بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

CARA MUDAH MEMAHAMI FIKIH HAJI

1) 8 Dzulhijjah

Melakukan ihrom, pergi ke Mina sebelum Zuhur. Sholat Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh di Mina (dengan meng-qoshor sholat empat rakaat menjadi dua rakaat TANPA dijama’), mabit (bermalam) di Mina.

2) 9 Dzulhijjah

Setelah terbit matahari pergi ke Arafah. Sholat Zuhur dan Ashar, dijama’ taqdim dan diqoshor dengan satu azan dan dua iqomah. Berdiam di Arafah sambil berzikir dan doa sampai terbenam matahari. Jika telah terbenam matahari, pergi ke Muzdalifah untuk bermalam di sana. Lakukan sholat Maghrib dan Isya’ dijama’ dan diqoshor, lalu bermalam di Muzdalifah dan sholat Subuh di sana.

3) 10 Dzulhijjah

Pergi ke Mina sebelum terbit matahari, melempar Jamroh ‘Aqobah, menyembelih Hadyu, memendekkan atau mencukur rambut, Thawaf Ifadhah dan Sa’yu, mabit (bermalam) di Mina.

4) 11 Dzulhijjah

Jika matahari telah tergelincir, melempar tiga jamroh, dimulai dari Jamroh Sughro (yang terletak di samping masjid Al-Khaif), lalu Jamroh Wustho, lalu Jamroh Kubro (yang dikenal dengan Jamroh ‘Aqobah). Kembali mabit di Mina.

5) 12 Dzulhijjah

Melakukan amalan yang sama dengan 11 Dzulhijjah. Kembali mabit di Mina, kecuali bagi yang telah berniat untuk bersegera mengakhiri amalan hajinya (mengambil Nafar Awwal), hendaklah melakukan Thawaf Wada’.

6) 13 Dzulhijjah

Melakukan amalan yang sama dengan amalan 11 dan 12 Dzulhijjah, lalu melakukan Thawaf Wada’.

Dengan melaksanakan enam poin tersebut di atas ini, maka selesailah sudah seluruh rangkaian ibadah haji. Adapun rinciannya sebagai berikut:

➡ Syarat-Syarat Wajibnya Haji

1) Beragama Islam

2) Berakal sehat

3) Berusia baligh

4) Merdeka (bukan budak)

5) Memiliki kemampuan, yang mencakup:

  • Kemampuan harta, yaitu memiliki ongkos dan bekal perjalanan, setelah memenuhi kewajiban nafkah, membayar utang dan kewajiban-kewajiban lainnya.
  • Kesehatan badan
  • Jalan yang aman untuk sampai ke Baitullah
  • Adanya kendaraan yang dapat menyampaikan ke Baitullah
  • Bagi wanita wajib disertai mahram atau suami
  • Dan tidak sedang dalam masa ‘iddah

➡ Waktu Melakukan Haji

Waktu melakukan haji atau bulan-bulan haji yang disyariatkan untuk masuk ke dalam amalan-amalan haji, dimulai sejak awal Syawwal sampai dengan sebelum terbit fajar pada malam 9 Dzulhijjah.

Jika seorang baru mulai melakukan haji pada 9 Dzulhijjah, luput darinya amalan-amalan sunnah haji pada 8 Dzulhijjah.

Jika dia mulai pada malam 9 Dzulhijjah, luput darinya amalan-amalan sunnah haji pada siang hari 9 Dzulhijjah. Bahkan terancam hajinya tidak sah, jika tidak sempat Wuquf di Arafah sebelum terbit fajar.

➡ Macam-Macam Haji

  • Haji Tamattu’ (inilah haji yang paling afdhal)

Yaitu seseorang masuk pada amalan-amalan haji di bulan-bulan haji, yang dimulai dengan amalan umroh terlebih dahulu dengan mengucapkan di Miqot: “Allahumma labbaika ‘umrotan mutamatti’an biha ilal hajj”. Setelah sampai di Mekkah, lalu melaksanakan umroh dengan cara yang sama seperti tata cara umroh. Setelah melakukan umroh, halal baginya segala sesuatu yang tadinya diharamkan ketika ihrom, sampai 8 Dzulhijjah, baru kemudian berihrom kembali untuk menyempurnakan amalan-amalan haji yang tersisa.

  • Haji Qiron

Yaitu seseorang berniat haji dan umroh secara bersama-sama di bulan-bulan haji, dengan mengucapkan di Miqot: “Labbaika hajjan wa ‘umrotan”. Setelah sampai di Mekkah, lalu melakukan Thawaf Qudum dan Sa’yu (untuk Sa’yu boleh ditunda sampai setelah melakukan Thawaf Ifadhah pada 10 Dzulhijjah). Setelah Sa’yu, TIDAK HALAL baginya melakukan hal-hal yang diharamkan ketika ihrom. Jadi dia tetap dalam keadaan ihrom sampai 10 Dzulhijjah, setelah melakukan amalan-amalan yang akan dijelaskan nanti, insya Allah.

  • Haji Ifrod

Yaitu seseorang berniat melakukan haji saja TANPA umroh di bulan-bulan haji, dengan mengucapkan di Miqot: “Labbaika hajjan”. Sama dengan Haji Qiron; setelah sampai di Mekkah, lalu melakukan Thawaf Qudum dan Sa’yu (untuk Sa’yu boleh ditunda sampai setelah melakukan Thawaf Ifadhah pada 10 Dzulhijjah). Setelah Sa’yu, tidak halal baginya melakukan hal-hal yang diharamkan ketika ihrom. Jadi dia tetap dalam keadaan ihrom sampai 10 Dzulhijjah, setelah melakukan amalan-amalan yang akan dijelaskan insya Allah.

➡ Perbedaan Mendasar antara Haji Ifrod, Tamattu’ dan Qiron

  1. Perbedaan pada niat.
  2. Tidak ada kewajiban menyembelih hewan Hadyu bagi yang melaksanakan Haji Ifrod. Adapun bagi yang melakukan Haji Tamattu’ dan Qiron selain penduduk Mekkah, wajib bagi mereka Hadyu.
  3. Pada Haji Tamattu’, boleh melakukan tahallul setelah melakukan umroh, sehingga halal bagi yang melakukan Haji Tamattu’, semua yang diharamkan ketika ihrom, sampai masuk 8 Dzulhijjah.
  4. Pada Haji Tamattu’, terdapat dua kali Sa’yu. Yang pertama ketika umroh, dan yang kedua setelah melakukan Thawaf Ifadhah pada 10 Dzulhijjah. Sedangkan dalam Haji Qiron dan Ifrod, hanya terdapat satu Sa’yu. Boleh dilakukan setelah Thawaf Qudum atau setelah Thawaf Ifadhah pada 10 Dzulhijjah.

Adapun persamaan ketiga bentuk haji ini di antaranya, terdapat tiga macam thawaf, yaitu Thawaf Qudum (dilakukan ketika pertama kali sampai ke Mekkah), Thawaf Ifadhah (dilakukan pada 10 Dzulhijjah) dan Thawaf Wada’ (dilakukan sebelum meninggalkan Mekkah).

Rincian Urutan Amalan-Amalan Haji Sesuai Tanggal

8 Dzulhijjah

  1. Pada waktu Dhuha, melakukan ihrom dari Miqot, atau dari tempat tinggal masing-masing (bagi yang Haji Tamattu’ yang tinggal di Makkah dan Mina, baik yang mukim maupun musafir, dengan mengucapkan, “Labbaika hajjan”. Sedang bagi yang Haji Qiron dan Ifrod, maka tetap dalam keadaan ihrom sebelumnya).

Wanita haid juga berihrom, namun tidak melakukan sholat dan thawaf.

Disunnahkan untuk melakukan amalan-amalan sunnah ihrom sebagaimana ihrom untuk umroh.

  1. Pergi ke Mina sebelum masuk waktu Zuhur dan melakukan sholat Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya di Mina, dengan meng-qoshor sholat yang empat rakaat menjadi dua rakaat, namun tanpa dijama’.
  2. Mabit (bermalam) di Mina dan melakukan sholat Subuh juga di Mina.
  3. Memerbanyak ucapan Talbiyah (terus diucapkan sampai sebelum melempar Jamroh ‘Aqobah):

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

LABBAIK ALLAHUMMA LABBAIK. LABBAIK LAA SYARIKA LAKA LABBAIK. INNAL HAMDA WAN NI’MATA LAKA WAL MULK LAA SYARIKA LAK

Artinya: “Kusambut panggilan-Mu Ya Allah, kusambut panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kerajaan hanyalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.”

Disunnahkan mengeraskan bacaan Talbiyah ini di perjalanan ke Mina. Namun tidak disyariatkan membacanya secara berjamaah dengan membentuk sebuah koor.

➡ 9 Dzulhijjah

  1. Setelah terbit matahari di hari Arafah ini, pergi ke Arafah sambil membaca tahlil atau takbir.
  • Sebelum sampai ke Arafah, disunnahkan untuk singgah di Namiroh, satu tempat di dekat Arafah, dan tetap di situ sampai sebelum matahari tergelincir.
  • Jika matahari telah tergelincir, disunnahkan lagi untuk pergi ke ‘Urnah, tempatnya lebih dekat ke Arafah dibanding Namiroh, di sinilah disunnahkan bagi seorang pemimpin atau wakilnya menyampaikan khutbah yang sesuai dengan keadaan hari itu.
  • Melakukan sholat Zuhur dan Ashar, dijama’ taqdim dan diqoshor dengan satu adzan dan dua iqomah. Dan TIDAK ADA sholat sunnah antara Zuhur dan Ashar.
  • Setelah itu masuk ke Arafah -jika memang belum sampai di Arafah- sampai melewati tanda-tanda Arafah yang telah dibuat oleh Pemerintah Arab Saudi -jazaahumullaahu khayron-. Jika memungkinkan, hendaklah menghadap Kiblat sekaligus menghadap Jabal Rahmah. Jika tidak, maka tidak apa-apa di seluruh tempat di Arafah, dengan menghadap Kiblat saja.
  • Tidak disyariatkan untuk mendaki dan melaksanakan sholat di Jabal Rahmah berdasarkan ijma’. Jika seseorang menganggap itu termasuk bagian dari ibadah, maka saat itu menjadi bid’ah.
  • Tidak boleh mengikuti dan menaati para petugas haji yang memerintahkan jamaah haji untuk keluar dari Arafah dan berangkat ke Muzdalifah sebelum terbenam matahari, karena tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah ta’ala.
  • PERINGATAN:

Hendaklah jamaah haji memastikan dia telah berada di area Arafah. Sebab keberadaan jamaah haji di Arafah pada hari ini termasuk rukun haji. Jika tidak dilaksanakan, maka tidak sah hajinya. Kalau dia ragu, hendaklah bertanya kepada para ulama dan penuntut ilmu untuk memastikan.

  1. Selama di Arafah, hendaklah memerbanyak dzikir dan doa. Disunnahkan memerbanyak ucapan Talbiyah dan Tahlil. Hal ini terus dilakukan sampai terbenam matahari. Dan tidak disunnahkan bagi jamaah haji untuk berpuasa, sehingga mereka lebih terfokus untuk doa dan dzikir.
  2. Jika telah terbenam matahari, pergi ke Muzdalifah dengan penuh ketenangan dan menyibukkan diri dengan Talbiyah dan istighfar. Jika seseorang pergi ke Muzdalifah sebelum terbenam matahari dan dia tidak kembali ke Arafah sebelum terbenam matahari, maka wajib baginya fidyah berupa sembelihan seekor kambing, dilakukan di Mekkah dan dibagikan bagi fakir miskin Mekkah, dan TIDAK memakan darinya sedikit pun.
  • Jika seorang berhalangan untuk sampai ke Arafah sebelum terbenam matahari, maka tidak mengapa baginya untuk pergi ke Arafah pada malamnya, –selama belum terbit fajar- meskipun hanya sekedar lewat di Arafah, lalu ke Muzdalifah.
  1. Sampai di Muzdalifah pada waktu Maghrib maupun Isya’, segera melakukan sholat Maghrib dan Isya’ dijama’ dan diqoshor dengan satu adzan dan dua iqomah. TIDAK ADA sholat sunnah antara Maghrib dan Isya’. Jika khawatir tidak akan sampai ke Muzdalifah kecuali setelah tengah malam, maka hendaklah sholat di perjalanan, karena tidak boleh menunda sholat sampai melewati tengah malam.
  2. Wajib mabit di Muzdalifah pada malam ini. Disunnahkan setelah sholat Maghrib dan Isya’ untuk langsung tidur pada malam ini dan tidak menyibukkan diri dengan khutbah maupun mengumpulkan batu untuk melempar jamroh. Dan tidak harus menyiapkan batu untuk melempar Jamroh dari Muzdalifah.
  3. Sholat Subuh di Muzdalifah. Setelah sholat Subuh, pergi ke Al-Masy’arul Haram yaitu bukit yang ada di Muzdalifah. Jika memungkinkan untuk menaikinya, menghadap Kiblat, membaca Tahmid, Takbir, Tahlil dan berdoa. Disunnahkan untuk mengangkat tangan ketika berdoa. Hal ini dilakukan sampai menjelang terbit matahari, kemudian pergi ke Mina sebelum matahari terbit.
  • Barang siapa tidak bermalam di Muzdalifah atau meninggalkan Muzdalifah sebelum tengah malam dengan sengaja, maka dia berdosa dan wajib atasnya fidyah; menyembelih seekor kambing, dibagikan kepada fakir miskin tanah Haram dan TIDAK makan darinya sedikit pun. Kecuali bagi orang yang terhalang untuk sampai ke Muzdalifah. Jika dia sampai ke Muzdalifah setelah tengah malam atau mendekati Subuh, lalu melakukan sholat Subuh di Muzdalifah, maka tidak ada kewajiban fidyah atasnya.
  • Jika petugas haji memaksa jamaah untuk meninggalkan Muzdalifah sebelum tengah malam, maka tidak wajib fidyah atas mereka karena terpaksa.
  • Jika seseorang tidak bisa memasuki Muzdalifah karena terhalang, juga tidak ada kewajiban fidyah atasnya.
  • Jika seseorang mabit tanpa memastikan, bahwa dia telah berada di Muzdalifah,, lalu menjadi jelas baginya setelah terbit fajar, ternyata dia tidak di Muzdalifah, maka wajib atasnya fidyah.
  • Dibolehkan bagi wanita, orang-orang yang lemah seperti orang tua dan anak-anak, juga para pengurus mereka, baik supir, mahram dan pengurus lainnya, untuk meninggalkan Muzdalifah setelah tengah malam dan langsung menuju Jamroh ‘Aqobah untuk melempar, walau sebelum terbit fajar. Juga dibolehkan bagi mereka langsung ke Mekkah untuk melakukan Thawaf Ifadhah dan Sa’yu, kemudian kembali ke Mina.

➡ 10 Dzulhijjah

  1. Pergi ke Mina sebelum terbit matahari dengan tenang, dan sambil mengucapkan Talbiyah.
  • Disunnahkan jika telah sampai di Muhassir (satu tempat yang termasuk Mina), untuk memprcepat langkah semampunya, lalu mengambil jalan tengah yang menyampaikan ke Jamroh ‘Aqobah.
  • Boleh mengambil tujuh buah batu kecil (untuk melempar Jamroh ‘Aqobah) di Muzdalifah atau di perjalanan ke Mina, baik mengambilnya sendiri atau diambilkan oleh orang lain.
  • Tidak disyariatkan untuk mencuci batu-batu tersebut.
  1. Setelah tiba di Mina, berhenti mengucapkan Talbiyah di Jamroh ‘Aqobah dan hendaklah segera melempar Jamroh ‘Aqobah dengan tujuh batu secara berturut-turut, dan memastikan (atau dengan persangkaan yang kuat), batu tersebut masuk di area (lubang atau lingkaran) lemparan, dan tidak mengapa jika batu tersebut keluar lagi dari area.
  • Jika tidak masuk ke area lemparan harus mengulanginya.
  • Tidak boleh melempar dua batu atau lebih secara sekaligus.
  • Mengangkat tangan pada setiap lemparan sambil bertakbir.
  • Tidak boleh melempar dengan selain batu kecil, seperti sandal, batu besar dan lain-lain.
  • Tidak boleh melempar dengan batu yang sudah digunakan sebelumnya.
  • Tidak ada dzikir atau ucapan khusus ketika melempar, dan tidak juga harus meyakini bahwa di situ ada setan yang sedang dilempar, maskipun asal disyariatkannya melempar ini adalah perbuatan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika melempar setan.
  • Tidak disyariatkan untuk berdiri sejenak dan berdzikir setelah melempar Jamroh ‘Aqobah ini.
  • Bagi yang tidak mampu melempar, boleh mewakilkannya kepada orang lain, dengan syarat orang yang diwakilkan tersebut juga sedang melakukan haji.
  • Orang yang mewakili orang lain untuk melempar hendaklah melempar untuk dirinya dulu, baru kemudian untuk orang lain.
  • Bagi yang mampu melempar sendiri, namun berhalangan, maka TIDAK boleh mewakilkannya. Akan tetapi boleh baginya menunda semua lemparan sampai 12 Dzulhijjah (bagi yang mengambil Nafar Awal) dan sampai sebelum terbit matahari pada 13 Dzulhijjah (bagi yang mengambil Nafar Tsani), dan hendaklah dia melempar semua jamroh secara berurutan.
  • Bagi yang mewakili kedua orang tuanya, hendaklah dia mulai untuk dirinya, lalu ibunya terlebih dahulu, kemudian bapaknya.
  • Setelah melempar, sudah bisa masuk pada Tahallul Awal menurut sebagian ulama. Namun pendapat yang lebih lebih hati-hati, untuk mengakhirkan Tahallul Awal, sampai setelah memendekkan rambut atau mencukurnya, atau setelah Thawaf Ifadhah dan Sa’yu (bagi yang belum Sa’yu setelah Thawaf Qudum, yakni yang melakukan Haji Qiron dan Ifrod).
  • Tahallul Awal artinya telah halal melakukan hal-hal yang tadinya diharamkan, seperti mengenakan pakaian yang membentuk tubuh, minyak wangi dan lain-lain. Kecuali bercumbu dan melakukan hubungan suami istri, tidak boleh dilakukan kecuali setelah Tahalluts Tsani, yaitu setelah melakukan Thawaf Ifadhah dan Sa’yu.
  • Jamroh ‘Aqobah adalah Jamroh Kubro, yang letaknya paling dekat dengan Makkah dibanding Jamroh Sughro dan Wustho.
  • Waktu melempar Jamroh ‘Aqobah sampai sebelum terbenam matahari di hari ini bagi yang tidak berhalangan.
  1. Setelah melempar Jamroh ‘Aqobah, lalu menyembelih Hadyu (bagi yang melakukan Haji Tamattu’ dan Qiron) di Mina.
  • Hewan Hadyu dan fidyah syaratnya sama dengan hewan kurban dari segi umur dan tidak cacat. Untuk satu orang 1 ekor kambing atau 1/7 sapi atau 1/7 unta.
  • Boleh menyembelih di tempat mana saja, sepanjang masih berada dalam batas-batas tanah Haram di Mina dan Makkah.
  • Disunnahkan untuk menyembelih sendiri jika memungkinkan. Jika tidak, maka boleh diwakilkan.
  • Barang siapa yang tidak mendapatkan hewan Hadyu, maka wajib baginya berpuasa tiga hari ketika masa haji ini, dan tujuh hari ketika sudah kembali ke negerinya.
  • Puasa ini boleh dikerjakan sebelum 10 Dzulhijjah maupun pada hari-hari Tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah). Kecuali hari Arafah, lebih afdhal untuk berbuka, agar bisa lebih banyak berdoa dan berdzikir.
  • Puasa ini juga boleh dilakukan secara berurutan maupun tidak berurutan.
  • Berpuasa lebih afdhal daripada meminta-minta hewan Hadyu kepada orang lain.
  • Waktu menyembelih sampai sebelum terbenam matahari pada 13 Dzulhijjah.
  • Disunnahkan untuk makan sebagian hewan sembelihan ini, menghadiahkannya dan bersedekah dengannya.
  • Boleh pula berbekal untuk perjalanan pulang dengan sebagian dari sembelihan Hadyu.
  • Adapun sembelihan karena pelanggaran, maka SEMUANYA harus disedekahkan kepada orang-orang fakir kota Makkah, dan tidak boleh makan sedikit pun.
  1. Setelah menyembelih hewan Hadyu, lalu memendekkan atau mencukur rambut.
  • Mencukur lebih afdhal, karena Nabi ﷺ mendoakan tiga kali bagi yang mencukur dan satu kali bagi yang memendekkan.
  • Tidak cukup memendekkan atau mencukur sebagian, namun harus seluruh rambut.
  • Bagi wanita hendaklah hanya memotong pada seluruh ujung-ujung rambutnya sepanjang kuku.
  • Bagi yang ingin berkurban, TIDAK MENGAPA baginya untuk memendekkan dan mencukur rambut. Berbeda dengan orang yang tidak berhaji, tidak boleh memotong rambutnya sebelum menyembelih kurbannya.
  1. Setelah memotong atau memendekkan rambut, lalu melakukan Thawaf Ifadhah dan Sa’yu. Ini termasuk rukun. Tidak sah haji tanpanya.
  • Setelah melakukan Tahallul Awal, disunnahkan untuk mengenakan minyak wangi sebelum pergi melakukan Thawaf Ifadhah.
  • Boleh menggunakan pakaian ihrom dan pakaian biasa jika telah melempar Jamroh ‘Aqobah dan memendekkan atau mencukur rambut, yakni telah masuk pada Tahallul Awal.
  • Kemudian melakukan Thawaf Ifadhah di Kakbah sebanyak tujuh kali dengan cara yang sama seperti penjelasan pada Thawaf Umroh, kecuali Idhthiba’ (memosisikan pakaian atas ke bawah ketiak kanan dan membiarkan pundak kanan terbuka dan pundak kiri tetap tertutup) dan berlari-lari kecil pada tiga putaran yang pertama tidak dilakukan lagi.
  • Setelah thawaf, disunnahkan untuk sholat dua rakaat di belakang maqom (tempat berdiri) Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
  • Setelah sholat dua rakaat, lalu melakukan Sa’yu antara Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali bagi yang melakukan Haji Tamattu’ dan bagi yang melakukan Haji Qiron dan Ifrod yang belum melakukan Sa’yu setelah Thawaf Qudum. Dan Sa’yu dalam haji dan umroh termasuk rukun.
  • Tidak mengapa jika ada selang waktu yang panjang antara thawaf dan Sa’yu. Bahkan boleh menunda Sa’yu sampai hari setelahnya. Namun yang afdhal dilakukan secara berurutan.
  • Tahalluts Tsani telah masuk dengan selesainya Thawaf Ifadhah dan Sa’yu. Maka telah halal semua yang tadinya diharamkan bagi muhrim (orang yang berihrom), termasuk berhubungan suami istri.
  • Disunnahkan untuk minum Zam-zam.
  • Tidak mengapa mengakhirkan Thawaf Ifadhah dan dilakukan bersama dengan Thawaf Wada’, yakni meniatkan Thawaf Ifadhah dan Wada’ bersamaan dengan satu thawaf saja. Boleh juga meniatkan Thawaf Ifadhah saja, dan itu sudah mencakup Thawaf Wada’. Namun tidak terhitung Thawaf Ifadhah jika hanya meniatkan Thawaf Wada’.
  • Wanita yang haid sebelum Thawaf Ifadhah, hendaklah dia dan mahramnya menunggu sampai suci, lalu melakukan Thawaf Ifadhah. Namun jika terpaksa harus kembali ke negerinya, maka setelah suci, dia harus kembali lagi ke Mekkah untuk melakukan Thawaf Ifadhah.
  • Waktu Thawaf Ifadhah dimulai setelah tengah malam 10 Dzulhijjah dan akhirnya tidak ada batas. Namun afdhalnya tidak diakhirkan sampai keluar hari-hari Tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah).
  • Disunnahkan sholat Zuhur di Mekkah atau di Mina.
  • Disunnahkan bagi imam untuk berkhutbah di Mina di sekitar jamroh ketika waktu Dhuha telah meninggi untuk mengajarkan manasik haji yang tersisa.
  • Tidak ada shalat Idul Adha bagi jamaah haji.
  • Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada hari ini ada empat amalan yang disyariatkan yaitu:

– Melempar Jamroh ‘Aqobah,
– Menyembelih Hadyu,
– Memendekkan atau mencukur rambut,
– Melakukan Thawaf Ifadhah dan ditambah Sa’yu (sehingga menjadi lima, bagi yang melakukan Haji Tamattu’ dan bagi yang melakukan Haji Qiron dan Ifrod, namun belum melakukan Sa’yu setelah Thawaf Qudum. Disunnahkan untuk melakukan empat atau lima amalan ini secara berurutan. Namun jika seorang melakukannya tidak berurutan karena suatu halangan, maka tidak mengapa.

  1. Wajib mabit di Mina pada malam hari ini (10 Dzulhijjah) dan malam 11 dan 12 Dzulhijjah (kecuali bagi yang mengambil Nafar Tsani. Hendaklah mereka meninggalkan Mina sebelum terbenam matahari pada 12 Dzulhijjah.
  • Batasan Mina adalah dari lembah Muhassir sampai ke Jamroh ‘Aqobah.
  • Dianggap telah mabit di Mina, jika seseorang bermalam di Mina sebagian besar dari waktu malam. Apakah dihitung setelah terbenam matahari sampai lewat tengah malam. Atau sebelum tengah malam sampai terbit fajar.
  • Mabit di Mina tidak harus tidur, yang penting berada di Mina pada sebagian besar atau seluruh waktu malam.
  • Tidak mengapa pada siang hari ketika ada Masyaqqoh (beban yang berat), untuk kembali ke Mekkah pada siang hari, lalu kembali lagi ke Mina pada malam harinya. Namun yang lebih afdhal tetap tinggal di Mina pada siang dan malam harinya.
  • Boleh tidak mabit di Mina, bagi mereka yang punya halangan seperti sakit, menjaga orang sakit dan lain-lain. Juga bagi mereka yang memiliki kesibukan untuk kemaslahatan haji, seperti para petugas haji, petugas keamanan dan lain-lain.
  • Disunnahkan pada setiap malam mabit di Mina, untuk mengunjungi Kakbah dan melakukan thawaf.
  • Barang siapa yang meninggalkan satu malam mabit di Mina dengan sengaja tanpa ‘uzur, maka hendaklah dia bertaubat dan bersedekah sesuai kemampuan. Jika dia menyembelih hewan maka itu lebih baik.
  • Jika seseorang telah berusaha, namun tidak mendapat tempat mabit di Mina, maka tidak mengapa dia mabit di Mekkah atau Muzdalifah atau ‘Aziziyah, dan tidak ada fidyah atasnya.
  • Tidak boleh turun ke lembah Muhassir.
  • Selama mabit di Mina, hendaklah memerbanyak dzikir dan doa.

➡ 11 Dzulhijjah

  1. Jika matahari telah tergelincir, jamaah haji melempar tiga jamroh, dimulai dari Jamroh Sughro (yang terletak di samping masjid Al-Khaif), lalu Jamroh Wustho, lalu Jamroh Kubro (yang dikenal dengan Jamroh ‘Aqobah)
  • Masing-masing dilempar dengan tujuh batu kecil, jadi totalnya 21 buah.
  • Caranya sama dengan melempar Jamroh ‘Aqobah yang sudah dilakukan pada 10 Dzulhijjah.
  • Setelah melempar Jamroh Sughro, disunnahkan maju ke sebelah kanan, lalu berdiri lama sambil mengangkat tangan dan berdoa kepada Allah, dengan menghadap Kiblat.
  • Setelah melempar Jamroh Wustho, disunnahkan maju ke sebelah kiri, lalu berdiri lama sambil mengangkat tangan dan berdoa kepada Allah, dengan menghadap Kiblat.
  • Setelah melempar Jamroh Kubro, TIDAK disunnahkan untuk berdoa, sebagaimana pada Jamroh Sughro dan Wustho, tapi langsung pergi meninggalkan jamroh.
  • Posisi yang disunnahkan ketika melempar Jamroh ‘Aqobah adalah menjadikan arah Kakbah di samping kanan dan Mina di samping kiri.
  • Bagi yang tidak mampu melempar, boleh mewakilkannya kepada orang lain, dengan syarat orang yang diwakilkan tersebut juga sedang melakukan haji.
  • Orang yang mewakili orang lain untuk melempar hendaklah melempar untuk dirinya, dulu baru kemudian untuk orang lain.
  • Bagi yang mampu melempar sendiri, namun berhalangan ,maka TIDAK boleh mewakilkannya. Akan tetapi, boleh baginya menunda semua lemparan sampai 12 Dzulhijjah (bagi yang mengambil Nafar Awal) dan sampai sebelum terbit matahari pada 13 Dzulhijjah (bagi yang mengambil Nafar Tsani), dan hendaklah dia melempar semua jamroh secara berurutan.
  • Bagi yang mewakili kedua orang tuanya, hendaklah dia mulai untuk dirinya, lalu ibunya terlebih dahulu, kemudian bapaknya.
  • Tidak boleh melempar jamroh di pagi hari, sebelum tergelincir matahari.
  • Jika seseorang berhalangan, boleh baginya melempar jamroh di malam hari. Namun yang afdhal melempar sebelum terbenam matahari.
  1. Pada malam hari, wajib kembali ke Mina untuk mabit.
  • Barang siapa yang meninggalkan mabit di Mina pada 11 dan 12 Dzulhijjah dengan sengaja tanpa ‘udzur, maka hendaklah dia bertaubat dan wajib atasnya fidyah berupa sembelihan seekor kambing. Disembelih di Mekkah dan dibagikan kepada fakir miskin Mekkah. Jika meninggalkan salah satu malam saja, maka wajib atasnya taubat dan bersedekah sesuai kemampuan, dan tidak wajib atasnya menyembelih.
  • Ketentuan mabit di Mina di hari ini sama dengan malam sebelumnya.

➡ 12 Dzulhijjah

  1. Melakukan amalan yang sama dengan 11 Dzulhijjah.
  • Kecuali mabit di Mina, bagi yang telah berniat untuk bersegera mengakhiri amalan hajinya (mengambil Nafar Awal), maka hendaklah dia melempar jamroh setelah matahari tergelincir, dan meninggalkan Mina sebelum terbenam matahari.
  • Bagi yang terhalang, seperti karena macet dan ramainya manusia, maka tidak mengapa dia melempar jamroh atau meninggalkan Mina setelah terbenam matahari.
  • Adapun bagi yang tidak berniat untuk bersegera dan telah terbenam matahari, maka tidak boleh lagi baginya mengambil Nafar Awwal. Dia harus menyempurnakan mabit di Mina pada malam hari ini, dan mengambil Nafar Tsani.
  1. Wajib melakukan Thawaf Wada’ sebelum meninggalkan Mekkah untuk mengakhiri amalan haji.
  • Kecuali bagi penduduk Mekkah, tidak diwajibkan atas mereka Thawaf Wada’. Akan tetapi bagi yang ingin melakukan safar meninggalkan Mekkah pada hari-hari haji, hendaklah dia melakukan Thawaf Wada’.
  • Juga tidak diwajibkan bagi wanita haid dan nifas.
  • Barang siapa yang tidak melakukan Thawaf Wada’ dengan sengaja, maka dia berdosa, wajib atasnya taubat dan fidyah berupa sembelihan seekor kambing, dan dibagikan kepada fakir miskin Mekkah.
  • Bagi yang melakukan Thawaf Wada’ sebelum melempar jamroh, maka TIDAK sah thawafnya. Jika dia tidak mengulang kembali, wajib atasnya fidyah berupa sembelihan seekor kambing, dan dibagikan kepada fakir miskin Mekkah.
  • Demikian pula bagi yang mewakilkan pelemparan jamroh, hendaklah dia melakukan Thawaf Wada’ setelah orang yang mewakilinya selesai melempar.
  • Disunnahkan untuk membawa air Zam-zam ke negerinya.
  • Setelah melakukan Thawaf Wada’, tidak boleh lagi tinggal di Mekkah, kecuali karena suatu hajat yang wajib, seperti telah masuk waktu shalat, atau karena suatu keperluan yang berhubungan dengan safarnya, seperti membeli hadiah, menunggu teman safarnya dan lain-lain.
  • Adapun yang masih tinggal di Mekkah, selain karena alasan yang dibolehkan di atas, seperti membeli sesuatu untuk dijual kembali, maka wajib atasnya melakukan Thawaf Wada’ kembali. Karena wajib menjadikan Thawaf Wada’ sebagai akhir dari amalan haji, bukan yang lainnya.
  • TIDAK disyariatkan keluar dari Masjidil Haram dari pintu yang bernama Babul Wada’, sebagaimana tidak pula disyariatkan bagi yang baru datang untuk masuk dari pintu Babus Salam.
  • Bagi yang menggabungkan Thawaf Ifadhah dengan Thawaf Wada’, maka tidak mengapa walau setelahnya dia melakukan Sa’yu, sebab Sa’yu di sini bagian dari Thawaf Ifadhah, sehingga terhitung sebagai akhir amalannya adalah thawaf.
  • Tidak disyariatkan bertabarruk atau berziarah ke Jabal Nur, Gua Hira, Jabal Tsaur, Masjid Jin dan berbagai tempat bersejarah lainnya. Bahkan bertabarruk dengan tempat-tempat tersebut termasuk syirik, dan berziarah kepadanya dikhawatirkan akan mengantarkan kepada syirik.
  • TIDAK disyariatkan berjalan mundur ketika meninggalkan Kakbah.

➡ 13 Dzulhijjah

  1. Melakukan amalan yang sama dengan amalan 11 dan 12 Dzulhijjah (bagi yang mengambil Nafar Tsani, yakni belum melakukan Thawaf Wada’ pada 12 Dzulhijjah).
  • Perbedaan hari ini dengan dua hari sebelumnya pada waktu melempar jamroh. Jika waktu melempar jamroh pada dua hari sebelumnya berakhir pada malam hari, maka pada hari ini berakhir ketika terbenam matahari.
  • Nafar Tsani ini lebih afdhal dibanding Nafar Awwal.
  1. Melakukan Thawaf Wada’ sebelum meninggalkan Mekkah, sebagaimana penjelasan tentang amalan pada hari sebelumnya di atas.
  • Dengan melakukan Thawaf Wada’, berakhir pula seluruh rangkaian ibadah haji. Semoga kaum muslimin dapat meraih haji yang mabrur.

Walhamdulillahi Rabbil’alamiin.

➡ Rujukan:

  1. Catatan Pribadi Pelajaran Fiqh Kitab Ad-Durorul Bahiyyah karya Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah di Al-Madrasah As-Salafiyyah Depok yang disampaikan Al-Ustadz Abdul Barr hafizhahullah, 1430 H.
  2. Al-Ikhtiyaraat Al-Fiqhiyyah fi Masaailil ‘Ibaadat wal Mu’aamalaat min Fatawa Samaahatil ‘Allaamah Al-Imam ‘Abdil ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz –rahimahullah-, ikhtaaroha Khalid bin Su’ud Al-‘Ajmi hafizhahullah, Bab Shifatul Hajj, hal. 322-352. Cetakan ke-6, 1431 H.
  3. Bayaanu maa yaf’aluhul Haaj wal Mu’tamir, karya Asy-Syaikh Prof. DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, terbitan Kantor Pusat Haiah Al-Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar, 1430 H.
  4. Tabshirun Naasik bi Ahkaamil Manasik ‘ala Dhauil Kitab was Sunnah wal Ma’tsur ‘anis Shahaabah, karya Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr hafizhahullah, cetakan ke-3, 1430 H.
  5. Jami’ul Manasik, karya Asy-Syaikh Sulthan bin AbdurRahman Al-‘Ied hafizhahullah, cetakan ke-3, 1427 H.

—————————

Alhamdulillaah, selesai ditulis di Kota Buraidah, Propinsi Al-Qoshim, KSA di musim haji tahun 1430 H.

Penulis: Abu Abdillah Sofyan Chalid bin Idham Ruray -‘afallaahu ‘anhu-

Sumber:

? CARA MUDAH MEMAHAMI FIQH HAJI? Memahami fiqh haji insya Allah ta’ala dalam waktu kurang lebih 1 menit dalam 6 poin…

Posted by Sofyan Chalid bin Idham Ruray on Friday, September 9, 2016