بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ 

DERAJAT HADIS: AIR LAUT SELALU MINTA IZIN INGIN MENENGGELAMKAN DARATAN
 
Al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibaaniy (w. 241 H) rahimahullah dalam kitabnya “al-Musnad” (no. 303) meriwayatkan:
 
حَدَّثَنَا يَزِيدُ، أَخْبَرَنَا الْعَوَّامُ، حَدَّثَنِي شَيْخٌ كَانَ مُرَابِطًا بِالسَّاحِلِ، قَالَ: لَقِيتُ أَبَا صَالِحٍ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ: حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: ” لَيْسَ مِنْ لَيْلَةٍ إِلَّا وَالْبَحْرُ يُشْرِفُ فِيهَا ثَلاثَ مَرَّاتٍ عَلَى الْأَرْضِ، يَسْتَأْذِنُ اللهَ فِي أَنْ يَنْفَضِخَ عَلَيْهِمْ، فَيَكُفُّهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ ”
 
“Telah menceritakan kepada kami Yazid, telah mengabarkan kepada kami Al-Awwam, telah menceritakan kepadaku seorang syekh yang berjaga-jaga di pantai, ia mengatakan bahwa ia pernah berjumpa dengan Abu Shoolih maula Umar ibnul Khattab. Lalu ia mengatakan bahwa ia telah menceritakan kepada kami Umar ibnul Khattab radhiyallahu anhu, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda: “Tiada suatu malam pun melainkan laut muncul padanya sebanyak tiga kali meminta izin kepada Allah, untuk membanjiri/menenggelamkan mereka (manusia yang ada di daratan), tetapi Allah Azza wa Jalla menahannya”.
 
Kedudukan Hadis:
 
Al-‘Alamah Syu’aib Arnauth rahimahullah dalam takhrijnya terhadap al-Musnad Imam Ahmad (I/395) di atas mengatakan:
 
إسناده ضعيف لجهالة الشيخ الذي روى عنه العوام بن حوشب، وأبو صالح مولى عمر مجهول أيضاً.
 
“Sanadnya LEMAH, karena majhulnya syaikh diriwayatkan oleh al-‘Awwam bin Hausyab. Begitu juga Abu Shoolih -maula Umar- majhul”.
 
Pun senada dengan al-‘Alamah Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam “adh-Dhoifah” (no. 4392) yang MELEMAHKAN hadis ini, karena alasan kemajhulan di atas. Kemudian beliau menukil pendhoifan yang sama dari Imam Ibnu Katsir dalam “al-Bidaayah”. Imam Ibnul Jauzi juga mendhoifkannya, namun beliau menambahkan cacatnya dengan menilai al-‘Awaam sebagai perowi yang dhoif. Namun asy-Syaikh Al-Albani meluruskan kekeliruan ini, bahwa al-‘Awaam ini adalah ibnu Hausyab perowi shahihain yang telah disepekati ketsiqohannya. Sedangkan Imam ibnul jauzi menduga itu adalah al-‘Awaam yang lain.
 
Sebagian ulama tafsir seperti as-Saddiy dan dinukil juga dari Imamnya mufasirin, Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu anhu juga membawakan hadis ini untuk memberikan makna pada firman Allah dalam Surat Ath-Thur ayat ke-6:
 
ﻭَﺍﻟْﺒَﺤْﺮِ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠُﻮﺭِ
 
Al-Masjuur di situ diartikan terhalang dan tercegah dari bumi (daratan), agar jangan memenuhinya karena akan menenggelamkan para penghuninya. Maka al-Masjuur adalah al-mahbuus yang artinya tertahan, sebagaimana konteks hadis di atas. Namun karena hadisnya lemah, maka TIDAK bisa dijadikan sandaran dalam penafsiran.
 
Barangkali karena alasan inilah tim penerjemah Departemen Agama RI memilih arti terjemahan untuknya:
 
وَالْبَحْرِ الْمَسْجُوْرِ
 
“Dan laut yang di dalam tanahnya ada api”.
 
Hal ini sebagaimana firman-Nya:
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺍﻟْﺒِﺤَﺎﺭُ ﺳُﺠِّﺮَﺕْ
“Dan apabila lautan dipanaskan”. [QS. At-Takwir: 6]
 
Wallahu a’lam.
 
 
 
Penulis: Abu Sa’id Neno Triyono
 
 
Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 (450) 134 878 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat