Bid’ah Itu Lebih Disukai Iblis Dibandingkan dengan Maksiat Biasa

Sufyan (ats Tsauri) berkata: “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa, karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat, sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal 22).

Muhammad bin Husain al Jizani ketika menjelaskan poin-poin perbedaan antara maksiat dan bid’ah mengatakan: “Oleh karena itu maksiat memiliki kekhasan berupa ada perasaan menginginkan bertaubat dalam diri pelaku maksiat. Ini berbeda dengan pelaku bid’ah. Pelaku bid’ah hanya semakin mantap dengan terus menerus melakukan kebid’ahan karena dia beranggapan, bahwa amalnya itu mendekatkan dirinya kepada Allah, terlebih para pemimpin kebid’ahan besar.

Pelaku maksiat lebih mungkin untuk bertaubat kepada Allah ta’ala dari perbuatannya, karena ia tahu bahwa yang diperbuatnya tersebut keliru dan dosa. Berbeda halnya dengan pelaku bid’ah yang menganggap baik perbuatannya dan berkeyakinan Allah ta’ala mencintai perbuatannya. Padahal setanlah yang menghiasi perbuatan bid’ah tersebut hingga nampak indah di matanya. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah ta’ala:

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya” [QS. Faathir: 8].

Dalam sebuah atsar (perkataan salaf) Iblis berkata: “Kubinasakan anak keturunan Adam dengan dosa, namun mereka membalas membinasakanku dengan istighfar dan ucapan la ilaha illallah. Setelah kuketahui hal tersebut, maka kusebarkan di tengah-tengah mereka hawa nafsu (baca:bid’ah). Akhirnya mereka berbuat dosa, namun tidak mau bertaubat karena mereka merasa sedang berbuat baik” [lihat al Jawab al Kafi 58, 149-150 dan al I’tisham 2/62].

Ia tidak menyadari bahwa perbuatan bid’ah yang dilakukannya justru menyebabkan semakin jauh dari agama Allah ta’ala. Oleh karena itu secara umum bid’ah itu lebih berbahaya dibandingkan maksiat. Hal ini dikarenakan pelaku bid’ah itu merusak agama. Sedangkan pelaku maksiat sumber kesalahannya adalah karena mengikuti keinginan yang terlarang. [al Jawab al Kafi hal 58 dan lihat Majmu Fatawa 20/103].

Telah bersabda Rasulullah ﷺ: “Sesungguhnya Allah menghalangi taubat semua pelaku bid’ah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 4202]. Sanad riwayat ini hasan.

Yahyaa bin Abi ‘Amru Asy-Syaibaaniy berkata: “Dulu dikatakan bahwa Allah menolak taubat bagi pelaku bid’ah. Tidaklah pelaku bid’ah berpindah (dari bid’ahnya) kecuali menuju sesuatu yang lebih jelek dari bid’ahnya yang semula” [Diriwayatkan oleh Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ no. 145; Shahih].

Oleh karena itu, pelaku bid’ah lebih sulit untuk diharapkan bertaubat dari bid’ahnya, kecuali orang yang dirahmati Allah ta’ala. Inilah makna sabda Nabi ﷺ bahwa Allah ta’ala menghalangi taubat para pelaku bid’ah.

Al-Hasan (Al-Bashriy) berkata: “Tidaklah bertambah kesungguhan pelaku bid’ah (Ahlul-Bid’ah) dalam perkara puasa dan sholat, kecuali akan bertambah jauh dari Allah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ no. 70; Shahih].

Ibnu ‘Abbaas berkata: “Janganlah kalian bermajelis dengan para pengekor hawa nafsu (Ahlul-Ahwaa’), karena bermajelis dengan mereka itu menjadi sebab sakitnya hati” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/196 atsar no. 56; Shahih].

Al-Fudlail (bin ‘Iyaadl) berkata: “Barang siapa mencintai pelaku bid’ah (Ahlul-Bid’ah), niscaya Allah akan menghapuskan amalnya dan mengeluarkan cahaya Islam dari hatinya” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 8/102; Shahih].

Penjelasan mengenai bahaya bid’ah dan ungkapan hiperbola untuk menunjukkan betapa ngerinya bid’ah, sepatutnya tidaklah menyebabkan, pada saat ini atau di kemudian hari, sikap meremehkan dan menyepelekan maksiat.
Sebaliknya, penjelasan mengenai bahaya maksiat dan ungkapan hiperbola untuk menunjukkan betapa ngerinya maksiat, sepatutnya tidaklah menyebabkan, pada saat ini atau di kemudian hari, sikap meremehkan dan menyepelekan bid’ah.” (Qawaid Ma’rifah al Bida’ hal 31-33, cetakan Dar Ibnul Jauzi Saudi Arabia).

Penjelasan di atas sangat perlu dilakukan oleh setiap orang yang ingin mengingatkan orang lain akan bahaya bid’ah, supaya kita terhindar dari menjadi sebab terbukanya pintu-pintu keburukan tanpa kita sadari.

 

Allahu a’lam.

 

Sumber Rujukan:

http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2012/02/kelemahan-atsar-bidah-lebih-dicintai.html

https://konsultasisyariah.com/1123-mengapa-dosa-bidah-lebih-besar-dari-maksiat.html

 

https://nasihatsahabat.com/bidah-itu-lebih-disukai-iblis-dibandingkan-dengan-maksiat-biasa/