Dalam keluarga ada orang tua yg sangat menyayangi satu anak laki-laki daripada empat anak perempuan yang lain. Sampai-sampai pada pemberian harta hibah sangat terlihat perbedaannya sehingga menimbulkan rasa iri. Berdosakah orang tua tersebut? Bagaimana seharusnya sikap anak?
Jawaban:
Semoga Allah melindungi kita semua dari perkara-perkara yang menimbulkan murka Allah Azza wa Jalla.
Tidak bisa dimungkiri, bahwa kadang orang tua menyayangi sebagian anaknya lebih dari sebagian yang lain. Tidak masalah jika hal itu hanya sebatas perasaan sayang yang ada dalam hati, karena menyamaratakan semua anak dalam kasih sayang hati adalah sesuatu yang sulit, bahkan di luar kuasa manusia.
Adapun dalam perkara pemberian hibah, Islam menggariskan bahwa orang tua harus berbuat adil. Jika salah satu diberi, yang lain juga harus diberi bagian yang sama. Nabi ﷺ bersabda:
Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut. [HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no. 12.003]
Menurut sebagian ulama, keadilan dalam pemberian hibah saat orang tua masih hidup adalah dengan membaginya sesuai dengan hukum waris, di mana anak perempuan mendapatkan setengah bagian anak laki-laki. Sebagian Ulama yang lain berpendapat, bahwa harta yang dihibahkan dibagi rata tanpa membedakan jenis kelamin. Pendapat yang kedua ini lebih kuat, karena didukung hadis an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhu yang akan disebutkan kemudian.
Dalam hadis ini, Nabi ﷺ mengisyaratkan, bahwa keadilan dalam hibah akan membuat anak-anak juga akan adil dalam berbakti. Sebaliknya, ketidakadilan bisa menimbulkan kebencian di antara anak-anak kita, atau memicu kebencian kepada orang tua yang membawa kepada durhaka.
Perlu diketahui, bahwa hibah tidak sama dengan nafkah. Jika dalam hibah kepada anak, orang tua diwajibkan adil, tidak demikian dalam nafkah. Orang tua boleh memberikan nafkah sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Biaya sekolah anak SD tentunya tidak bisa disamakan dengan kakaknya yang sudah kuliah. Begitu pula biaya makan, pengobatan, menikahkan anak, dan kebutuhan-kebutuhan semisal tidak harus sama rata; karena hal itu termasuk nafkah, bukan hibah.
Kisah yang disebutkan dalam pertanyaan sudah pernah terjadi pada masa kenabian, maka mari kita melihat bagaimana Nabi ﷺ menghukuminya secara langsung, karena itulah hukum yang terbaik.
Dari an-Nu’man (bin Basyir), beliau radhiyallahu anhu berkata: “Ibu saya meminta hibah kepada ayah, lalu memberikannya kepada saya. Ibu berkata: ‘Saya tidak rela sampai Rasulullah ﷺ menjadi saksi atas hibah ini.’ Maka ayah membawa saya -saat saya masih kecil- kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, ibunda anak ini, ‘Amrah binti Rawahah memintakan hibah untuk si anak, dan ingin engkau menjadi saksi atas hibah.’ Maka Rasulullah ﷺ bertanya: ‘Wahai Basyir, apakah engkau punya anak selain dia?’ ‘Ya.’, jawab ayah. Beliau ﷺ bertanya lagi: ‘Engkau juga memberikan hibah yang sama kepada anak yang lain?’ Ayah menjawab tidak. Maka Rasulullah ﷺ berkata: ‘Kalau begitu, JANGAN jadikan saya sebagai saksi, karena saya tidak bersaksi atas kezaliman.’ ” [HR. al-Bukhari no. 1623]
Nabi ﷺ menyebutnya sebagai KEZALIMAN, dan itu berarti bahwa ketidakadilan seperti ini adalah DOSA.
Jadi pada dasarnya hibah harus diberikan secara SAMA RATA. Namun boleh membedakannya untuk alasan tertentu, misalnya ada anak yang cacat sehingga tidak bisa bekerja, atau sibuk menuntut ilmu sehingga belum bisa bekerja, atau punya banyak anak sehingga gajinya tidak cukup. Bisa juga hibah tidak diberikan kepada sebagian anak yang durhaka, atau biasa menggunakan uang untuk bermaksiat. Demikian pula, boleh memberikan hibah kepada sebagian anak jika anak-anak yang lain tidak mempermasalahkan hal itu, karena hibah ini adalah hak mereka bersama. Jika mereka saling rida, tidak masalah. Perlu ada komunikasi yang baik agar hibah tidak menimbulkan masalah.
Jika anak-anak mengetahui KESALAHAN orang tua dalam hal ini, sebaiknya anak-anak bisa menyelesaikannya di antara mereka dahulu tanpa melibatkan orang tua. Alangkah baiknya jika yang terzalimi mengalah dan tidak mempermasalahkan pemberian yang lebih untuk saudaranya.
Namun jika hal itu tidak bisa terwujud, dan masing-masing menuntut persamaan, hendaklah mereka menasihati orang tua dengan lemah lembut. Anak yang mendapat hibah lebih banyak, hendaknya menolak pemberian dengan halus. Apa yang dilakukan orang tua dalam kasus ini adalah ketidakadilan, sehingga HARUS DIINGKARI, tapi dengan cara yang baik. Banyak orang tua yang melakukannya karena BUTA AKAN HUKUM AGAMA, maka penjelasan yang baik akan cukup untuk membuat mereka menyadari kesalahan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]