بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
BAHAYA MENUDUH ORANG LAIN DENGAN KAFIR ATAU FASIK
Sabda Rasulullah ﷺ:
وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ . وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ
“Dan barang siapa yang memanggil seseorang dengan panggilan ‘kafir’ atau ‘musuh Allah’ padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh.
Dalam hadis yang lain Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالْفُسُوقِ وَلَا يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ”Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kata fasiK dan menuduhnya dengan kata kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepada si penuduh, jika orang yang tertuduh tidak seperti yang dituduhkan. [HR Bukhari]
Dua hadis di atas menjelaskan kepada kita bahaya ucapan kafir. Tuduhan kafir yang ditujukan kepada seorang Muslim, pasti akan tertuju kepada salah satunya, penuduh atau yang dituduh.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Apabila ada seseorang yang mengafirkan saudaranya (seiman-red), maka salah satu dari keduanya akan tertimpa kekufuran.” [HR. Muslim]
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Barang siapa yang berkata kepada saudaranya: “Hai orang kafir,” maka kata itu akan menimpa salah satunya. Jika benar apa yang diucapkan (berarti orang yang dituduh menjadi kafir). Jika tidak, maka tuduhan itu akan menimpa orang yang menuduh. [HR Muslim]
Jika panggilan itu keliru, artinya orang yang dipanggil kafir tidak benar kafir, maka kata kafir akan kembali kepada orang yang memanggil. Wal iyadzu billah. Jika benar, maka dia selamat dari resiko kekafiran atau kefasikan. Namun bukan berarti ia selamat dari dosa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar [Fathul Bari, Kitabul Adab, 12/84]. Maksudnya, orang yang memanggil saudaranya dengan kata kafir atau fasik, meskipun benar, namun boleh jadi ia menanggung dosa. Misalkan jika maksud dan tujuannya untuk mencela, membongkar aib orang di masyarakat, atau memerkenalkan orang ini. Perbuatan seperti ini tidak diperbolehkan. Kita diperintahkan untuk menutupi aib ini, kemudian membimbing dan mengajarinya dengan lemah lembut dan bijaksana. Sebagaimana firman Allah ﷻ:
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Berserulah ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan dengan nasihat yang baik.” [QS. An Nahl/16: 125]
Selama masih bisa dibimbing dengan lemah lembut, maka jalan kekerasan tidak boleh ditempuh. Dan juga panggilan kafir dan fasik sering membuat orang menjadi marah. Lalu setan mendorongnya untuk terus-menerus melakukan perbuatan dosa. Sehingga kadang ada yang mengatakan:“Ya saya ini kafir,” kemudian terus-menerus berbuat dosa.
Adapun jika orang yang mengucapkan, hai kafir atau hai fasik, bertujuan untuk menakut-nakuti orang yang dipanggil agar menghindari perbuatan-perbuatan dosa, atau untuk menasihatinya, dan atau untuk menasihati orang lain agar menjauhi perbuatan yang dilakukan orang ini, maka orang ini jujur, dan pada saat yang sama dia mendapatkan pahala.
Bagaimana Dengan Keimanan yang Menuduh ?
Permasalahan yang muncul selanjutnya ialah keimanan orang yang memanggil saudaranya dengan kafir. Sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ:
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
“Dan barang siapa yang memanggil seseorang dengan panggilan ‘kafir’ atau ‘musuh Allah’ padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh. [HR Muslim]
لَا يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالْفُسُوقِ وَلَا يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kata fasik, dan menuduhnya dengan kata kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepada si penuduh, jika orang yang tertuduh tidak seperti yang dituduhkan.” [HR Bukhari]
Apakah ia menjadi kafir sebagaimana zahir hadis di atas ataukah tidak? Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan makna ‘Maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh’:
• Pendapat Pertama mengatakan: Dia menjadi kafir jika diikuti dengan keyakinan halalnya mengafirkan orang Muslim.
• Pendapat kedua mengatakan: Yang kembali ke penuduh ialah dosa mencela dan mengafirkan saudaranya.
• Pendapat Ketiga mengatakan: Ini ialah haknya orang-orang Khawarij yang mengafirkan kaum Muslimin (karena melakukan dosa besar, pent). Pendapat ini dinukil oleh Qhadhi Iyadh dari Imam Malik bin Anas. Namun pendapat ini dilemahkan oleh Imam Nawawi, karena menurut pendapat yang shahih sebagaimana ucapan banyak ulama dan para pen-tahqiq, bahwa orang Khawarij tidak boleh dikafirkan, seperti juga semua ahlul bidah tidak boleh dikafirkan.
• Pendapat Keempat mengatakan: Bahwa perbuatan mengafirkan itu akan menyeret kepada kekufuran. Maksudnya, perbuatan ini (merusak kehormatan kaum Muslimin dan mengafirkan tanpa alasan yang benar), dapat menyeret pelakunya kepada kekufuran. Pendapat ini didukung oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abu Awanah:
وَإِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَ إِلاَّ فَقَدْ بَاءَ بِالْكُفْرِ
“Jika kenyaataannya sebagaimana ucapannya (maka dituduh kafir). Dan jika tidak benar, maka dia kembali dengan membawa kekufuran.”
• Pendapat Kelima mengatakan: Bahwa yang kembali kepada penuduh ialah dosa mengafirkan. Bukan kekufuran yang hakiki, tapi hanya dosa mengafirkan, karena telah mengafirkan saudaranya. Maka seakan-akan mengafirkan dirinya sendiri, atau mengafirkan orang yang sama dengannya. Wallahu a’lam [Lihat Syarah Shahih Muslim, oleh Imam Nawawi, 2/237]
Singkat kata, perkataan seperti ini sangat berbahaya untuk diucapkan. Sudah sewajarnya (seharusnya) kita berhati-hati menggunakan kalimat tersebut. Janganlah terburu-buru menggunakan kata kafir, fasiq atau yang sejenisnya. Karena kekufuran merupakan hukum syari yang berdasarkan nash-nash Alquran dan As Sunnah. Janganlah mengafirkan seseorang, kecuali yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Mengafirkan seseorang karena perbedaan pendapat atau karena emosi merupakan dosa besar.
Kesimpulan
Mengafirkan seseorang harus berdasarkan dalil syari, yaitu dari Alquran, Al Hadis yang Sahih dan Ijmak. Di samping harus mengetahui syarat-syaratnya, juga harus mengetahui tentang ketiadaan hal-hal yang bisa menghalangi dari takfir (mengafirkan). Karena takfir itu merupakan hukum syari yang memiliki syarat-syarat dan mawani’ (faktor-faktor yang menghalangi takfir). Jika syarat-syarat sudah terpenuhi dan mawani’ sudah tidak ada lagi, maka barulah seseorang itu boleh dikafirkan dan boleh dianggap murtad dari Islam. Tidak semua orang yang melakukan perbuatan kufur itu kafir. Karena boleh jadi dia melakukannya karena tidak mengetahui, bila itu merupakan perbuatan kufur. Wallahu a’lam.
Sumber: https://almanhaj.or.id/31112-bahaya-memanggil-dengan-kafir-atau-fasiq-2.html
══════
Mari sebarkan dakwah sunnah dan meraih pahala. Ayo di-share ke kerabat dan sahabat terdekat! Ikuti kami selengkapnya di:
WhatsApp: +61 405 133 434 (silakan mendaftar terlebih dahulu)
Website: https://nasihatsahabat.com/
Email: [email protected]
Twitter: @NasihatSalaf
Facebook: https://www.facebook.com/nasihatsahabatcom/
Instagram: NasihatSahabatCom
Telegram: https://t.me/nasihatsahabat
Pinterest: https://id.pinterest.com/nasihatsahabat
Leave A Comment