بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ 
 
#FikihKurban
 
BERKURBAN UNTUK ORANG YANG MENINGGAL
 
Pertanyaan:
Apabila saya meniatkan untuk berkurban setiap tahun dalam rangka menyisihkan sebagian rezeki untuk kurban atas nama ayahanda tercinta, apakah yang demikian dibolehkan? Dan bagaimana hukumnya? Terima Kasih
 
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
 
1. Ibadah kurban adalah ibadah tahunan. Oleh karena itu, dianjurkan untuk dilakukan setiap tahun sesuai kemampuan.
2. Terkait kurban atas nama orang yang sudah meninggal, dapat dirinci sebagai berikut:
 
Pertama: Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran kurban utama, namun statusnya mengikuti kurban keluarganya yang masih hidup.
 
Misalnya, seseorang berkurban untuk dirinya dan keluarganya, sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berkurban jenis ini dibolehkan dan pahala kurbannya meliputi dirinya dan keluarganya, termasuk yang sudah meninggal.
 
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Adapun mayit termasuk salah satu yang mendapat pahala dari kurban seseorang. Ini berdasarkan hadis, bahwasanya Nabi ﷺ berkurban untuk dirinya dan keluarganya. Sementara keluarga Nabi ﷺ mencakup istrinya yang telah meninggal dan yang masih hidup. Demikian pula ketika Nabi ﷺ berkurban untuk umatnya. Di antara mereka ada yang sudah meninggal dan ada yang belum dilahirkan. Akan tetapi, berkurban secara khusus atas nama orang yang telah meninggal, saya tidak mengetahui adanya dalil dalam masalah ini.” (Syarhul Mumthi’, 7:287).
 
Kedua: Berkurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berkurban untuk dirinya setelah dia meninggal.
 
Berkurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan, jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. Dan nilai biaya untuk kurban, kurang dari sepertiga total harta mayit.
 
Terdapat hadis dalam masalah ini, dari Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ pernah berkurban dengan dua ekor kambing. Ketika ditanya, beliau menjawab: “Rasulullah ﷺ pernah berwasiat kepadaku agar aku berkurban untuknya. Sekarang saya berkurban atas namanya.” Hadis ini diriwayatkan Abu Daud dan Tirmudzi, namun status hadis ini dhaif, sebagaimana keterangan Syekh Al-Albani dalam Dhaif Sunan Abi Daud, no. 596.
 
Ibn Utsaimin mengatakan: “Berkurban atas nama mayit, jika dia pernah berwasiat yang nilainya kurang dari sepertiga hartanya, atau dia mewakafkan hewannya maka wajib ditunaikan…” (Risalah Fiqhiyah Ibn Utsaimin, Ahkam Udhiyah)
 
Syekh juga mengatakan: Karena Allah melarang untuk mengubah wasiat, kecuali jika wasiat tersebut adalah wasiat yang tidak benar atau wasiat yang mengandung dosa, seperti wasiat yang melebihi 1/3 harta atau diberikan kepada orang yang kaya. Allah berfirman:
 
فَمَنْ خَافَ مِن مُّوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
 
“(Akan tetapi) Barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 182).
 
Wasiat untuk berkurban tidak termasuk penyimpangan maupun dosa, bahkan termasuk wasiat ibadah harta yang sangat utama.” (Risalah Dafnul Mayit, Ibn Utsaimin, Hal. 75)
 
Ketiga: Berkurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit.
 
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama Madzhab Hanbali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit. Mereka mengkiyaskan (menyamakan) dengan sedekah atas nama mayit. Disebutkan dalam fatwa Lajnah Daimah ketika ditanya tentang hukum berkurban atas nama mayit, sementara dia tidak pernah berwasiat, mereka menjawab, “Berkurban atas nama mayit disyariatkan, baik karena wasiat sebelumnya atau tidak ada wasiat sebelumnya. Karena ini masuk dalam lingkup masalah sedekah (atas nama mayit).” (Fatwa Lajnah, 21367).
 
Akan tetapi menyamakan ibadah kurban dengan sedekah adalah analogi yang kurang tepat. Karena tujuan utama berkurban bukan semata untuk sedekah dengan dagingnya, tapi lebih pada bentuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih.
 
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pada kenyataannya, ibadah kurban tidak dimaksudkan semata untuk sedekah dengan dagingnya atau memanfaatkan dagingnya. Berdasarkan firman Allah:
 
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
 
“Dagingnya maupun darahnya tidak akan sampai kepada Allah, namun yang sampai kepada kalian adalah takwa kalian.” (QS. Al-Haj: 37)
 
Namun yang terpenting dari ibadah kurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih.” (Syarhul Mumthi’, 7:287). Sementara itu, sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak diketahui adanya tuntunan dari Nabi ﷺ maupun para sahabat, bahwa mereka berkurban secara khusus atas nama orang yang telah meninggal.
 
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ memiliki beberapa anak laki-laki dan perempuan, para istri, dan kerabat dekat yang ia cintai, yang meninggal dunia mendahuluinya. Namun Nabi ﷺ tidak pernah berkurban secara khusus atas nama salah satu di antara mereka. Nabi ﷺ tidak pernah berkurban atas nama pamannya Hamzah, istrinya Khadijah juga Zainab binti Khuzaimah, dan tidak pula untuk tiga putrinya dan anak-anaknya radhiallahu ‘anhum. Andaikan ini disyariatkan, tentu akan dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ, baik dalam bentuk perbuatan maupun ucapan. Akan tetapi seseorang hendaknya berkurban atas nama dirinya dan keluarganya. (Syarhul Mumthi’, 7:287).
 
Meskipun demikian, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah tidaklah menganggap bentuk berkurban secara khusus atas nama mayit sebagai perbuatan bid’ah. Syekh mengatakan: “Sebagian ulama mengatakan: Berkurban secara khusus atas nama mayit adalah bid’ah yang terlarang. Namun vonis bid’ah di sini terlalu berat. Karena keadaan minimal yang bisa kami katakan bahwa kurban atas nama orang yang sudah meninggal termasuk sedekah. Dan terdapat dalil yang shahih tentang bolehnya bersedekah atas nama mayit” (Syarhul Mumthi’, 7:287).
 
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
[Artikel www.KonsutasiSyariah.com]