بسم الله الرحمن الرحيم

BOLEHKAH MENGAMBIL UPAH TUKANG BEKAM?
>> Apakah Upah Tukang Bekam Haram?

Pertanyaan:
Benarkah upah tukang bekam itu tercela? Apakah berarti mengambil upahnya haram?

Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan, bahwa upah tukang bekam itu halal. Nabi ﷺ pernah berbekam dan beliau ﷺ memberi upah kepada tukang bekam.

[1] Hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliu mengatakan:

احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَعْطَى الَّذِي حَجَمَهُ، وَلَوْ كَانَ حَرَامًا لَمْ يُعْطِهِ

Nabi ﷺ berbekam dan memberi upah kepada tukang bekam. Andai itu haram, tentu beliau ﷺ tidak akan memberi upah. [HR. Ahmad 2904 dan Bukhari 2103].

[2] Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا حَجَّامًا فَحَجَمَهُ وَسَأَلَهُ: كَمْ خَرَاجُكَ؟ فَقَالَ: ثَلاَثَة آصُعٍ، فَوَضَعَ عَنْهُ صَاعًا وَأَعْطَاهُ أَجْرَهُ

Nabi ﷺ memanggil tukang bekam, lalu dia membekam beliau. Nabi ﷺ bertanya: “Berapa upahmu?”

‘Tiga Sha’.’ Jawab tukang bekam.

Lalu beliau ﷺ memberikan satu Sha’ dan beliau ﷺ berikan upahnya. [HR. Ahmad 1136 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth]

[3] Hadis dari Ali radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَأَمَرَنِي فَأَعْطَيْتُ الْحَجَّامَ أَجْرَهُ

Bahwa Nabi ﷺ berbekam dan beliau ﷺ perintahkan aku untuk memberikan upah kepada tukang bekamnya. [HR. Ahmad 1130, Ibnu Majah 2163 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth].

[4] Hadis dari Anas bin Malik:

احْتَجَمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ

Rasulullah ﷺ dibekam oleh Abu Thaibah, lalu beliau ﷺ perintahkan agar diberi upah 2 Sha’ makanan. [HR. Ahmad 12785 & Muslim 4121].

Dan beberapa hadis yang semisal yang menunjukkan, bahwa upah tukang bekam adalah halal.

Hanya saja, upah tukang bekam dinilai TIDAK TERPUJI. Dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الحَجَّامِ

Rasulullah ﷺ melarang upah tukang bekam. [HR. Ibnu Majah no. 2165; Shahih]

Dalam hadis lain, dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

كَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ

“Upah tukang bekam itu jelek.” [HR. Ahmad 15812, Abu Daud 3423 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth]

Makna khabits dalam hadis ini tidak bermakna haram. Karena harta halal, namun hina, juga bisa disebut khabits. Seperti firman Allah:

وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ

“Janganlah kalian secara sengaja memilih harta yang khabits yang kalian infakkan.” [QS. al-Baqarah: 267].

Upah tukang bekam disebut khabits, bukan karena statusnya yang haram, tapi karena harta ini dianggap tidak terpuji dan tidak bermartabat. Sehingga makruh untuk dicari.

Berdasarkan keterangan di atas, ulama berbeda pendapat dalam memahami upah tukang bekam:

Pertama, upah tukang bekam hukumnya mubah. Ini merupakan pendapat al-Laits bin Sa’ad, Malik dan Abu Hanifah.

Kedua, upah tukang bekam hukumnya makruh bagi orang merdeka dan mubah bagi budak. Ini merupakan pendapat Syafi’iyah dan Hanbali.

Kita simak keterangan An-Nawawi ketika menyimpulkan hadis yang melarang upah tukang bekam:

هذه الأحاديث التي في النهي على التنزيه والارتفاع عن دنيء الأكساب والحثِّ على مكارم الأخلاق ومعالي الأمور

Hadis-hadis yang menunjukkan larangan makruh dan menghindari penghasilan yang tidak terpuji, serta motivasi untuk menjaga akhlak mulia dan hal yang bermartabat. [Syarh Shahih Muslim, 10/233]

Allahu a’lam.

 

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Disadur dari Artikel KonsultasiSyariah.com)

Sumber: http://pengusahamuslim.com/5838-tidak-boleh-mengambil-upang-bekam.html

 

Catatan Tambahan:

Bagaimana Sikap Kita terhadap Bekam?

Syaikh ‘Atha Abu Rasytah hafizhahullah menjelaskan [Silakan baca penjelasan beliau tentang hal ini di kitab Taysir al-Wushul ila al-Ushul pasal tentang Khithab at-Taklif hal 13-29], bahwa larangan Rasulullah ﷺ atas suatu perkara hukumnya bisa menjadi makruh, jika larangan tersebut tidak bersifat pasti (غير جازم), yaitu jika pada waktu yang lain Rasulullah ﷺ membiarkan orang-orang melakukan apa yang dilarang oleh beliau ﷺ tersebut.

Syaikh Abu Rasytah hafizhahullah juga menegaskan, bahwa suatu larangan akan dihukumi makruh, jika tidak ada indikasi (qarinah) yang menunjukkan keharamannya. Beberapa qarinah yang menunjukkan suatu keharaman beliau rincikan sebagai berikut:

  1. Berupa penjelasan, baik dengan perkataan maupun perbuatan, terhadap siksa dunia dan Akhirat, atau yang semakna dengannya. Contohnya firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surah al-Muddatstsir ayat 42 dan 43.
  2. Penyebutan lafal yang menunjukkan keharaman di dalam nash yang menjelaskan tuntutan terhadap suatu perbuatan. Contohnya QS. al-Baqarah ayat 173 dan hadis Nabi ﷺ riwayat Bukhari-Muslim dan lainnya tentang larangan melakukan perjalanan sehari semalam bagi wanita tanpa mahram.
  3. Ada larangan yang bersifat pasti, seperti siksaan dan kemurkaan dari Allah ‘azza wa jalla, celaan atau sifat buruk, penafian Iman dan Islam, dan lain-lain. Contohnya firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surah an-Nisa ayat 22.

Jadi menurut beliau, jika ada nash, baik dari Alquran maupun as-Sunnah, yang menunjukkan larangan, namun tidak terdapat qarinah seperti di atas, dan kemudian Rasulullah ﷺ membiarkan orang-orang melakukan larangan tersebut, maka larangan tersebut hukumnya makruh. Lebih khusus lagi, ketika mencontohkan perkara-perkara yang makruh, beliau mencantumkan hadis tentang larangan mencari penghasilan sebagai tukang bekam. [Lihat kitab Taysir al-Wushul ila al-Ushul hal 26]

Maka benarlah pendapat Jumhur Ulama yang mengompromikan dalil-dalil tentang penghasilan tukang bekam yang kelihatannya bertentangan. Hadis-hadis yang menunjukkan larangan mencari penghasilan dari bekam atau menerima upah bekam dialihkan dari hukum haram menjadi makruh, karena ada hadis-hadis lain yang menunjukkan, bahwa Rasulullah ﷺ pernah berbekam, dan memberi upah kepada orang yang membekam beliau ﷺ.

Namun perlu diberi garis tegas, walaupun mencari penghasilan dari bekam tidak haram, ulama menganggap penghasilan tersebut merupakan penghasilan yang hina dan rendah. Tidak seharusnya seorang Muslim mencari penghasilan dengan hal tersebut, kecuali dia sangat membutuhkannya.

Lalu bagaimana dengan klinik-klinik bekam yang ada sekarang? Manfaatnya kan jelas untuk menyebarkan pengobatan yang dianjurkan oleh Nabi ﷺ, dan ini adalah perkara yang mustahab (baik)? Lalu, kalau tidak mengambil keuntungan dari usaha klinik tersebut, kan rugi waktu, tenaga dan finansial? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, akan kami kutip fatwa dari Syaikh Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah sebagai berikut: [Fatwa Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah saya kutip dari buku “Rahasia Kesuksesan Bekam, Agar Bekam Menjadi Baik”, penerbit Pustaka an-Nabawi, Surabaya]

“Meski tidak haram, upah bekam adalah khabits (jelek). Oleh sebab itu, sebaiknya tukang bekam mengerjakan bekam sebagai amalan Tathawwu’ (Sunnah), dan mengerjakannya sebagai sedekah bagi saudaranya, karena dengan bekam, dia menyelamatkan saudaranya dari kerusakan dan kebinasaan.”

Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam bish shawwab wa huwa waliyyut taufiq.

 

Sumber: https://www.facebook.com/notes/abu-nasher-abdul-karim/hukum-menjadikan-bekam-sebagai-profesi/10150368986558910/