بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

#PanduanZakat
CARA PRAKTIS MENGHITUNG ZAKAT MAAL
Segala puji hanya milik Allah, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Aamiin.
Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ {34} يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَـذَا مَا كَنَزْتُمْ لأَنفُسِكُمْ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam Neraka Jahannam, lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya, (lalu dikatakan) kepada mereka: Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At Taubah: 34-35)
Ibnu Katsir berkata: “Dinyatakan bahwa, setiap orang yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan disiksa dengannya. Dan dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka untuk menimbun harta kekayaannya daripada menaati keridhaan Allah, maka mereka akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu Lahab, dengan dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasulullah ﷺ, maka kelak di Hari Kiamat, istrinya akan berbalik ikut serta menyiksa dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari sabut, dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di Neraka, lalu ia menimpakannya kepada Abu Lahab. Dengan cara ini siksa Abu Lahab semakin terasa pedih, karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia paling ia cintai. Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaannya. Harta kekayaan yang sangat ia cintai, kelak di Hari Kiamat menjadi hal yang paling menyedihkannya. Di Neraka Jahannam, harta kekayaannya itu akan dipanaskan, lalu digunakan untuk membakar dahi, perut, dan punggung mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 2/351-352, hal semakna juga diungkapkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalaani dalam kitabnya Fathul Bari 3/305]
Ibnu Hajar Al Asqalaani berkata: “Dan hikmah dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allah (zakat) yang wajib dikeluarkan hanyalah sebaginnya saja, adalah karena zakat yang harus dikeluarkan menyatu dengan seluruh harta dan tidak dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak suci.”[ Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalaani 3/305].
Dengan kata singkat, zakat adalah persyaratan dari Allah Ta’ala kepada orang-orang yang menerima karunia berupa harta kekayaan, agar harta kekayaan tersebut menjadi halal baginya.
Nishob Zakat Emas dan Perak
Emas dan perak adalah harta kekayaan utama umat manusia, dan dengannyalah harta benda lainnya di nilai. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya akan membahas nishob keduanya, dan harta yang semakna dengannya, yaitu uang kertas.

عن علي رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: إذا كانت لك مائتا درهم وحال عليها الحول، ففيها خمسة دراهم، وليس عليك شيء يعني في الذهب حتى يكون لك عشرون دينارا، فإذا كان لك عشرون دينارا، وحال عليها الحول ففيها نصف دينار، فما زاد فبحساب ذلك. رواه أبو داود وصححه الألباني

Dari sahabat Ali radliyallaahu ‘anhu, ia meriwayatkan dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Bila engkau memiliki dua ratus Dirham, dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima Dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikit pun, maksudnya zakat emas, hingga engkau memiliki dua puluh Dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh Dinar, dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah Dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishob) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu.” (Riwayat Abu Dawud, Al Baihaqy dan dishahihkan oleh Al Albani)

عن أبي سَعِيدٍ رضي الله عنه يقول: قال النبي صلى الله عليه و سلم: ليس فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ. متفق عليه

Dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radliyallaahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan pada hadis riwayat Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu dinyatakan:

.وفي الرِّقَّةِ رُبْعُ الْعُشْر. رواه البخاري

“Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperempat puluh (2,5 %).” (Riwayat Al Bukhari)
Hadis-hadis di atas adalah sebagian dalil tentang penentuan nishob zakat emas dan perak, dan darinya kita dapat simpulkan beberapa hal:

  1. Nishob adalah batas minimal dari harta zakat, yang bila seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan nishob hanya diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan nishob, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, pada hadis riwayat Ali radliyallaahu ‘anhu di atas, Nabi ﷺ menyatakan: “Dan setiap kelebihan dari (nishob) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu.”
  2. Nishob emas, adalah 20 (dua puluh) Dinar, atau seberat 85 gram emas.
    Penentuan nishob emas dengan gram, berdasarkan keputusan Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no: 5522. Adapun Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, maka beliau menyatakan, bahwa nishob zakat emas adalah 85 gram, sebagaimana beliau tegaskan dalam bukunya: Majmu’ Fatawa wa Rasaa’il 18/130, & 133.
  3. Nishob perak, yaitu sebanyak 5 (lima) Uqiyah, atau seberat 595 gram.
    Penentuan nishob perak dengan 595 gram, berdasarkan penjelasan syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin pada berbagai kitab beliau, di antaranya Majmu’ Fatawa wa Rasaail beliau 18/141.
  4. Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishob adalah atau 2,5 %.
  5. Perlu diingat, bahwa yang dijadikan batasan nishob emas dan perak di atas adalah emas dan perak murni (24 karat) [Baca Subulus Salaam oleh As Shan’ani 2/129].
    Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishobnya harus disesuaikan dengan nishob emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishob, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat.

Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, maka ia dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut:
Cara pertama: Membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.
Cara kedua: Ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negrinya, sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.
Sebagai contoh: Bila seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu haul, maka ia boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas seberat 2,5 gram. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga emas 2,5 gram tersebut. Bila harga emas di pasaran adalah Rp. 200.000, maka, ia berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang berhak menerima zakat.
Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Aku berpendapat, bahwa tidak mengapa bagi seseorang untuk membayarkan zakat emas dan perak dalam bentuk uang, seharga zakatnya. Ia tidak harus mengeluarkannya dalam bentuk emas. Yang demikian itu lebih bermanfaat bagi para penerima zakat. Biasanya orang fakir bila engkau beri pilihan antara menerima dalam bentuk kalung emas, atau menerimanya dalam bentuk uang, mereka lebih memilih uang, karena itu lebih berguna baginya.” [Majmu’ Fatawa wa Rasaail 18/155, demikian juga difatwakan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia pada fatwanya no: 9564].
Catatan Penting Pertama:
Perlu diingat, bahwa harga emas dan perak di pasaran setiap saat mengalami perubahan, sehingga bisa saja ketika membeli, kita membeli tiap 1 gram seharga Rp 100.000, dan ketika berlalu satu tahun, harga emas telah berubah menjadi Rp 200.000. Atau sebaliknya, pada saat beli 1 gram emas berharga Rp. 200.000,- sedangkan ketika jatuh tempo bayar zakat, harganya turun menjadi Rp 100.000. Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat adalah harga pada saat membayar zakat, bukan harga pada saat beli [Majmu’ Fatawa wa Rasaail oleh Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin 18/96].
Nishob Zakat Uang Kertas
Pada zaman dahulu, umat manusia menggunakan berbagai macam cara untuk bertransaksi dan bertukar barang, agar dapat memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan dari mereka menggunakan cara barter, yaitu tukar menukar barang. Akan tetapi tatkala mereka menyadari bahwa cara ini kurang praktis, terlebih-lebih bila kebutuhannya dalam sekala besar, mereka berupaya mencari alternatif lain. Hingga pada akhirnya mereka mendapatkan, bahwa emas dan perak, barang berharga yang dapat dijadikan sebagai alat transaksi antara mereka, dan sebagai alat untuk mengukur nilai suatu barang.
Dan beberapa waktu silam, umat manusia kembali merasakan adanya berbagai kendala dengan uang emas dan perak. Mereka pun kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat menggantikan peranan uang emas dan perak. Pada akhirnya ditemukanlah uang kertas, dan mulailah umat manusia menggunakannya sebagai alat transaksi dan pengukur nilai barang, menggantikan uang Dinar dan Dirham.
Berdasarkan hal ini, maka para ulama’ menyatakan, bahwa uang kertas yang diberlakukan oleh suatu negara memiliki peranan dan hukum seperti peranan dan hukum uang Dinar dan Dirham. Dengan demikian, berlakulah padanya hukum-hukum riba dan zakat. Sebagaimana ditegaskan pada keputusan konfrensi Komite Fiqih Islam dibawah Rabithah ‘Alam Al Islami, no: 6, pada rapatnya ke 5, tgl 8 s/d 16 Rabiul Akhir, thn 1402 H, dan juga pada keputusan Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no: 1881, 1728, dan difatwakan oleh Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa wa Ar Rasaa’il 18/173.
Bila demikian halnya, maka bila seseorang memiliki uang kertas yang mencapai harga nishob emas atau perak, ia wajib mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5 % dari total uang yang ia miliki.
Untuk lebih jelasnya, maka saya akan mencoba mejelaskan hal ini dengan contoh berikut:
Andai: 1 gram emas 24 karat di pasaran dijual seharga Rp 200.000,- sedangkan 1 gram perak murni dijual seharga Rp 25.000,-
Dengan demikian nishob zakat emas adalah: x Rp 200.000,- = Rp 18.285.715,- sedangkan nishob perak adalah: 595 x Rp 25.000 = Rp 14.875.000,-
Apabila pak Ahmad pada tanggal 1 Jumadits Tsani 1428 H memiliki uang sebesar Rp 50.000.000 (lima puluh juta),- lalu uang tersebut ia tabungkan dan selama satu tahun uang tersebut tidak pernah berkurang dari batas minimal nishob di atas. Pada contoh kasus ini, maka pada tanggal 1 Jumadits Tsani 1429 H, pak Ahmad berkewajiban membayar zakat malnya. Total zakat mal yang harus beliau bayarkan adalah: Rp 50.000.000 x 2,5 % (atau Rp 50.000.000: 40 ) = Rp 1.250.000
Pada kasus pak Ahmad di atas, batasan nishob emas ataupun perak, sama sekali tidak diperhatikan, karena uang beliau jelas-jelas melebihi nishob keduanya.
Akan tetapi bila uang pak Ahmad berjumlah Rp 16.000.000,-, maka pada saat inilah kita mempertimbangkan batas nishob emas dan perak. Pada kasus kedua ini, uang pak Ahmad telah mencapai nishob perak yaitu Rp 14.875.000, akan tetapi belum mancapai nishob emas yaitu Rp 18.285.715.
Pada kasus semacam ini para ulama’ menyatakan, bahwa pak Ahmad wajib menggunakan nishob perak, dan tidak boleh menggunakan nishob emas. Dengan demikian pak Ahmad berkewajiban membayar zakat mal sebesar:
Rp 16.000.000 x 2,5 % (16.000.000: 40) = Rp 400.000.
Komite Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah kepemimpian syeikh Abdul Aziz bin Baz pada keputusannya no: 1881 menyatakan: “Bila uang kertas yang dimiliki seseorang telah mencapai batas nishob salah satu dari keduanya (emas atau perak), dan belum mencapai batas nishob yang lainnya, maka penghitungan zakatnya wajib didasarkan kepada nishob yang telah dicapai tersebut” [Majmu’ Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia 9/254, fatwa no: 1881 & Majmu’ Fatawa wa Maqalaat Al Mutanawwi’ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/125]
Catatan Penting Kedua:
Dari pemaparan singkat tentang nishob zakat uang, dapat disimpulkan, bahwa nishob dan berbagai ketentuan tentang zakat uang adalah mengikuti nishob dan ketentuan salah satu dari emas atau perak. Oleh karena itu, para ulama’ menyatakan, bahwa nishob emas atau nishob perak dapat disempurnakan dengan uang atau sebaliknya [Maqalaat Al Mutanawwi’ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/125].
Berdasarkan pemaparan di atas, bila seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000, dan ia juga memiliki uang tunai sebesar Rp. 13.000.000, sedangkan harga 1 gram emas adalah Rp. 200.000, maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5 %. Walaupun masing-masing dari emas dan uang tunai yang ia miliki belum mencapai nishob, akan tetapi ketika keduanya digabungkan, jumlahnya mencapai nishob. Dengan demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,- dengan perhitungan sebagaimana berikut:
Rp 10.000.000 + 13.000.000 x 2,5 % (23.000.000: 40) = Rp 575.000,-
Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasulullah ﷺ berikut:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ. رواه مسلم

“Tidaklah sedekah itu akan mengurangi harta kekayaan.” (Muslim)
Semoga pemaparan singkat di atas dapat membantu pembaca memahami metode penghitungan zakat maal yang benar menurut syariat Islam.
Wallahu ta’ala a’alam bis showaab.
 
Penulis: Al- Ustadz Muhammad Arifin bin Badri, M.A. hafizahullah
Sumber: http://pengusahamuslim.com/1014-cara-praktis-menghitung-zakat-maal.html