Bolehkah Wali Meninggalkan Ajaran Rasul?

Ada orang yang beranggapan, bahwa sebagian orang yang dianggap Wali boleh meninggalkan perkara yang wajib, seperti sholat, atau boleh melakukan hal yang dilarang dalam agama, karena mereka dianggap mengetahui hakikat dari ajaran Islam, atau mereka dianggap mendapat ‘Ilham’ dari Allah yang mengizinkan mereka melakukan hal-hal tersebut. Kita, orang-orang biasa, seolah ‘Haram’ memrotes perbuatan nyeleneh sang Wali, karena kita sebagai orang biasa dianggap tidak mengetahui hakikat dibalik perbuatan sang Wali tersebut.

Biasanya mereka memberi contoh kasus Nabi Khidir ‘alaihissalam. Nabi Khidir membocorkan perahu dan membunuh seorang anak, yang tentu menurut syariat yang dibawa Nabi Musa ketika itu adalah perbuatan maksiat. Namun di balik perbuatan Nabi Khidir tersebut ternyata beliau diberi ilham oleh Allah untuk melakukannya. Dan ketika Nabi Khidir melakukan perbuatan tersebut, Nabi Musa ‘alaihissalam tidak mengetahui alasan yang mendasari perbuatan ‘maksiat’ tersebut.

Menjelaskan hal ini, Syaikh Abdullah Al Faqih hafizhahullah berkata:

“Khidir adalah seorang Nabi yang diberi wahyu oleh Allah berupa ilmu yang tidak diketahui oleh Nabi Musa ‘alaihissalam. Allah Ta’ala berfirman:

فَوَجَدَا عَبْداً مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْماً

“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami‘ (QS. Al Kahfi: 65)

Kemudian Nabi Khidir menceritakan alasan-alasan atas hal-hal yang Nabi Musa tidak bersabar dalam menghadapinya dan berkata:

وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي

“Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya‘ (QS. Al Kahfi: 82)

Syariat Nabi Musa ‘alahissalam ketika itu tidak berlaku untuk seluruh manusia. Tidak sebagaimana syariat yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu’alaihi Wasallam. Sehingga Nabi Khidir diperkenankan untuk tidak mengikuti syari’at Nabi Musa.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

إن موسى عليه السلام لم تكن دعوته عامة ولم يكن يجب على الخضر اتباع موسى عليهما السلام، بل قال الخضر لموسى إني على علم من الله علمنيه الله ما لا تعلمه وأنت على علم من الله علمكه الله لا أعلمه

“Dakwah Musa alaihissalam tidak kepada seluruh manusia, dan Nabi Khidir termasuk yang tidak wajib untuk mengikuti syariat Nabi Musa ‘alaihissalam. Bahkan Nabi Khidir berkata kepada Nabi Musa: ‘Aku melakukan sesuatu berdasarkan ilmu yang diajarkan Allah kepada saya, yang engkau tidak tahu. Dan engkau melakukan sesuatu berdasarkan ilmu yang diajarkan Allah kepadamu, yang aku tidak tahu’ ‘ (Majmu’ Fatawa, 27/59).

Wallahu’alam“.

[ Sumber: http://www.islamweb.net/ver2/Fatwa/ShowFatwa.php?lang=A&Id=37719&Option=FatwaId ]

 

Adapun setelah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam di utus, seluruh manusia wajib mengikuti syariat yang beliau bawa, TANPA kecuali. Allah Ta’ala berfirman:

وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ

“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)

Sehingga tidak ada ‘Wali’ yang halal untuk meninggalkan perkara yang wajib atau melakukan perkara yang haram, ia wajib tunduk kepada ajaran agama.

Selain itu, ajaran Islam sudah sempurna, tidak mungkin ada penambahan, pengurangan atau pengubahan ajaran agama yang dikirimkan oleh Allah melalui ‘Ilham’, wangsit, atau mimpi dari salah seorang manusia setelah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Allah Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3)