amalan terangkat sampai ke Rabb semesta alam.”
Kemudian barulah terangkat seluruh amalan seumur hidup setelah mati. Apabila ajal datang menjemput, maka terangkatlah amalan seumur hidupnya seluruhnya di hadapan Allah ﷻ, dan dihamparkan lembaran amalannya. Ini adalah paparan yang terakhir.
Setiap terangkatnya amalan ini terdapat hikmah yang hanya diketahui oleh Rabb kita ﷻ saja.
Dari Allah-lah risalah itu berasal, dan tugas Rasulullah ﷺ yang menyampaikan, sedangkan kewajiban kita hanyalah menerima.
Menambah Amalan Ketaatan
Dianjurkan bagi setiap Muslim untuk menambah intensitas amalan ketaatannya di waktu-waktu terangkatnya amalan kepada Allah ﷻ.
Hendaknya ia berpuasa Senin dan Kamis sebagaimana tuntunan Nabi ﷺ, dan memerbanyak puasa di bulan Syakban, serta berbekal dengan amalan saleh di siang dan malam hari. Juga beribadah mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang Allah cintai dan ridai.
Hendaknya setiap Muslim mengingat, bahwa amalannya akan terangkat kepada Allah ﷻ di bulan ini, entah itu amal baik ataupun buruk.
Maka hendaknya ia memilih bagi dirinya amalan manakah yang ia inginkan bisa terangkat kepada Allah, karena amalannya ini merupakan sebab diperolehnya balasan pahala atau hukuman yang buruk. Termasuk juga amalannya yang diterima atau ditolak oleh Allah. Semoga Allah melindungi!
Syakban itu adalah bulan pendahulu bagi Ramadan, layaknya waktu untuk berlatih dalam berpuasa. Karena itu disyariatkan di bulan Syakban sebagaimana disyariatkan di bulan Ramadan, seperti puasa dan membaca Alquran, agar diri lebih siap di dalam bersua dengan Ramadan, dan jiwa bisa lebih mantap di dalam menaati Allah.
Maka dari itu bersegeralah di dalam amal ketaatan di bulan Syakban. Dan hendaknya setiap Muslim dan Muslimah bersiap sedia menyambut Ramadan, agar saat memasukinya, ia sudah tidak merasakan berat lagi.
Apabila ia telah terlatih dan sudah terbiasa dengan puasa maka ia akan mendapati, bahwa puasanya di bulan Syakban sebelum Ramadan itu terasa nikmat dan menyenangkan. Sehingga saat ia memasuki puasa Ramadan, ia lebih kuat dan lebih bersemangat. [Latha’iful Ma’arif Hal:134]
Sebagian orang ada yang mengeluhkan betapa beratnya berpuasa, salat malam, dan mengkhatamkan Alquran di bulan Ramadan, lantaran mereka tidak berpuasa dan tidak salat malam, kecuali hanya pada waktu Ramadan saja.
Di mana gerangan mereka ini saat Syakban, momen untuk melatih, membiasakan diri, dan bersiap-siap? Jiwa itu jika terbiasa untuk bersantai-santai dan tidur, maka akan sulit dan berat baginya untuk menegakkan salat malam, karena tak pernah membiasakan diri dan berlatih.
Bulan Menanam Amalan
Sebagaimana dinyatakan oleh Abu Bakr al-Balkhi rahimahullah:
<< قال أبوبكر البلخيُّ رحمه اللّه: شهر رَجَبٍ شهر الزَّرْع، وشهر رمضان شهرحصاد الزَّرْع >>
“Rajab adalah bulan untuk menanam. Syakban adalah bulan untuk mengairi tanaman. Sedangkan Ramadan adalah bulan untuk menuai hasil panen.”
Beliau rahimahullah juga berkata:
<< وقال: مَثَل شهر رَجَب كالرِّيح، ومثل شعبان مثل الغيم، ومثل رمضان مثل المطر >>
“Perumpamaan Rajab itu seperti angin. Syakban itu seperti mendung. Dan Ramadan itu seperti hujan.” [Latha’iful Ma’arif Hal: 121]
Maka barang siapa yang tidak menanam di bulan Rajab dan mengairinya di bulan Syakban, lantas bagaimana bisa ia memanennya di bulan Ramadan?!
Bagaimana ia bisa merasakan nikmatnya amal ketaatan dan ibadah di bulan Ramadan, sedangkan ia belum pernah memersiapkan dirinya dengan apa pun sebelum datangnya Ramadan?
Karena itu hendaknya kita bersegera menggunakan kesempatan ini sebelum ia berlalu.
Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata:
“Saya tidaklah menangisi diriku saat kematian datang. Namun yang kutangisi adalah kebutuhanku (untuk beribadah) saat ia berlalu.” [Hilyatul Awliya’ 10/51 dan as-Siyar 13/15]
Dahulu para salaf mereka mendedikasikan waktu di bulan Syakban untuk membaca Alquran. Mereka mengatakan:
<< شَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ القُرَّاء >>
“Syakban adalah bulannya para pembaca Alquran.” [Latha’iful Ma’arif Hal:135]
Syakban adalah momen untuk membantu orang-orang fakir miskin dan bersedekah kepada mereka, agar mereka bisa lebih kuat di dalam melaksanakan puasa Ramadan dan salat malam (Tarawih).
Di antara kesalahan yang umum terjadi, bahwa ada sejumlah orang yang sudah jatuh waktunya untuk menunaikan zakat di bulan Rajab atau Syakban, namun mereka malah menundanya di bulan Ramadan, dengan anggapan bahwa hal ini lebih afdhal dan lebih besar pahalanya!!
Menunda-nunda zakat tidak diperbolehkan, apabila telah sempurna haulnya (selama setahun penuh) dan mencapai nishabnya. Menunda zakat itu mengandung kezaliman terhadap fakir miskin karena menunda hak mereka, dan merupakan bentuk maksiat kepada Allah Rabb Semesta Alam, karena melewati batasan yang sudah ditentukan Allah.
Namun boleh menyegerakan zakat sebelum waktunya sesuai kebutuhan kaum fakir dan untuk membantu mereka.
Barang siapa yang masih memiliki utang puasa Ramadan yang lalu, maka wajib baginya untuk mengqadha di bulan Syakban sebelum masuknya Ramadan berikutnya, selama ia memang mampu melakukannya.
Tidak boleh baginya menundanya hingga selepas Ramadan tanpa ada uzur (alasan) yang syari.
Waktu Mengqadha Puasa Ramadan
Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
<< قالت أُمُّ الؤمنين عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: كَانَ يَكُونُ عَلـيّ الصّـوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، قال الرواي: الشُّغْلُ مِنَ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلّمَ >>
“Aku pernah berutang puasa Ramadan dan aku tidak bisa mengqadhanya kecuali pada bulan Syakban.”
Sang Perawi Hadis berkata: “Karena beliau sibuk dengan Nabi ﷺ, atau bersama Nabi ﷺ.” [HR. Bukhari no. 1951 dan Muslim no. 1950]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
“Dapat diambil faidah dari semangat beliau (Ibunda Aisyah) mengganti puasanya di bulan Syakban, bahwa tidak diperbolehkan menunda qadha (membayar utang puasa) sampai masuknya Ramadan berikutnya.” [Fathul Bari: IV/191]
Barang siapa yang memiliki utang puasa Ramadan dan ia belum mengqadhanya hingga masuk Ramadan berikutnya, maka:
Jika memang ada alasan (uzur) yang berkesinambungan di antara dua Ramadan, maka ia wajib mengqadhanya setelah Ramadan kedua. Dan ia tidak berdosa, asalkan ia tetap mengqadhanya.
Misalnya, karena sakit yang berlanjut hingga masuk Ramadan berikutnya, maka ia tidak berdosa ketika menunda qadhanya. Karena ia memang dalam kondisi makdzur (yang dimaklumi). Dan kewajibannya hanyalah qadha puasa yang ia tinggalkan saja.
• Namun jika ia meninggalkan qadha tanpa ada uzur, maka ia berdosa lantaran telah menunda-nunda di dalam mengqadha puasanya tanpa alasan yang dibenarkan.
• Ulama bersepakat, bahwa ia tetap wajib mengqadha puasanya, namun mereka berbeda pendapatm apakah ia wajib membayar kafarat atas sikap menunda-nundanya ataukah tidak?
• Sebagian ulama berpendapat ia wajib qadha dan memberi makan orang miskin sejumlah hari yang ia tidak berpuasa. Ini adalah pendapat Syafi’i dan Ahmad. Ada pula atsar dari sejumlah sahabat yang berpendapat seperti ini.
• Sebagian ulama lain berpendapat, ia hanya wajib qadha dan tidak wajib memberi makan orang miskin. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang dipilih oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. [Lihat: al-Mughni karya Ibnu Qudamah (IV/400), al-Majmu’ karya Nawawi (VI/366), Latha’iful Ma’arif (Hal: 134) dan Syarhul Mumti’ karya Ibnu ‘Utsaimin (VI/445)]
Larangan Mengkhususkan Malam Nishfu Syakban
Tidak boleh merayakan malam Nishfu Syakban, atau mengkhususkannya dengan salat malam, puasa, ziarah kubur, bersedekah untuk arwah orang yang telah meninggal dunia, atau dengan mengamalkan ibadah tertentu. Semua ini termasuk bidah.
Tidak ada satu pun hadis sahih yang bisa dijadikan dasar tentang keutamaan Nishfu Syakban. Bahkan hadis-hadis yang berbicara tentang hal ini, kalau tidak lemah, ya palsu. Hal ini menyelisihi pendapat sejumlah ulama yang menilai sebagian hadisnya ada yang sahih.
Hadis-hadis yang membicarakan salat Nishfu Syakban sebagiannya lemah, dan sebagiannya lagi palsu lagi dusta atas nama Nabi ﷺ. Tidak ada satu pun yang valid dari Nabi ﷺ, dan tidak pula dari sahabat beliau. [Lihat: al-Manarul Munif karya Ibnul Qayyim Hal: 98, Latha’iful Ma’arif Hal: 137, al-Fawa’id al-Majmu’ah karya Syaukani Hal: 106), Fatawa Ibnu Baz (I/186) dan Fatawa Lajnah Da’imah (III/61)]
Barang siapa yang memang biasa melakukan salat malam, lalu melaksanakan salat malam saat Nishfu Syakban sebagaimana yang ia biasa kerjakan di malam-malam lainnya, tanpa meyakini adanya keutamaan khusus pada malam ini, atau lebih menambah amalan dan lebih bersungguh-sungguh, maka ini tidak mengapa.
Tidak disyariatkan menyendirikan puasa pada hari Nishfu Syakban, kecuali jika memang bertepatan dengan kebiasan puasanya, seperti puasa Senin Kamis, tanpa meyakini adanya keutamaan khusus pada hari Nishfu Syakban.
Hadis yang membicarakan anjuran untuk berpuasa di Nishfu Syakban ini adalah hadis yang lemah lagi tidak valid.
Hari Nishfu Syakban itu sejatinya bagian dari Ayyamul Bidh (hari-hari “putih” pada pertengahan bulan Hijriah), yang memang dianjurkan berpuasa di hari-hari tersebut setiap bulannya, yaitu pada tanggal 13, 14 dan 15.
Maka barang siapa yang berpuasa Nishfu Syakban (15 Syakban) dengan diiringi puasa tanggal 13 dan 14, maka ia telah sesuai dengan sunnah, tanpa meyakini keutamaan khusus dari hari Nishfu Syakban ini.
Adapun orang yang menyendirikan puasa Nishfu Syakban, maka tidak bisa dikatakan ia berpuasa pada Ayyamul Bidh. Bahkan bisa dikatakan bahwa ia menyendirikan puasa Nishfu Syakban ini karena meyakini adanya keutamaan di hari ini dibandingkan hari-hari lainnya. Maka ini suatu hal yang terlarang. [Lihat: Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (III/138), Latha’iful Ma’arif Hal: 136, Fatawa Ibnu Baz (I/186 dan 191)]
Demikian pula yang difatwakan oleh Syaikh Ibnu Jibrin.
Hikmah Dilarangnya Berpuasa Sehari atau Dua Hari Sebelum Ramadan
Hadis yang berbunyi: “Apabila telah masuk pertengahan Ramadan, maka janganlah kalian berpuasa.” [HR. Abu Dawud (2337), Tirmidzi no.738 dan Ibnu Majah no.1651), dinilai lemah oleh Mayoritas Ulama]
Para imam yang senior berkata: “Hadis ini mungkar”. Di antara para imam senior yang berpendapat seperti ini adalah: Abdurahman bin Mahdi, Imam Ahmad, Abu Zur’ah ar-Razi, dan lain-lain. [Lathaiiful Ma’arif Hal: 135]
Maka dengan demikian, berpuasa setelah masuk pertengan bulan Syakban tidaklah dibenci, melainkan sehari atau dua hari sebelum masuk Ramadan, maka ini diharamkan.
Bagi mereka yang menganggap hadis tersebut di atas Sahih dan melarang berpuasa setelah masuk pertengahan bulan Syakban, yaitu mereka dari Madzhab Syafi’iyah, maka larangan ini dikecualikan bagi mereka yang memang sudah terbiasa berpuasa.
Seperti seseorang yang biasa melaksanakan puasa Senin Kamis, maka ia tetap boleh berpuasa Senin Kamis, meskipun telah masuk pertengahan Syakban.
Dan orang yang memulai berpuasa sebelum masuk pertengahan Syakban kemudian melanjutkan hingga setelah pertengahan Syakban, maka ini juga tidak termasuk di dalam larangan.
Karena Nabi ﷺ bersabda:
<< كَانَ يَصُومً شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ إٌلَّا قَلِيْلًا >>
“Beliau pernah berpuasa Syakban di keseluruhan harinya, dan pernah pula beliau berpuasa Syakban itu hanya sedikit.” [HR. Bukhari: 1970 dan Muslim: 1156]
Termasuk juga yang dikecualikan dari larangan adalah orang yang berpuasa setelah pertengahan Syakban untuk mengqadha puasa Ramadan yang lalu. [Lihat: al-Majmu’ karya Nawawi VI/399, Riyadhush Salehin Hal:354, Tahdzibus Sunan Abi Dawud karya Ibnul Qayyim II/20 dan Latha’iful Ma’arif Hal:136]
Diharamkan berpuasa sunnah sehari atau dua hari sebelum masuk Ramadan, kecuali bagi orang yang terbiasa melakukan puasa, atau orang yang berpuasa qadha nadzar, atau mengqadha puasa Ramadannya yang lalu, atau orang yang menyambung puasanya dengan hari sebelumnya.
Sebagaimana hadis:
<< لا تُقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلا يَوْمَيْنِ إِلا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ >>
“Janganlah kalian mendahului Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali seseorang yang ia biasa berpuasa di hari tersebut, maka silakan ia berpuasa.” [HR. Bukhari: 1914 dan Muslim: 1072]
Puasa di akhir Syakban itu ada tiga kondisi:
Pertama: Dia berpuasa dengan niat puasa Ramadan, dengan maksud berhati-hati. Maka ini terlarang.
Kedua: Dia berpuasa dengan niat puasa nadzar, atau qadha Ramadan, atau puasa kafarat, atau yang semisalnya, maka ini diperbolehkan oleh Mayoritas Ulama.
Ketiga: Dia berpuasa dengan niat puasa sunnah mutlak, maka ini dibenci (makruh), kecuali apabila bertepatan dengan kebiasaan puasanya, atau ia telah mendahului puasanya lebih dari dua hari sebelum akhir Syakban, dan menyambungnya dengan Ramadan. [Lihat: Syarh Nawawi VII/194 dan Latha’iful Ma’arif Hal: 144]
Di antara hikmah dilarangnya berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadan adalah agar puasa Ramadan tidak tertambah dengan sesuatu yang tidak berasal darinya, sebagai bentuk kehati-hatian dari perilaku Ahli Kitab di dalam puasa mereka, yang gemar menambah-nambahkan sesuatu dengan akal-akalan dan hawa nafsu.
Selain itu juga untuk memisahkan antara puasa fardhu (wajib) dengan puasa nafilah (sunnah). Karena memisahkan jenis ibadah wajib dan sunnah itu sesuatu yang disyariatkan. Karena itulah Nabi ﷺ melarang menyambung salat fardhu dengan salat sunnah, sampai dipisah dengan ucapan atau perpindahan tempat. [Sahih Muslim: 883]
Peristiwa Besar di Bulan Syakban
Hari Syak (meragukan) adalah hari ketiga puluh bulan Syakban, saat langit tertutup mendung, dan manusia tidak bisa melihat hilal.
Disebut hari syak karena ini hari yang meragukan, apakah hari tersebut adalah hari akhir bulan Syakban, atau hari pertama Ramadan?
Karena itu dilarang berpuasa di hari ini, kecuali bagi orang yang memang terbiasa puasa. Misalnya bertepatan dengan Senin atau Kamis, sedangkan ia terbiasa berpuasa Senin Kamis, sebagaimana hadis ‘Ammar radhiyallahu ‘anhu:
<< عن عَمَّار بن ياسرٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ: مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّك فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ >>
“Barang siapa yang berpuasa pada hari syak, maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Muhammad ﷺ).” [HR. Bukhari III/27 secara mu’allaq dengan shighah jazm (bentuk kalimat pasti), dan disambung sanadnya oleh riwayat Abu Dawud (2334), Tirmidzi (686), Nasa’i (2188) dan Ibnu Majah (1645), serta disahihkan oleh al-Albani]
Di bulan Syakban ini terjadi beberapa peristiwa besar, di antaranya:
• Kewajiban puasa Ramadan pada tahun kedua Hijriyah.
• Perpindahan Kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram pada tahun kedua Hijriyah. (Ada yang berpendapat hal ini terjadi di bulan Rajab, atau Jumadil Akhirah).
• Nabi ﷺ menikahi Hafshah radhiyallahu ‘anha pada tahun ketiga Hijriyah.
• Meletusnya perang Bani Musthaliq pada tahun kelima Hijriyah.
• Meletusnya perang Tabuk pada tahun kesembilan Hijriyah, dan peristiwa ini terjadi di bulan Rajab. Lalu Nabi ﷺ kembali ke Madinah pada waktu Ramadan. Adapula yang berpendapat pada bulan Syakban.
• Dan lain-lain
Khatimah
مَضـى رَجَبٌ ومَا أَحْسـنْتَ فيهِ
وهذا شَهْرُ شَعْبَانَ المُبَرَكْ
فيَا مَن ضَيَّعَ الأوقاتَ جهلًا
بِحُرْمَتِها أَفِقْ واحْذَر بَوارَكْ
فسوفَ تُفارِقُ اللَّذاتِ قَسْرًا
ويُخلِي الموتُ كَرهًا مِنك دَارَكْ
تَدارَكْ مَا استطعتَ مِنَ الَخطايا
بتوبَةِ مُخْلِصٍ واجْعَل مَدارَكْ
علَى طَلَبِ السَّلامَةِ مِن جَحِيمٍ
فخيرُ ذَوِي الجَرَائِم مَن تَدَارَكْ
Rajab telah berlalu, dan alangkah baiknya kau di dalamnya,
Dan tibalah Syakban yang penuh berkah ini,
Wahai orang-orang yang menyia-nyiakan waktu karena kejahilan,
Atas kehormatannya berhati-hati dan waspadalah dari stagnasi,
Karena kelak kau kan berpisah dengan kenikmatan secara terpaksa,
Dan kematian kan melepaskan kebencian darimu,
Kau perbaiki semampumu dosa-dosamu,
Dengan tobat yang tulus, dan kau jadikan poros dirimu,
Untuk mencari keselamatan dari Neraka Jahim,
Karena sebaik-baik pelaku keburukan adalah mereka yang berusaha memerbaikinya.
نسأل اللَّه تعالى أن يُوَفَّقنا لما يحبُّه ويرضاه وأن يبلِّغنَا رمضان في صِحَّةٍ و عافيةٍ و إيمانٍ
والحمد للَّه ربِّ العالمين
Kita memohon kepada Allah agar memberikan kita taufik kepada segala hal yang Ia cintai dan ridai, dan menghantarkan kita ke bulan Ramadan dalam keadaan sehat walafiyat lagi penuh keimanan.
Segala puji hanyalah milik ALLAH Rabb Semesta Alam.
Dialih bahasakan oleh: @abinyasalma
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Baca juga:
FAIDAH SEPUTAR BULAN SYAKBAN
FAIDAH SEPUTAR BULAN SYAKBAN
FAIDAH SEPUTAR BULAN SYAKBAN
FAIDAH SEPUTAR BULAN SYAKBAN
FAIDAH SEPUTAR BULAN SYAKBAN
FAIDAH SEPUTAR BULAN SYAKBAN
FAIDAH SEPUTAR BULAN SYAKBAN
Leave A Comment