Barang Temuan Tidak Boleh Dimiliki Secara Pribadi

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Ada beberapa aturan yang perlu kita perhatikan terkait Barang Temuan (Luqathah).

Pertama, barang temuan ada tiga macam:

  1. Barang yang nilainya sangat murah, hampir tidak akan diambil oleh pemiliknya atau dilirik orang yang lewat. Di zaman sekarang, uang Rp 500; sudah mulai tidak dilirk. Buat parkir motor saja tidak dapat. Itu di antara contohnya. Contoh yang lain, gantungan kunci, bolpen bekas, permen, dst. Barang-barang yang dianggap tidak bernilai semacam ini, boleh langsung dimanfaatkan orang yang menemukannya, tanpa harus diumumkan.

Dalam hadis dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

رَخَّصَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْعَصَا وَالسَّوْطِ وَالْحَبْلِ وَأَشْبَاهِهِ يَلْتَقِطُهُ الرَّجُلُ يَنْتَفِعُ بِهِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan kepada kami untuk memanfaatkan tongkat, cemeti, tali, dan semacamnya, yang ditemukan seseorang. (HR. Abu Daud 1719).

  1. Barang yang tidak butuh dirawat atau mudah untuk dicari pemiliknya. Barang semacam ini, ketika dibiarkan saja, akan bisa mudah bagi pemiliknya untuk mengambilnya.

Di masa silam, onta termasuk binatang yang bisa pulang sendiri ketika dia menghilang dari pemiliknya. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para sahabat untuk menangkap onta temuan. Ketika beliau ditanya tentang onta temuan, beliau mengatakan:

وَمَا لَكَ وَلَهَا مَعَهَا سِقَاؤُهَا وَحِذَاؤُهَا ، تَرِدُ الْمَاءَ ، وَتَرْعَى الشَّجَرَ ، فَذَرْهَا حَتَّى يَلْقَاهَا رَبُّهَا

Apa urusanmu dengan onta itu. Dia ada kantong airnya, punya sepatu, bisa minum air sendiri, makan pepohonan. Biarkan dia, sampai ketemu pemiliknya. (HR. Bukhari 91 & Muslim 4595)

Dianalogikan dengan ini adalah kendaraan, atau benda-benda besar lainnya, seperti kayu, besi, atau benda yang tidak mudah pindah, dan bisa dengan mudah ditemukan oleh pemiliknya.

  1. Jenis ketiga, barang yang bernilai, siapa pun berminat untuk mengambilnya, dan mudah hilang dan mudah dimanfaatkan. Seperti uang dengan nominal besar, emas, atau hewan yang mudah dimakan binatan buas, seperti kambing atau anak sapi.

Dari Zaid bin Khalid al-Juhani, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang kambing temuan, apakah boleh diambil. Beliau mengatakan:

خُذْهَا فَإِنَّمَا هِىَ لَكَ أَوْ لأَخِيكَ أَوْ لِلذِّئْبِ

Ambil kambing itu, karena dia bisa jadi milikmu, atau kembali ke yang punya, atau diterkam serigala. (HR. Bukhari 2428 & Muslim 4596).

Status Hukum Tergantung Niat

Barang temuan adalah barang milik orang lain. Berpindah tangan ke orang yang menemukannya, sama sekali tidak didasari saling ridha. Pemilik berusaha mencarinya, yang menunjukkan dia tidak rela ketika barang itu berpindah ke tangan orang lain. Untuk itulah, barang temuan harus dikembalikan ke pemiliknya, atau dijaga untuk dipertemukan dengan pemiliknya. Tidak boleh diambil, untuk dimiliki secara pribadi. Mengambil untuk dimiliki pribadi, berarti telah melakukan kesalahan.

Ada dua kemungkinan niat, ketika seseorang yang mengambil barang temuan:

(1) Diambil untuk dijaga dan dipertemukan dengan pemiliknya,

(2) Diambil untuk dimiliki secara pribadi. Karena niatnya berbeda, hukumnya pun berbeda. Ini bagian dari penerapan dalam Kaidah Fiqh:

الأمور بمقاصدها

“Status segala urusan, sesuai dengan niatnya.”

Dalam kitab Jam’ul Mahshul dinyatakan:

إذا أخذ اللقطة بقصد حفظها وتعريفها ، فهو أمين لا ضمان عليه إذا تلفت ، أو بقصد تملكها فهو غاصب ، عليه الضمان إذا تلفت

Jika ada orang yang mengambil barang temuan, dengan maksud untuk dirawat, dan diumumkan, maka status orang ini adalah Amin (orang yang mendapatkan amanah), sehingga ketika rusak atau hilang, dia tidak wajib ganti. Dan jika dia mengambil dengan tujuan untuk memilikinya, maka statusnya Ghasab (merampas hak orang lain), dia wajib ganti rugi jika rusak atau hilang. (Jam’ul Mahshul, Syarh Risalah as-Sa’di fi al-Ushul, hlm. 78).

Tanamkan hal ini ketika kita mengambil barang orang lain, agar kita tidak memakan harta orang lain tanpa kerelaannya. Alah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. an-Nisa; 29).

Allah menyebut, mengambil harta orang lain tanpa kerelaannya, dengan memakan harta secara bathil. Barangkali di dunia urusan ini buka dianggap pelanggaran hukum oleh negara. Namun, urusan belum selesai. Di Akhirat, semua harus dipertanggung jawabkan. Tentu saja barang itu tidak bisa kita kembalikan, atau kita tebus dengan uang; namun semua ditebus dengan amal.

Allahu a’lam

Ditulis oleh ustadz Ammi Nur Baits